“Benarkah?” Evelin tampak senang lalu menuruti perkataannya.
“Mau minum?” tawar lelaki itu padanya.“Apa ini?” sambil menerima sodoran gelas berisi minuman yang tampak indah di depan mata.“Minumlah, lalu kamu akan tahu bagaimana mencari temanmu dengan cepat.” Tanpa ragu Evelin meminumnya, “ugh! Apa ini?” Lelaki itu tersenyum, “apa aku boleh minum lagi?” “Silakan.”Evelin kembali meminumnya, ia mengambil sendiri dengan lancangnya. Meneguk berulang kali tanpa bisa menghentikan keinginan yang membara.“Bagaimana rasanya?”“Aneh,” ucap Evelin merasa pandangannya nanar.“Kalau begitu hentikan, karena tak menyenangkan jika kamu mabuk begitu saja,” sahut lelaki itu mengambil gelas minuman di tangan. “Tidak! Aku ma—” kalimat Evelin tak dilanjutkan. Suara gadis itu tertahan dengan bibir lelaki yang mengajaknya minum. Evelin hanya mencoba mendorongnya pelan, tapi ia tak bisa apa-apa karena sosok di hadapan tak memberinya ruang untuk bergerak.“Apa yang kamu lakukan?”Lelaki itu tersenyum sambil menarik Evelin, “tentu saja menerima bayaran dari minumanmu.” Ia kembali menciumi sang gadis yang meronta-ronta. Semakin melawan, semakin ia bersikap ganas, sampai merobek baju korbannya dan memperlihatkan mahkota tak bersegel sang wanita. Napas Evelin memburu karena ulah laki-laki itu. Tak ada jeda, perlakuan nikmat dilakukan kasar olehnya. Ia melakukan apa pun yang menyenangkan pada mahkota kembar di pandangan. Di sisi lain, tangannya yang satu lagi sibuk menjelajah mencari celah untuk bertemu bagian terlarang.Evelin yang merasa pusing karena mabuk, hanya bisa meronta tak berguna di hadapan Cristhian Ronald, target pembunuhannya.Desahan demi desahan mengalir dari mulutnya, sampai akhirnya kedua bibir bertemu dan merasa seperti di surga.Untuk gadis muda seperti Evelin, ini benar-benar luar biasa. Jajahan kasar Cristhian Ronald memberikan kesenangan tersendiri.Sejujurnya, semua baru pertama kali baginya. Ingatan tentang Camila yang bercinta memburu nafsunya. Sekarang, Evelin membiarkan Cristhian Ronald melakukan hal yang sama sebelum orang itu mati.“Wow! Luar biasa!” pekik Cristhian Ronald senang. Ia meremas erat salah satu mahkota kembar. Sementara tangannya yang lain sibuk menggali lubang di tanah terpendam milik gadis itu. Basah dan menyenangkan, membuat gairah keduanya bergejolak hebat.Tak peduli racauan apa terlontar dari Evelin. Sesekali ia melumat bibir sang kupu-kupu yang ranum baginya. Mahkota indah dan membusung itu masih dimainkan tanpa ampun, sampai akhirnya cairan nikmat dunia membasahi jari yang sibuk menggali inti bumi. Evelin hanya bisa menggeliat. Sekarang, seluruh penutup tubuhnya dibuang ke lantai. Cristhian Ronald menyeringai. Wajah menariknya, menyapu tubuh sang gadis tanpa kedip. Ia usap kaki mulus itu. Mencoba merasakan sensasinya, yang memburu hasrat juga raga. Lidahnya bermain, membuat Evelin mengerang akan ulah lelaki tanpa ampun di dirinya. Cristhian tak hanya memakai mulut, jari nakal juga ingin merasakan lagi belukar terlarang. Memaksa masuk, sampai semburan cairan kedua menangis keluar dari inti sang gadis muda. Tak puas, pilihan selanjutnya jatuh pada senjata terlarang.Ia duduk, menyentuh lembut kulit putih di paha. Di tatapnya Evelin yang sudah kelelahan, sentuhan halus hanya menambah rangsangan. Entah di sengaja atau tidak, gadis itu mendesah hebat dan memburu hasrat Cristhian untuk tak mengampuninya.Lelaki itu menciumnya, memasok lidah untuk saling bertemu dan bermain. Keduanya benar-benar menggila. Evelin yang tampak polos olehnya, ikut membalas kenakalan yang dilakukan. Sampai akhirnya erangan terlepas dari bibir manis sang gadis karena hentakan terlarang menyentuhnya. Darah merah mengalir pelan di sana. Cristhian tertawa, “perawan?” seringainya makin menjadi-jadi. “Malam ini menarilah untukku, Sayang,” bisiknya lembut di dekat telinga. Permainannya kasar, untuk seorang yang bertubuh polos seperti Evelin itu benar-benar hebat.Dirinya tak menyangka semua akan terasa sakit dan nikmat. Ternyata inilah yang dirasakan Camila. Pantas para wanita bengal akan bahagia jika bisa melakukannya tanpa ikatan pernikahan. Di balik nyeri, tanpa sadar tubuhnya meminta dominasi.Hentakan yang tak beristirahat mengeluarkan desah dan raungan pelan di antara keduanya. Cristhian Ronald sepertinya tak ingin beristirahat menikmatinya. Bahkan memaksa gadis itu duduk mesra dengannya. Diiringi tangan tak bermoral ikut ambil bagian agar bahagia.Keberuntungan meneriakinya, karena berhasil mengenai posisi dewa sang gadis muda. Melantunkan kisah terlarang mereka, yang tak seharusnya terjadi saat ini juga. Efek mabuk pun bercampur satu dengan semua, membuat gadis itu menggila dan memaksa Cristhian melihat pesona terselubung Evelin bangkit.Malam yang terasa panjang, membuat perempuan itu lupa akan misi. Dirinya sudah terlanjur terbuai akan pesona targetnya. Hanya dengan perintah sentuhan dari Cristhian, Evelin bagai pesuruh yang mau menurutinya. Sampai akhirnya mereka berdua meneteskan air mata deras di senjata Cristhian ataupun sarung pedang Evelin yang sudah tak tersegel lagi.Waktu berlalu, dengan suasana dingin, sunyi dan melelahkan. Perlahan Evelin membuka mata, inti bumi dan pinggangnya terasa nyeri. Ia merasakan lengket di sana. Lalu mengumpulkan kesadaran dengan benar menatap sosok yang memeluknya. Tanpa kain sehelai pun untuk menutupi mereka, Evelin terpana dengan wajah lelaki di depannya.Alis mata Cristhian begitu rapi, dengan rahang tegas namun aura wajahnya mempesona. Bibir indah yang dinikmati Evelin, hanya diam di depan mata. Sekarang, gadis itu mengutuki diri. Sikapnya yang pura-pura mabuk padahal toleransi alkoholnya tinggi, berujung cinta pada pandangan pertama.Apa yang harus kulakukan? Aku tak sanggup membunuhnya.Evelin mendecih, tangannya merangkul pinggang laki-laki yang memeluknya di sofa. Ruangan itu dipakai lama Cristhian karena ingin menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Beban hidup benar-benar membuatnya ingin terkurung di VVIP club itu. Perlahan, Evelin mencoba bangun.“Kamu mau ke mana?” gumam Cristhian.“Kamu sudah bangun?!”Laki-laki itu hanya tersenyum. Memaksa pelukan agar Evelin tak beranjak pergi. “Aku lelah,” ucap Cristhian tiba-tiba.“Sepertinya aku harus pergi.”“Ke mana?” Cristhian memandang tak suka dengan kalimat gadis itu.“Ada yang harus kulakukan.”Cristhian masih tak mau melepaskannya. “Temani aku. Kumohon, hanya untuk hari ini,” lirihnya. Evelin terdiam sejenak. Menenggelamkan pikiran sebelum akhirnya mengiyakan. “Apa kamu kedinginan?” tanya Cristhian.“Sedikit.”“Tenang saja, aku akan menghangatkanmu,” salah satu kaki Cristhian masuk ke celah antara dua kaki. “Kamu cantik.” Evelin tersipu mendengar pujian itu. Cristhian tersenyum, lalu menggerakkan kaki terkurungnya mengenai gerbang menuju mahkota sang gadis. Evelin mendesah karenanya, “aku menyukainya. Apa kamu baik-baik saja?” ujarnya.Evelin tersentak. Sekilas ia melirik jam. Sekitar 04.17 pagi. “Ya, walau aku sedikit pusing,” menutupi diri kalau dirinya tak mabuk sebenarnya.Setiap berbicara, mata Cristhian tak beranjak dari bibir ranum sang kupu-kupu.Lambat laun, ada sesuatu yang mulai terbakar di diri.“Berapa usiamu?” “19 tahun.”“Masih muda rupanya. Maafkan aku mengambil keperawananmu.”Evelin terdiam, matanya terbelalak tak menyangka kalau Cristhian akan mengucapkan itu. “Mm, ayo lupakan apa yang sudah terjadi.”Hanya ekspresi diam tertoreh di wajah laki-laki. “Lupakan? Sepertinya ini tak begitu berkesan bagimu.”“Ini hanya kekhilafan.”Mendengarnya, mata Cristhian turun ke bawah. Melirik apa pun yang bisa dijangkau pandangan. “Sayang sekali, tapi aku tak ingin melupakannya.” Sekarang ia mengelus lembut mahkota kembar sang gadis.Gadis itu terkesiap dengan perlakuan tiba-tiba di badan. Gerak tubuhnya spontan sensual di mata, memaksa lutut laki-laki tersebut naik kembali dan bergerak di antara celah paha. “Hentikan.” Cristhian justru tak mendengarnya. Dada yang membusung di sentuhan malah dipermainkan. “Aku sudah tak sanggup,” tolak Evelin. Tapi raungan desahnya malah semakin membakar suasana.“Tak masalah. Karena aku masih sanggup dan menginginkannya.”Laki-laki itu bangkit, duduk dan memaksa sang pujaan untuk melayani. “Jangan, aku mohon!” Evelin mencoba berdiri, tapi sayang semua sudah terlambat. Senjata bertuan meminta pelukannya.Akan tetapi, mata dingin Cristhian menyelimuti Evelin. Tak ada kalimat kecuali gairah pelan terlontar dari mulutnya. Memaksa apa pun yang ada di tubuh untuk menjajahi sang gadis muda. A
“Aku menyukaimu,” bisik lembut Cristhian, membuat Evelin tersentak dan langsung mendorong dada bidang lelaki itu. Mulutnya sedikit terbuka menyiratkan ketidakpercayaan, bahwa sosok di depannya juga merasakan hal yang sama.“Aku tahu ini terdengar gila. Aku tahu jika aku sudah kurang ajar, tapi aku benar-benar menyukaimu. Aku akan bertanggung jawab menikahimu dan membesarkan anak kita,” jelas Cristhian menyentuh perut Evelin.Tubuh indah gadis itu bergetar hebat, mendengar pengakuan yang takkan pernah terkira olehnya. Tanpa saling mengenal, tanpa mengetahui nama, lelaki di depan mata mengatakan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. Evelin berteriak sejadi-jadinya. Kebimbangan justru muncul memburu isak tangisnya. Tanpa kata yang jelas, gadis itu memukul berulang dada bidang Cristhian, sehingga sang lelaki tersentak kaget. Ia tak tahu apa-apa, hanya melontarkan keinginan, namun dibalas jawaban tak kentara oleh pujaan satu malam.Karena panik dan cemas akan ulah sedih Evelin, laki-laki
“Evelin!” pekik Cristhian saat sadar pisau dihunuskan ke arah dada. “Apa yang kamu lakukan?!” ia berhasil menghindar.Pisau kembali diayunkan ke wajah Cristhian, seketika laki-laki itu menangkap lengannya. Tapi terlambat, sang gadis memutar tubuh dan menariknya dari belakang sehingga ia jatuh tepat di hadapannya. Tanpa jeda Evelin menghunuskan pisau ke arah kepala sang pemuda.“Ev—”TRANG!Suara pisau membentur lantai dan patah. Cristhian berhasil menghindari serangan yang hampir melubangi wajah. Napas tersengal, tapi bukan berarti dirinya akan pasrah begitu saja. Dengan keadaan Evelin masih berdiri, ia langsung memakai tangannya, menghantam kaki gadis itu sehingga badannya jatuh terjerembab.“Uugh,” erangnya. Saat menyadari pisau terlepas dari tangan, ia segera bangkit. Tapi sayang, Cristhian menindih tubuhnya dan menahan bahu Evelin agar tak bisa beranjak.“Apa yang kamu lakukan?!
“Istirahatlah,” lirihnya mengambil selimut dan menutupi tubuh Evelin.Walau matanya bisa melihat dengan jelas undangan dari raga sang gadis, dirinya tak berniat lagi melakukannya. Rasa suka yang Cristhian miliki bukanlah suatu kebohongan. Jika tak menyentuh Evelin memang membuat gadis itu bahagia, maka akan ia lakukan. Dirinya tak ingin menodainya lagi tanpa izin, karena bagaimanapun sekarang sang pujaan mungkin akan mengandung anaknya. Tak lama kemudian, embusan angin malam tiba-tiba membangunkan gadis itu. Matanya mengerjap beberapa kali, hanya terang kamar dibantu cahaya rembulan terlihat olehnya.“Apa yang terjadi?” gumam Evelin menatap langit-langit. Saat akan bangkit, tubuhnya tersentak menyadari tangan masih terikat.Sekarang, justru tali pengikat erat menahannya pada dua tiang ranjang.Dengan tubuh masih berselimut, ia coba meronta membebaskan diri. Masih tak ada hasil, raganya juga terasa lemas, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Perlahan, bayangan Cristhian membe
“Besok aku akan mempertemukanmu dengan orang tuaku. Begitu selesai kita akan pergi keluar negeri.”“Bertemu orang tuamu?”“Ya.”Dahi mengernyit dan alis mencoba bertaut terlukis di wajah sang gadis. “Buat apa aku bertemu orang tuamu?”“Karena aku akan menikahimu.”Seketika tawa pecah di ruangan. “Ayolah Kak Cris, menikah? Aku masih muda. Dan kabarnya kamu juga sudah bertunangan. Jangan mengumbar lelucon di situasi kita bisa mati begini.”Cristhian berhenti dari aktivitas pencariannya. Melirik gadis itu dan duduk di tepi ranjang.“Jawab saja satu hal, Evelin. Apa kamu tidak bisa membunuhku karena menyukaiku?”Sejenak diam menerpa, beberapa detik kemudian Evelin bersuara. “Aku tidak menyukaimu. Kebetulan saja aku kasihan padamu dan tak jadi membunuhmu. Aku juga malas karena sangat ingin pensiun dari pekerjaan ini,” ocehnya berdrama.Cristhian tersenyum meledek. “Jawab saja ya atau tidak?” Tampang drama retak di muka, Evelin seketika menatap masam.“Tangisanmu sudah menjawabku,” laki-lak
Evelin mengedarkan pandangan. Ia jengkel sekaligus senang. Matanya tak lagi basah, tapi otaknya masih normal tak ingin terbuai ucapan Cristhian. “Dasar keras kepala!” umpatnya.“Aku menginginkanmu,” bisik Cristhian. Deru jantung Evelin memburu, seperti diberi bunga menebarkan aroma kebahagiaan.Segera ia tepis bisikan iblis nafsu, tapi Cristhian malah menantangnya. Tangan nakal merambat pelan, lembut dan menggoda. Evelin menahan sentuhan itu agar tak menjajahnya.“Aku ingin tidur,” tegasnya membalikkan tubuh.Cristhian memanyunkan bibir mendapat penolakan yang memutus hasrat. Mereka berdua akhirnya memilih tidur begitu saja.Suara burung berkicau samar terdengar di pinggir jendela. Fajar menampakkan diri, berteriak girang menggantikan malam. Suara desah menyadarkan seseorang, perlahan mengerjap mata penasaran dari mana sumbernya.Evelin tersentak, karena dialah yang bersuara. Tak terasa tangan Cristhian menyusup masuk mengganggunya, mencoba bermain menghabiskan waktu.“Kak Cris! Apa y
Sekarang, mata laki-laki itu seperti termanjakan oleh lekuk tubuh indah di depannya. Walau dibalut pakaian, pandangan masih menerawang. Seakan tembus dan berkhayal kembali akan pesona seksi sang gadis pujaan. Evelin sudah selesai dengan dandanannya. Namun, mata Cristhian masih tak lepas menyapunya, terlebih saat sorotan tersangkut pada dada membusung itu.“Sangat pas dan cantik.”Evelin mengernyitkan dahi. “Pas? Kamu bisa mengatakan itu karena tidak merasakannya! Apa kamu tidak tahu kalau aku ini sedang sesak napas? Lagi pula ini pakaian siapa? Dalamannya sempit begini!” emosi tersembur di mulutnya.“Kamu tidak suka? Padahal itu aku beli dan pilih sendiri.”“Persetan dengan pilihanmu sialan! Aku mau pergi!” Evelin masih kesal. Itu sebuah kewajaran, mengingat bra yang ia pakai cukup sempit. “Apa lihat-lihat?! Kuncinya mana?!” ia menggerakkan gagang pintu kasar.Cristhian hanya tersenyum, sejujurnya ia puas melihatnya. Setelan yang dipakai Evelin luar dalam adalah pakaian baru calon ist
“Tidak. Sama sekali tidak.”Pemuda itu tersenyum. Tatapannya hanya fokus ke wajah Evelin. Sekarang, jarak berdiri mereka kurang dari satu meter. “Evelin, itu namamu?”“Ya.”“Nama yang indah,” puji Daniel.“Terima kasih. Nama Kakak juga sangat indah.”Tiba-tiba Daniel menyemburkan tawa aneh. “Basa-basimu luar biasa sekali. Jadi, kapan kamu akan melakukannya?”Dahi Evelin mengernyit bingung. “Melakukan? Melakukan apa?”“Menggugurkan kandunganmu.”Spontan jantung gadis itu serasa dihujam oleh ucapan sosok di depan mata. Tapi dirinya masih mengontrol ekspresi, karena sejujurnya ia sangat penasaran kenapa keluarga Cristhian Ronald terasa aneh baginya.“Jadi, kenapa aku harus menggugurkan kandunganku?”Daniel mengedarkan pandangan. Berjalan pelan ke arah jendela, membukanya agar udara pagi masuk lembut ke dalam kamar Cristhian.“Karena adikku takkan menikahimu.”“Begitu?”“Dia sudah bertunangan. Tiga bulan lagi mereka akan menikah. Putri dari Menteri Keuangan tentu jauh lebih baik dari gadi