Share

Bab 6. Kecewa

Suara itu ... Suara itu kenapa tidak asing di telingaku? Sontak aku membalikkan badan.

Menatap punggung dua wanita berhijab yang menabrakku tadi. Entah kenapa aku jadi sangat penasaran. Perlahan kuikuti mereka dari jarak yang agak jauh.

Mereka menuju arah lokasi pemotretan. Sesampai di lokasi, seorang laki-laki menghampiri mereka.

"Darasifa, setelah ini giliranmu!!"

Apa? Darasifa?

Ternyata salah satu dari wanita itu adalah model cantik yang aku tunggu-tunggu sejak tadi. Bodohnya aku! Kenapa tidak langsung kuhampiri saja mereka tadi.

Aku berhenti di dekat sebuah kursi taman yang berada sekitar sepuluh meter dari tempat Darasifa berpose. Dari tempat ini, aku sangat leluasa memandang wajah model cantik itu.

"Bos, sudah jadi ketemu artis itu?" tanya Rudi seraya menunjuk Darasifa. Entah sejak kapan asistenku itu duduk di sampingku. Karena terlalu konsentrasi memperhatikan artis cantik itu, sampai aku tak sadar akan kedatangan Rudi.

"Belum!" sahutku.

"Bagaimana dengan managernya? Apa kamu berhasil membuat jadwal pertemuan dengannya nanti?" lanjutku.

"Berhasil doong," sahut Rudi bangga.

"Kapan dan di mana?" Tanyaku lagi tanpa sedikitpun pandanganku beralih dari model wanita yang lagi viral itu.

"Sabtu depan Darasifa ada pemotretan di hotel Grandcitra. Kita bisa menemuinya setelah pemotretan selesai."

Aku terus memandangi model muslimah itu dari jauh. Tak kuhiraukan ocehan-ocehan Rudi berikutnya. Hingga petangpun menyapa.

"Bos, pulang, yuk! Laper nih." ajak Rudi yang sudah mulai jenuh. Sesekali asistenku itu memegang perutnya.

"Makan sana! Aku masih mau di sini." Sungguh aku tak ingin melewatkan moment yang menyenangkan ini. Memandang wajah teduh dan damai milik Darasifa walau dari kejauhan.

"Ya ampuuun. Kita sudah tiga jam duduk di  sini. Sudah waktunya pulang kali." Rudi mulai terlihat kesal.

"Sebentar lagi. Itu lihat! Sepertinya sudah mau selesai." Aku berusaha membujuk Rudi. Para kru terlihat mulai mengarahkan model berikutnya yang akan berpose setelah Darasifa.

"Aku akan berkenalan dengan wanita itu," ujarku penuh percaya diri.

"Jangan ketinggian mimpinya, Bos. Paling-paling kita cuma bisa dekat dengan managernya nanti." Rudi tertawa mengejekku.

"Jangan meremehkanku, Rud! Mantan-mantanku dulu artis-artis terkenal," ucapku asal.

"Serius? Kok dapatnya malah .... ups!" Rudi tidak meneruskan kalimatnya dan langsung menutup mulutnya ketika mataku melotot.

Aku berdiri, bersiap untuk mendekati Darasifa. Tapi kenapa lututku bergetar? Apa karena kelamaan duduk? Atau karena  grogi?

Dengan memantapkan hati, aku melangkah menuju tempat Darasifa berdiri. Saat hampir sampai, Wanita itu sedang berbicara dengan seseorang.

Tiba-tiba keraguan itu hadir. Bagaimana jika dia marah? Atau tidak suka didekati? Bagaimana jika aku diabaikan? Bagaimana kalau ... tidak! Aku harus yakin. Orang-orang bilang Darasifa adalah wanita yang ramah dan lembut.  Oh, Tuhan. Andaikan dia bisa aku miliki.

"Kenapa Anda memandang saya seperti itu?"

"Apaa?" Astaga bodoh sekali aku. Tanpa sadar aku sudah berada persis di depan model cantik itu. Sungguh memalukan. Pasti wanita itu mentertawakanku dalam hati.

Darasifa menatapku heran dan  nampak  sedikit kesal.

"Ma-maaf. Kenalkan saya Yusuf." Dengan sangat percaya diri aku mengulurkan tangan pada wanita itu. Namun sialnya, dia memalingkan wajahnya tanpa menyambut uluran tanganku untuk bersalaman. Kemudian berlalu begitu saja dari hadapanku.

Dadaku tiba-tiba sesak menahan rasa kecewa.

"Saya dari perusahaan kosmetik Esco beauty. Bisa bicara sebentar ?" Aku terus berusaha mengikuti langkah kakinya yang terus berjalan tanpa menghiraukanku.

"Darasifa ... bisa bertemu sebentar? Please ..!"

Dia tetap tak menghiraukanku

Sial! Langkah kakinya justru semakin cepat.

"Maaf! Saya capek. Anda silahkan menghubungi manager saya!" tegasnya. Kemudian dengan langkah cepat, artis cantik itu berlalu meninggalkanku.

Astaga! Aku ternganga melihat kepergiannya. Sia-sia sudah usahaku hari ini. Dengan langkah gontai aku kembali ke kursi taman. Terduduk dengan perasaan tak menentu. Sungguh hati ini sangat kecewa. Sikap Darasifa tidak seperti yang aku harapkan. Kenapa dia tidak ramah padaku? Apa jangan-jangan dia itu memang benar ... akh! Tidak mungkin.

"Sudahlah, Suf. Kita masih punya kesempatan. Sabtu depan kamu pasti bisa mendekatinya. Ayo pulang!" Rudi berusaha menghiburku.

Ya benar. Sabtu depan adalah waktu yang tidak lama lagi. Aku harus mempersiapkan segala sesuatu untuk bisa mendekatinya. Lihat Darasifa!  Aku tidak hanya mendekatimu untuk perusahaan. Tapi aku harus mendapatkan hatimu.

Rudi geleng-geleng kepala melihatku senyum-senyum sendiri. Kemudian Ia menarik tanganku.

"Ayo pulang! "

Aku dan Rudi pulang dengan mobil masing-masing. Hari mulai gelap. Tubuh terasa begitu lelah. Mungkin karena aku belum terbiasa bekerja di lapangan.

Setelah melewati satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di rumah.

Tok tok tok

"Assalamualaikum."

Seperti biasa Rena tidak pernah menyambutku. Dia terlihat asik menonton televisi saat aku pulang.

Aku melewatinya dan langsung menuju kamar. Muak aku melihat tingkah lakunya yang tak pernah mau berubah.

"Maaaas!" Seperti biasa dia akan berteriak manja jika ada maunya.

"Mas! Kalungnya sudah dapat belum?" .

Benar dugaanku. Pasti ada maunya

"Aku capek! Ambilkan minum!" perintahku.

"Itu di meja, Mas. Tinggal tuang aja. Sudah di siapin," sahutnya tanpa sedikitpun beranjak dari sofa.

Dasar wanita malas! Dengan perasaan kesal kutinggalkan istriku itu dan segera membersihkan diri. 

Setelah merasa  segar, aku kembali ke meja makan, berharap masakan Widia tadi pagi masih ada. Namun ternyata sudah tak bersisa sedikitpun. Pantas saja hari ini Rena tidak ribut minta dibelikan makanan.

Untunglah aku dan Rudi makan dulu di restoran terdekat, sebelum perjalanan pulang dari lokasi pemotretan. Asistenku itu terus berteriak karena lapar.

Ah, kenapa aku tidak sabar menunggu besok pagi? Sepertinya aku terlalu merindukan perhatian dari seorang istri. Dan ... Aku merasa mendapatkannya dari Widia.  Astaga! Apa yang aku pikirkan?

Emosiku tersulut saat melihat begitu banyak barang-barang belanjaan di dalam lemari. Segera aku cek mutasi mobile banking rekening yang di pakai Rena.

Mataku membelalak ketika melihat pengeluaran hari ini. Begitu mudahnya Rena menghambur-hamburkan uang. Aku buka satu persatu bungkusan-bungkusan itu. Sebagian besar isinya perhiasan dan pakaian. Ya Ampun Renaaaa!

"Apa-apaan ini, Mas? Kenapa belanjaanku kamu acak-acak, haa??" teriaknya.

"Kamu yang apa-apaan, Rena. Istri pemalas! Bisanya hanya menghambur-hamburkan uang!" sengitku.

Rena tersentak mendengar ucapanku. Mungkin ia tak menyangka aku akan  semarah ini. Wajahnya mulai memerah menahan tangis. Tubuhnya gemetar.

"Kamu berubah, Mas ..." lirihnya. Kemudian berlalu ke kamar dan menangis  menelungkup di atas tempat tidur.

Dasar cengeng. Bisanya cuma nangis dan buang-buang uang saja! Bisa bangkrut aku gara-gara istri boros seperti Rena.

Lihat saja, Rena. Kamu tak akan berhenti menangis setelah Aku mendapatkan Darasifa. Kamu akan ternganga dan tak percaya saat Darasifa menjadi kekasihku nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status