Beku.
Selama beberapa saat Delotta membeku di tempat. Antara terkejut dan tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Namun, kontras dengan Delotta yang tercengang, pria itu malah tersenyum.
"Delotta Armisen. Welcome to Jagland Blue Corp, semoga kamu betah bekerja di sini. Silakan duduk," sambut Daniel penuh dengan kehangatan.
Untuk ukuran petinggi perusahaan, Delotta akui pria itu terlalu ramah. Padahal posisi Delotta saat ini sebagai karyawan biasa. Gadis muda itu menelan saliva, meskipun terlihat ramah dia tetap terintimidasi oleh tatapan mata biru bak telaga itu.
"Te-terima kasih, Pak." Deg-degannya beberapa saat lalu beralasan sekarang. Bahkan saat ini jantungnya makin berdegup kencang. "Sebelumnya saya minta maaf untuk kejadian waktu itu. Saya benar-benar minta maaf."
Gara-gara itu kepanikan Delotta serta merta melanda. Siapa yang menyangka jika orang itu ternyata bosnya?
"Oh, no problem. Itu udah berlalu kan? Saya harap kamu bisa bekerja di sini dengan nyaman. Kalau ada sesuatu yang membuat kamu kurang aman atau kurang berkenan, kamu bisa memberitahu saya. Jangan sungkan."
Kening Delotta berkerut samar. Apa setiap karyawan baru akan diperlakukan seperti ini? Apa semua bos seperti Daniel? Mungkin Delotta perlu menanyakannya pada Tya nanti.
"Oh. Iya, Pak. Terima kasih atas perhatiannya."
Delotta merasa risih saat Daniel menatapnya begitu intens. Entah apa yang pria itu lihat. Namun, pandangan menilai yang Daniel layangkan membuatnya ingin buru-buru lari menjauh.
"Apa saya boleh kembali ke tempat kerja saya sekarang, Pak?" tanya Delotta. Mendekam dan melakukan sesuatu di dalam kubikel, dia rasa lebih baik daripada duduk di kursi empuk depan direktur.
"Oh iya. Oke. Kamu belajar yang baik, ya. Jangan sungkan bertanya jika ada sesuatu yang kamu nggak bisa."
"Baik, Pak. Sekali lagi terima kasih." Delotta berdiri ingin segera keluar dari tempat itu. Namun, baru beberapa langkah Daniel memanggilnya lagi. Serta-merta Delotta menoleh dan memutar setengah tubuhnya.
"Berapa usia kamu?" tanya Daniel seolah memastikan.
"22 tahun, Pak," sahut Delotta, bingung. Apa umur hal yang penting?
"22 tahun ...." Daniel mengangguk-angguk. "Kamu masih sangat muda."
'Meski begitu saya pantas bersanding dengan Anda.' Rasanya Delotta ingin menjawab seperti itu. Tapi, suaranya tertelan.
Daniel Jagland tidak setua papanya, tapi juga tidak pantas disebut masih muda. Dia itu lebih mirip om-om. Ya, Delotta merasa dia lebih cocok dipanggil Om.
"Saya nggak nyangka kalau kamu cepat dewasa."
Ucapan Daniel kali ini membuat Delotta mengernyit. "Maksudnya gimana, Pak?"
Pria itu malah terkekeh. Makin membuat gadis berambut cokelat itu bingung. "Dulu kamu masih segini saat masih suka bermain dengan saya."
Delotta benar-benar memutar tubuhnya sekarang. Menghadap pria itu lagi. "Maksud Pak Daniel apa ya?" Dia benar-benar tidak mengerti.
"Ya, kamu pasti nggak ingat saya karena kamu masih 4 atau 5 tahun. Saya lupa. Tapi dulu itu kamu selalu panggil saya dengan sebutan
Om Ganteng."Mata bulat Delotta mengerjap. Dia menatap Daniel lebih seksama dan mencoba mengingat sosok itu lagi. Ada cukup banyak orang yang dia panggil om. Dua adik dan teman-teman papa contohnya.
Daniel terkekeh. "Jangan terlalu berpikir keras mengingat saya. Nanti juga kamu akan ingat dengan sendirinya."
Gadis berkulit putih di depan Daniel itu meringis. "Pak Daniel benar. Ah, ingatan saya memang payah. Saya jadi merasa tidak enak karena lupa."
"Tidak masalah."
"Tapi saya yakin, Pak Daniel ini salah satu teman papa. Dan karena itu saya berada di sini."
Delotta sedikit kecewa. Padahal dia sempat berpikir bisa diterima di perusahaan ini karena usahanya sendiri.
"Saya memang teman papa kamu. Tapi, percayalah untuk masuk ke perusahaan saya tidak mudah. Calon karyawan harus melalui beberapa tahapan tes terlebih dulu. Nilai dari tes-tes itulah yang akan menentukan diterima atau tidaknya calon karyawan. Jadi, meskipun kamu anak teman saya, jika nilai kamu di bawah rata-rata, perusahaan ini tidak akan menerima."
Penjelasan Daniel cukup membuat Delotta merasa lega. Entah itu benar atau tidak, yang pasti perasaannya sedikit tenang. Bahkan bibirnya tanpa sadar melengkung.
"Terima kasih, Pak, sudah memberi kesempatan saya untuk bergabung di perusahaan ini."
Senyum Delotta cepat menulari Daniel. Pria itu beranjak mendekat, dan tanpa diduga memeluk gadis itu selama beberapa saat.
Terang saja hal itu membuat Delotta terkejut bukan main. Jantungnya kembali berdetak cepat. Dada bidang Daniel dan rengkuhannya begitu hangat dan ... entahlah, ini perasaan apa. Rasanya sekujur tubuhnya bergetar. Padahal pelukan itu hanya berlangsung sebentar.
"Selamat bekerja, dan kalau kamu sudah ingat saya, kamu boleh kok memanggil saya Om lagi," ujar Daniel sebelum menjauh.
Kepala Delotta mengangguk kaku seperti robot. Jiwanya seolah melayang, terbang entah ke mana. Begitu berhasil keluar dari ruang direktur, dia menekan dadanya yang bertalu-talu.
"Delotta, kamu baik-baik saja?" tanya Sandra di meja kerjanya. Dahi mulusnya sampai berkerut melihat wajah merah gadis itu.
Dengan cepat Delotta menggeleng. "Saya baik-baik saja, Bu. Maaf, permisi. Saya kembali ke ruangan staf dulu."
"Hm, oke. Selamat bekerja. Oh iya, saya tadi meletakkan beberapa pekerjaan sekaligus contohnya," ucap Sandra memberi tahu.
"Oh iya, Bu."
Daniel Jagland. Delotta terus merapalkan nama itu berulang di kepala. Berusaha mengingat sisa memori masa kecilnya. Namun, dia tak kunjung menemukan titik terang. Kepalanya menggeleng, menyerah. Dia memutuskan membuka dokumen yang menumpuk di meja.
"Hai, anak baru, butuh bantuan?"
Suara seseorang mengalihkan perhatiannya. Delotta mengangkat wajah dan dibuat terkesima sesaat. Di depannya muncul sesosok pria tinggi dengan rambut cepak. Wajahnya bersih dan terlihat licin. Meski begitu dia tampak begitu gentle. Delotta bisa memperkirakan usianya sekitar 30 tahunan. Mungkin sama seusia Daniel. Apa di kantor ini banyak memiliki koleksi pria tampan dan matang?
"H-hai," sapa Delotta sedikit tergagap. Dan saat pria itu mengulurkan tangan, Delotta menyambutnya dengan riang.
"Aku Steve, ketua tim di sini. Kamu Delotta?" Pria itu memperkenalkan diri. Sama halnya dengan Daniel, dia juga lumayan ramah.
Delotta mengangguk. "Mohon bantuannya, Pak Steve."
"Just Steve, tanpa embel-embel 'pak' oke?"
"Itu nggak sopan. Anda ketua tim kami. Sementara saya masih anak magang."
Steve terkekeh. Ada cerukan yang cukup dalam saat dia terkekeh, dan itu menambah ketampanannya. Delotta makin terkesima saja.
"Baiklah. Aku nggak akan memaksa. Tadi, kamu habis dari ruangan Pak Daniel?"
"Ya. Kami hanya saling sapa." Delotta mengambil satu dokumen contoh.
"Tumben sekali. Beliau jarang melakukan itu. Sepertinya kamu spesial." Mata legam steve menatap Delotta penuh selidik.
"Saya bukan martabak, Pak," kelakar Delotta, membuat Steve lagi-lagi terkekeh.
"Kamu lucu, Delotta. Aku yakin kita akan jadi tim yang baik. Well, kalau begitu selamat bekerja. Jangan sungkan bertanya pada rekanmu kalau ada sesuatu yang nggak kamu pahami. Tanya sama aku langsung juga boleh," ujar pria berkulit cerah itu sambil mengerlingkan mata.
"Baik, Pak. Terima kasih."
Delotta menunduk dan tersenyum sendiri begitu Steve menjauh. Dia merasa bakal betah di kantor ini. Banyak pemandangan segar. Tiap hari bisa cuci mata gratis. Tya harus tahu ini!
____
"Adik bayi itu dari angsa terbang, Mam?" Pertanyaan yang diajukan dengan nada khas balita itu membuat Dellota dan Daniel terkekeh. Kavia masih penasaran dengan kemunculan adik bayi. Gyan di sisi gadis kecil itu menarik napas panjang. "Bukan Kavia, kan aku udah bilang itu mitos." "Aku nggak tau mitos itu apa." Kavia tidak peduli dan meloncat ke bed ibunya. Seketika Daniel memekik tertahan. "Hati-hati, My Princess. Kamu bisa jatuh," ucapnya dengan dada yang masih berdebar kencang. "Aku cuma mau lihat adik bayi." Kavia bergerak ke sisi ibunya yang tengah menyusui adik barunya. "Mami, boleh aku ikut nenen juga sama mami?" Lagi-lagi Delotta terkekeh. Tangannya terjulur mengusap kepala Kavia dengan lembut. "Kavia kan udah jadi kakak, masa masih mau nenen ke mami?" "Kavia, nenen itu cuma buat bayi. Kita udah jadi kakak, udah besar. Kamu mau diejek sama teman-teman kalau masih nenen sama mami?" Gyan menggeleng tak habis pikir dengan keinginan adiknya. Namun Kavia lagi-lagi tak peduli d
Tangan Daniel menggenggam kemudi dengan erat. Gigi-gigi dalam rongga mulutnya gemeretakan menahan kesal. Beberapa kali dia menghela napas panjang untuk menghalau amarah akibat tingkah sekretarisnya. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa seorang sekretaris baru seberani itu? Kepalanya penuh dengan Delotta sekarang. Beberapa hari belakangan wanita itu sering uring-uringan perkara sekretaris baru Daniel. Dan malam ini kekhawatiran Delotta terbukti. Daniel membelokkan kemudi ke kawasan rumah mewahnya. Pintu gerbang rumah terbuka saat sensor di sana mengenali mobilnya. Dia bergerak masuk melewati halaman taman yang luas, mengitari tugu air mancur warna-warni hingga mobilnya tepat berhenti di depan teras rumah. Dia turun begitu saja dari mobil dan memasuki rumah yang pintunya otomatis terbuka. Langkahnya berbelok ke kanan menuju jalan alternatif yang akan langsung menuju kamar pribadinya. Ketika tangannya menyentuh sebuah dinding berlapis marmer, dinding itu lantas bergerak terbuka. Danie
Pekerjaan membuat Daniel harus tinggal lebih lama di kantor. Beberapa saat lalu dia baru saja mengakhiri panggilan video dengan istri dan anak-anaknya yang tengah bersiap tidur. Ini menjadi hal yang sulit untuknya. Dellota tengah hamil anak ketiga, tapi pekerjaan malah makin membuat pria itu sibuk. Tak jarang dia meninggalkan istri dan anak-anak keluar kota. Blue Jagland Indonesia makin melebarkan sayap. Bisnisnya mulai menggurita di beberapa sektor. Itu yang membuat Daniel makin sibuk. Sampai-sampai Gyan dan Kavia protes karena waktu bermain mereka dengan sang papi jadi berkurang. Tidak jarang weekend pun Daniel tetap bekerja."I'm sorry, Baby. Tapi semua ini memang sulit ditinggal," ucap Daniel suatu kali ketika Delotta protes tentang jam kerjanya yang makin tak masuk akal."Tapi kami juga butuh waktu kamu. Lima hari kerja memangnya nggak cukup? Kalau majunya perusahaan malah bikin kamu nggak punya waktu buat kami lebih baik perusahaan nggak usah maju aja." Delotta bersedekap tangan
Delotta terkikik geli saat melihat Kavia tidur di lengan Daniel—yang juga ikutan tidur dengan lelap. Batita itu terlihat begitu nyaman tidur sambil memegangi lengan Daniel. Dalam keadaan begitu, keduanya tampak begitu mirip. Lima belas menit lalu Delotta sengaja menitipkan putrinya yang sudah dia dandani kepada Daniel. Bahkan dia juga berpesan untuk membawa Kavia jalan-jalan. Dan ternyata jalan-jalan mereka ke pulau kapuk. Delotta bersandar pada kusen pintu menatap mereka. Untuk semua alasan dia sangat bersyukur dengan keadaannya yang sudah sampai sejauh ini.Kepala Delotta menggeleng pelan sambil tersenyum melihat pemandangan itu. Tidak mau mengganggu, dia pun keluar. "Adek mana, Mam?" tanya Gyan saat melihat ibunya berjalan sendiri tanpa Kavia di gendongannya. "Lagi tidur sama papi," ujar Delotta pelan. "Kok tidur sih? Ini kan udah sore? Papi juga janji mau main bola sama aku." Wajah Gyan cemberut, pipi chubby-nya memerah. "Iya maafin, Papi. Nanti kalau Papi udah bangun kamu b
"Boleh satu lagi?" Delotta berjengit ketika Daniel mencium perutnya. Dia kaget dengan permintaan Daniel. Demi Tuhan! Kavia baru lepas dari asi eksklusif bisa-bisanya Daniel memintanya untuk memberi anak lagi. "Aku masih capek. Tenagaku masih perlu dipulihkan. Ya aku tau kamu memberiku bala bantuan. Tapi paling enggak tunggu sampai Kavia usia dua tahun?""Dua tahun? Bahkan hamil kedua saat Gyan umur satu tahun. Ayolah Sayang, kamu menikah bukan sama pria muda.""Ya, lalu?" Daniel menggigit bibir, tapi lantas menundukkan kepala sambil melukis gerakan abstrak dengan ujung jari di atas lengan Delotta. Mirip sekali dengan Gyan saat merajuk. "Kalau dilama-lamain lagi aku takut dikira sedang menggendong cucu nanti," ujar pria itu, yang mau tak mau membuat Delotta menyemburkan tawa. Daniel berdecak malas melihat reaksi istrinya. "Apanya yang lucu coba?"Delotta mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah untuk meredakan tawa. "Maaf, Sayang." Segera mungkin Delotta mendekat dan menyelipkan t
"Ah!" Delotta menengadah sambil menggigit bibir. Rintihan lirihnya membuat suasana di sekitar makin panas. Peluh membanjiri kulit tubuhnya yang seputih susu. Pinggulnya terus bergerak maju mundur dengan tempo sedang. Di bawahnya, Daniel mengerang. Dua tangannya merangkum dada Delotta. Sesekali jarinya menjepit gemas dua puncak dada itu yang kadang mengeluarkan cairan asi. "Sayang, ini perlu dipumping lagi kayaknya deh," ucap Daniel saat jarinya merasakan basah ketika menekan puncak dada istrinya. "Sebentar lagi," sahut Delotta agak terbata. Melihat wajah memerah Delotta, Daniel tersenyum. Dia segera mengambil alih permainan. Ditariknya tubuh gadis itu sampai jatuh ke pelukannya. Lantas dari bawah pinggulnya bergerak menghantamkan miliknya lebih keras dan dalam sampai-sampai membuat Delotta terpekik. "Aku bantu," ucap pria itu memberikan hujaman demi hujaman. Erangan dan desahan Delotta makin menjadi. Dirinya yang memang sudah tidak bisa menahan diri lagi dengan cepat meraih kep