Share

4. Bolehkah Aku Menyentuhmu Lebih Banyak?

“Rupanya kamu sudah merasa menjadi Bos ya di rumah ini!” Viera menghentikan langkah Arfeen yang baru saja memasuki rumah kediaman Vano Jayendra. Ia berdiri berkacak pinggang di depan Arfeen.

“Maaf, Nyonya. Aku ada urusan di luar!” jawab Arfeen acuh tak acuh.

“Urusan! Sok sibuk! Padahal kau itu hanya keluyuran tidak jelas kan?” sautnya menyeringai.

Arfeen sungguh sedang tak ingin meladeni ocehan pedas mertuanya. Meski ada amarah yang ia rasakan karena sang mertua langsung berubah pandangan ketika mengetahui pekerjaannya yang sesungguhnya.

“Ma, biar aku yang bicara padanya nanti!” sergah Larena memunculkan diri.

“Mama lebih berhak bersuara di sini karena ini rumah Mama!” jawab Viera menatap sang putri.

Larena yang menyadari ekspresi Arfeen yang tak biasa pun mencoba untuk membujuk sang mama. Padahal sebenarnya ia juga kesal karena pemuda itu tak bisa dihubungi sama sekali. Namun sekarang ia tahu alasan kenapa handphone suami kecilnya tak bisa dihubungi.

“Ma!”

“Mama tidak habis pikir dengan jalan pikiranmu. Apa yang kau lihat dari pemuda kere ini? Sudah dandanan seperti preman jalanan. Ya Tuhan ... dosa apa aku di masa lalu sehingga memiliki menantu sampah seperti ini? Memalukan!” Viera memegang kepalanya dengan sedikit menarik rambut saking stresnya.

Arfeen sama sekali tak menanggapi, ia hanya mengepalkan tinju. Karena jika ia menanggapi, bisa-bisa ia kelepasan dan melakukan hal yang buruk kepada mertuanya.

“Arfeen kau masuk saja ke dalam!” perintah Larena.

Arfeen pun menurut, ia langsung pergi ke kamar. Namun masih bisa mendengar ocehan Viera yang memprotes sikap putrinya membela dirinya.

Ketika Larena memasuki kamar, ia mendapati Arfeen yang tertidur di kasur lantai memunggunginya. Ia pun mendekat perlahan. Duduk di kasurnya sendiri, menatap punggung Arfeen yang lebar.

Beberapa saat lalu ia menelepon rumah sakit untuk menanyakan kabar adik Arfeen. Bagaimanapun, Amara sudah menjadi adik iparnya, jadi ia juga harus turut memantau perkembangan kesehatan gadis itu.

Sayangnya ia justru mendapatkan kabar buruk, kemarin Amara kritis dan harus meninggal di meja operasi. Ia bisa merasakan betapa sedihnya Arfeen saat ini.

Pemuda itu kehilangan satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Hatinya pasti sangat hancur saat ini.

“Kenapa kau tak memberitahuku soal adikmu? Kalau begitu kan aku bisa ikut membantu pemakamannya!” ungkap Larena.

Arfeen hanya melirik melalui ekor mata oleh pertanyaan sang istri.

“Bagaimana pun statusku sudah jadi istrimu, maka adikmu juga adikku. Harusnya jika ada apa-apa kau bisa katakan padaku!”

“Bukankah hubungan kita hanya di atas kertas?” saut Arfeen dingin.

“Meski begitu pernikahan kita sah, jadi tak ada salahnya jika salah satu dari kita ada masalah kita saling memberitahu!”

Arfeen kembali tak menyahut. Karena yang ia butuhkan saat ini bukanlah kata-kata manis penghiburan.

“Agar kau tidak bersedih lagi, berbaringlah di ranjang, Arfeen. Siapa tahu akan membantu kau menenangkan diri.” ucap Larena hati-hati, ia setengah ragu mengutarakan hal itu. Dalam hati, dia tak ingin melihat suaminya itu murung karena hal buruk yang baru saja menimpanya.

Arfeen tiba-tiba saja membalik tubuhnya, menatap sang istri. Ia lalu bangkit duduk.

“Apa kau yakin ingin membiarkanku naik ke atas ranjangmu? Bagaimana dengan mamamu?”

Larena tak menjawab, ia sejujurnya masih risih jika harus satu ranjang dengan pria yang belum lama ia kenal. Bahkan bukan pria yang ia cintai. Akan tetapi ia terlanjur sudah menawari.

“Ini kamarku, aku yang berhak menentukan kau boleh tidur di mana.”

“Sungguh, aku boleh tidur di ranjang?”

Larena menggigit bibir sejenak sebelum mengangguk. Tak dipungkiri, debaran di dalam dada begitu hebat menyerang. Ini adalah pertama kalinya ia satu ranjang dengan seorang pria.

Arfeen pun bangkit dan naik ke ranjangnya. Mereka saling tatap, ada gemuruh yang begitu hebat menyerang dada keduanya.

“Ta-tapi ... hanya boleh tidur saja! Kau ingat tak boleh kurang ajar padaku. Ingat! Kita hanya menikah kontrak, dalam perjanjian tak ada hubungan ranjang di antara kita!” Larena mencoba mengingatkan dengan sedikit gugup. Ia takut Arfeen lupa akan hal itu.

Karena jujur saja, sebenarnya Arfeen memiliki wajah rupawan dan juga postur tubuh yang ideal untuk seorang pria. Wanita mana yang tak akan tergoda jika memiliki suami setampan dan segagah pemuda itu!

“Bisa balik badan?” tanya Arfeen membuat Larena membulatkan mata.

“Ba-balik badan?” beo Larena.

Karena wanita di depannya justru terbengong dengan permintaannya, maka Arfeen pun langsung meraih pundak wanita itu lalu memutar tubuhnya hingga memunggungi dirinya.

Larena sangat terkejut dengan perbuatan pemuda itu, terlebih saat Arfeen merebahkan kepala ke punggungnya.

“Jangan bergerak!” Larena hendak menghindar namun suara Arfeen menghentikannya. “Aku hanya ingin meminjam punggungmu saja sejenak. Boleh kan?”

Larena tak menjawab, namun ia tetap bergeming. Membiarkan pemuda yang baru satu hari menjadi suaminya itu menenangkan diri di punggungnya.

Kepergian Amara memang membuat Arfeen sangat terpukul, kehadiran Amara di dalam hidup Arfeen memberikan arti penting. Sebagai anak yang terlahir dari seorang simpanan dengan status pernikahan siri tidaklah mudah. Meski papanya sangat menyayangi dirinya karena ia terlahir sebagai seorang lelaki, namun ia bisa merasakan seisi rumah kediaman Mahesvara tidak tulus terhadap dirinya.

Termasuk Radika Mahesvara sang kakek. Lelaki tua itu menerima kehadirannya hanya karena ia putra biologis Malik. Dan klan Mahesvara membutuhkan keturunan seorang anak lelaki. Malik adalah putra pertama Radika, sehingga otomatis putranyalah yang akan memimpin klan Mahesvara.

Kecuali jika Malik tak memiliki anak lelaki, baru kekuasaan itu akan jatuh ke tangan putra Marvin yaitu, Tantra. Marvin adalah anak kedua Radika.

Status Arfeen memang dipertanyakan. Sebenarnya pamannya tak setuju jika Arfeen yang ditunjuk sebagai ahli waris Mahesvara kelak. Karena ia hanyalah anak yang terlahir bukan dari pernikahan sah. Namun keputusan Radika tak bisa diganggu gugat. Selama di dalam darah Arfeen mengalir darah klan Mahesvara, ia tetaplah putra Malik.

Kehadiran Amara menjadi penghiburan tersendiri bagi Arfeen, ia selalu berbagi suka dan duka terhadap sepupunya itu. Bahkan ketika dirinya diusir, Amara memilih untuk ikut. Namun kini Amara sudah tiada. Ia merasa seperti tak memiliki semangat untuk hidup. Namun kondisi Amara yang kritis secara tiba-tiba menyisakan tanda tanya.

Liam mengatakan jika hal itu tidaklah wajar dan tengah menyelidikinya. Termasuk kecelakaan 4 tahun yang lalu. Bahkan pelaku sudah tertangkap, hanya saja tetap tak mau buka mulut. Tapi ia tak khawatir karena ia sendiri yang akan membuat mereka bicara besok.

Apalagi sekarang ada sesuatu yang berhasil mengalihkan perhatiannya. Wanita yang saat ini ia sandari.

“Tante, punggungmu hangat …!” pujinya asal.

Yang mengejutkan bagi Larena, adalah nada bicara dari suami kecilnya itu yang seketika berubah seolah pria itu bukanlah pria muda yang biasa dia kenal. Belum lagi, sentuhan halus di punggungnya yang hanya memakai selembar tipis kain piyama itu membuat darah di tubuhnya mengalir deras.

“Bolehkah aku menyentuhmu lebih banyak?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status