Taksi online yang membawaku pergi dari rumah Bang Ramdan telah berhenti tepat di depan pagar kediaman Mamah. Selepas menyerahkan uang pada sopir aku bergegas masuk.
Saking terburu-burunya aku bahkan gak memperdulikan penampilanku yang awut-awutan. Tadi setelah meminta cerai pada Bang Ramdan dan meninggalkan rumah yang sudah tiga tahun aku diami aku memutuskan untuk pulang dibanding berdiam di rumah Bang Ramdan yang telah menyakitiku.
Aku sakit, terkoyak dan hancur. Tak kusangka perjuanganku bertahan karena ingin menjadi menantu yang baik untuk ibu mertuaku yang sakit-sakitan dibayar dengan perselingkuhan.
Bodoh! Tolol! Seharusnya aku lebih cepat membongkarnya sebelum Mbak Yuli dan Ramdan memperolokku.
BRAK.
Pintu depan kubuka dengan kasar membuat Dina dan Mamah yang sedang duduk menekuri ponsel mereka sontak berdiri
"Mon, kamu pulang? Syukurlah, sini masuk Mon! Loh, tapi kok sendirian? Mana Ramdan?"
Mamah menatap penuh kebingungan ketika aku melangkah masuk. Mungkin dia tak melihat mobil Ramdan yang biasa mengantarku. Tapi, lagi-lagi aku gak perduli, aku memilih untuk masuk lurus ke dalam kamarku sambil melemparkan ponsel ke sembarang arah.
Aku muak dengan semuanya. Aku ingin sendiri.
Setelah membuka pintu kasar, aku menjatuhkan diri ke ranjang. Aku membiarkan tangisan yang sudah aku tahan sejak lama. Melihat aku meraung, Mamah dan Dina langsung menghampiri aku ke kamar sepertinya mereka belum tahu kegaduhan yang terjadi sekali pun di medsos sudah ramai. Wajar sih kalau mereka gak tahu, mamahku dan Dina terlalu sibuk buat buka medsos karena bikin kue.
"Mon, kenapa?"
"Iya Teh, kenapa? Apa Teteh sama Kang Ramdan bertengkar?"
Aku tak langsung menjawab, ragaku yang ringkih kududukan terlebih dahulu di ranjang.
Entah mengapa aku merasa sangat lelah. Lelah lahir dan batin. Buat menjelaskan saja aku tak mampu.
"Teh, kenapa atuh? Jangan bikin Mamah takut," tanya Mamah cemas seraya duduk di sampingku dan memegang pundak erat.
Aku mendongak menatap Mamah sambil membebaskan air mata yang sejak tadi mendesak ingin keluar.
"Mah, Bang Ramdan ... Bang Ramdan selingkuh," ucapku lirih tercekat tapi berhasil membuat Mamah berteriak syok.
"Hah? Apa kamu serius?"
Netraku menangkap mata Mamah yang seketika membulat sempurna begitu juga Dina. Sepertinya dia masih tak percaya apa yang didengarnya. Selama ini Mamah menganggap Bang Ramdan adalah menantu yang sempurna.
"Sama siapa Mon? Sama siapa? Kok bisa?!" tanya Mamah terperangah.
Aku menggigit bibir, getir. "Yuli Mah. Mbak Yuli!" Teriakku sangat keras sambil menutup mukaku yang berurai air mata.
Mamah reflek berdiri seraya melotot. "Dasar berengsek! Mamah harus bikin perhitungan!" umpat Mamah seraya beranjak marah dari ranjang. Namun, aku segera mencegahnya aku gak mau persoalan bertambah banyak karena emosi mamah yang tidak terkendali.
"Jangan Mah! Sudah, Mah! Nanti Mamah sakit ini sudah malam!"
"Tapi dia udah bikin anak Mamah menderita, Mon! Dia harus dikasih pelajaran!"
"Iya Mah emang benar tapi Mas Satria sudah menghajarnya! Sudah, Mah sudah! Jangan pergi! Nanti Mamah sakit!" ucapku sambil melingkarkan tangan di pinggang Mamah. Aku sengaja mencegah Mamah buat pergi karena takut dia akan terserang jantung lagi.
Mendengar laranganku, akhirnya dia luluh, tiba-tiba Mamah berbalik memelukku. Mungkin dia tidak menyangka kalau penderitaanku begitu dalam. Air mukanya yang semula cemas kini berubah terlihat sedih dan kecewa. Patut diakui, selama ini Bang Ramdan adalah menantu yang paling dikagumi oleh Mamah dan siapa pun tahu aku juga dulu sangat mencintainya hingga hampir memuja.
Hanya sekarang aku sadar, 'BUCIN' dan 'TERLALU BODOH' itu beda tipis.
Tentu saja ibu mana yang tega melihat anaknya hancur oleh seorang lelaki yang sudah dia percaya?
"Sudah Mon kamu tenang saja, sekarang kamu jangan khawatir. Lebih baik kamu istirahat dulu, setelah tenang baru kita ambil langkah yang terbaik Mamah yakinkan kalau dia gak akan bisa nyakitin kamu lagi," kata Mamah seraya mengelus punggungku berulang kali. "Dina, ambilkan air untuk kakakmu!" Mamah mengalihkan matanya yang sudah basah ke arah Dina yang ikut menangis melihat kami berpelukan.
"Baik Mah."
Dina langsung menganggukkan kepala dan bergegas pergi tapi belum juga sampai ke pintu, pintu depan sudah ada yang mengetuk.
Tok. Tok. Tok.
Mamah, aku dan Dina sontak saling pandang, entah mengapa firasatku begitu memburuk setelah mendengar ketukan itu.
"Itu pasti Bang Ramdan," celetukku tanpa sadar. Reflek aku melepaskan pelukan Mamah dan bergegas ke ruang tamu.
Sampai di ruang tamu aku memekik kaget melihat siapa sosok yang tengah berdiri di ambang pintu rumahku yang sudah terbuka. Rasanya tak percaya lelaki yang telah menyakitiku itu berani-beraninya datang menyusul.
Jangan-jangan sejak tadi dia memang sudah membututiku? Sialan! Aku diikuti.
Mamah dan Dina yang sudah mengikutiku langsung berdiri di antara aku dan Bang Ramdan yang tengah menatap sendu ke arahku.
"Kamu menantu kurang ajar! Ngapain kamu di sini, hah?" Telunjuk Mamah teracung tepat ke hidung Bang Ramdan yang wajahnya sudah babak belur.
Fuih! Aku benci melihatnya.
"Maaf Mah, saya ke sini buat menjemput Mona," ujar Bang Ramdan dengan nada datar.
"Kamu mau menjemput anak saya? Tidak! Saya tidak akan menyerahkan anak saya! Kamu sudah menyakitinya. Kamu tahu saya gak nyangka kamu bisa berbuat sehina ini! Dan kenapa kamu melakukannya harus dengan kakak angkatmu yang bernama Yuli itu? Kalian menjijikan! Apa kurangnya anak saya, Dan? Apa? Jawab!" sentak Mamah marah.
Saking murkanya, Mamah sama sekali tak perduli jika harus bertengkar di depan pintu dan membiarkan tetangga-tetangga yang semula berada di dalam rumahnya mulai keluar untuk menyaksikan pertengkaran.
Bagus! Kini kisah rumah tanggaku yang tragis akan menjadi konsumsi umum tapi aku gak masalah.
Biar mereka tahu, kalau di sini ada lelaki yang hatinya terbuat dari besi.
"Iya Mah, maaf kami yang salah. Ramdan khilaf Mah. Jujur saya ngaku, sayalah yang salah. Saya ke sini karena ingin rujuk, saya sadar kalau saya membutuhkan Mona. Maaf, Mah saya mengusir Mona karena emosi. Mohon beri saya satu kesempatan lagi ...." pinta Bang Ramdan dengan wajah yang bagiku kini sudah memuakkan.
Lelaki itu menangkupkan kedua tangannya di depan Mamah tapi Mamah bergeming.
"Kalau kamu membutuhkan Mona? kenapa kamu malah berhubungan dengan wanita yang sudah kamu anggap kakak kandung itu Dan? Di mana otakmu?"
"Maaf Mah! Maaf saya khilaf! Saya bisa jelaskan! Tolong beri kesempatan sekali lagi! Mah, sebenarnya ini hanya kesalahpahaman! Tapi Mona malah menyebarkan chat-nya di medsos! Kami tak seburuk apa yang dia pikirkan!"
"Gak ada kesalahpahaman Mas, jika dengan mata kepalaku sendiri aku lihat chat mesum kamu sama Mbak Yuli. Bahkan kalian menghina kalau aku gak sehebat selingkuhanmu itu diranjang! Sekarang, apa perlu aku tunjukan video kalian ke depan semuanya!?" tantangku sudah tidak bisa menahan diri dengan semua playing victimnya. Aku maju merangsek tepat ke depan Bang Ramdan dengan emosi yang membuncah.
"Oh, jadi kamu mengancamku Mon? Silahkan ancam aku, silahkan! Lagipula perselingkuhan ini terjadi bukan karena kesalahan aku saja! Kamu juga salah Mon, kamu gak bisa melayani aku dengan baik! Jadi, ayo kita perbaiki semuanya! Kita bisa buat--"
PLAK! PLAK!
Dan di luar dugaan, tiba-tiba dalam satu kedipan mata Mamah sudah membuat Bang Ramdan ambruk ke lantai dengan tamparannya. Dina terpekik sementara aku mematung. Aku tidak tahu harus senang atau sedih ketika melihat suamiku yang dulu kusayangi ditampar Mamah sendiri.
"B*jingan! Setelah kamu nyakitin anak saya kamu malah nyalahkan dia! Pergi kamu! Kami gak sudi lihat kamu lagi! Dengar, Mona gak akan balik lagi sama kamu! Dasar menantu durhaka!" maki Mamah dengan sorot mata yang sangat tajam. Siapa pun tahu kalau Mamah sudah murka bahkan almarhum bapak pun gak sanggup berkata-kata.
Sayang, bukannya pergi Bang Ramdan malah menatap tajam ke arahku juga Mamah yang telah menamparnya. Raut wajahnya yang semula terlihat bersalah kini berganti penuh kelicikan.
"Cih, jadi sekarang Mamah bahkan tega menghina aku dan melarang aku kembali sama Mona?! Oke, jika itu keputusan Mamah aku terima!" seringai Bang Ramdan sambil meludah. "Tapi ingat jika Mona ingin aku ceraikan, tolong kalian penuhi dulu syarat yang aku ajukan!"
"Syarat? Syarat apa yang kamu maksud, hah?"
Aku paham betul watak Bang Ramdan, jika dia sudah begini pasti dia sedang merencanakan sesuatu. Seketika itu juga aku disergap firasat buruk.
"Tolong lunasi hutang almarhum Bapak pada keluarga saya yang senilai 200 juta jika Mona mau saya ceraikan! Jika tidak, jangan harap akte cerai itu ada di tangan kalian!"
JLEB!
Mendengar syarat Bang Ramdan, seketika itu juga aku, Mamah juga Dina serasa diguyur oleh ribuan ember berisi es batu. Tubuh kami bertiga seketika membeku dan mata kami melotot.
"APA? 200 JUTA?"
Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi. Aku sudah menebak Bang Ramdan pasti akan memanfaatkan kemiskinanku suatu hari. Sejujurnya, baik aku mau pun Mamah kami sangat syok ketika mengetahui kalau almarhum bapak yang sudah setahun meninggalkan kami ternyata berhutang pada Bang Ramdan dan buruknya itu dilakukan selama kami menikah.Mendapati fakta itu, Mamah benar-benar kecewa. Dia terus menangis karena merasa terkejut ujian ini terjadi kepada keluarga kami sementara aku tidak tahu harus berekspresi apa. Otakku buntu, bagaimana pun aku tidak mau perceraianku terganggu karena hutang itu. Namun, patut diakui kalau uang 200 juta bagiku sangat besar.Ke mana kami harus mencari uang sebanyak itu? Bahkan dengan memberikan seluruh tabungan kamu pun tidak cukup?"Sekarang gimana, Mon? Apa yang harus kita lakukan? Maaf ya Mon, Mamah beneran gak tahu kalau bapak berhutang sebanyak itu, maaf ya Mon, andai Mamah tahu mungkin Mamah udah ngelarangnya, maafin Mamah Mon, maaf ...." ujar Mamah. Suaranya te
Mas Satria terlihat menajamkan matanya sambil memegang tangan Mbak Yuli dengan kuat. Lelaki itu terlihat sangat marah karena kelakuan Mbak Yuli yang di luar dugaan. Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, ingin rasanya marah tapi ada Mas Satria yang lebih berhak untuk mengurus Mbak Yuli karena aku terlalu lelah. Dalam kemarahan, aku hanya bisa bertanya-tanya. Kenapa Mbak Yuli bisa ada di sini? Kenapa dia tiba-tiba mau menamparku?"Mas, Mas, lepasin! Kenapa Mas membela jal*ng ini? Kenapa Mas? Apa mungkin sebenarnya Mas it--""Diam kamu Yuli! Berhenti bermain playing victim! Jangan menghina hati wanita yang sudah kamu rebut suaminya! Ingat kamu sudah banyak berhutang sama dia, seharusnya kamu malu!" Mas Satria tiba-tiba memotong teriakan Mbak Yuli secara membabi-buta.Mbak Yuli sejenak membeku, mungkin dia tidak menyangka kalau Mas Satria malah membelaku.Mbak Yuli, terimalah karmamu!"Ja-jadi, Mas tahu kalau aku berhutang sama Mona?" ta
Aku pergi ke rumah sakit yang disebutkan Mela bersama Dina dengan menggunakan motor yang biasa dipakai Dina kuliah. Sepanjang perjalanan aku benar-benar cemas tapi tetap berusaha untuk bersikap waras sementara Dina terus saja menangis dan menambah kekalutan. Jujur, jauh di dalam hati aku pun merasa sangat kalut setelah mendengar Mamah kecelakaan tapi sebagai kakak sulung aku harus bisa lebih tenang dibanding adikku. Walau benak ini terus saja mempertanyakan.Bagaimana ini bisa terjadi pada Mamah? Kenapa Mamah bisa kecelakaan? Kenapa ujian ini gak berhenti melingkupi kami? Kenapa Mamah harus terluka di saat aku sedang berjuang untuk perceraianku?"Ya Allah! Tolonglah kami," desahku di antara suara bising kendaraan.Saat ini meski perasaanku campur aduk yang bisa kulakukan hanya terus berdoa agar mamah gak kenapa-kenapa walau kuakui aku terlalu takut kehilangan Mamah. Tidak perlu waktu lama, akhirnya kami sampai di rumah sakit, kulangkahkan kedua kakiku secara cepat menyusuri ruangan
Aku menghempaskan tubuh lelahku ke kursi panjang yang ada di salah satu lorong rumah sakit. Perasaanku kini cukup lega karena biaya rumah sakit Mamah tertangani tanpa harus menjadi simpanan dokter Aldo.Aku tidak terbayang kalau Mas Satria telat datang ke ruangan dokter Aldo, aku pasti akan terjebak dan terpaksa mengambil jalan yang salah. Menurut info dari Mas Satria, ternyata dokter Aldo yang menangani Mamah emang sudah dicurigai suka memeras pasiennya. Jadi, gak heran kalau dia memanfaatkan kondisiku yang miskin demi keuntungannya.Sekarang pertanyaannya, kenapa Mas Satria bilang aku keluarganya? Kalau pun kami pernah satu mertua tapi kan sekarang kami sama-sama mantan keluarga? Lalu kenapa dia mau membantuku?Atau ... agh! Sudahlah mengingat ucapan tegas Mas Satria yang seperti membelaku tadi di depan dokter Aldo membuat aku berharap lebih. "Aww!"Aku mengerang seraya memegang ujung kursi untuk menguatkan diri. Kupikir ini saatnya aku bersitirahat sejenak, lagipula ketika tadi kuc
"Mon, Mona?" Panggilan lirih seorang lelaki membuat aku terbangun dari lena.Aku mengerjapkan kedua mataku dengan hati-hati. Saat ini pusing di kepalaku mulai agak berkurang hanya mualnya saja yang masih terasa. Aku terkesiap ketika melihat Mas Satria ada di samping bed tempat aku dibaringkan.Di situlah aku menyadari kalau aku bukan lagi ada di lorong rumah sakit tapi di suatu ruangan mirip kamar periksa karena hidungku bisa mencium bau obat yang pekat."Mon, kamu sudah bangun?" Mas Satria menatapku cemas. Dia memegang tanganku untuk memastikan bahwa aku sadar sepenuhnya.Aku melirik ke arahnya. "Ehm ... iya Mas. Ini di mana Mas? Saya pingsan, ya?"Dia tersenyum simpul. "Iya kamu pingsan. Sepertinya kamu kekurangan nutrisi. Ayo, diminum dulu, " ujar Mas Yuga sambil membawa segelas air putih dari atas nakas. Dengan perlahan dan lembut, dia membantuku duduk bersandar ke ranjang.Aku meminum air itu hingga tandas di bawah pandangan Mas Satria yang masih terlihat khawatir."Gimana rasany
"Awas saja kalau kamu menggoda Mas Satria! Sampai kapan pun aku tidak akan melepaskannya!" Lagi. Ancaman Yuli terngiang-ngiang bagaikan peluru yang terus memborbardir kepalaku dengan ucapannya. Beruntung, beberapa waktu lalu obrolan dengan Mbak Yuli tak berlangsung lama karena perawat langsung datang dan membolehkan aku untuk keluar dari IGD. "Hah ...." Aku menghela napas seraya duduk termangu di depan ruang rawat Mamah. Tak terasa sudah hampir sebulan lamanya Mamah dirawat, semenjak itu juga aku bertekad menjaga Mamah dan gak mau pingsan lagi di IGD seperti sebelumnya. Alhamdullilah, berkat usaha semuanya Mamah berangsur pulih.Gumpalan darah di otak Mamah syukurnya bisa disembuhkan dengan operasi yang dilakukan oleh Mas Satria. Aku bersyukur bisa bertemu dengan pria itu, dia mengawasi kesehatan Mamah hingga Mamah siuman dan berpindah dari ICU ke ruang rawat biasa. Sekarang tinggal penyakit kanker Mamah yang harus terus menjalani pengobatan.Ini keajaiban. Alhamdullilah. Namun, t
"Bang Ramdan!?" Suaraku tercekat, jantungku seolah tertumbuk. Melihat sosok Bang Ramdan hadir kembali di hadapanku setelah sekian lama hilang membuat jiwaku yang semula tenang mulai terbakar amarah kembali karena lelaki itu sudah menghancurkanku sepenuhnya.Dia adalah penyebab trauma yang tidak berkesudahan di hidupku."Apa kabar, Mon? Mamah? Katanya Mamah sakit?" tanya Bang Ramdan basa-basi. Dia melirikku dan Mamah secara bergantian.Aku menggeram. Takkan kubiarkan si bedebah itu mengganggu ketentraman kami lagi. "Buruk! Kabar kami yang semula baik jadi buruk karenamu!" tegasku sambil melangkah maju hingga tepat berada di antara Mamah dan Bang Ramdan.Aku tidak akan membiarkan Bang Ramdan mendekati dan menyakiti Mamah. Mamah sedang mengalami pengobatan, dia tidak boleh tertekan."Ya, kondisiku menjadi gak baik kalau kamu datang, lebih baik kamu pergi!" usir Mamah.Bang Ramdan menyeringai sinis seraya memasuki ruang kamar rawat. "Wow, sungguh ramah sekali sambutannya. Mona, Mamah, te
Aku berdiri cukup lama dan canggung di ruangan Mas Satria seraya memainkan jari. Sudah setengah jam berlalu usai kelakuanku yang bar-bar, akhirnya aku bisa berada di ruangan Mas Satria. Tidak terbayang, jika tadi aku gak diminta Mas Satria ke sini, mungkin aku akan berada di bawah tatapan semua orang yang menatap aneh, seakan-akan aku adalah makhluk luar angkasa. Namun, sayangnya ketika sampai sini, aku merasa Mas Satria tengah mengabaikanku. Melihat sikap Mas Satria yang mendadak diam, tak terelakkan sisi batinku kian tersusupi rasa tak nyaman. Padahal aku tidak tahu pasti alasannya."Dok!" Aku memberanikan diri bersuara sebelum kakiku kesemutan karena berdiri di pojok terlalu lama.Mas Satria mengangkat pandangannya dari buku sejenak. "Hm?""Anu ... Dok say--""Jangan panggil saya Dok panggil Mas saja," potong Mas Satria penuh penekanan. Tatapan lelaki itu masih sibuk meneliti data pasien. Bener-bener dah ini dokter, dikira aku gak kasat mata kali. Aku menarik napas dalam. "Oh i