Evelin mengedarkan pandangan. Ia jengkel sekaligus senang. Matanya tak lagi basah, tapi otaknya masih normal tak ingin terbuai ucapan Cristhian. “Dasar keras kepala!” umpatnya.
“Aku menginginkanmu,” bisik Cristhian. Deru jantung Evelin memburu, seperti diberi bunga menebarkan aroma kebahagiaan.
Segera ia tepis bisikan iblis nafsu, tapi Cristhian malah menantangnya. Tangan nakal merambat pelan, lembut dan menggoda. Evelin menahan sentuhan itu agar tak menjajahnya.
“Aku ingin tidur,” tegasnya membalikkan tubuh.
Cristhian memanyunkan bibir mendapat penolakan yang memutus hasrat. Mereka berdua akhirnya memilih tidur begitu saja.
Suara burung berkicau samar terdengar di pinggir jendela. Fajar menampakkan diri, berteriak girang menggantikan malam. Suara desah menyadarkan seseorang, perlahan mengerjap mata penasaran dari mana sumbernya.
Evelin tersentak, karena dialah yang bersuara. Tak terasa tangan Cristhian menyusup masuk mengganggunya, mencoba bermain menghabiskan waktu.
“Kak Cris! Apa yang kamu lakukan?!” pekik kagetnya.
“Aku bosan,” bisiknya nakal. Ia meninggalkan bekas di leher sang gadis yang masih jengkel namun menikmati.
“Aku mau mandi!” Evelin mencoba bangkit dan menghindari tangan Cristhian dengan kasar. Tanpa ragu ia membuka pintu yang tak pernah dimasuki. Langkahnya benar, itulah kamar mandi.
Ruang besar dan bathub yang sama persis di masa lalu menusuk ingatan. Napasnya mulai tidak normal, ia jatuh terduduk memegang dada. Di antara rasa takut dan bayangan tragedi, mencoba merasuk bertengkar dalam memori.
Tubuhnya gemetar, pandangan terasa memudar menampilkan bayang samar di penglihatan. Sesak, itulah yang dirasa. Pintu kamar mandi seketika terbuka dengan Cristhian masuk hanya memakai bathrobe di badan.
“Evelin!” teriaknya. “Evelin! Kamu kenapa?” Cristhian merangkulnya, mencoba menenangkan napas tak karuan wanitanya. “Tarik napasmu pelan-pelan,” diiringi gosokan lembut di punggung untuk membantu. Entah bagaimana, suara sang perebut hati cukup mencairkan suasana, bayang-bayang kematian yang bersorak di ingatan perlahan menjadi serpihan. “Sudah baikan?”
Evelin menatapnya. Ia tak tahu ekspresi apa yang terpasang, jelas baginya semua sudah baik-baik saja. Perlahan, tangan Cristhian menyentuh pipinya, mengusap sesuatu yang mengalir tanpa disadari.
“Ada apa? Apa ada sesuatu?”
Di antara mulut yang sedikit terbuka, Evelin mulai menggigit bibir bawahnya. “Aku baik-baik saja.” Dirinya bangkit, memandang datar Cristhian. “Kakak mau mandi ya. Kalau begitu aku keluar dulu.”
Lengannya ditahan, kembali memalingkan wajah. Beberapa detik Cristhian diam menatap pesonanya. “Mau mandi bersama?”
Gurat angkuh terpampang. “Jangan mimpi! Aku tak sudi tubuh indahku terlihat olehmu.”
“Tapi tubuh telanjangmu sudah di ingatanku. Ayolah, jangan buang-buang waktu.” Cristhian menarik tangannya walau gadis itu meronta tak rela.
“Mau apa?!”
“Kamu mau mandi pakai baju?”
“Terserah aku!” tegas Evelin. Tapi dirinya tersentak saat Cristhian mengarahkannya ke bathub. “Aku pakai shower saja.”
“Kenapa? Di sini lebih nyaman,” tanya Cristhian.
“Kalau begitu Kakak saja yang mandi di sana!” Evelin melepas pegangan dan menuju shower. Memutar kran membiarkan air membasahi walau pakaian masih melekat. Tiba-tiba Cristhian memeluknya. Kaget yang menguap membuat Evelin terdiam. “Apa yang Kakak lakukan? Minggir!”
Tapi, posisi lelaki itu masih sama. Membiarkan mereka tetap begitu. Evelin bisa merasakan sesuatu, namun ia singkirkan hal aneh yang hendak menerjang nafsu. Jantung berdetak berkhayal, pelukan Cristhian menenangkan diri.
“Aku menyukaimu,” gumamnya.
Evelin tak bisa berkata-kata. Itu adalah hal yang sangat diinginkannya. Tapi, ia tipe pemikir akut. Di antara impian ketakutan juga bersandar padanya.
“Jangan begini, Kak.”
“Aku menyukaimu.” Seketika Evelin menangis. Walau air mata tak terlihat karena bercampur guyuran dari shower, isaknya terdengar. Pelukan semakin dipererat, Cristhian kembali melirihkan sesuatu. “Jadilah milikku, aku mohon.” Gadis itu hanya menggeleng pelan. Tak bisa dibayangkan seperti apa ekspresi sang pemuda yang menyandarkan wajah di bahunya. “Apa pun itu, aku akan bersamamu,” lanjutnya kembali.
Untaian kata di bibir putra presiden, mengalir dengan memburu emosi. Digenggam Evelin lengan lelaki yang memeluknya. Cristhian membalik tubuh pujaan hati, membuat mereka saling berhadapan.
“Lihat aku. Katakan sesuatu, Evelin. Apa pun itu,” lanjutnya.
Wajah tangis di pandangan masih menemani. Gadis itu memilih menunduk, membiarkan diri mereka basah bersama guyuran air. Sentuhan lembut di kepala, membuat kening Evelin beradu dengan Cristhian.
“Ini menyakitkan. Mungkin ... hanya aku yang terlalu mencintaimu,” sang pemuda menjauhkan tangan dan berbalik.
Evelin seketika tersentak, mengangkat wajah membalas pelukan pria yang hendak beranjak dari belakang. Dalam isak tangis bersuara, “a-apa yang harus kulakukan? Aku, aku! Aku juga menyukaimu, Kak Cris,” pengakuannya tiba-tiba.
Cristhian tersenyum. Terdiam menikmati, sampai akhirnya berbalik menatap gadis yang tersedu-sedu. Tampak seperti anak kecil, namun hatinya senang.
“Akhirnya kamu jujur padaku,” perlahan ia mendekatkan wajah dan mendaratkan ciuman.
Begitu lembut, pandangan saling beradu seolah menyihir Evelin. Mata jernih seperti memandikan dirinya, terhanyut dalam perlakuan sang pemuda.
Tanpa sadar dirinya membalas. Namun, Cristhian yang lebih ahli mengambil alih dalam mendominasi. Tangannya menahan pinggang perempuan itu, mungkin mereka terlalu terbuai dalam suasana.
Semua berlalu lembut. Bahkan, pakaian di badan lolos lepas karena sentuhan Cristhian. Tangannya bergerak sesuka hati, tetesan air shower seakan bertepuk tangan di antara mereka. Di antara pelukan, dada pun saling beradu, entah sadar akan detak jantung yang terlena.
Semakin waktu berlalu, hasrat makin menuntut keduanya. Evelin tersudut ke dinding, usapan memabukkan dikumandangkan Cristhian. Seketika jerit pelan terlempar begitu aduan bibir terputus, sang gadis mendesah karena tak tahan akan sesuatu yang menyentuh dirinya.
Keduanya pun bergerak sesuai melodi, dari pelan menikmati sampai cepat menghayati. Lidah panas kembali bersatu, menari di antara dua wajah yang saling bersentuhan. Evelin benar-benar tak bisa berkata-kata, semua berlalu nikmat. Bahkan, mahkota yang dijaga seakan dipersembahkan dengan gejolak Cristhian memuja hasratnya.
Akhirnya, nafsu bahagia sang pemuda menimpali. Ia pun menggendong Evelin hendak ke bathub.
“A-aku mandi di sini saja!”
“Kenapa? Di sana lebih nyaman.”
“Tidak, aku di sini saja. Turunkan aku, Kak,” pinta Evelin. Bagian bawahnya nyeri, lengket di sana. Cristhian menuruti, mengambil sabun dan menyapu lembut tubuhnya. “A-aku mandi sendiri saja!” sang gadis tergagap.
Cristhian tak peduli. Entah memang berniat membersihkan atau masih mengikuti hasrat yang membubung keluar diri, tangannya nakal pada sang pujaan hati. Ia menyeringai tipis, karena bagaimanapun dirinya lelaki.
Sampai akhirnya sang gadis merintih di bawah perlakuan mesum sang pria. Pagi itu, merupakan mandi terbaik bagi Cristhian dalam memanjakan adik-adiknya. Permainan berakhir, tubuh basah saling mengeringkan. Evelin terpaku saat menatap pakaian aneh di depannya.
“Baju apa ini?” Bukan sebuah dress, melainkan setelan kerja kantoran.
“Pakailah.”
“Tidak ada baju santai atau apa begitu?”
“Tidak ada.”
“Ini baju siapa?”
“Pakai saja,” perintah Cristhian. Tampak ia memakai kemeja merah dipasangkan celana hitam. Rapi, rambutnya disisir ke belakang, anting gelap kecil semakin memperindah pesonanya. “Kamu mau ke mana?”
“Pakai baju!”
“Kenapa tidak di sini? Aku kan sudah lihat seluruh tubuhmu.”
Muka Evelin merah padam. Antara malu dan jengkel, ditutupnya pintu kamar mandi dengan kasar. Cristhian hanya terkekeh pelan, mendapati respons yang menarik tawa.
Sekarang, mata laki-laki itu seperti termanjakan oleh lekuk tubuh indah di depannya. Walau dibalut pakaian, pandangan masih menerawang. Seakan tembus dan berkhayal kembali akan pesona seksi sang gadis pujaan. Evelin sudah selesai dengan dandanannya. Namun, mata Cristhian masih tak lepas menyapunya, terlebih saat sorotan tersangkut pada dada membusung itu.“Sangat pas dan cantik.”Evelin mengernyitkan dahi. “Pas? Kamu bisa mengatakan itu karena tidak merasakannya! Apa kamu tidak tahu kalau aku ini sedang sesak napas? Lagi pula ini pakaian siapa? Dalamannya sempit begini!” emosi tersembur di mulutnya.“Kamu tidak suka? Padahal itu aku beli dan pilih sendiri.”“Persetan dengan pilihanmu sialan! Aku mau pergi!” Evelin masih kesal. Itu sebuah kewajaran, mengingat bra yang ia pakai cukup sempit. “Apa lihat-lihat?! Kuncinya mana?!” ia menggerakkan gagang pintu kasar.Cristhian hanya tersenyum, sejujurnya ia puas melihatnya. Setelan yang dipakai Evelin luar dalam adalah pakaian baru calon ist
“Tidak. Sama sekali tidak.”Pemuda itu tersenyum. Tatapannya hanya fokus ke wajah Evelin. Sekarang, jarak berdiri mereka kurang dari satu meter. “Evelin, itu namamu?”“Ya.”“Nama yang indah,” puji Daniel.“Terima kasih. Nama Kakak juga sangat indah.”Tiba-tiba Daniel menyemburkan tawa aneh. “Basa-basimu luar biasa sekali. Jadi, kapan kamu akan melakukannya?”Dahi Evelin mengernyit bingung. “Melakukan? Melakukan apa?”“Menggugurkan kandunganmu.”Spontan jantung gadis itu serasa dihujam oleh ucapan sosok di depan mata. Tapi dirinya masih mengontrol ekspresi, karena sejujurnya ia sangat penasaran kenapa keluarga Cristhian Ronald terasa aneh baginya.“Jadi, kenapa aku harus menggugurkan kandunganku?”Daniel mengedarkan pandangan. Berjalan pelan ke arah jendela, membukanya agar udara pagi masuk lembut ke dalam kamar Cristhian.“Karena adikku takkan menikahimu.”“Begitu?”“Dia sudah bertunangan. Tiga bulan lagi mereka akan menikah. Putri dari Menteri Keuangan tentu jauh lebih baik dari gadi
“Cih! Berhentilah bercanda, Kak. Kamu tidak bisa sembarangan mengajakku berpergian di saat kau dan aku jadi buronan.”“Kalau begitu jawab aku. Menurutmu, apakah rekanmu yang lain akan mengejar kita?”“Tentu saja. Kalau pun belum sampai, aku yakin mereka pasti sudah di pesawat sekarang.”“Berarti mereka takkan naik kapal bukan? Baguslah, kita bisa bersembunyi sekalian.”Evelin tak bisa berkata-kata. Memang tak ada kemungkinan jika anggota organisasinya akan muncul di sini. Bisnis mereka lewat pelabuhan di kota yang berbeda. Kuasa di negara ini juga terbatas, karena kuasanya aktif di negara lain.Mengingat tasnya masih ada di kamar mandi club Cristhian, itu berarti organisasinya belum bertindak. Apalagi, mereka biasanya memberi kurun waktu tiga hari untuk menyelesaikan misi. Evelin waspada, pikirannya tetap tak karuan sampai beberapa jam berakhir sia-sia akan jawaban yang tidak kunjung ia dapatkan.Apakah ini pilihan tepat baginya? Mengikuti Cristhian sang perebut hati. Lalu bagaimana
Dan akhirnya, tepat di jarum jam menunjukkan pukul 01.40, sebuah ledakan dengan suara mengudara keras membangunkan seluruh penghuni istana presiden. Rumah tepi, ikut membubungkan api merah menyala yang bisa dilihat kediaman di luar area.Teriakan panik terdengar jelas. Presiden Jason dan istrinya terbangun waspada. Saat pria itu terburu-buru mengambil senjata di laci nakas sebuah suara mengagetkannya. Sosok di balik pintu, melirihkan kata sambil menyeringai.“Selamat malam.”Suara dua buah tembakan memekakan telinga. Kejadian yang berlangsung cepat membuat para penghuni seperti semut yang ditimpa bencana. Berlari tak tentu arah, beberapa sibuk menghubungi bantuan, entah pihak pemadam, keamanan negara, atau siapa pun yang harus hadir menurut naluri di sana.Teriakan keras tiba-tiba memecah suasana, mulai membuat yang lain panik dengan pemandangan di mata. Presiden Jason dan istrinya, tersungkur berlumuran darah di lantai dan ranjang. Cairan merah kental mengalir di area dada keduanya.
“Mm. Aku mengerti,” panggilan pun diputus Daniel. Cristhian menoleh ke kanan dan kaget menyadari keberadaan Evelin yang mungkin mendengar semuanya. Gadis itu perlahan mendekatinya.“Maafkan aku, Kak.”“Ini bukan salahmu.”“Tapi orang tuamu—”“Yang terpenting kita!” tegas Cristhian. “Lagi pula hanya Megan yang mati, jadi aku tak peduli.” Evelin terbungkam. Sapuan angin laut seakan berteriak padanya. Begitu kasar membuat rambutnya berantakan. “Maafkan aku karena membentakmu,” pemuda itu memeluknya.Tangan Evelin terkepal erat. Sungguh, keadaan ini menyesakkan batinnya. Hanya informasi selama di organisasi yang bisa ia gunakan untuk bersembunyi. Tapi, itu masih tak menutup kemungkinan kalau mereka akan tetap ditemukan.Kemampuan informasi Robert sangat mengerikan. Terlebih ada Antonio yang merupakan kunci untuk laju jaringan organisasi. Mereka punya banyak mata di mana-mana. Sosok-sosok lemah dari penguasa bawah tangan, dengan kaki terikat di bawah rangkulan Robert. Walau kuasa mereka da
“Apa ini saatnya untuk itu?”Cristhian mengangkat botol obat yang ada di tangan. Perlahan, dilepas dan jatuh di dekat mereka. “Robert? Siapa itu? Apa maksud isi suratnya? Dan apa arti MS itu?” Beberapa saat berlalu dengan mulut Evelin yang masih tertutup rapat. “Tinggalkan aku.”“Apa maksudmu?”“Aku tidak bisa bersama dengan seseorang yang tidak mempercayaiku. Lebih baik kamu kembali pada mereka,” sambil melangkah mengambil pisau buah di nakas. Diraihnya tangan kanan sang gadis, lalu menaruh senjata itu di sana agar tergenggam berdua. “Hanya ini pilihanmu,” Cristhian pun mengarahkan ke lehernya.“Kak Cris! Apa yang kau lakukan?!” Evelin meronta melepaskan genggaman mereka pada pisau tersebut.“Aku hanya mempermudah tugasmu.”Gurat emosi terlukis di wajah gadis itu. “Setelah semua yang kita lalui, kau bersikap seperti ini?”“Ya.”PLAK!Spontan tamparan melayang ke pipi Cristhian. “Brengsek kau, Kak Cris!”Cristhian hanya menyeringai. “Jadi, apa ini artinya kamu tetap ingin bersamaku?”
Perdebatan dari dua sosok anggota inti Robert hanya ditatap tenang oleh Marcus. Terlihat mereka saling berperang menyemburkan air, begitu menikmati hidup di kapal mewah ini.Sementara pasangan muda yang diburu, turun kapal dengan sekoci, dan dua ajudan yang jadi supirnya ikut mengiringi. Mencoba lolos, demi menempuh hidup bahagia. Laju kendaraan darurat itu berlawanan arah sekarang.“Hei! Robert memberitahuku kalau dia akan segera sampai,” tukas Antonio yang sedang memegang ponselnya. Pertengkaran dengan Barbara telah usai, mereka basah kuyup dan menjadi tontonan mata-mata para pemuja.Langit siang pun mulai diselimuti rentangan tangan sore. Langkah kaki beraturan dari pantofel hitam, seakan membisikkan keadaan. Mulai berdiri diam di depan salah satu pembatas, dan membuka pintu kamar yang memperlihatkan sosok tiga anggota inti kesayangannya.“Selamat datang,” sapa Barbara yang sedang merokok di sofa. Dua lainnya hanya menatap tenang tanpa menyapa.Namun, seringai tipis dikibarkan soso
Tersentak, dua sosok yang berpikir takkan ditemukan justru ketahuan. Mereka mendelik kaget pada rupa menawan di belakang sana dengan langkah angkuhnya.“R-Robert!” pekik Evelin. “Bagaimana bisa?!” gadis itu gemetaran. Cristhian terkejut, nama yang di dengar tak asing dan membuatnya berdiri di depan sang pujaan. Sebagai pelindung, jika terjadi apa-apa.Tersenyum. Perlahan guratan itu melebar membentuk seringai. Membelah wajah untuk memperlihatkan seberapa menakutkan sosok yang berjalan dan akhirnya berdiri tenang sejarak lima meter dari mereka.“Lari dan terus lari. Mau sampai kapan? Sudah kukatakan bukan? Pengkhianatan harganya mati,” dan ia pun melemparkan kalung perak tepat di hadapan mereka.Terbungkam.Evelin terbelalak, kakinya gemetar pelan dan mencoba melangkah ke depan.“Evelin!”Cegatan Cristhian diabaikan karena perasaan sudah hancur tak tertahankan. Sang gadis muda, akhirnya meraung keras mendapati kalung yang terbuang di hadapan. Sesak di dada di mana itu ternyata merupaka