Sekarang, mata laki-laki itu seperti termanjakan oleh lekuk tubuh indah di depannya. Walau dibalut pakaian, pandangan masih menerawang. Seakan tembus dan berkhayal kembali akan pesona seksi sang gadis pujaan. Evelin sudah selesai dengan dandanannya. Namun, mata Cristhian masih tak lepas menyapunya, terlebih saat sorotan tersangkut pada dada membusung itu.
“Sangat pas dan cantik.”
Evelin mengernyitkan dahi. “Pas? Kamu bisa mengatakan itu karena tidak merasakannya! Apa kamu tidak tahu kalau aku ini sedang sesak napas? Lagi pula ini pakaian siapa? Dalamannya sempit begini!” emosi tersembur di mulutnya.
“Kamu tidak suka? Padahal itu aku beli dan pilih sendiri.”
“Persetan dengan pilihanmu sialan! Aku mau pergi!” Evelin masih kesal. Itu sebuah kewajaran, mengingat bra yang ia pakai cukup sempit. “Apa lihat-lihat?! Kuncinya mana?!” ia menggerakkan gagang pintu kasar.
Cristhian hanya tersenyum, sejujurnya ia puas melihatnya. Setelan yang dipakai Evelin luar dalam adalah pakaian baru calon istri kakaknya. Tubuh sang kakak ipar sedikit lebih kecil dari gadis di depannya.
Wajar saja itu ada di dalam kamar Cristhian, mengingat ia membelinya sebagai ganti karena sudah merobek baju sang kakak ipar saat sedang menikmatinya. Namun gagal dipakai dan berganti dengan kemeja miliknya.
Sejujurnya Cristhian cukup kurang ajar, sudah bermain api dengan milik kakaknya. Tapi, itu dilakukan saat ia masih remaja. Dan dua tersangka kotor tak saling menyesal melainkan memilih merahasiakan. Cukup menyedihkan mengingat Daniel mendapat wanita bekas penghangat ranjang adiknya.
“Jika sesak lepas saja. Aku tak masalah jika kamu tidak memakainya,” Cristhian menyeringai.
Pintu pun dihantam keras Evelin yang emosi karena dipermainkan oleh ucapannya.
Sekarang, keduanya menapaki jalanan menuju ruang makan. Di mana keluarga besar Presiden Jason sedang sarapan.
Tatapan menganga dari seorang wanita berselimut make up tebal dan parfum beraroma elegan serta menggoda jelas menyeruak darinya. Bahkan mampu mengalahkan bau makanan di atas meja yang mengundang muntah Cristhian untuk muncul di sana.
“Cris? Siapa gadis ini?!” wanita itu melirik enggan pada sosok di samping pemuda.
“Calon istriku.”
Suara sendok jatuh dari tangan, terpancar dari wanita yang duduk di dekat Presiden Jason. Bahkan pelayan tak mampu berbicara, sampai mereka meninggalkan ruang makan atas perintah lewat sorot mata Daniel.
Sementara ayah dari Cristhian, memberi tatapan tajam yang hendak mengikis mental dan keberanian Evelin. Daripada menunduk, mata rusanya lebih memilih menyapu pandangan orang sekitar. Gadis itu cukup angkuh jika dilihat dari ekspresinya.
“Calon istri?” suara berat Jason menekan suasana.
“Ya, Ayah,” Cristhian merekahkan senyum. Ia dan Evelin masih belum duduk bersama mereka.
Daniel hanya bisa terdiam melihat ulah adiknya yang memang terkenal arogan di mata keluarga.
“Apa kamu sudah gila?! Kamu itu sudah bertunangan dengan Elena, Cris! Dia calon istrimu! Bagaimana bisa kamu membawa wanita asing seperti ini?!” hardik wanita tersebut. Ia bahkan berdiri dari duduknya karena rasa kesal di dada.
Cristhian mengukir senyum di sudut bibirnya.
“Ya, dia memang tunangan dan calon istriku. Itu karena perintah dari kalian. Dan ini calon istriku, perkenalkan, namanya Evelin. Bukankah dia cantik? Sekarang Evelin sedang mengandung anakku,” sambil mengelus perut ramping gadis tersebut di hadapan mereka.
Evelin tersentak akan ulahnya. Bahkan Daniel sampai menyemburkan minuman di mulut ke sajian Italian baked eggs di depannya.
“Jason!” pekik sang istri pada suaminya yang masih berekspresi dingin.
“Hamil anakmu?”
Crsithian menoleh pada ayahnya. “Ya, karena itu aku akan menikahinya.”
Tampak rahang Presiden Jason semakin menegas, memperlihatkan garis wajah yang memendam sangar di dalamnya. Ia tersenyum, “jika itu maumu, maka silakan saja. Lakukan sesukamu.”
Cristhian dan Evelin sama-sama terkesiap mendengar persetujuannya. “Ayah yakin? Itu berarti hubunganku dengan Elena takkan berlanjut.”
“Bagaimana bisa pemimpin sepertiku bersikap tak adil pada keluarganya? Jika kamu dan gadismu bahagia, itu sudah cukup untukku,” jelas Jason kembali melanjutkan makannya.
“Jason!”
“Jangan berdebat saat makan,” perintahnya pada istri yang masih menggerutu.
Tangan Cristhian mengeluarkan keringat dingin. Tak hanya dirinya, bahkan Daniel sang kakak juga ikut gugup di sana. Walau itu perkataan yang terlontar dari mulut ayahnya, tapi sudut hati masih waspada. Karena mereka tahu, kalau kepala keluarga itu bukan orang tenang sebenarnya.
“Duduklah, bukankah kalian juga harus sarapan?” Jason melirik pada Cristhian dan Evelin. Mendengarnya, sang anak mengangguk pelan dan menarik tangan gadis itu untuk duduk di samping Daniel.
Aura di meja makan semakin berat. Terlebih nyonya Megan terang-terangan memperlihatkan rasa tidak suka lewat gelas yang beradu keras dengan meja.
“Evelin, nama yang cantik. Dari mana asalmu?” Jason memulai percakapan.
Evelin yang semula fokus ke sarapan di depannya mengangkat wajah. “Dia dari luar negeri,” potong Cristhian sambil memandang sekilas.
Semua menoleh pada pemuda itu. “Luar negeri? Pantas saja tak punya sopan santun, sampai berani mengganggu laki-laki yang sudah bertunangan,” sindir nyonya Megan.
Bahkan, polesan yang hampir setara mobil di wajahnya tak mampu menutupi kerutan saat keangkuhan ia torehkan di sana.
“Ya. Aku memang tidak punya sopan santun, karena sudah mengganggunya di saat masih memiliki tunangan,” sahut Cristhian dengan nada menyindir.
Ekspresi nyonya Megan semakin geram. “Bagus sekali, tak kusangka putra tersayangku ternyata luluh oleh pesona gadis asing. Jadi, apa pekerjaan orang tuamu?” tatapannya menyudutkan Evelin.
“Dia yatim piatu. Untunglah, karena aku takkan punya mertua tiri yang kejam nantinya,” pemuda itu kembali menimpali dengan ocehan sembarangan.
“Mertua tiri?” pandangan nyonya Megan ibarat pisau sekarang. Tajam dan hendak mengoyak mulut kurang ajar Cristhian.
“Ah, sepertinya aku lupa memperkenalkan mereka padamu,” jelasnya menggenggam tangan kanan Evelin. “Ini ayahku.” Cristhian tersenyum tipis. “Kalau ini ibuku, walau bukan ibu kandungku, tapi kami saling menyayangi. Bukankah begitu, Ibu?” lanjutnya menyeringai, membuat wanita itu memamerkan kepalan tangan erat di atas meja.
“Kandung atau bukan Megan tetap ibumu. Aku harap kamu melupakan ini semua Evelin. Karena hubungan keluarga kami cukup rahasia di depan publik, apa kamu paham?” timpal Presiden Jason diiringi senyum.
Evelin hanya mengangguk pelan. Sejujurnya hati dan pikirannya berkata-kata, karena tak bisa memahami keadaan sekelilingnya.
Hubungan keluarga macam apa ini? Sangat buruk. Bahkan terlalu buruk di banding keluarga Camila yang sering main kekerasan dalam urusan rumah tangga.
“Dan yang di kiri itu kakakku, Daniel,” tambah Cristhian. Evelin kembali mengangguk, suaranya terasa berat untuk keluar di ruang makan penuh sesak itu. Keluarga Crishtian tidak banyak bertanya padanya, sampai akhirnya semua selesai dan pemuda tersebut kembali membawanya ke kamar. “Kamu tunggu di sini, ada sesuatu yang harus kuurus. Jangan ke mana-mana ya?” Kecupan lembut pun disematkan pada kening mulus sang gadis.
Mulut Evelin enggan menanggapi. Perlahan, sosok perebut hati pun menghilang dari pandangan. “Keluarga macam apa ini?” gumamnya sampai akhirnya pintu kamar kembali terbuka dengan lancangnya.
Sekarang, sesosok pemuda berambut pirang berhias mata aquamarine menatapnya.
“Maaf, apa aku mengganggumu?” tanyanya melangkah masuk tanpa menyiratkan sopan santun sebelum berbicara.
“Sova, seandainya kita mati, bagaimana?” pertanyaan sosok bersurai merah itu membuat laki-laki berambut coklat terang di depannya mengernyitkan dahi. “Kau takut?” Bharicgos terkekeh pelan. Perlahan pandangan diedarkan ke sekitar, sayup-sayup suara gagak menyusup masuk ke telinga. Semakin lama semakin terdengar keras mengiringi langkah keduanya. “Aku hanya bertanya, kenapa jawabanmu malah seperti itu?” “Kita takkan mati dengan mudah. Apa lagi kau Bharicgos, mereka hanya membuang nyawa ke hadapan kita.” Dan ringkik kuda yang terasa jelas mulai menghampiri keberadaan mereka. Tampak di halaman istana Tenebris, kehadiran beberapa prajurit berzirah merah. Semangat yang tercetak di wajah mereka, senjata beserta bendera yang dikibarkan di tangan pun menjadi tanda dimulainya pertarungan keduanya. “Begitu ya, kau benar juga. Terima kasih sudah menghiburku, Sova Aviel Ignatius.” “Sova, padahal kau bilang kita tidak akan mati. Lalu kenapa pedang iblismu ada di bocah ini?” bersamaan dengan o
Hempasan angin kasar menghantam mereka. Semua disebabkan oleh senjata Haina dan juga Lucius yang beradu. Rantai berduri ataupun pedang terselubung itu tampak seimbang. "Kau Tenebris. Kenapa menyerang?" Mendengar itu Haina menyentak rantainya. Memaksa Lucius mundur beberapa langkah. Walau sosoknya terluka namun tak meruntuhkan kekuatan Haina. Selain tampang angkuh yang sekarang melekat di muka. "Bukankah sudah jelas? Tentu saja untuk membasmi kalian." Seketika mata Lucius menyipit tajam. Jawaban konyol barusan jelas bukanlah yang ia harapkan. Sementara di satu sisi, Hion sekarang sedang berhadapan dengan dua Darkas. "Hati-hati. Dia sepertinya menguasai beberapa aliran pedang." Tentu saja penjelasan Bharicgos menyentak pendengaran rekan-rekannya. "Sepertinya Ignatius memang terlahir luar biasa ya," Siez menggeleng pelan. Teringat kembali dengan sosok Lucius di seberang. Pemuda delapan belas tahun itu pun juga serupa. Dilihat dari keahlian berpedangnya bisa dipastikan ia memaka
Sorot mata tenang sosok berambut perak itu, terus saja memandangi pemuda bersurai coklat. Bahkan setelah pertemuan para utusan delapan kerajaan berakhir dengan ketegangan, Lucius tak terlihat menyesal. Ia bahkan sempat menatap remeh pada laki-laki di depan mata. Siez Nel Armarkaz. Penolongnya yang sudah membuat mereka bisa pergi dari sana. Andai Lucius tetap gigih memprovokasi Orion, mungkin saja beberapa orang yang menganggapnya ancaman akan segera membantainya. Terlihat dari tatapan tajam ratu Virgo kepadanya. "Darkas, apa kalian berkhianat?" pertanyaan Raja Aquarius saat Siez dan pamannya maju untuk menengahi keadaan memantik sebuah kenyataan. "Berkhianat?" Siez tersenyum hangat. "Dia rekan kami. Tak peduli siapa sosoknya, sudah tugas Darkas untuk melindungi orang-orang yang bekerja sama dengannya. Bukankah begitu? Pangeran Kaizer." Tapi tak ada tanggapan dari laki-laki yang diajak bicara. Selain tatapan tajam memenuhi suasana. Tanpa kata Lucius berlalu dari sana dan diiri
Pertarungan antara Kaizer atau pun Eran Lybria dengan para pengganggu memang telah selesai. Tapi tidak dengan Fabina, pedang di tangan pun diarahkan pada leher Lucius yang sudah tak lagi menyerangnya. "Hei! Apa yang kau lakukan?" Dusk Teriel masih bingung dengan mereka. "Musuh memang sudah tak ada. Tapi kita tak bisa menutup kemungkinan akan Tenebris yang tersisa." Orang-orang di sana pun kembali terhenyak. Dan menatap tak percaya pada sosok yang berbicara. "Ada bukti?" Lucius menyeringai. "Tutup mulutmu, hanya karena matamu sekarang tidak merah lagi bukan berarti kau bisa menipuku. Kau sendiri bukan yang mengatakan akan perperangan itu." Dan tak disangka, sebuah hempasan kasar pun menghantam Fabina. Tubuhnya langsung menghantam tanah akibat ulah perempuan yang menatap murka. "Yang Mulia!" Agrios syok melihatnya. Karena bagaimanapun juga dirinya jelas tak mengira kalau sang ratu akan menyerang kerajaan rekan mereka. "Fabina!" Kaizer pun menghampirinya. "Kau baik-baik saja?!"
Kehadiran pria itu sontak membuat para utusan Libra murka. Tanpa ragu Tarbias dan juga Eran menarik pedang mereka. Berbeda dengan seseorang yang hanya bersikap waspada pada pembantai kerajaannya. Prizia D'Librias. Sosoknya justru tak terlihat marah. "Siapa kau?!" Dusk Teriel jelas terkejut melihat respons para utusan Libra. "Tel Avir Ignatius. Jadi, apa kalian juga ingin bertarung denganku?" Ignatius.Nama belakang itu menyentak Lucius. Ia menatap tak percaya pada laki-laki yang bisa dipastikan berasal dari kerajaannya. Namun rupa asing Tel Avir membuatnya waspada. Karena bagaimana pun tak semua Ignatius sejalan dengan prinsip Tenebris. Apa lagi orang asing di depan mata tak pernah tampak di kerajaan semasa hidupnya. "Berani-beraninya keparat sepertimu muncul di sini!" suara senjata yang beradu pun melukiskan suasana. Pedang sang komandan Eran Lybria, dan juga pisau panjang tamu tak diundang itu saling bertemu dengan percikan di mata bilah keduanya. Seolah tak peduli lagi pada
Kalimat laki-laki itu pun memaksa beberapa orang memasang muka masam. Hanya seseorang yang menyeringai, siapa lagi kalau bukan Siez Nel Armarkaz. Sosoknya yang berpakaian serba hitam itu memang mampu membuat Orion menatap murka. Dan akhirnya Kaizer hanya bisa mengepal erat kedua tangannya. Sorot mata yang tak lepas dari dua utusan Darkas menandakan kalau dirinya masih tak terima. Tapi senggolan pelan yang dilayangkan Fabina menyadarkan sang pangeran. "Tenanglah, kita akan berurusan dengan mereka nanti." Kaizer terpaksa membuang muka. Pertanda kalau dirinya setuju akhirnya. "Jadi, apa yang ingin di bahas pada pertemuan ini?" Aqua D'Rius Argova bersuara. Raja kerajaan Aquarius itu menatap lekat utusan salah satu kerajaan yang memicu kehadirannya di sana. Dan orang-orang yang duduk di meja itu ikut menatap sumber pandangan. Tiga utusan dari kerajaan Libra pun dilirik bergantian. Sampai akhirnya salah seorang yang memiliki surai pirang dan bermata hazel menghela napas pelan. "Juj