Terbungkam. Seolah-olah dia tahu apa saja yang ingin ditanyakan Evelin. Bahkan jeda untuk bersuara juga tidak diberikan.“Kakak dan aku saling memanggil dengan nama panggilan, Luc. Sehingga takkan ada yang tahu kalau kita berasal dari Tenebris. Bagaimanapun juga, perjuangan untuk bisa hidup sampai saat ini tidaklah mudah. Ada banyak yang dikorbankan dan itu neraka. Kuharap cepat atau lambat ingatanmu kembali, Lucia.”Terdiam. Sentuhan yang ditorehkan Lucius ke pipi Evelin menusuk kesadarannya. Tak terlihat kasih sayang sebagai saudara, dan entah kenapa sensasi anehnya mengingatkan pada sosok tidak diharapkan.Robert.Dan Lucius terasa agak mirip dengannya.“Bersiaplah, karena siang ini kita harus bekerja.”Selesai mengatakan itu, sang pemuda pun pergi meninggalkannya. Menjelang waktu yang ditentukan, keduanya sudah bersiap dengan pakaian bak pengelana. Dihiasi jubah gelap sebagai luaran, Evelin tertegun menyaksikan penampilan adiknya.“Kenapa kau menutup mata kirimu?”“Karena kita uni
Tiba-tiba, hunusan pedang kasar pun diarahkan ke Lucius. “Ugh!” geram sang pemuda akibat serangan yang menekan.“Berani-beraninya kau membunuh komandan, Bocah!” hardik Kaizer.Tapi justru seringai yang diberikan Lucius. “Selamat tinggal, Pangeran,” ia pun memutar tubuh dan memberikan tendangan ke perut lawan.“Yang Mulia!” teriak prajurit lainnya.Dan tanpa keraguan Lucius menarik lengan Lucia. Mengejutkan gadis itu juga musuh-musuhnya.“Berhenti!” teriak sosok yang memakai zirah putih tadi.Tapi terlambat. Lucius juga Lucia, melompati tebing yang ternyata aliran sungai menantinya. Sungguh mereka tak bisa berkata-kata akibat keberanian keduanya.“Mereka kabur,” Kaizer berujar santai.“Terus? Apa yang harus kita katakan pada Raja? Pembunuh tangan kirinya kabur. Begitu?” sosok berzirah putih menatap jengkel lawan bicara. Laki-laki yang beradu pedang dengan Lucius tadi hanya diam. Sorot matanya, masih memandangi aliran sungai di bawah sana. Deras, namun ia yakin dua orang itu baik-bai
“Darkas?”Lucius hanya tersenyum menanggapi keheranan sang kakak. Wajar jika Evelin bingung. Jika Darkas kerajaan musuh, kenapa adik anehnya itu setuju menjalankan misi darinya? Padahal saat membahas Orion, ucapannya seolah-olah ingin menguliti mereka.“Jika mereka yang menghancurkan Tenebris, kenapa kam—”“Karena kita miskin,” potongnya tiba-tiba. “Tak peduli gelar apa yang kita miliki, itu tidak menolak kenyataan kalau sekarang kita cuma dua bersaudara miskin. Apa yang bisa diharapkan? Bahkan singgasana ayah untuk dipamerkan juga tidak ada. Jika bisa menjilati salah satu dari mereka dan mendapatkan uang, apa salahnya? Kita juga bisa mengadu domba lainnya.”Evelin terdiam. Ucapan Lucius memang mengejutkan tapi ada benarnya. Di posisi mereka, yang bisa dilakukan hanya menerima semua uluran di depan mata. Entah itu pekerjaan berdarah atau bantuan kemiskinan.Tapi saat mendengarnya langsung, aneh tetap merasuki hati. Mungkin Evelin sudah menerima kenyataan yang ada. Di mana sosoknya mer
“Serang!” teriak laki-laki itu.Dan puluhan prajurit Orion yang bersamanya pun langsung bergerak maju dengan beringas.“Sial, Luc!” gadis itu menoleh pada saudaranya. “Ayo kita bantai mereka,” seringai Lucius tiba-tiba.Sang pemuda pun maju sambil menarik salah satu pedang di pinggang. Evelin yang menyaksikan itu terperangah. Masih ragu dengan keputusan gila adiknya.“Dasar!” umpatnya.Tak ada pilihan, mereka diserang. Bertarung atau mati musuh-musuhnya pasti takkan memberikan ampunan. Tanpa keraguan pedang yang tak bersegel pun ditariknya. Sepertinya, keputusan akhir memang hanya mengamuk saja.Lucius sudah duluan melancarkan serangan brutal pada lawan. Pola bertarung serampangan miliknya, jelas mengusik Atlea. Ini pertama kali baginya melihat ksatria asing terlebih pembunuh bayaran bergerak seperti itu.Tak begitu menarik untuk ditiru namun berhasil membunuh lawan dalam sekali tebasan. Membuatnya yakin kalau rumor eksekutor berdarah tanah gelap pantas disandang dua orang di depannya
Hening.Semua berisik seolah ditelan penampakan di luar dugaan. Mata merah layaknya ukiran berlian abadi, merona di netra seorang Lucius.Semua pandangan yang menyaksikan, merasakan desiran aneh ketika menatapnya. Seakan tersihir agar mendekat pada sosoknya.Sayangnya raut berbeda ditampilkan Atlea. Bahkan jika dia terpengaruh, tapi fokusnya luar biasa. Segera ia alihkan pandangan sekilas dan melirik dingin musuhnya.“Jadi mata aneh itulah yang ada di balik penutup. Kau, apa kau seorang penyihir? Menilik kemampuanmu, aku tak yakin kau sekadar pembunuh bayaran biasa. Kau bangsawan bukan?” Perlahan Lucius mengangkat tangannya. Menyisir poni yang menutupi mata kanan sehingga semakin angkuh perawakan.Segaris lekukan tipis membentuk senyuman. Dan suaranya mendingin berbeda dengan sebelumnya. Lucia yang masih setia memandangi, merasakan hawa tak biasa. Seakan kematian berdiri tepat di depannya.“Luc—”“Siapa pun aku, apa pedulimu?” Lucius malah memotong ucapan Lucia. “Bahkan kalau pun k
Senyum merekah terpatri. Begitu indah rasanya, sangat pantas dipamerkan laki-laki bermata aquamarine itu. Rambut perak dengan poni menyentuh alis rapi membingkai wajah, ditambah ukiran rupa selayaknya dewa, sungguh menggoda untuk mencuci mata.Namun sorot mata sayu yang menajam itu mengernyitkan dahi penontonnya. Merasa penasaran akan jawaban karena tak kunjung dilontarkan.“Pangeran?”“Aku menginginkan utusan itu.” Behella Nel Markaz terdiam. “Aku menginginkan utusan itu, Paman. Bisakah kau bawakan padaku?” sorot matanya memancarkan ambisi.Sang wakil Raja hanya terkekeh menanggapi. Mendekat, namun langkahnya tertuju pada kuda di belakang sana. Di mana hewan itu sibuk mencari makan di dekat pinggiran sungai.“Apa yang kamu inginkan? Mereka cuma pembunuh pinggiran.”Siez berpaling, melirik Behella lewat sudut mata. Seringai melebar di bibirnya dan itu jelas tak terlihat di pandangan adik ayahnya.Lagi pula, cerita yang dilantunkan wakil raja Darkas menjadi hiburan tersendiri baginya.
Entah bagaimana bisa ksatria elit itu juga muncul di sana. Namun kehadirannya bersama Kaizer tidak mengganggu fokus sang singa. Selain tangannya terus menerus membalik buku-buku tentang kutukan di dunia.“Walau kudengar kau sudah kembali, tak kusangka kau akan ke sini. Apa yang sedang kau cari?” Raygan menyandarkan tubuhnya di salah satu lemari.“Buku kutukan.”“Untuk apa?” dahi berkerut menghiasi sosok Raygan.Helaan napas kasar tersembur dari mulut Atlea Bartodon. Segera ia taruh buku di tangan, di mana benda itu menuliskan hal sia-sia. Cuma tentang kutukan hewan di dalamnya, semakin menyulut emosi karena apa yang dicari tak berjumpa.Lambat laun ia lepaskan zirah di badan. Mengundang tatapan bingung dua kenalannya.“Kamu mau apa?” bingung Kaizer.Tapi tak ada suara yang pecah dari mulut Atlea. Tangannya terus bergerak sehingga sekarang ia pun bertelanjang dada.Akan tetapi, sang pangeran juga ksatria elit kerajaan Orion terbelalak melihatnya. Tak bisa berkata-kata setelah mendapati
“Luc!” panggilnya.Bahkan dua orang di seberang mereka ikut memamerkan tampang waspada.“Lucia!” hardik Lucius sekali lagi. Bagaimanapun ia jelas terkejut melihat kecepatan tangan kakaknya. Di mana sang gadis muda langsung menarik pedang yang masih diselimuti segel. Tersentak tentunya. Napas terengah langsung menghiasi diri Evelin. Seketika ditatapnya sosok di samping, terlebih tangan adiknya mencengkeram erat lengan ramping miliknya. “Mau apa kau?!”“A-aku ...” Evelin terbata-bata.Mungkin kesadarannya untuk tak mengamuk berhasil dikontrol, tapi ketika bertemu pandang dengan rupa di seberang, gemuruh di dada kembali terbakar. Dia benar-benar ingin membunuh sosok brengsek di pandangan.“Apa nona itu ada dendam padaku?” Siez bersuara.Lucius dan Behella meliriknya. Tiba-tiba pemuda dari Tenebris itu berdiri di hadapan sang kakak. Menghalangi jarak pandang Lucia untuk tak lagi melihat orang yang memicu kemarahan.“Siapa kau?”Tawa pelan pecah di mulut pangeran itu. Perlahan ia miringkan