“Besok aku akan mempertemukanmu dengan orang tuaku. Begitu selesai kita akan pergi keluar negeri.”
“Bertemu orang tuamu?”
“Ya.”
Dahi mengernyit dan alis mencoba bertaut terlukis di wajah sang gadis. “Buat apa aku bertemu orang tuamu?”
“Karena aku akan menikahimu.”
Seketika tawa pecah di ruangan. “Ayolah Kak Cris, menikah? Aku masih muda. Dan kabarnya kamu juga sudah bertunangan. Jangan mengumbar lelucon di situasi kita bisa mati begini.”
Cristhian berhenti dari aktivitas pencariannya. Melirik gadis itu dan duduk di tepi ranjang.
“Jawab saja satu hal, Evelin. Apa kamu tidak bisa membunuhku karena menyukaiku?”
Sejenak diam menerpa, beberapa detik kemudian Evelin bersuara. “Aku tidak menyukaimu. Kebetulan saja aku kasihan padamu dan tak jadi membunuhmu. Aku juga malas karena sangat ingin pensiun dari pekerjaan ini,” ocehnya berdrama.
Cristhian tersenyum meledek. “Jawab saja ya atau tidak?” Tampang drama retak di muka, Evelin seketika menatap masam.
“Tangisanmu sudah menjawabku,” laki-laki itu tertawa pelan. Ia berdiri, menghampiri sang kupu-kupu keras kepala. “Apa kamu tahu? Aku kuliah di jurusan psikologi.”
“Benarkah? Tapi tampangmu itu aneh. Dan sepertinya kamu cocok berteman dengan orang gila.”
Sekarang mereka berdiri berhadapan. Menilik dari penglihatan, Evelin jelas gugup bertatap muka dengannya. Cristhian mengabaikan sindiran dan mengatakan hal di luar dugaan.
“Baguslah, karena aku juga menyukaimu.”
Senyum bak bunga merekah di bibir, membuat pesona sebagai cinta pada pandangan pertama tepat untuk disandangnya.
Entah seperti apa kata hati Evelin. Bayangan berupa di atas awan berbisik ingin memanjakan, tapi keangkuhan berdiri di permukaan. “Sombong sekali, kapan aku mengatakan suka padamu?”
Cristhian menarik pinggangnya. “Ayo tidur, besok kita tidak boleh terlambat bertemu orang tuaku.”
Jengkel terpancar karena diabaikan. Tapi tarikan tangan Cristhian tetap memaksa Evelin tidur di ranjang. Coat yang terpakai, dilepasnya dan dilempar ke sofa coklat empuk.
Tak peduli seperti apa respons orang di sebelahnya, sang gadis menarik selimut menutupi diri. Jujur ia cukup malu, hanya berpakaian seperti itu saat ini.
Mata elang Evelin menyorot Cristhian yang hendak tidur di sampingnya. “Kakak juga tidur di sini? Kamu mau macam-macam ya!” hardiknya.
“Ini kamarku. Aku lelah, jadi ayo tidur,” Cristhian juga menarik selimut penutup Evelin.
“Aku tidak mau berbagi selimut denganmu!”
Badan sudah terlanjur terbaring. Walau saling berhadapan, tatap muka mereka masih tak teralihkan. “Aku kedinginan. Jangan undang hasratku untuk macam-macam.”
Perlahan, Evelin membiarkan genggaman erat selimut terlepas di tangan. Ia memilih berbalik, takut jika Cristhian benar-benar melakukan apa yang diucapkan. Senyum simpul tersungging, sang pemuda ikut menutupi tubuh dengan kain lembut tebal berduaan bersama sosok di sebelahnya.
Entah sudah beberapa menit berlalu. Evelin tak bisa tidur, pikirannya menerawang apa yang akan terjadi selanjutnya. Robert dan Marcus pasti takkan mengampuni kegagalan misi. Hanya karena terpesona dan cinta pada pandangan pertama, jelas suatu omong kosong jika terdengar oleh kedua orang itu.
Rasa takut menggerogoti. Berbagai macam langkah yang akan ditempuh mereka untuk mencarinya mengudara di pikiran. Di satu sisi ia ingin mengikuti Cristhian. Di luar skill pembunuh, hasratnya hanya gadis normal.
Tak terasa air mata mengalir. Dirinya enggan bersuara jelas, meneriakkan beban di dalam hati. Setiap ia membunuh, raut wajah mangsa masih tertinggal di ingatan mata. Terkadang, dalam mimpi mereka mendatanginya, mengutuk diri berharap kesialan menimpa.
Evelin masih terlalu muda, namun bebannya luar biasa. Dia seorang yatim piatu sejak berusia 10 tahun. Ayahnya dibunuh saat melawan para penjahat. Sementara ibu dan kakaknya diperkosa serta dibantai tepat di depan mata. Mayat mereka memenuhi bathub, diiringi dengan siksa untuk sang gadis muda. Dirinya ditenggelamkan dalam kubangan air darah dan potongan mutilasi keluarganya.
Semua berlanjut dengan takut akan tenggelam. Ia tak bisa berenang, saat merasa akan tenggelam di bathub atau kolam renang, Evelin seperti kerasukan. Bayangan serta ingatan itu menyeruak ke kesadaran, mencoba mengingatkan kalau dia tak boleh lupa akan siksa yang pernah diterima.
Dirinya terisak, hanya Marcus yang mengulurkan tangan. Dia adalah musuh keluarganya, tapi dengan rela membesarkan Evelin menjadi seperti sekarang. Ya, seorang pembunuh bayaran. Sudah bertahun-tahun ia hidup seperti ini. Gadis kecil polos adalah senjata terbaik dalam beraksi.
Bahkan dirinya juga dipakai untuk menghabisi mangsa dari negara lain. Pembunuh bayaran berkulit jaringan internasional. Hanya tujuh orang dan dirinya adalah salah satunya.
Mereka tak hanya bergerak di satu bidang, penjualan organ, obat-obatan ilegal, senjata, juga wanita berada di bawah kendali orang bernama Robert.
Akan tetapi, hanya tiga yang terlibat dalam urusan pembunuhan langsung. Dialah Evelin, Marcus dan juga Barbara. Lari atau bersembunyi, di mana pun mereka pasti akan ketahuan. Sekarang, hanya tinggal waktu menuju peledakan.
“Kamu menangis?” Evelin tersentak, saat bahunya disentuh dan tertarik ke belakang. Cristhian menatap lekat wajahnya, melukiskan tanda tanya untuk disampaikan. “Kenapa kamu menangis?”
“Tidak ada apa-apa,” lirihnya menyeka kasar air mata.
Cristhian memeluknya erat. “Aku, masih belum mengenalmu.”
“Lupakan itu. Besok pergilah ke negara lain. Jangan mendatangi tempat yang menjadi wisata keluargamu. Karena kami tahu, ke mana kalian akan menghabiskan waktu.”
“Kami?”
Evelin menghela napas pelan. “Aku seorang pembunuh bayaran. Organisasiku diminta untuk membunuhmu sebagai langkah awal mengacaukan presiden.”
“Oleh siapa?”
“Entahlah.” Evelin tak mau jujur. “Saat berkabung, adalah waktu terbaik untuk melancarkan serangan besar-besaran.”
“Politik ayahku tak ada hubungannya denganku,” sergah Cristhian jengkel.
“Bisnis ayahmu ada hubungannya denganmu.”
Cristhian mendelik kaget. Tak percaya itu akan terlontar di depannya. “Kamu, mengetahuinya?”
“Karena organisasi kami juga bergerak di bidang itu. Negara kalian mengambil keuntungan terlalu banyak dalam penjualan organ dan obat. Ayahmu adalah pilarnya, giliran selanjutnya mereka yang berkerja sama dengannya.”
“Tapi itu hanya bisnis.”
“Menjadi orang besar, sudah pasti menarik musuh di depan mata. Ayahmu yang seorang pedagang gelap, memiliki kejahatan terburuk di luar statusnya saat ini. Bahkan jika itu untuk merusak lawan, caranya salah.”
“Siapa kamu sebenarnya?”
Evelin tak menjawab itu, ia memilih mengatakan pembahasan berbeda. “Kaburlah, ke tempat yang tak pernah terbayangkan siapa pun. Karena sekali organisasiku memilih, Kakak takkan bisa lepas dari genggaman.”
“Jika aku kabur, lalu kamu bagaimana?”
“Tak perlu pikirkan aku.”
“Dan anak kita?”
“Aku tidak hamil anakmu.”
Senyum meledek muncul di rupa. “Tapi aku menghamilimu.”
“Bisa saja aku mandul. Lebih baik kamu bertanggung jawab pada orang lain yang kamu hamili.”
Dada Cristhian bergemuruh. “Seperti katamu. Aku akan bertanggung jawab.” Ia menyentuh perut Evelin.
“Jangan bersikap polos, Kak Cris. Bukan cuma aku yang kamu tiduri.”
Sejujurnya Cristhian geram mendengar ocehannya. Tapi wajah tenang masih melekat indah, karena ia bukan tipe yang gampang tersulut emosi.
“Namun, cuma kamu yang menerima benihku. Percaya atau tidak itu kenyataannya. Aku menyukaimu. Sampai aku yakin kamu hamil anakku, kamu akan tetap digenggamanku.”
“Sova, seandainya kita mati, bagaimana?” pertanyaan sosok bersurai merah itu membuat laki-laki berambut coklat terang di depannya mengernyitkan dahi. “Kau takut?” Bharicgos terkekeh pelan. Perlahan pandangan diedarkan ke sekitar, sayup-sayup suara gagak menyusup masuk ke telinga. Semakin lama semakin terdengar keras mengiringi langkah keduanya. “Aku hanya bertanya, kenapa jawabanmu malah seperti itu?” “Kita takkan mati dengan mudah. Apa lagi kau Bharicgos, mereka hanya membuang nyawa ke hadapan kita.” Dan ringkik kuda yang terasa jelas mulai menghampiri keberadaan mereka. Tampak di halaman istana Tenebris, kehadiran beberapa prajurit berzirah merah. Semangat yang tercetak di wajah mereka, senjata beserta bendera yang dikibarkan di tangan pun menjadi tanda dimulainya pertarungan keduanya. “Begitu ya, kau benar juga. Terima kasih sudah menghiburku, Sova Aviel Ignatius.” “Sova, padahal kau bilang kita tidak akan mati. Lalu kenapa pedang iblismu ada di bocah ini?” bersamaan dengan o
Hempasan angin kasar menghantam mereka. Semua disebabkan oleh senjata Haina dan juga Lucius yang beradu. Rantai berduri ataupun pedang terselubung itu tampak seimbang. "Kau Tenebris. Kenapa menyerang?" Mendengar itu Haina menyentak rantainya. Memaksa Lucius mundur beberapa langkah. Walau sosoknya terluka namun tak meruntuhkan kekuatan Haina. Selain tampang angkuh yang sekarang melekat di muka. "Bukankah sudah jelas? Tentu saja untuk membasmi kalian." Seketika mata Lucius menyipit tajam. Jawaban konyol barusan jelas bukanlah yang ia harapkan. Sementara di satu sisi, Hion sekarang sedang berhadapan dengan dua Darkas. "Hati-hati. Dia sepertinya menguasai beberapa aliran pedang." Tentu saja penjelasan Bharicgos menyentak pendengaran rekan-rekannya. "Sepertinya Ignatius memang terlahir luar biasa ya," Siez menggeleng pelan. Teringat kembali dengan sosok Lucius di seberang. Pemuda delapan belas tahun itu pun juga serupa. Dilihat dari keahlian berpedangnya bisa dipastikan ia memaka
Sorot mata tenang sosok berambut perak itu, terus saja memandangi pemuda bersurai coklat. Bahkan setelah pertemuan para utusan delapan kerajaan berakhir dengan ketegangan, Lucius tak terlihat menyesal. Ia bahkan sempat menatap remeh pada laki-laki di depan mata. Siez Nel Armarkaz. Penolongnya yang sudah membuat mereka bisa pergi dari sana. Andai Lucius tetap gigih memprovokasi Orion, mungkin saja beberapa orang yang menganggapnya ancaman akan segera membantainya. Terlihat dari tatapan tajam ratu Virgo kepadanya. "Darkas, apa kalian berkhianat?" pertanyaan Raja Aquarius saat Siez dan pamannya maju untuk menengahi keadaan memantik sebuah kenyataan. "Berkhianat?" Siez tersenyum hangat. "Dia rekan kami. Tak peduli siapa sosoknya, sudah tugas Darkas untuk melindungi orang-orang yang bekerja sama dengannya. Bukankah begitu? Pangeran Kaizer." Tapi tak ada tanggapan dari laki-laki yang diajak bicara. Selain tatapan tajam memenuhi suasana. Tanpa kata Lucius berlalu dari sana dan diiri
Pertarungan antara Kaizer atau pun Eran Lybria dengan para pengganggu memang telah selesai. Tapi tidak dengan Fabina, pedang di tangan pun diarahkan pada leher Lucius yang sudah tak lagi menyerangnya. "Hei! Apa yang kau lakukan?" Dusk Teriel masih bingung dengan mereka. "Musuh memang sudah tak ada. Tapi kita tak bisa menutup kemungkinan akan Tenebris yang tersisa." Orang-orang di sana pun kembali terhenyak. Dan menatap tak percaya pada sosok yang berbicara. "Ada bukti?" Lucius menyeringai. "Tutup mulutmu, hanya karena matamu sekarang tidak merah lagi bukan berarti kau bisa menipuku. Kau sendiri bukan yang mengatakan akan perperangan itu." Dan tak disangka, sebuah hempasan kasar pun menghantam Fabina. Tubuhnya langsung menghantam tanah akibat ulah perempuan yang menatap murka. "Yang Mulia!" Agrios syok melihatnya. Karena bagaimanapun juga dirinya jelas tak mengira kalau sang ratu akan menyerang kerajaan rekan mereka. "Fabina!" Kaizer pun menghampirinya. "Kau baik-baik saja?!"
Kehadiran pria itu sontak membuat para utusan Libra murka. Tanpa ragu Tarbias dan juga Eran menarik pedang mereka. Berbeda dengan seseorang yang hanya bersikap waspada pada pembantai kerajaannya. Prizia D'Librias. Sosoknya justru tak terlihat marah. "Siapa kau?!" Dusk Teriel jelas terkejut melihat respons para utusan Libra. "Tel Avir Ignatius. Jadi, apa kalian juga ingin bertarung denganku?" Ignatius.Nama belakang itu menyentak Lucius. Ia menatap tak percaya pada laki-laki yang bisa dipastikan berasal dari kerajaannya. Namun rupa asing Tel Avir membuatnya waspada. Karena bagaimana pun tak semua Ignatius sejalan dengan prinsip Tenebris. Apa lagi orang asing di depan mata tak pernah tampak di kerajaan semasa hidupnya. "Berani-beraninya keparat sepertimu muncul di sini!" suara senjata yang beradu pun melukiskan suasana. Pedang sang komandan Eran Lybria, dan juga pisau panjang tamu tak diundang itu saling bertemu dengan percikan di mata bilah keduanya. Seolah tak peduli lagi pada
Kalimat laki-laki itu pun memaksa beberapa orang memasang muka masam. Hanya seseorang yang menyeringai, siapa lagi kalau bukan Siez Nel Armarkaz. Sosoknya yang berpakaian serba hitam itu memang mampu membuat Orion menatap murka. Dan akhirnya Kaizer hanya bisa mengepal erat kedua tangannya. Sorot mata yang tak lepas dari dua utusan Darkas menandakan kalau dirinya masih tak terima. Tapi senggolan pelan yang dilayangkan Fabina menyadarkan sang pangeran. "Tenanglah, kita akan berurusan dengan mereka nanti." Kaizer terpaksa membuang muka. Pertanda kalau dirinya setuju akhirnya. "Jadi, apa yang ingin di bahas pada pertemuan ini?" Aqua D'Rius Argova bersuara. Raja kerajaan Aquarius itu menatap lekat utusan salah satu kerajaan yang memicu kehadirannya di sana. Dan orang-orang yang duduk di meja itu ikut menatap sumber pandangan. Tiga utusan dari kerajaan Libra pun dilirik bergantian. Sampai akhirnya salah seorang yang memiliki surai pirang dan bermata hazel menghela napas pelan. "Juj