Share

Bab 7. Wajah Widia Mengejutkan

"Assalamualaikum, Pak."

"Waalaikumsalam, Widia." Akhirnya wanita yang aku tunggu-tunggu datang juga. Wanita berhijab lebar itu nampak sangat anggun dengan hijab dan gamis berwarna nude. Aroma parfumnya yang lembut langsung tercium saat wanita itu masuk ke rumahku. Setelah mengangguk sopan padaku, Widya langsung melangkah menuju dapur.

Sejak beberapa hari Widia kerja di sini, semua keperluanku selalu beres teratasi. Tak ada lagi baju kusut saat hendak ke kantor. Aku pun hampir tak pernah sarapan di luar lagi.

Justru saat ini Rena yang semakin bermalas-malasan. Setiap hari istriku itu selalu saja bangun siang. Kemudian pergi berbelanja barang-barang yang sama sekali tidak penting. Dia hanya pandai menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak berguna.

"Widia, saya sarapan agak siang. Pagi ini nggak ke kantor. Saya langsung ke lapangan," ujarku seraya mengikutinya ke dapur.

"Baik, Pak. Mau saya buatkan kopi?"

"Boleh. Tolong antar ke ruang kerja!" sahutku yang kemudian berjalan menuju ruang kerja.

Widia mengangguk. Kemudian langsung membuatkan kopi yang aku minta. Entah kenapa kopi buatannya selalu enak dan pas rasanya.

Pintu ruang kerja yang berada di dekat  ruang tengah sengaja aku buka. Rasanya senang melihat wanita berkacamata itu mondar-mandir di rumahku. Andaikan Ia selalu ada setiap aku butuhkan.

"Ini kopinya, Pak."

"Makasih, Widia," sahutku dengan memberikan sebuah senyuman manis padanya.

Wanita itu tampak tersipu malu. Pasti hatinya berbunga-bunga melihat senyum dari pria tampan ini.

Tidak ada salahnya jika aku memiliki istri lebih dari satu. Bahkan tiga sekalipun. Aku jadi senyum-senyum sendiri membayangkan jika Widia yang selalu memenuhi kebutuhanku dan melayaniku dengan baik. Juga Darasifa, model cantik terkenal dan sedang viral itu. Siapapun pasti ingin memilikinya.

Rasanya hidupku sempurna memiliki dua istri seperti Widia dan Darasifa. Lagi-lagi aku senyum-senyum sendiri mengingat hal itu. Betapa indahnya hari-hariku jika didampingi dua wanita itu.

Lalu Rena? Wanita tidak berguna itu lebih baik aku campakkan saja ke jalanan. Wanita yang selalu menyusahkan dan keras kepala. Penampilannya semakin hari, semakin tidak sedap di pandang mata. Lihat saja, tubuhnya semakin lebar. Lemak di mana-mana. Semakin lama aku semakin muak pada istriku itu.

Pukul sembilan pagi. Aku harus bersiap-siap untuk berangkat kerja. Sarapan yang menggugah selera membuatku selalu menantikan setiap masakan Widia.

Sarapan kali ini, nasi goreng padang, dengan lauk dendeng balado khas padang. Aku memang sangat menyukai masakan padang. Aroma rempahnya sungguh menantang. Rasanya yang selalu membuat lidahku candu. Apalagi saat ini yang memasak adalah Widia. Apapun yang dia masak selalu terasa pas di lidahku.

Sepiring nasi goreng tandas tak bersisa. Membuatku lebih bersemangat untuk bekerja hari ini. Aku bersiap-siap berangkat ke kantor. Tak lupa bekal yang disiapkan Widia kumasukkan ke dalam tas. Walaupun siang berada di lapangan, rasanya masakan Widia tetap menjadi pilihan pertamaku dari pada menu di restoran. Aku bisa makan di mobil nanti.

Sebelum berangkat, kutengok Rena yang masih mendengkur di tempat tidur. Biarlah mulai besok kartu debit aku ambil. Biar tau rasa istriku itu.

Widia tergesa-gesa keluar dari rumahku.

"Maaf Pak, Saya pamit duluan. Hari ini ada quis di kampus." Widia nampak terburu-buru meninggalkanku yang sudah berada di dalam mobil.

"Widia!! Widia ...!" panggilku

"Ya, Pak." Langkah cepatnya terhenti, kemudian menoleh padaku.

"Ayo, kamu ikut aku aja. Kebetulan kita satu arah."

Widia terlihat ragu dan nampak berpikir.

"Percayalah, kamu tidak akan terlambat jika ikut denganku," ucapku mencoba untuk meyakinkan gadis itu.

Akhirnya ia  mengangguk.

Yes!

Kali ini aku berhasil untuk semobil berdua saja dengannya.

Widia masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahku. Perlahan aku mulai melajukan mobil menuju kampus yang disebutkan gadis itu.

"Kamu sudah semester berapa?" Aku mencoba memulai percakapan saat di perjalanan. Agar suasana lebih santai dan tidak kaku.

"Semester enam, Pak," jawabnya malu-malu.

Jantung wanita ini pastilah berdebar hebat karena satu mobil dengan pria tampan dan tajir. Dia pasti akan bangga jika kuantar sampai ke kampusnya.

"Ambil jurusan apa?"

"Management bisnis."

"Wah, hebat kamu. Kenapa kamu mau bekerja sebagai asisten rumah tangga?"

"Saya butuh uang untuk  biaya kuliah, Pak."

Tiba-tiba Widia membuka kacamatanya karena merasa ada sesuatu yang menganggu wajahnya.

Seketika aku terkesiap melihat wajah itu. Kenapa sangat mirip? Jantungku berdegup kencang begitu melihat wajah Widia dari dekat.

"Tolong jangan pakai dulu." Aku mencegah Widia untuk memakai kembali kacamatanya.

Kali ini Widia yang terkejut dengan sikapku.

"Kenapa kamu sembunyikan?"

"M-maksud bapak?" tanyanya gugup.

Aku memutuskan untuk menepikan mobil. Lalu kembali menatap wajah indah itu.

"Kenapa kau sembunyikan kecantikanmu dengan kacamata ini?" tanyaku penasaran.

"Karena saya hanya akan memberikannya untuk suami saya kelak," jawabnya seraya menunduk malu.

"Bagaimana jika aku ingin melihat wajahmu ini setiap hari?" tanyaku penuh harap. Aku menunggu jawabannya dengan debaran yang tak biasa.

"Bisa, Pak. Tapi nikahi saya dulu," jawabnya tegas dengan wajah masih tertunduk.

"A-apaa? Menikah?"

Aku terlonjak mendengar ucapannya. Benarkah Widia minta aku nikahi?

Wanita di sebelahku ini kembali memakai kacamata tebalnya itu. Wajahnya memang agak tertutup karena ukuran kacamata yang cukup besar. Siapa yang mengira di balik kacamata itu ada wajah yang begitu indah dan cantik.

Aku sungguh tidak mengerti. Kenapa mereka begitu mirip dengannya?

"Pak, maaf. Saya sudah terlambat."

"Astaga! Maaf saya hampir lupa. Tenang Widia, sebentar lagi kita sampai di kampusmu." Aku segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Hingga hanya beberapa menit saja kami tiba di salah satu kampus negeri favorite di kota ini.

"Hebat kamu Widya, bisa kuliah di sini. Kamu pasti sangat pintar," pujiku, sudah pasti wajahnya semerah tomat saat ini. Sayangnya aku tidak bisa melihat jelas. Karena tertutup kacamata.

"Makasih atas tumpangannya, Pak. Saya masuk dulu."

Ah, Widiaaa ... suaramu membekukan hatiku.

"Iya. Saya senang kok nganter kamu," sahutku menggodanya.

Tanpa berkata-kata lagi, gadis tinggi semampai itu turun dari mobil dan melangkah memasuki gerbang kampus.

Dengan pakaian muslimahnya. Semakin tampak anggun dan menawan. Aku memandanginya hingga tubuhnya hilang di balik gerbang kampus.

Hmm ... Widia. Kenapa aku begitu nyaman di dekatnya. Seperti seseorang yang tidak asing bagiku. Aroma parfumnya yang masih tertinggal di dalam mobil, membuatku enggan meninggalkan tempat ini.

Drrrt .... drrrt ...

Tiba-tiba ponselku bergetar.

"Bos udah sampai mana? Ditunggu klien nih!" Suara Rudi dari sebrang sana.

Astaga!! Hampir lupa. Segera kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Miyuk Kaslan
semangat ya aoutor,ku luangkan waktu buatmu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status