Suara itu ... Suara itu kenapa tidak asing di telingaku? Sontak aku membalikkan badan.
Menatap punggung dua wanita berhijab yang menabrakku tadi. Entah kenapa aku jadi sangat penasaran. Perlahan kuikuti mereka dari jarak yang agak jauh.Mereka menuju arah lokasi pemotretan. Sesampai di lokasi, seorang laki-laki menghampiri mereka."Darasifa, setelah ini giliranmu!!"Apa? Darasifa?Ternyata salah satu dari wanita itu adalah model cantik yang aku tunggu-tunggu sejak tadi. Bodohnya aku! Kenapa tidak langsung kuhampiri saja mereka tadi.Aku berhenti di dekat sebuah kursi taman yang berada sekitar sepuluh meter dari tempat Darasifa berpose. Dari tempat ini, aku sangat leluasa memandang wajah model cantik itu."Bos, sudah jadi ketemu artis itu?" tanya Rudi seraya menunjuk Darasifa. Entah sejak kapan asistenku itu duduk di sampingku. Karena terlalu konsentrasi memperhatikan artis cantik itu, sampai aku tak sadar akan kedatangan Rudi."Belum!" sahutku."Bagaimana dengan managernya? Apa kamu berhasil membuat jadwal pertemuan dengannya nanti?" lanjutku."Berhasil doong," sahut Rudi bangga."Kapan dan di mana?" Tanyaku lagi tanpa sedikitpun pandanganku beralih dari model wanita yang lagi viral itu."Sabtu depan Darasifa ada pemotretan di hotel Grandcitra. Kita bisa menemuinya setelah pemotretan selesai."Aku terus memandangi model muslimah itu dari jauh. Tak kuhiraukan ocehan-ocehan Rudi berikutnya. Hingga petangpun menyapa."Bos, pulang, yuk! Laper nih." ajak Rudi yang sudah mulai jenuh. Sesekali asistenku itu memegang perutnya."Makan sana! Aku masih mau di sini." Sungguh aku tak ingin melewatkan moment yang menyenangkan ini. Memandang wajah teduh dan damai milik Darasifa walau dari kejauhan."Ya ampuuun. Kita sudah tiga jam duduk di sini. Sudah waktunya pulang kali." Rudi mulai terlihat kesal."Sebentar lagi. Itu lihat! Sepertinya sudah mau selesai." Aku berusaha membujuk Rudi. Para kru terlihat mulai mengarahkan model berikutnya yang akan berpose setelah Darasifa."Aku akan berkenalan dengan wanita itu," ujarku penuh percaya diri."Jangan ketinggian mimpinya, Bos. Paling-paling kita cuma bisa dekat dengan managernya nanti." Rudi tertawa mengejekku."Jangan meremehkanku, Rud! Mantan-mantanku dulu artis-artis terkenal," ucapku asal."Serius? Kok dapatnya malah .... ups!" Rudi tidak meneruskan kalimatnya dan langsung menutup mulutnya ketika mataku melotot.Aku berdiri, bersiap untuk mendekati Darasifa. Tapi kenapa lututku bergetar? Apa karena kelamaan duduk? Atau karena grogi?Dengan memantapkan hati, aku melangkah menuju tempat Darasifa berdiri. Saat hampir sampai, Wanita itu sedang berbicara dengan seseorang.Tiba-tiba keraguan itu hadir. Bagaimana jika dia marah? Atau tidak suka didekati? Bagaimana jika aku diabaikan? Bagaimana kalau ... tidak! Aku harus yakin. Orang-orang bilang Darasifa adalah wanita yang ramah dan lembut. Oh, Tuhan. Andaikan dia bisa aku miliki."Kenapa Anda memandang saya seperti itu?""Apaa?" Astaga bodoh sekali aku. Tanpa sadar aku sudah berada persis di depan model cantik itu. Sungguh memalukan. Pasti wanita itu mentertawakanku dalam hati.Darasifa menatapku heran dan nampak sedikit kesal."Ma-maaf. Kenalkan saya Yusuf." Dengan sangat percaya diri aku mengulurkan tangan pada wanita itu. Namun sialnya, dia memalingkan wajahnya tanpa menyambut uluran tanganku untuk bersalaman. Kemudian berlalu begitu saja dari hadapanku.Dadaku tiba-tiba sesak menahan rasa kecewa."Saya dari perusahaan kosmetik Esco beauty. Bisa bicara sebentar ?" Aku terus berusaha mengikuti langkah kakinya yang terus berjalan tanpa menghiraukanku."Darasifa ... bisa bertemu sebentar? Please ..!"Dia tetap tak menghiraukankuSial! Langkah kakinya justru semakin cepat."Maaf! Saya capek. Anda silahkan menghubungi manager saya!" tegasnya. Kemudian dengan langkah cepat, artis cantik itu berlalu meninggalkanku.Astaga! Aku ternganga melihat kepergiannya. Sia-sia sudah usahaku hari ini. Dengan langkah gontai aku kembali ke kursi taman. Terduduk dengan perasaan tak menentu. Sungguh hati ini sangat kecewa. Sikap Darasifa tidak seperti yang aku harapkan. Kenapa dia tidak ramah padaku? Apa jangan-jangan dia itu memang benar ... akh! Tidak mungkin."Sudahlah, Suf. Kita masih punya kesempatan. Sabtu depan kamu pasti bisa mendekatinya. Ayo pulang!" Rudi berusaha menghiburku.Ya benar. Sabtu depan adalah waktu yang tidak lama lagi. Aku harus mempersiapkan segala sesuatu untuk bisa mendekatinya. Lihat Darasifa! Aku tidak hanya mendekatimu untuk perusahaan. Tapi aku harus mendapatkan hatimu.Rudi geleng-geleng kepala melihatku senyum-senyum sendiri. Kemudian Ia menarik tanganku."Ayo pulang! "Aku dan Rudi pulang dengan mobil masing-masing. Hari mulai gelap. Tubuh terasa begitu lelah. Mungkin karena aku belum terbiasa bekerja di lapangan.Setelah melewati satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di rumah.Tok tok tok"Assalamualaikum."Seperti biasa Rena tidak pernah menyambutku. Dia terlihat asik menonton televisi saat aku pulang.Aku melewatinya dan langsung menuju kamar. Muak aku melihat tingkah lakunya yang tak pernah mau berubah."Maaaas!" Seperti biasa dia akan berteriak manja jika ada maunya."Mas! Kalungnya sudah dapat belum?" .Benar dugaanku. Pasti ada maunya"Aku capek! Ambilkan minum!" perintahku."Itu di meja, Mas. Tinggal tuang aja. Sudah di siapin," sahutnya tanpa sedikitpun beranjak dari sofa.Dasar wanita malas! Dengan perasaan kesal kutinggalkan istriku itu dan segera membersihkan diri. Setelah merasa segar, aku kembali ke meja makan, berharap masakan Widia tadi pagi masih ada. Namun ternyata sudah tak bersisa sedikitpun. Pantas saja hari ini Rena tidak ribut minta dibelikan makanan.Untunglah aku dan Rudi makan dulu di restoran terdekat, sebelum perjalanan pulang dari lokasi pemotretan. Asistenku itu terus berteriak karena lapar.Ah, kenapa aku tidak sabar menunggu besok pagi? Sepertinya aku terlalu merindukan perhatian dari seorang istri. Dan ... Aku merasa mendapatkannya dari Widia. Astaga! Apa yang aku pikirkan?Emosiku tersulut saat melihat begitu banyak barang-barang belanjaan di dalam lemari. Segera aku cek mutasi mobile banking rekening yang di pakai Rena.Mataku membelalak ketika melihat pengeluaran hari ini. Begitu mudahnya Rena menghambur-hamburkan uang. Aku buka satu persatu bungkusan-bungkusan itu. Sebagian besar isinya perhiasan dan pakaian. Ya Ampun Renaaaa!"Apa-apaan ini, Mas? Kenapa belanjaanku kamu acak-acak, haa??" teriaknya."Kamu yang apa-apaan, Rena. Istri pemalas! Bisanya hanya menghambur-hamburkan uang!" sengitku.Rena tersentak mendengar ucapanku. Mungkin ia tak menyangka aku akan semarah ini. Wajahnya mulai memerah menahan tangis. Tubuhnya gemetar."Kamu berubah, Mas ..." lirihnya. Kemudian berlalu ke kamar dan menangis menelungkup di atas tempat tidur.Dasar cengeng. Bisanya cuma nangis dan buang-buang uang saja! Bisa bangkrut aku gara-gara istri boros seperti Rena.Lihat saja, Rena. Kamu tak akan berhenti menangis setelah Aku mendapatkan Darasifa. Kamu akan ternganga dan tak percaya saat Darasifa menjadi kekasihku nanti.Kami sedang menuju kampung halaman Naila. Walau kak Fahri keberatan, Mama tetap bersikeras mau ikut mendampingi kami. Akhirnya Kak Fahri menyerah. Justru aku sangat senang jika mama ikut. Mama bisa menjadi penengah diantara kami. Suasana di dalam mobil agak canggung. Kak Fahri menyetir mobil ditemani Bondan yang duduk disampingnya.Naila dan aku duduk di kursi tengah. Sementara Mama memilih pergi dengan mobilnya sendiri dengan seorang supir yang menyetir mobilnya. Mobil kami beriring-iringan hingga sampai ke kampung halaman Naila yang masih terletak di daerah jawa barat. Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana namun cukup luas dan bersih. Menurut Naila dia sudah menceritakan semuanya pada bapak dan ibunya semalam lewat telpon. Jadi sepertinya mereka sudah siap-siap menyambut kedatangan kami. Naila menghambur ke pelukan seorang laki-laki tua sambil menangis tergugu. "M-maafkan Nai, Pak! Nai sudah banyak bohong sama Bapak." "M-maafkan Nai, Bu!" Seorang wanita setengah ba
Kak Fahri bilang malam ini dia akan menyelesaikan masalah Naila. Suamiku itu telah meminta Naila untuk datang selepas isya. "Lidia, Aku butuh dukunganmu. Malam ini aku akan menceraikan Naila. Lalu, tolong biarkan dia tinggal di asrama putri hingga masa iddahnya habis." Entah kenapa dadaku selalu bergemuruh setiap Kak Fahri membicarakan Naila. Rasanya sangat sakit jika mengingat mereka pernah terikat dalam ikatan pernikahan. Walaupun Kak Fahri bilang akan menceraikan wanita itu, tapi hati ini terasa panas dan membara saat mendengar namanya. "Lidiaa ..." Kak Fahri membelai lenganku lembut, karena aku hanya bergeming. Kemudiam suamiku itu menggenggam erat jemariku. "Lidia Sayang, di hati ini hanya ada kamu seorang. Tak pernah berubah sejak dulu." "Halaah, gombal!" ketusku spontan. Kak Fahri terkejut dengan sikapku. Suamiku itu kemudian menjatuhkan bobotnya di sofa ruang tamu ini. Entah kenapa aku kini merasa risih setiap menerima sikap mesra dari kak Fahri. Apakah aku terlalu ke
POV FAHRI "Assalamualaikum, Ustad. Ada seorang pria yang hendak bertemu dengan Ustad." Seorang santri masuk ke ruanganku. "Siapa?" "Dia bilang namanya Bondan, Ustad." Sontak aku berdiri. "Cepat suruh orang itu masuk!" pintaku tak sabar. Tak lama santri itu keluar dan menyuruh pria yang bernama Bondan itu masuk. "Assalamualaikum, Ustad Fahri!" Seorang pria tinggi dengan tubuh kekar, memakai kaos kerah bergaris, celana jeans dan peci di kepalanya. Jika diliat dari penampilannya yang bersih dan rapi, sama sekal tidak menampakkan dirinya seorang preman. "Waalaikumsalam! Silakan duduk ...!" "Terima kasih, Ustad." "Apa benar kamu yang bernama Bondan?" Pria itu mengangguk sopan. "S-saya Bondan. Saya pernah dekat dengan Naila." Aku menatap tajam pada pria di hadapanku ini. Bagaimanapun juga aku harus tetap waspada. Namun wajahnya sekilas ada kemiripan dengan Ibrahim, Anak Naila. Semoga saja ada titiik terang. "Kenapa kamu dulu putus dengan Naila?" pancingku. "Saya nggak pernah
Sebenarnya datang bulanku sudah telat satu minggu. Namun aku belum berani berharap apapun. Apalagi dengan masalah yang aku hadapi saat ini membuatku merasa lebih tegang dan banyak pikiran. Rasanya begitu lelah. Pagi ini seperti biasa Kak Fahri sudah berangkat ke pesantren. Mama masih menginap di sini. Hanya Mama yang membuatku kuat saat ini. Beliau begitu menguatkan diriku. Persis ketika aku terpuruk saat sakit dan diceraikan oleh Mas Yusuf dulu. Mama Anne juga yang memberiku semangat agar bisa sehat kembali. Menurut Jeng Putri saat itu, yang bisa menyembuhkan tubuh kita adalah diri kita sendiri. Sejak tadi aku tak melihat Mama Anne keluar kamar. Setelah sarapan tadi, Mama masuk lagi ke kamar. Namun sepertinya Mama sedang menghubungi seseorang. Sejak tadi tak henti-hentinya Mama berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. Akan tetapi tak begitu jelas apa yang sedang Mama bicarakan. Ya Allah, kenapa perutku sakit sekali? Aku bergegas ke kamar mandi. Kekecewaan kembali kurasakan s
POV FAHRI Assalamualaikum ..." Aku tersentak dari lamunan saat mendengar seseorang datang mengucapkan salam. "Naila..?" "Ustad ...!" Tiba-tiba saja Naila menghampiriku dan meraih tanganku, lalu menciumnya. Aku yang masih terkejut tak sempat mengelak. "Hei! Lepaskan tangan anakku!" Ternyata Mama dan Lidia telah berada di belakangku. Ya Allah, Lidia tampak sangat sedih dan terpukul. Wajahnya pucat dan sembab. "Kamu Naila, kan? Apa kamu lupa peraturan yang ada di pesantren ini?" Mama memandang sinis pada Naila. "Iy-iyaa, Bu. Tapi ..., Ustad Fahri adalah ...""Kenapa dengan anak saya? Apa yang hendak kamu katakan?" Mama menatapku tajam seolah menyimpan kecurigaan. Apa yang hendak dikatakan Naila? Apa dia akan membongkar semuanya di depan Mama? "Ustad Fahri adalah ... suami saya." Ya Allah, Naila ... "Apaaa?" Mama terpekik mendengar ucapan Naila barusan, hingga membuatku menghempas napas kasar. Tidak seharusnya dia mengatakannya sekarang. "Fahri! jelaskan pada mama sekarang
Pov Fahri Mama dan Lidia masuk ke dalam kamar. Tinggal aku sendiri berada di ruang tamu ini. Masalah Naila sungguh membuatku pusing. Seharusnya sejak anaknya itu lahir, aku segera menceraikannya. Namun aku juga nggak tega mendengar bapaknya yang sedang sakit-sakitan. Orang tuanya pasti sangat terpukul jika tahu keadaan anaknya yang sebenarnya. Tiba-tiba saja kejadian lima tahun yang lalu kembali terlintas di benakku. Saat itu Nenek masih hidup. Aku sudah mulai membantu nenek mengajar para santri di pesantren. Naila adalah salah satu alumni yang juga mengajar di pesantren ini. Kami memang sering bertemu di acara-acara khusus dan rapat pengurus pesantren. Walau aku bukan lulusan pesantren, tapi Nenek bersikeras agar aku mau mengajar dan menggantikan beliau kelak. Mama menyekolahkan aku di bidang bisnis dengan harapan bisa ikut mengelola perusahaan Mama di jakarta dan di luar negeri. Namun setelah lulus S2, aku lebih memilih tinggal dan membantu Nenek di bogor. Bagaimanapun juga, Nen
Aku marapatkan telingaku ke pintu. Tubuhku bergetar hebat saat mengetahui suara siapa saja yang berada di dalam. Dadaku bergemuruh dan sesak. Seakan ada batu besar yang menghimpit. Benarkah apa yang aku dengar ini? Atau hanya mimpi? Atau mungkin saja saat ini mereka berdua sedang prank aku. Sepertinya firasatku sejak kemarin memang tidak salah. Ada sesuatu yang terjadi diantara mereka. "Tidak semudah itu, Naila. Aku tak mau menyakiti perasaan Lidia. Dia sedang program hamil. Aku tak mau dia berpikir yang berat-berat." Kak Fahri ternyata masih memikirkan perasaanku, makamya dia tak mau terus terang. Lalu siapa Ayah dari anak yang kemarin dibawa Naila? Apakah ... "Tapi Upstad, Ibra sebentar lagi akan sekolah. Dia butuh akte dan nama seorang Ayah. Apa kata orang tuaku jika mengetahui bahwa kita hanya menikah siri?" "Apaaaa? Kalian menikah siri?" jeritku bergetar. Tak tahan akhirnya aku memberanikan diri masuk ke dalam ruangan yang cukup besar itu. Kak Fahri dan Naila sedang duduk
Aku membalikkan tubuhku. Anak balita itu turun dari pangkuan Naila dan berjalan menghampiri Kak Fahri. "Ayah ... Ayah ...!" "Assalamualaikum Ibra, kamu sudah semakin besar sekarang." Kak Fahri berjongkok mengimbangi tubuh mungil itu. Suamiku memberikan tangannya untuk dicium oleh anak yang dia panggil Ibra. "Apaa? A-ayah?" Spontan aku memandang Kak Fahri dengan tatapan penuh tanda tanya. "Nah, Ibra. Kenalkan ini Ibu. Panggilnya Ibu Lidia, Ya!" Kak Fahri meraih tanganku agar mendekat pada Ibra. Namun Ibra hanya memandangku dengan wajah bingung. Perlahan anak itu justru menjauh dariku. "Ibuuuu ....!" teriak Ibra menghampiri Naila. Kak Fahri nampak gelagapan. "Istirahatlah Naila. Saya dan Lidia masuk dulu." "Iy-iya, ustad. Saya permisi ke asrama putri dulu." Kak Fahri kembali meraih jemariku dan membawaku masuk ke dalam rumah. "Bikinin aku makanan, dong! Aku kangen masakan kamu. Laper, nih!" Sebenarnya aku masih sangat penasaran kenapa anaknya Naila memanggil Kak Fahri den
Lidia "Cukup, Andre! Lidia, ayo pulang. Kita kembali ke pesantren!" Kak Fahri menghentikan makannya, kemudian bangkit dari kursi dan menghampiriku. "Kak ..., kita kan mau menginap," ucapku hati-hati. Aku tau saat ini Kak Fahri sedang dilanda api cemburu. Wajahnya merah padam. "Fahrii ... , tolong jangan pulang, Sayang. Mama masih kangen sama kalian!" Mama tampak sedih dan terus memohon. Sementara Andre tampak salah tingkah. Sepertinya dia tak sengaja membuat Kak Fahri cemburu. "Aku minta maaf ....! Aku nggak bermaksud membuatmu marah. Tolong jangan pulang. Biar aku saja yang pindah ke kamar kost." Andre beranjak dari kursinya dan melangkah pergi melewati pintu belakang. Sepertinya Andre memang benar-benar ke rumah kost yang di belakang rumah Mama Anne. Tempat Mas Yusuf dulu pernah tinggal di sana. Tak satupun dari kami mencegah kepergian Andre. Mama juga membiarkan Andre .pergi. Mungkin sejak dulu mereka memang tidak cocok. Wajah Kak Fahri terlihat mulai tenang. Suamiku itu kem