Share

Pesona Mantan Istri
Pesona Mantan Istri
Author: Rina Novita

Bab 1. Talak

"Lidia indahsari, hari ini Aku talak Kau."

Wanita yang sudah kunikahi selama tiga tahun itu menangis tergugu di hadapanku. Badannya luruh seketika setelah mendengar ucapan talak dariku. Ia terduduk bertumpu lutut persis di hadapan kakiku di lantai kamar kami. Kamar yang berukuran cukup luas yang akhir-akhir ini selalu berantakan, membuatku tak betah berlama-lama di dalamnya.

"Apa salahku, Mas?" tanyanya terisak seraya memeluk kedua kakiku. Bulir-bulir bening semakin deras membasahi pipinya.

"Kau tidak salah, Dek. Hanya nasibmu saja yang buruk. Lihatlah tubuhmu yang semakin kurus. Wajahmu yang pucat. Sungguh tidak sedap di pandang." Aku berusaha berbicara lembut agar tak menyakiti hatinya. Selama ini aku telah berusaha menjadi suami yang baik dan tidak kasar. Aku selalu berusaha untuk menjaga perasaannya.

"Tega sekali kamu, Mas ... hu ... hu ... hu!" Dia tergugu dan tertunduk. Tubuh kurusnya bergetar karena menangis.

"Justru lebih baik kita berpisah saat ini, Dek. Daripada nanti kau makan hati karena sikapku," sahutku dengan hati-hati, karena aku tak ingin menyakitinya lagi lebih dalam.

Dulu aku meminta pada kedua orang tuanya dengan baik-baik. Kini aku akan mengembalikannya dengan cara baik-baik pula.

"Aku sedang berobat, Mas. Bersabarlah, Aku pasti sembuh, Mas." Dia berusaha merayuku. Namun hatiku sudah bulat. Sampai kapanpun aku tak akan mempan dirayu lagi olehnya.

Aku Yusuf Kurniawan. Umurku masih muda. Karierku yang sedang sukses membutuhkan seorang pendamping yang bisa mensuportku setiap saat.

Dulu, Lidya adalah wanita yang sangat cantik dan energik. Banyak pria yang ingin mempersutingnya. Beruntungnya aku yang bisa meluluhkan hati wanita hebat itu.

Lidia selalu melayaniku dengan baik. Selalu menyiapkan segala kebutuhanku dengan cekatan. Sungguh seorang istri idaman.

Namun beberapa bulan yang lalu, tubuh istriku itu semakin hari semakin kurus, Dia sering demam dan batuk-batuk. Jangankan untuk mengurusku, merawat dirinya saja dia tak mampu.

Akupun enggan untuk membawa Lidia ke acara-acara kantor. Sebentar-sebentar ia terbatuk-batuk. Hingga menjadi pusat perhatian dan pembicaraan orang-orang kantor. Tak sedikit orang yang menghindar darinya. Sungguh memalukan.

"Kau boleh membawa apa saja yang ada di rumah ini. Aku akan antar kau ke rumah orang tuamu," ujarku yang masih berbaik hati padanya, sebagai mantan suami yang bertanggung jawab.

Lidia menatapku nanar di balik sisa air matanya. Kilatan amarah terlihat jelas di netranya. Entah apa yang dia pikirkan. Seharusnya dia sadar akan kekurangannya saat ini. Mana mungkin aku mempertahankan istri tak berguna seperti dia.

Ah, biarlah. Aku tidak peduli. Mau sedih atau marah sekalipun, kini dia bukan istriku lagi.

"Ayolah cepat Lidya. Aku ada meeting malam ini. Jangan membuang-buang waktuku."

Aku tak sabar melihat Lidia yang lamban. Lihatlah! Apapun yang wanita itu kerjakan tidak ada yang beres. Memasukkan pakaiannya saja ke dalam tas sejak tadi belum juga selesai.

Air mata terus mengalir dari kedua pelupuk matanya. Selalu saja seperti itu. Bagaimana suami mau betah di rumah. Jika setiap saat di sambut dengan air mata.

Aku mengantar istriku ke rumah orangtuanya yang masih satu kota denganku. Sebenarnya aku enggan ke sana. Karena bapaknya pasti tidak terima dengan keputusanku ini. Tapi sebagai suami yang sangat bertanggung jawab, maka aku kembalikan Lidia dengan cara baik-baik.

Sepanjang jalan Lidia hanya diam. Namun air matanya sesekali mengalir membasahi kedua pipinya. Sungguh aku muak melihatnya.

Bersyukur jalanan tidak macet. Setelah perjalanan selama kurang lebih satu jam, kamipun tiba di depan sebuah rumah sederhana berpagar putih milik orang tua Lidia. Karena berniat tak ingin berlama-lama nanti di sana, aku sengaja memarkir mobilku di depan pagar saja.

Perlahan Lidia turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam pagar. Aku mengikutinya dari belakang.

"Assalamualaikum , Pak, Bu."

"Waalaikumsalam."

Terdengar sahutan dari dalam. Tanpa disuruh, Lidia sontak masuk ke dalam rumahnya.

"Ibu ... Bapak ... Hu ... hu ... hu ..!"

"Ada apa ini, Nak? Kamu kenapa Lidia?" Ibu mertuaku bingung melihat Lidia yang langsung menghambur ke pelukannya dan menangis tergugu.

Dasar perempuan cengeng. Tidak lelahkah kau menangis terus, Lidia? Aku sudah muak melihat tangismu.

"Yusuf! apa yang kau lakukan pada anakku, hah?" Bapak mertuaku tampak geram dengan wajah menggelap.

"Maafkan Aku, Pak. Aku mengembalikan Lidia pada bapak. Mulai hari ini Lidia bukan istri saya lagi."

Huff ... akhirnya aku bisa mengatakannya. Lega rasanya.

"Apaaa? Apa salah Lidia padamu?" Wajah pria paruh baya itu semakin memerah dengan mata melotot padaku.

"Banyak, Pak. Salah satunya, Lidia sudah tidak mengurusku dengan baik," jawabku mantap. Ya, memang itu salah satu alasanku menceraikannya.

"Tidak mungkin, Lidia sangat patuh dan selalu mengurusmu dengan baik," sahut ibu mertuaku.

"Ya. Itu dulu sebelum anak Ibu ini sakit." Aku menjawab apa adanya.

"Jadi karena Lidia sakit kamu menceraikannya? Di mana hati nuranimu, Yusuf? Sungguh tega sekali kamu!" Wajah ibu mertuaku mulai merah padam.

"Hei, Yusuf! Kalau istri sakit itu ya diobati.

Bukan malah di cerai. Dasar laki-laki nggak bertanggung jawab!" hardik ibu padaku.

"Sudahlah Pak, Bu. Aku tidak apa-apa. Biarkan Mas Yusuf pergi." Lidia berusaha menenangkan kedua orang tuanya.

"Baiklah, Pak, Bu. Saya pamit." Aku menyalami kedua mantan mertuaku itu untuk yang terakhir kalinya. Sementara Lidia hanya menatap sinis padaku. Sepertinya mantan istriku itu sangat marah dan tak terima. Apakah dia dendam padaku?

Biarlah, aku tak peduli. Lagipula aku tak akan pernah menemuinya lagi setelah ini. Untuk surat perceraian kita nanti, biarlah pengacaraku yang mengurusnya.

Setelah pamit, aku melajukan mobilku ke suatu tempat. Ah, lega rasanya. Aku tidak akan menyakiti Lidia lagi. Berbulan-bulan perasaan bersalah itu selalu muncul. Dan kini saatnya aku bisa menjalani hidupku tanpa beban.

Aku tiba di depan sebuah rumah minimalis yang aku beli tiga bulan yg lalu tanpa sepengetahuan Lidia. Tak lupa kubawa seikat bunga yang sempat kubeli di perjalanan tadi. Lalu keluarlah seorang wanita cantik yang begitu mempesona.

Rena, wanita muda dan energik yang aku nikahi secara siri sejak tiga bulan yang lalu. Tubuhnya yang berisi dan seksi serta wajahnya yang selalu bersinar. Membuatku selalu ingin pulang ke rumah ini.

"Mas, Aku kangen." Rena memelukku manja. Ia terpekik ketika kuberi seikat bunga mawar putih kesukaannya.

"Aku ada kabar baik untukmu, Sayang."

"Kabar baik apa, Mas?"

"Aku telah menceraikan Lidia dan mengembalikannya pada orang tuanya."

"Benar itu, Mas?" Wajah Rena berbinar.

Aku tak sabar ingin memiliki wanita ini seutuhnya. Ingin kujadikan wanita ini sebagai istri sahku sekarang. Tidak hanya sah di mata agama, namun juga disahkan oleh negara.

Kamipun merayakan kebahagiaan ini dengan menghabiskan malam yang indah berdua. Wanita yang selalu membuatku candu untuk selalu bersamanya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ayyliana
cerita Kak Rina selalu candu..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status