Share

Bab 7

last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-16 11:06:37

Sudah satu minggu aku terbaring di atas ranjang. Rasa pusing, mual dan muntah selalu menemani hari-hariku. Aku bahkan tak lagi mengurus kedua putriku. Untuk bangun sendiri saja tidak kuat, apalagi harus menjaga si kembar yang sedang aktif-aktifnya. 

Satu minggu sudah ibu mertua yang membereskan rumah dan merawat si kembar. Ada rasa tak enak menyelimuti hati. Namun mau bagaimana lagi. Aku saja tak kuat untuk berdiri. 

Sepi, tak ada suara Salma dan Salwa, bahkan tak ku dengar teriakan ibu seperti biasanya. Rumah ini seperti kuburan. Sunyi. 

Kemana perginya ibu dan anak-anak? 

Apa mungkin ke rumah Mbak Ambar? 

Ingin pergi mencari, tapi lagi-lagi terkendala tubuh yang lemas ini. 

Kugeser tubuh. Kini aku duduk dengan punggung menempel dinding kamar. Kuminum air putih meski terasa pahit. Ya, hanya air putih yang tidak ku muntahkan. 

Aku memijit kepala yang terasa berdenyut. Pusing. Aku sendiri bingung dengan kondisi tubuh. Kehamilan ini terasa begitu berat. Berbeda saat hamil si kembar. Tubuhku masih kuat untuk mengerjakan pekerjaan rumah meski tengah mengandung dua bayi. 

Ya Allah, sungguh nikmat rasanya. Pantas saja Allah memberikan pahala yang banyak untuk ibu hamil. 

Samar-samar terdengar suara Salma dan Salwa. Sepertinya meraka pulang dari bermain. Ingin  rasanya memeluk kedua malaikat kecilku. Mengajaknya bermain seperti biasa. 

Pintu dibuka dengan kasar. Kedua malaikat kecil  sudah berhambur memelukku. Menumpahkan segala rasa rindu yang menyiksa. Maafkan ibu yang tak memperhatikan kalian satu minggu ini. 

"Kamu jagain anak-anak kamu! Jangan bebankan tugas kamu kepada ibu! Hamil saja kerjanya, tapi tidak bisa merawat!" ucap Mbak Ambar sambil berkacak pinggang tepat di pintu kamar. 

Kuhirup udara dalam lalu menghembuskannya perlahan. Menghilangkan sesak di dada kala mendengar ucapan Mbak Ambar. 

Mungkin aku bukan ibu yang baik karena membiarkan si kembar di asuh nenek dan budhenya. Bukan, bukan aku tak perduli dengan kedua putriku. Hanya saja kondisiku yang tak mungkinkan untuk menjaga mereka seorang diri. 

Namun aku bukan ibu yang tega membunuh janin yang tak bersalah hanya karena alasan tak ingin repot dan menelantarkan anak. Aku yakin sakit ini tak akan lama. Setelah aku sehat, akan kuurus anak-anak kusendiri. Tak akan ku bebankan kepada wanita yang dipanggil nenek oleh Salma dan Salwa. 

"Kenapa diam? Ucapan aku benar kan?" Aku masih diam, tidak sedikit pun membalas perkataan Mbak Ambar. 

Bukan, bukan karena aku takut pada wanita berkulit sawo matang itu. Aku hanya tak ingin kedua putriku merekam pertengkaran kami. Saat ini mungkin mereka hanya diam, tapi aku yakin dalam alam bawah sadar mereka merekam semua pertengkaran. Bukan tak mungkin suatu saat mereka membenarkan pertengkaran karena menyaksikan itu. 

"Kamu tuli!"

Tidak kuhiraukan ucapannya. Aku justru asyik melihat kedua putriku yang tengah bermain boneka hello kitty di atas kasur. 

"Dasar bud*g! Mulai hari ini jangan pernah minta bantuan ibu untuk mengurus kedua anakmu itu!" Mbak Ambar badan lalu meninggalkan kamarku begitu saja. 

Kuelus dada melihat tingkah kakak kandung suamiku itu. Dalam hati berdoa, semoga Allah memberiku kesehatan agar bisa merawat anak-anakku dengan baik. 

Jam sudah menunjukkan pukul 16.25 WIB. Sebentar lagi Mas Rendi akan pulang dari pabrik. Aku duduk sambil bersandar di dinding. Kulihat si kembar yang masih terlelap. Untung saja mereka tidak rewel. Dua putriku seakan mengerti keadaan ibunya yang sedang lemah. 

Terdengar langkah kaki mendekat ke kamar. Aku yakin itu Mas Rendi. Namun tak berapa lama suara itu hilang. Berganti suara perdebatan antara dua orang. Aku tahu itu suara Mas Rendi dan ibu. 

"Ibu sudah tak sanggup mengurus rumah dan anak-anakmu! Enak saja Naya asyik tiduran sedang ibu pontang panting membereskan rumah dan menjaga si kembar. Memang ibu kamu ini pembantu?"

Nyeri mendengar perkataan wanita yang bergelar mertua. Selama aku menjadi menantu baru kali ini semua pekerjaan rumah beliau yang tangani. Ini semua juga karena aku lemah. Coba kalau aku sehat, pasti semua akan ku kerjakan sendiri. 

"Tapi Naya baru sakit, Bu! Ibu tahu sendiri kan, Naya tak kuat berdiri lama. Naya seperti ini juga karena mengandung cucu ibu, anak aku!"

"Makannya jangan hamil terus! Di suruh gugurin tidak mau. Toh belum ada nyawanya,kan? Ibu itu sudah merasakan susahnya merawat anak banyak dengan jarak dekat. Makannya ibu minta Naya gugurin kandungan. Ibu mau Naya fokus mengurus si kembar!"

"Astagfirullah, ternyata benar yang dikatakan Naya. Ibu tega berkata demikian. Janin yang dikandung Naya itu cucu ibu, darah daging ibu! Ya Allah, Bu, nyebut! nyebut!" teriak Mas Rendi lantang. Hilang sudah rasa hormatnya sebagai seorang anak. Baru kali ini ku dengar suamiku membentak ibunya. 

"Kamu berani bentak ibu demi Naya!" 

"Bukan maksud Rendi untuk membentak ibu. Namun tindakan ibu sangat keterlaluan."

"Pokoknya mulai hari ini ibu tidak mau mengurus si kembar dan melakukan pekerjaan rumah! Semua harus diurus istrimu!" 

 

Tak berapa lama terdengar langkah kaki menjauh dari kamar. Itu pasti ibu. 

Kuhapus air mata yang jatuh membasahi pipi. Mas Rendi tak boleh tahu jika aku mendengar semuanya. Kembali ku rebahkan tubuh dan pura-pura memejamkan mata. 

Kreeekk.... 

Suara pintu di buka, tak lama terdengar langkah kaki memasuki kamar. Kasur yang kutiduri terasa bergetar. Sebuah tangan mengelus pucuk kepalaku. Kemudian sebuah ciuman mendarat di dahiku. 

"Maafkan, Mas yang tidak mempercayaimu. Ternyata ibu begitu tega," ucapnya lirih tapi masih bisa kudengar dengan jelas. 

Apa kini kamu merasakan apa yang kurasakan, Mas? Semoga kamu tahu, betapa nyeri hati saat mendengar ucapan ibu waktu itu. 

Kubuka mata perlahan, pura-pura menguap agar terlihat baru bangun tidur. 

"Mas Rendi sudah pulang?" Perlahan kuangkat tubuh lalu menyandarkan di dinding. 

Mas Rendi tersenyum kecut. 

"Baru, Mas mandi dulu ya." Kuanggukkan kepala.

Kriiingg.... 

Ponselku menjerit-jerit meminta perhatian. Kuambil benda pipih yang ada di atas bantal. Mengusap gambar telepon berwarna hijau ke atas. 

"Kamu baik-baik saja to nduk? Perasaan emak dari kemarin tidak enak. Selalu kepikiran kamu," ucap emak parau. 

"Naya, baik-baik saja, Mak!" dustaku. 

Maaf telah berbohong, Mak! Aku tak ingin kalian mengkhawatirkan diriku. 

"Kamu tidak bohong, kan nduk?"

Firasat ibu memang selalu benar. Mungkin beliau merasakan apa yang kini dirasakan anaknya. Ikatan batin antara ibu dan anak memang sangat kuat. Seperti yang kini emak rasakan. 

"Naya baik-baik saja. Sudah dulu ya, Mak! Salwa terbangun." Tanpa mendengar jawaban Emak, sambungan telepon langsung kumatikan sepihak. 

***

Kuangkat tubuh perlahan. Mencari botol minum yang biasanya ada di samping kasur. Ah, ternyata botol sudah kosong. Mau tak mau aku harus mengambil air minum di dapur. Tak mungkin aku berteriak manggil Mas Rendi hanya untuk mengambilkan minum. Kasihan dia sudah terlalu lelah mengerjakan pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi tugasku. 

Tertatih aku berjalan,tubuh lemas membuatku harus berjalan secara perlahan. Tangan selalu berpegangan dinding agar tak terjatuh. 

Langkah kakiku berhenti saat mendengar percakapan di ruang keluarga yang tak jauh dari kamarku. 

"Bawa istrimu pulang ke rumah orang tuanya, Ren! Di sini dia hanya merepotkan ibu. Kamu tak kasihan pada ibu? Ibu kecapekan menjaga si kembar. Belum lagi harus mengerjakan pekerjaan rumah," ucap Mbak Ambar. 

Tubuhku menjadi semakin lemas mendengar perkataan Mbak Ambar.  Hatiku seperti diiris-iris sembilu. Sakit dan perih menjadi satu. Benarkah kehadiaranku menjadi beban untuk keluarga Mas Rendi? 

Ya Allah, Ya Robb... 

Sakit hati ini mendengar perataan Mbak Ambar. 

"Tapi Naya itu tanggung jawabku, Mbak!"

"Kamu pikir juga kesehatan ibu! Makannya jangan hamil lagi kalau untuk hidup saja masih pas-pasan!"

Ya Allah, apa aku bisa memilih mau hamil kapan? Jika Allah sudah memberi rejeki tak mungkin aku bisa menolaknya. 

"Pokoknya besok kamu antar istri dan anakmu ke rumah orang tua Naya. Mbak gak mau dengar penolakkan!"

Kuurungkan niat untuk mengambil minum. Rasa haus telah menguap. Kini hanya ada lara yang bersemayam di dalam dada. 

Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen! 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Petaka Dua Garis Merah   Ending

    Naya segera menghubungi Rendi setelah sampai di depan lobi rumah sakit. Ia berjalan ke sana ke mari guna mengurangi rasa panik yang mendominasi hati. "Naya...." Sebuah panggilan membuat Naya terpaku. Sesaat wanita dengan hijab soft pink itu diam, ia coba menetralisir jantung yang berdetak kencang. Naya tak bisa membohongi dirinya jika nama Rendi masih tertulis di sanubari. Namun ia segera tersadar jika kini Rendi hanya bagian dari masa lalu yang berusaha dilupakan. Naya membalikan badan, hingga beberapa saat netra mereka saling bertemu. Bukan hanya Naya, Rendi pun merasakan hal yang sama. Ada rindu yang menyiksa hatinya. Namun harus ia tepis. "Kenapa kamu menghubungi aku, Mas?" tanya Naya cemas. "Ma-maafkan aku, Nay. A--aku ...." Rendi tak kuasa melanjutkan ucapannya. Rasa malu membuatnya ragu mengakui kesalahan. "Kenapa kamu memintaku ke mari, Mas?" Naya mengalihkan pembicaraan, ia sudah muak dengan kata maaf yang Rendi ucapkan. "Ayo, ikut aku, Nay." Tanpa menjawab Naya melang

  • Petaka Dua Garis Merah   Telepon Rendi

    Hampir tiap hari aku meneteskan air mata saat mengingat kedua putriku. Berulang kali Bapak dan Emak memintaku kuat dan sabar. Namun aku tak kuasa membohongi diri. Ibu mana yang bisa tersenyum saat tidak dapat menatap wajah anak-anaknya? Tak, tak akan ada. Aku diam menatap langit-langit, bayangan Salma dan Salwa tiba-tiba hadir. Kedua putriku melambaikan tangan. Seolah memintaku menjemput mereka. Ah, sayang semua tak bisa kulakukan. Kalian sedang apa, Nak?Sudah makan apa belum? Apa ayah dan nenek merawatmu dengan baik? Aku bertanya, tapi tak ada jawaban. Ya, karena aku bertanya pada diri sendiri. Bagaimana mungkin mereka bisa menjawab, sedang kami tak saling bertatap muka. Namun aku yakin, meski raga kami tak bersua tapi doaku akan sampai pada mereka."Nduk, ada tamu....""Sebentar, Mak." Aku beranjak lalu menyambar hijab yang ada di atas ranjang. Beberapa saat aku berdiri di dekat pintu, mengatur napas agar semakin tenang. Bukan karena gugup tapi aku takut orang datang hanya in

  • Petaka Dua Garis Merah   Kehilangan Hak Asuh Anak

    Naya luruh di lantai keramik, tubuhnya bergetar dengan air mata berbondong-bondong jatuh membasahi pipinya. Wanita berhijab navy itu tak pernah menyangka mahligai yang ia bina harus berakhir karena kesalahpahaman semata. Naya diam, mulutnya kelu tak mampu mengucapkan kata apa pun. Bahkan untuk membela dirinya sendiri saja, dia tak bisa. Hanya air mata yang menggambarkan betapa hancur hatinya. "Astagfirullah... Istighfar, Ren. Jangan mudah mengatakan talak. Apa lagi dalam keadaan penuh amarah seperti ini," ucap Surti sambil memeluk tubuh Naya. "Eling, Ren. Perceraian itu hal yang paling dibenci Allah.""Tapi Allah tidak melarangnya, Mak.""Ya Allah, apa kamu tak memikirkan Salma dan Salwa? Harusnya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, bukan langsung mengatakan talak." Surti masih mencoba memberi pengertian kepada Rendi. Dia berharap menantunya bisa merubah keputusan itu. Namun nampaknya usaha Surti akan sia-sia saja. Rendi seolah tak mendengar perkataan mertuanya. Lelaki

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 27

    Pintu di ketuk perlahan oleh Arif,sementara Naya memilih duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. Pandangan wanita itu kosong,tak ada gurat kebahagiaan yang tergambar di wajahnya. Mendung masih bergelayut di matanya hanya menunggu waktu air itu akan terjun bebas dan membasahi pipi putihnya.“Assalamualaikum ...,” ucap Arif seraya mengetuk pintu.Hening, tak ada jawaban dari balik pintu. Rumah Ahmad sepi tak berpenghuni. Maklum saja,kedua orang tua Naya masih sibuk di sawah. Mereka berdua tengah menunggu padi agar tak dimakan burung. Ya, padi yang ditanam Ahmad sudah menguning,tinggal menunggu beberapa hari padi-padi itu siap dipanen.“Bapak dan Emak pasti di sawah,Rif. Sebentar lagi mereka pasti pulang. Kamu duduk saja,Rif!” ucap Naya pelan. Arif mengangguk lalu menjatuhkan bobot di samping Naya.Beberapa saat mereka saling diam,sibuk dengan pikiran masing-masing. Naya masih terus memikirkan Salma dan Salwa. Setelah kehilangan calon anak,ia harus kembali merasakan kehilangan karen

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 26

    Naya mengerjapkan mata beberapa kali. Ia berusaha menyesuaikan sorot lampu yang masuk ke indra pengelihatannya. Sesekali ia pijat pelipis yang terasa berdenyut. "Aw... Sakit," ucap Naya saat menggerakan tubuhnya. Bekas kuret meninggalkan rasa nyeri dalam perut. Satu demi satu bulir bening jatuh dari sudut netranya. Wanita berhijab maron itu kembali menangis sambil mengelus perut yang sudah datar. Sebagai seorang ibu, pukulan terberat ketika kehilangan anaknya. Dan itu yang kini Naya rasakan. Janin yang ia pertahankan hilang dalam sekejap mata. Semua itu karena tindakan ceroboh sang suami. "Maafkan ibu, Nak. Maafkan karena telah lalai menjagamu," ucap Naya parau. Rendi membuka tirai perlahan. Spontan Naya mendongkakan kepala, sesaat mereka beradu pandang. Namun Naya segera membuang muka. Rasa marah dan kecewa membuatnya enggan berlama-lama menatap wajah suaminya. "Tunggu sebentar, Nay. Aku panggilkan dokter," ucap Rendi lalu kembali keluar. Naya bergeming, tak ada sepatah kata p

  • Petaka Dua Garis Merah   Keguguran

    "A--ada darah, Bu," ucap Rendi terbata sambil menunjuk ke arah kaki Naya. "Mas ... to-tolong," lirih Naya berucap, ia berusaha menahan sakit di bagian perut. “Bagaimana ini,Bu?” tanya Rendi panik,keringat dingin sudah membasahi pelipisnya.“To-tolong,” lirih Naya hingga akhirnya dia tak sadarkan diri. Naya pingsan setelah tak kuat menahan rasa sakit di perut,seakan sesuatu yang ada di dalam memaksa keluar. Naya pendarahan. Rendi dan Yanti semakin panik,rintik hujan membuat jalan depan rumahnya semakin sepi. Kedua orang berbeda usia itu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa? Ambar dan putrinya tak ada di rumah. Mereka sedang berbelanja. Dengan cepat Rendi membopong tubuh Naya dan menidurkan di sofa ruang tamu.“Pesan taksi online,Ren!” Rendi mengangguk lalu segera berlari ke dalam untuk mengambil ponsel yang ada di kamarnya.Tangan Rendi mulai menari-nari di layar benda pipih miliknya. Dia fokus melihat ponsel berharap segera mendapatkan taksi untuk membawa Naya ke rumah saki

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status