Share

Bab 7- Titik Penentuan

Bab 7 – Selena Lyra

El begitu tenang membaca bersamaku. Dia bahkan, tidak menyadari aku memperhatikan bulu mata lentiknya bergetar setiap kali pupil birunya bergeser konstan. Tak perlu waktu lama bagiku menetapkan El sebagai bibliophagist yang anti melewatkan apapun. Dia membaca kata perkata, dan meresapi setiap situasi yang diciptakan oleh narasi dan dialog. Dia bahkan, sempat memukul punggung tanganku tatkala aku mendahuluinya membalik halaman.

Lalu kami sampai pada bagian di mana sang tokoh utama wanita, bercinta dengan tokoh utama laki-laki dalam kondisi setengah mabuk. Karena aku yakin, bila mereka mabuk berat, mereka akan kesulitan menyelesaikan permainan hingga mencapai klimaks.

Aku melepas fokusku, dan menggeser buku sepenuhnya ke arah El. Aku membiarkannya menguasai buku itu. Dia sempat menoleh kaget padaku, tapi secepat kilat kembali fokus ke buku. Akhirnya, ada juga hal di dunia ini yang mampu mengalihkan perhatiannya dariku. Dan tak bisa kupingkiri, aku selalu mengagumi pria kutu buku, seperti El, seperti mas Bagas.

Hatiku kemudian terdorong untuk mengintip ke luar kamar, memastikan tidak ada seorang pun di baliknya. Namun, knop pintu berkarat itu macet. Tubuhku yang sudah menggigil kedinginan, kini makin gemetar ketakutan. Tuhan tidak mungkin membiarkanku terkunci samalaman bersama El, aku yakin tidak akan.

Aku lalu berjalan gamang menuju sofa single, duduk tegap sembari mengusap-usap lenganku sendiri. Aku memindai setiap sisi di tengah keheningan dan baru menyadari bahwa ruangan sedingin kutub utara ini dikhususkan sebagai ruang baca. Setidaknya ada lima rak kayu setinggi dua meter yang dipenuhi buku, dua meja bundar yang dikelilingi empat buah kursi kayu jati, pintu, nakas, lampu kuning temaram di tengah plafon dan tanpa jendela. Dinding dan lantainya seperti dilapisi oleh karpet kedap suara.

“Kamu sedang apa?” El menginterupsi kesibukanku mengeksplor ruangan.

“Kamu, terlihat jelas sangat menyukai buku itu.”

“Buku ini menarik. Menambah pengetahuanku tentang  cara memuaskan wanita tanpa harus pergi ke ranjang.” El terkekeh.

Aku bisa merasakan kulit wajahku tertarik ke belakang tatkala menyadari bahwa di ruangan ini, tidak ada ranjang. Ditambah, aku terperangkap di sini bersama El. Namun, aku menepis jauh-jauh pikiran negatif itu. Kami masih belum menyelesaikan diskusi tentang kompensasi tutup mulutnya.

“Apa kamu mau pindah ke ruangan lain? Di sini dingin sekali,” tawarnya sambil menutup buku. Aku yakin dia tidak menyadari perubahan ekspresiku sebab, El langsung bangkit dan berjalan menuju pintu lalu memutar knop.

“Apa kamu menguncinya?”tudingnya sembarangan.

“Untuk apa aku menguncinya,” timpalku tak terima.

“Supaya kamu bisa bercinta bersamaku dengan tenang mungkin.”

“Teruslah bermimpi,” ejekku seraya melengos.

“Kamu pasti kedinginan di balik bathrobe tipis itu,” celetuknya mendadak simpati padaku. “Apa kamu ingin aku meminjamkan tuxedoku?”

Aku berucap ragu. “Kalau kamu tidak keberatan.”

“Teruslah bermimpi,” balasnya setimpal.

Aku mencibir cara kekanakannya melempar balik ejekkanku, selagi dia terkekeh lalu berjalan santai menuju rak buku terdekat.

Telunjuknya meniti judul demi judul yang tercetak di samping setiap buku. Sesekali dia menarik buku keluar, membaca bagian blurp- nya sekilas, lalu mengembalikan ke tempat semula. Cukup lama dia melakukan hal itu, selagi aku mulai mati rasa. Tubuhku kini meringkuk di sofa, gemetaran dan mulai membeku.

“Apa kamu tidak bisa menelepon seseorang untuk meminta bantuan?” sergahku tak sabar. Cukup menjengkelkan melihat Elmond begitu asyik membaca ketika aku berjuang menyambung napas di sini.

“Baterai ponselku habis.” Dia merogoh saku, dan menghadapkan layarnya padaku sambil menekan-nekan tombol power-nya.

“Apa kamu tidak bisa mematikan AC itu dengan mencungkil bagian indoor misalnya?” usulku barangkali tidak terpikirkan olehnya. Aku pernah sekali melihat seorang tukang service AC membuka bagian indoor AC dan mematikan power-nya ketika aku kehilangan remote. Benar-benar semudah membalikkan telapak tangan.

El yang sedang berdiri sambil membaca, menoleh ke arahku, lalu ke arah indoor AC yang menempel nun jauh di sana.

“Tidak ada satu pun benda di sini yang cocok dijadikan sebagai alat mencungkil indoor,” dalih El kemudian kembali tenggelam dengan bacaannya.

“Aku sudah mau mati rasanya,” keluhku di sela-sela gigi mengatup.

“Tetaplah bergerak supaya tidak mati. Lebih bagus lagi kalau sampai berkeringat,” usulnya, tapi aku sudah terlalu lemas untuk bergerak.

Aku menyisir rambut ke depan, menatanya hingga menutupi leherku, berharap usaha ini dapat menghalau hawa dingin yang mencekikku. Aku lalu menurunkan kedua kaki, memaksakan diri untuk bergerak sesuai anjuran El. Akan tetapi, baru saja berdiri menginjakkan kaki ke karpet, tungkaiku limbung, dan tubuhku jatuh berdebam.

Aku bisa mendengar derap langkah El menghampiriku, rautnya cemas, entah itu tulus atau dibuat-buat sebab, sejak tadi dia menganggap remeh keluhanku.

Dia menyibak helaian rambut yang sebagian besar menutupi wajahku. Detik berikutnya, dia melepas tuxedo, dan membalutkannya ke bagian depan tubuhku.

 “Kemarilah!” El mengangkatku ikut bersamanya duduk di sofa single, aku duduk di antara kedua kakinya. Dia menekan lembut kepalaku supaya bersandar di dadanya.

Aku menggeliat, berusaha menjauh darinya, posisi ini, membuatku risih.

 “Diam di sini dan bernapaslah dengan benar!” perintahnya.

Bukan tanpa alasan El memerintah demikian sebab, sejak jatuh, dadaku naik turun tak beraturan. Udara yang kuhirup terlalu dingin, membekukan jalur respirasiku.

El kemudian mendekapku erat, sekaligus melilitkan kedua tungkai jenjangnya di area tubuh bagian bawahku. Aku seperti ulat dalam kepompong yang hangat.

“Natty sangat suka bila aku melakukan hal ini kepadanya saat musim dingin tiba,” pungkas El mengenang masa lalunya.

Aku bingung harus bereaksi seperti apa sehingga aku hanya diam menyimak.

El mendengkus. “Maaf sudah berbicara omong kosong ...”

“Tidak, tidak, ceritakan lebih banyak lagi,” desakku. Aku ingin dia terus bicara supaya aku dapat mengalihkan rasa dingin.

“Tidak ada yang menarik, kecuali yaa ... kami sering bertengkar seperti pasangan pengantin tua.”

“Hah? Bertengkar?” kagetku sekaligus penasaran. “Apa alasan kalian ribut?”

“Kebanyakan aku yang memulai ... menjahilinya,” aku El. Dia berbicara sambil menggerak-nggerakan kedua tangannya yang sejak tadi  hinggap di area perutku. Telapak tangannya putih kemerahan, berukuran dua kali lipat dari tanganku, serta terkesan  hangat.

“Natty, sangat suka kulit ayam goreng. Dia selalu menyisihkan kulitnya untuk disantap paling akhir, begitu nasi dan dagingnya habis, aku langsung melahap kulitnya.”

“Dia pasti histeris,” tebakku seraya terkekeh. Aku bisa membayangkan betapa murkanya Natty sebab, aku pernah mengalaminya juga saat di panti asuhan. Kulit ayam goreng bagi kami adalah makanan mewah.

“Dia menggigit tanganku.” El mendekatkan tangan kanannya ke wajahku dan aku bisa melihat beberapa titik hitam yang kontras dengan kulit putihnya. “Nyaris putus,” sambungnya hiperbola.

Aku mengulurkan telunjuk, meraba lembut bekas luka itu dan aku bisa merasakan tarikan napas panjang di belakangku serta hembusan putus asa.

Aku beringsut menegapkan posisi dudukku, hendak menoleh memastikan kondisinya, tapi El lagi-lagi menahan lajuku dengan mempererat dekapannya. Membuatku dicengkeram ketakutan, takut bila dia bertindak lebih jauh lagi dan aku tidak mampu melawannya kali ini.

Sayup-sayup aku mendengar suara tangis. “El?” panggilku. Aku tidak mampu menoleh ke belakang demi memastikan kondisinya sebab, dia memelukku sangat erat. Aku bertaruh, dia pasti sedang merindukan Natty, dan aku merasa bersalah sebab, sudah mendesaknya bercerita tentang mendiang calon istrinya.

“El?” Aku mengulang panggilanku, kini sambil memaksakan kepala memutar ke belakang. El sedang merunduk, sesekali bahunya berguncang dalam skala kecil. Hawa mint berhembus dari hidungnya, membelai wajahku. Begitu juga ketampanannya yang merayuku membabi-buta. Pada jarak sedekat ini, aku tersesat dalam pesonanya.

El mengangkat kepala lambat dan iris biru itu menyambutku sayu, kami bersitatap intens. Perlahan, El menangkup bagian daguku seraya berucap lirih. “Kenapa ... kenapa kalian berdua begitu mirip?”

Spontan, aku menggigit bagian bawah bibirku, kebiasaanku saat dilanda bingung atau gugup. Dan tanpa persetujuanku, El meniru tindakanku, dia memagut bibirku dan menggigit sudutku pelan.

“El, kita tidak boleh begini!” larangku sambil berusaha membebaskan diri dari lilitannya.

“Aku akan melepaskanmu, bila kamu menjawab pertanyaanku dengan jujur. "Tatap aku!” titahnya sambil menangkup daguku lebih erat. Aku terpaksa menurutinya sebagai kesempatan terakhirku untuk membebaskan diri. Sampai akhirnya, dia mengajukan pertanyaan yang sulit kujawab. “Bersumpahlah demi Tuhan, kalau kamu bahagia dengan pernikahanmu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status