Share

Bab 7

Sudah satu minggu aku terbaring di atas ranjang. Rasa pusing, mual dan muntah selalu menemani hari-hariku. Aku bahkan tak lagi mengurus kedua putriku. Untuk bangun sendiri saja tidak kuat, apalagi harus menjaga si kembar yang sedang aktif-aktifnya. 

Satu minggu sudah ibu mertua yang membereskan rumah dan merawat si kembar. Ada rasa tak enak menyelimuti hati. Namun mau bagaimana lagi. Aku saja tak kuat untuk berdiri. 

Sepi, tak ada suara Salma dan Salwa, bahkan tak ku dengar teriakan ibu seperti biasanya. Rumah ini seperti kuburan. Sunyi. 

Kemana perginya ibu dan anak-anak? 

Apa mungkin ke rumah Mbak Ambar? 

Ingin pergi mencari, tapi lagi-lagi terkendala tubuh yang lemas ini. 

Kugeser tubuh. Kini aku duduk dengan punggung menempel dinding kamar. Kuminum air putih meski terasa pahit. Ya, hanya air putih yang tidak ku muntahkan. 

Aku memijit kepala yang terasa berdenyut. Pusing. Aku sendiri bingung dengan kondisi tubuh. Kehamilan ini terasa begitu berat. Berbeda saat hamil si kembar. Tubuhku masih kuat untuk mengerjakan pekerjaan rumah meski tengah mengandung dua bayi. 

Ya Allah, sungguh nikmat rasanya. Pantas saja Allah memberikan pahala yang banyak untuk ibu hamil. 

Samar-samar terdengar suara Salma dan Salwa. Sepertinya meraka pulang dari bermain. Ingin  rasanya memeluk kedua malaikat kecilku. Mengajaknya bermain seperti biasa. 

Pintu dibuka dengan kasar. Kedua malaikat kecil  sudah berhambur memelukku. Menumpahkan segala rasa rindu yang menyiksa. Maafkan ibu yang tak memperhatikan kalian satu minggu ini. 

"Kamu jagain anak-anak kamu! Jangan bebankan tugas kamu kepada ibu! Hamil saja kerjanya, tapi tidak bisa merawat!" ucap Mbak Ambar sambil berkacak pinggang tepat di pintu kamar. 

Kuhirup udara dalam lalu menghembuskannya perlahan. Menghilangkan sesak di dada kala mendengar ucapan Mbak Ambar. 

Mungkin aku bukan ibu yang baik karena membiarkan si kembar di asuh nenek dan budhenya. Bukan, bukan aku tak perduli dengan kedua putriku. Hanya saja kondisiku yang tak mungkinkan untuk menjaga mereka seorang diri. 

Namun aku bukan ibu yang tega membunuh janin yang tak bersalah hanya karena alasan tak ingin repot dan menelantarkan anak. Aku yakin sakit ini tak akan lama. Setelah aku sehat, akan kuurus anak-anak kusendiri. Tak akan ku bebankan kepada wanita yang dipanggil nenek oleh Salma dan Salwa. 

"Kenapa diam? Ucapan aku benar kan?" Aku masih diam, tidak sedikit pun membalas perkataan Mbak Ambar. 

Bukan, bukan karena aku takut pada wanita berkulit sawo matang itu. Aku hanya tak ingin kedua putriku merekam pertengkaran kami. Saat ini mungkin mereka hanya diam, tapi aku yakin dalam alam bawah sadar mereka merekam semua pertengkaran. Bukan tak mungkin suatu saat mereka membenarkan pertengkaran karena menyaksikan itu. 

"Kamu tuli!"

Tidak kuhiraukan ucapannya. Aku justru asyik melihat kedua putriku yang tengah bermain boneka hello kitty di atas kasur. 

"Dasar bud*g! Mulai hari ini jangan pernah minta bantuan ibu untuk mengurus kedua anakmu itu!" Mbak Ambar badan lalu meninggalkan kamarku begitu saja. 

Kuelus dada melihat tingkah kakak kandung suamiku itu. Dalam hati berdoa, semoga Allah memberiku kesehatan agar bisa merawat anak-anakku dengan baik. 

Jam sudah menunjukkan pukul 16.25 WIB. Sebentar lagi Mas Rendi akan pulang dari pabrik. Aku duduk sambil bersandar di dinding. Kulihat si kembar yang masih terlelap. Untung saja mereka tidak rewel. Dua putriku seakan mengerti keadaan ibunya yang sedang lemah. 

Terdengar langkah kaki mendekat ke kamar. Aku yakin itu Mas Rendi. Namun tak berapa lama suara itu hilang. Berganti suara perdebatan antara dua orang. Aku tahu itu suara Mas Rendi dan ibu. 

"Ibu sudah tak sanggup mengurus rumah dan anak-anakmu! Enak saja Naya asyik tiduran sedang ibu pontang panting membereskan rumah dan menjaga si kembar. Memang ibu kamu ini pembantu?"

Nyeri mendengar perkataan wanita yang bergelar mertua. Selama aku menjadi menantu baru kali ini semua pekerjaan rumah beliau yang tangani. Ini semua juga karena aku lemah. Coba kalau aku sehat, pasti semua akan ku kerjakan sendiri. 

"Tapi Naya baru sakit, Bu! Ibu tahu sendiri kan, Naya tak kuat berdiri lama. Naya seperti ini juga karena mengandung cucu ibu, anak aku!"

"Makannya jangan hamil terus! Di suruh gugurin tidak mau. Toh belum ada nyawanya,kan? Ibu itu sudah merasakan susahnya merawat anak banyak dengan jarak dekat. Makannya ibu minta Naya gugurin kandungan. Ibu mau Naya fokus mengurus si kembar!"

"Astagfirullah, ternyata benar yang dikatakan Naya. Ibu tega berkata demikian. Janin yang dikandung Naya itu cucu ibu, darah daging ibu! Ya Allah, Bu, nyebut! nyebut!" teriak Mas Rendi lantang. Hilang sudah rasa hormatnya sebagai seorang anak. Baru kali ini ku dengar suamiku membentak ibunya. 

"Kamu berani bentak ibu demi Naya!" 

"Bukan maksud Rendi untuk membentak ibu. Namun tindakan ibu sangat keterlaluan."

"Pokoknya mulai hari ini ibu tidak mau mengurus si kembar dan melakukan pekerjaan rumah! Semua harus diurus istrimu!" 

 

Tak berapa lama terdengar langkah kaki menjauh dari kamar. Itu pasti ibu. 

Kuhapus air mata yang jatuh membasahi pipi. Mas Rendi tak boleh tahu jika aku mendengar semuanya. Kembali ku rebahkan tubuh dan pura-pura memejamkan mata. 

Kreeekk.... 

Suara pintu di buka, tak lama terdengar langkah kaki memasuki kamar. Kasur yang kutiduri terasa bergetar. Sebuah tangan mengelus pucuk kepalaku. Kemudian sebuah ciuman mendarat di dahiku. 

"Maafkan, Mas yang tidak mempercayaimu. Ternyata ibu begitu tega," ucapnya lirih tapi masih bisa kudengar dengan jelas. 

Apa kini kamu merasakan apa yang kurasakan, Mas? Semoga kamu tahu, betapa nyeri hati saat mendengar ucapan ibu waktu itu. 

Kubuka mata perlahan, pura-pura menguap agar terlihat baru bangun tidur. 

"Mas Rendi sudah pulang?" Perlahan kuangkat tubuh lalu menyandarkan di dinding. 

Mas Rendi tersenyum kecut. 

"Baru, Mas mandi dulu ya." Kuanggukkan kepala.

Kriiingg.... 

Ponselku menjerit-jerit meminta perhatian. Kuambil benda pipih yang ada di atas bantal. Mengusap gambar telepon berwarna hijau ke atas. 

"Kamu baik-baik saja to nduk? Perasaan emak dari kemarin tidak enak. Selalu kepikiran kamu," ucap emak parau. 

"Naya, baik-baik saja, Mak!" dustaku. 

Maaf telah berbohong, Mak! Aku tak ingin kalian mengkhawatirkan diriku. 

"Kamu tidak bohong, kan nduk?"

Firasat ibu memang selalu benar. Mungkin beliau merasakan apa yang kini dirasakan anaknya. Ikatan batin antara ibu dan anak memang sangat kuat. Seperti yang kini emak rasakan. 

"Naya baik-baik saja. Sudah dulu ya, Mak! Salwa terbangun." Tanpa mendengar jawaban Emak, sambungan telepon langsung kumatikan sepihak. 

***

Kuangkat tubuh perlahan. Mencari botol minum yang biasanya ada di samping kasur. Ah, ternyata botol sudah kosong. Mau tak mau aku harus mengambil air minum di dapur. Tak mungkin aku berteriak manggil Mas Rendi hanya untuk mengambilkan minum. Kasihan dia sudah terlalu lelah mengerjakan pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi tugasku. 

Tertatih aku berjalan,tubuh lemas membuatku harus berjalan secara perlahan. Tangan selalu berpegangan dinding agar tak terjatuh. 

Langkah kakiku berhenti saat mendengar percakapan di ruang keluarga yang tak jauh dari kamarku. 

"Bawa istrimu pulang ke rumah orang tuanya, Ren! Di sini dia hanya merepotkan ibu. Kamu tak kasihan pada ibu? Ibu kecapekan menjaga si kembar. Belum lagi harus mengerjakan pekerjaan rumah," ucap Mbak Ambar. 

Tubuhku menjadi semakin lemas mendengar perkataan Mbak Ambar.  Hatiku seperti diiris-iris sembilu. Sakit dan perih menjadi satu. Benarkah kehadiaranku menjadi beban untuk keluarga Mas Rendi? 

Ya Allah, Ya Robb... 

Sakit hati ini mendengar perataan Mbak Ambar. 

"Tapi Naya itu tanggung jawabku, Mbak!"

"Kamu pikir juga kesehatan ibu! Makannya jangan hamil lagi kalau untuk hidup saja masih pas-pasan!"

Ya Allah, apa aku bisa memilih mau hamil kapan? Jika Allah sudah memberi rejeki tak mungkin aku bisa menolaknya. 

"Pokoknya besok kamu antar istri dan anakmu ke rumah orang tua Naya. Mbak gak mau dengar penolakkan!"

Kuurungkan niat untuk mengambil minum. Rasa haus telah menguap. Kini hanya ada lara yang bersemayam di dalam dada. 

Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status