"Assalamualaikum, Pak."
"Waalaikumsalam, Widia." Akhirnya wanita yang aku tunggu-tunggu datang juga. Wanita berhijab lebar itu nampak sangat anggun dengan hijab dan gamis berwarna nude. Aroma parfumnya yang lembut langsung tercium saat wanita itu masuk ke rumahku. Setelah mengangguk sopan padaku, Widya langsung melangkah menuju dapur.Sejak beberapa hari Widia kerja di sini, semua keperluanku selalu beres teratasi. Tak ada lagi baju kusut saat hendak ke kantor. Aku pun hampir tak pernah sarapan di luar lagi.Justru saat ini Rena yang semakin bermalas-malasan. Setiap hari istriku itu selalu saja bangun siang. Kemudian pergi berbelanja barang-barang yang sama sekali tidak penting. Dia hanya pandai menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak berguna."Widia, saya sarapan agak siang. Pagi ini nggak ke kantor. Saya langsung ke lapangan," ujarku seraya mengikutinya ke dapur."Baik, Pak. Mau saya buatkan kopi?""Boleh. Tolong antar ke ruang kerja!" sahutku yang kemudian berjalan menuju ruang kerja.Widia mengangguk. Kemudian langsung membuatkan kopi yang aku minta. Entah kenapa kopi buatannya selalu enak dan pas rasanya.Pintu ruang kerja yang berada di dekat ruang tengah sengaja aku buka. Rasanya senang melihat wanita berkacamata itu mondar-mandir di rumahku. Andaikan Ia selalu ada setiap aku butuhkan."Ini kopinya, Pak.""Makasih, Widia," sahutku dengan memberikan sebuah senyuman manis padanya.Wanita itu tampak tersipu malu. Pasti hatinya berbunga-bunga melihat senyum dari pria tampan ini.Tidak ada salahnya jika aku memiliki istri lebih dari satu. Bahkan tiga sekalipun. Aku jadi senyum-senyum sendiri membayangkan jika Widia yang selalu memenuhi kebutuhanku dan melayaniku dengan baik. Juga Darasifa, model cantik terkenal dan sedang viral itu. Siapapun pasti ingin memilikinya.Rasanya hidupku sempurna memiliki dua istri seperti Widia dan Darasifa. Lagi-lagi aku senyum-senyum sendiri mengingat hal itu. Betapa indahnya hari-hariku jika didampingi dua wanita itu.Lalu Rena? Wanita tidak berguna itu lebih baik aku campakkan saja ke jalanan. Wanita yang selalu menyusahkan dan keras kepala. Penampilannya semakin hari, semakin tidak sedap di pandang mata. Lihat saja, tubuhnya semakin lebar. Lemak di mana-mana. Semakin lama aku semakin muak pada istriku itu.Pukul sembilan pagi. Aku harus bersiap-siap untuk berangkat kerja. Sarapan yang menggugah selera membuatku selalu menantikan setiap masakan Widia.Sarapan kali ini, nasi goreng padang, dengan lauk dendeng balado khas padang. Aku memang sangat menyukai masakan padang. Aroma rempahnya sungguh menantang. Rasanya yang selalu membuat lidahku candu. Apalagi saat ini yang memasak adalah Widia. Apapun yang dia masak selalu terasa pas di lidahku.Sepiring nasi goreng tandas tak bersisa. Membuatku lebih bersemangat untuk bekerja hari ini. Aku bersiap-siap berangkat ke kantor. Tak lupa bekal yang disiapkan Widia kumasukkan ke dalam tas. Walaupun siang berada di lapangan, rasanya masakan Widia tetap menjadi pilihan pertamaku dari pada menu di restoran. Aku bisa makan di mobil nanti.Sebelum berangkat, kutengok Rena yang masih mendengkur di tempat tidur. Biarlah mulai besok kartu debit aku ambil. Biar tau rasa istriku itu.Widia tergesa-gesa keluar dari rumahku."Maaf Pak, Saya pamit duluan. Hari ini ada quis di kampus." Widia nampak terburu-buru meninggalkanku yang sudah berada di dalam mobil."Widia!! Widia ...!" panggilku"Ya, Pak." Langkah cepatnya terhenti, kemudian menoleh padaku."Ayo, kamu ikut aku aja. Kebetulan kita satu arah."Widia terlihat ragu dan nampak berpikir."Percayalah, kamu tidak akan terlambat jika ikut denganku," ucapku mencoba untuk meyakinkan gadis itu.Akhirnya ia mengangguk.Yes!Kali ini aku berhasil untuk semobil berdua saja dengannya.Widia masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahku. Perlahan aku mulai melajukan mobil menuju kampus yang disebutkan gadis itu."Kamu sudah semester berapa?" Aku mencoba memulai percakapan saat di perjalanan. Agar suasana lebih santai dan tidak kaku."Semester enam, Pak," jawabnya malu-malu.Jantung wanita ini pastilah berdebar hebat karena satu mobil dengan pria tampan dan tajir. Dia pasti akan bangga jika kuantar sampai ke kampusnya."Ambil jurusan apa?""Management bisnis.""Wah, hebat kamu. Kenapa kamu mau bekerja sebagai asisten rumah tangga?""Saya butuh uang untuk biaya kuliah, Pak."Tiba-tiba Widia membuka kacamatanya karena merasa ada sesuatu yang menganggu wajahnya.Seketika aku terkesiap melihat wajah itu. Kenapa sangat mirip? Jantungku berdegup kencang begitu melihat wajah Widia dari dekat."Tolong jangan pakai dulu." Aku mencegah Widia untuk memakai kembali kacamatanya.Kali ini Widia yang terkejut dengan sikapku."Kenapa kamu sembunyikan?""M-maksud bapak?" tanyanya gugup.Aku memutuskan untuk menepikan mobil. Lalu kembali menatap wajah indah itu."Kenapa kau sembunyikan kecantikanmu dengan kacamata ini?" tanyaku penasaran."Karena saya hanya akan memberikannya untuk suami saya kelak," jawabnya seraya menunduk malu."Bagaimana jika aku ingin melihat wajahmu ini setiap hari?" tanyaku penuh harap. Aku menunggu jawabannya dengan debaran yang tak biasa."Bisa, Pak. Tapi nikahi saya dulu," jawabnya tegas dengan wajah masih tertunduk."A-apaa? Menikah?"Aku terlonjak mendengar ucapannya. Benarkah Widia minta aku nikahi?Wanita di sebelahku ini kembali memakai kacamata tebalnya itu. Wajahnya memang agak tertutup karena ukuran kacamata yang cukup besar. Siapa yang mengira di balik kacamata itu ada wajah yang begitu indah dan cantik.Aku sungguh tidak mengerti. Kenapa mereka begitu mirip dengannya?"Pak, maaf. Saya sudah terlambat.""Astaga! Maaf saya hampir lupa. Tenang Widia, sebentar lagi kita sampai di kampusmu." Aku segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Hingga hanya beberapa menit saja kami tiba di salah satu kampus negeri favorite di kota ini."Hebat kamu Widya, bisa kuliah di sini. Kamu pasti sangat pintar," pujiku, sudah pasti wajahnya semerah tomat saat ini. Sayangnya aku tidak bisa melihat jelas. Karena tertutup kacamata."Makasih atas tumpangannya, Pak. Saya masuk dulu."Ah, Widiaaa ... suaramu membekukan hatiku."Iya. Saya senang kok nganter kamu," sahutku menggodanya.Tanpa berkata-kata lagi, gadis tinggi semampai itu turun dari mobil dan melangkah memasuki gerbang kampus.Dengan pakaian muslimahnya. Semakin tampak anggun dan menawan. Aku memandanginya hingga tubuhnya hilang di balik gerbang kampus.Hmm ... Widia. Kenapa aku begitu nyaman di dekatnya. Seperti seseorang yang tidak asing bagiku. Aroma parfumnya yang masih tertinggal di dalam mobil, membuatku enggan meninggalkan tempat ini.Drrrt .... drrrt ...Tiba-tiba ponselku bergetar."Bos udah sampai mana? Ditunggu klien nih!" Suara Rudi dari sebrang sana.Astaga!! Hampir lupa. Segera kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi.Rudi terus menghubungiku. Sepertinya klienku kali ini tidak sabaran. Gawat kalau sampai mereka tidak jadi melakukan kontrak kerjasama dengan perusahaan. Bisa-bisa aku dimaki-maki oleh si Botak. "Bos buruan, ini orangnya udah marah-marah. Lagian kemana dulu, sih?" Untuk ke sekian kalinya Rudi menghubungiku. "Macet, Rud. Ini sebentar lagi nyampe," sahutku. Aku menutup ponselku dan menambah kecepatan mobil. Kuabaikan ponselku yang terus berbunyi. Bagaimana aku bisa lekas sampai, kalau sebentar-sebentar ditelpon. Saat baru tiba di lokasi, kuangkat ponselku yang masih saja berbunyi. Tanpa melihat siapa yang menghubungiku, segera kujawab."Maaaas, kok kartu debitnya nggak bisa dipakai siih? Aku malu nih sudah sampai kasir!" Astaga! Ternyata Rena. Rasakan! Kartunya memang sudah aku blokir tadi pagi. "Aku lagi sibuk, Rena. Kembalikan saja barang-barang itu!" sahutku dengan penekanan. "Nggak mau! Pokoknya Mas Yusuf harus menyusulku ke sini sekarang juga!" Tiba-tiba panggilan ditutup
POV Rena Saat aku terbangun, Mas Yusuf tidak ada di sampingku. Mungkin suamiku itu tidur di luar. Masih marahkah dia? Biarlah, nanti juga dia menyesal telah memarahiku semalam. Mas Yusuf sangat mencintaiku. Jadi mana mungkin dia marah beneran sama aku. Liat aja, sebentar lagi pasti dia akan minta maaf padaku. Aku beranjak dari ranjang, lalu memandang ke cermin. Pipiku masih merah. Teganya kau, Mas. Aku tak menyangka Mas Yusuf telah menamparku. Selama ini laki-laki itu selalu menuruti apapun yang aku inginkan. Termasuk menceraikan istrinya yang sakit-sakitan dan buruk rupa itu. Dulu dengan mudahnya laki-laki itu memberikan segalanya untukku. Aku diperlakukan bagai putri raja olehnya. Dia nyaris jarang pulang ke rumah, karena muak dengan istrinya yang penyakitan itu. Hingga tanpa sepengetahuan Lidia, aku di belikan sebuah rumah minimalis oleh Mas Yusuf. Walaupun tidak sebesar rumah yang di tempati Lidia, namun laki-laki itu hampir tiap hari menginap di tempatku. Setelah mereka ber
Bab 10. Nyaris Bangkrut Suasana hatiku jadi kacau pagi ini gara-gara Rena. Tidak biasanya ia bangun pagi-pagi seperti tadi. Apalagi semalam dia habis aku marahi. Biasanya dia tidak akan keluar kamar dan tidur seharian. Padahal pagi ini aku ingin kembali mengantar Widia ke kampusnya. Ingin memastikan apakah kata-katanya kemarin serius? Wanita itu makin hari makin terlihat cantik. Sayangnya dia tidak mau membuka kacamatanya. Widia, Aku yakin di balik hijabmu itu tersembunyi kecantikan yang luar biasa. Seandainya saja kamu sudah halal untukku. Betapa bahagianya hidup ini. Ada istri yang cantik sholehah dan bisa mengurusku dengan baik. "Pak Yusuf, dipanggil Bos Sami!" ujar Pak Sarkim salah satu karyawan di sini, membuyarkan lamunanku. "Iya Pak. Saya segera ke sana." Mati aku. Pasti si Bos botak itu mau menanyakan perkembangan kerjasama dengan artis model Darasifa. Apa yang harus aku katakan nanti. Sebaiknya aku tanyakan dulu pada Rudi. Sepertinya Rudi belum datang. Sebaiknya aku hu
Pagi yang cerah, namun udara masih dingin. Ingin rasanya keluar untuk mencari keberadaan Widia. Aku memang memberikan satu kunci duplikat pada asisten rumah tanggaku itu. Agar tidak perlu membangunkanku jika dia datang lebih pagi. Rena masih saja meringkuk di atas ranjang. Perlahan aku beranjak turun dan melangkah keluar. Perlahan membuka pintu kamar agar jangan sampai membangunkan istriku itu. Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Harum masakan dari dapur sudah tercium aromanya. Perlahan melangkah menuju dapur. Tampak seorang wanita dengan sangat cekatan sedang memasak membelakangiku. Seandainya dia istriku, tentumya sejak tadi sudah aku peluk wanita itu dari belakang. Persis saat Lidia masih ada di sini, dulu. Ketika dia masih menjadi istriku. Kenapa aku begitu rindu saat-saat seperti dulu. Bagaimana kabarnya mantan istriku itu. Masih sakitkah dia? Dulu Lidia sangat cantik. Wanita itu sangat lembut dan selalu mengurusku dengan baik. " Ada apa, Pak?" Aku terlonjak saat Wid
"Ciee .... diliatin terus. Ingat sama istri, Bos!" Rudi datang mengejutkanku. "Bagaimana, Apa sudah berhasil menemui manager Darasifa?" "Sudah, Bos. Tapi aku belum berhasil bicara mengenai kontrak kerjasamanya Bos," sahut Rudi. "Sepertinya aku harus bisa mendekati Darasifa. Hanya itu satu-satunya cara untuk mendapatkan kontrak kerjasama dengannya," "Kamu serius , Suf? " tanya Rudi tak yakin.⁰ "Kamu meragukanku? Liat saja nanti, Darasifa akan kudapatkan. Tidak saja kontrak itu, tapi aku juga akan mendapatkan hatinya." sahutku penuh keyakinan. Rudi memandangku dengan heran sembari geleng-geleng kepala. Mungkin dia tidak yakin dengan ucapanku. Cukup lama aku menunggu Darasifa selesai pemotretan. Aku akan terus berjuang untuk mendekatinya. Karena kalau sampai gagal, banyak sekali resiko yang akan aku terima. Selain dipecat, aku juga tidak akan bisa membayar semua hutang-hutangku. Aku kembali mendekati Darasifa setelah selesai pemotretan. Sengaja aku duduk tidak jauh dari tempat D
"Apaa kamu bilang? Ganti model? Jangan seenaknya aja kamu bicara!! Kalau memang tidak sanggup, bilang!" Pak Sami terus memarahiku. "Oh tidak, Bos. Saya bukannya tidak sanggup. Tapi team mereka sungguh keterlaluan. Nominal yang mereka minta sampai lima milyar," jelasku. "Itu bukan urusanku. Itu tugasmu untuk melobi dengan mereka," tegas Bos botak itu. Kemudian pergi berlalu dari hadapanku. Habislah aku kalau begini. Ya Tuhan. Sepertinya aku harus lebih nekad lagi mendekati Darasifa. Apa yang harus aku lakukan? "Rud, gimana nih? Aku kehabisan akal nih." Menghempaskan tubuh pada sofa yang berada di ruanganku saat makan siang. "Entahlah, Bos. Aku juga sudah nyerah dengan managernya," sahut Rudi dengan suara lemah. Gawat, sepertinya dia pun putus asa. Kali ini aku terpaksa pesan makan sian⁸g secara online, karena Widia tidak datang hari ini. Bodohnya aku yang tidak mengetahui nomor ponsel wanita cantik itu. Pagi tadi aku kelabakan karena tidak ada sarapan dan pakaian yang biasanya su
POV Lidia Aku beranjak dari kamar saat mendengar keributan di luar. Terdengar suara Ibu dan bapak marah-marah dengan seseorang. Entah pada siapa. "Ada apa, Bu? Kenapa ibu marah-marah?" tanyaku seraya menghampiri Bapak dan ibu yang sedang duduk di ruang tamu. "Lidia, kamu pasti terkejut jika tau siapa tadi yang datang," ujar ibu masih dengan wajah kesal. "Memangnya siapa, Bu?" tanyaku penasaran. "Si Yusuf mantan suamimu," sahut Bapak. Aku tersentak, untuk apa Mas Yusuf datang kemari? Mau apa dia? "Lidia, mungkin dia lihat foto-foto Darasifa mirip kamu di media sosial, makanya dia datang minta-minta maaf. Dia pasti mengira Darasifa itu kamu," ujar ibu menerka-nerka. Aku terdiam. Ibu benar. Beberapa kali Mas Yusuf memang terus berusaha mendekati Darasifa. Bahkan hampir mempermalukannya di depan umum. Laki-laki yang pernah menyakiti hatiku itu saat ini sedang membutuhkan model Darasifa untuk perusahaannya. Yusuf kurniawan. Laki-laki yang pernah membuatku bahagia sesaat. Namun ju
POV Yusuf Entah apalagi cara yang harus aku tempuh untuk mendapatkan kontrak dengan Darasifa. Aku sangat yakin kalau Darasifa itu adalah Lidia. Walaupun sekarang dia terlihat jauh lebih cantik, tapi aku sangat mengenalnya luar dan dalam. Bersamanya selama setahun itu cukup membuatku mengenalnya lebih jauh. Menurut informasi dari Rudi, malam ini Darasifa mengadakan jumpa fans di sebuah cafe di tengah kota. Aku harus ke sana. Kali ini aku harus nekad. Kamu tidak akan menghindar lagi dariku, Lidia. Lihat saja nanti. Cukup lama aku menunggu model iklan itu untuk tampil. Untung saja ada beberapa artis penyanyi yang tampil menghibur. Hitung-hitung refresing setelah sekian lama otak dan pikiranku terkuras oleh banyaknya beban pikiran. Terutama karena Rena. Istriku itu kini banyak membuat ulah. Kerjanya hanya menyusahkanku. Sebenarnya aku sangat ingin menceraikannya sekarang juga. Namun dulu aku telah bodoh memberikan rumah itu padanya. Dan merubah nama Lidia menjadi nama Rena di sertifik