Share

Bab 6

Mas Rendi berjalan mendekat ke arahku. Perlahan ia membantu aku bangun. 

"Kita ke bidan ya,Nay!" ajak Mas Rendi.

"Tapi apa Mas punya uang?" tanyaku lirih. 

"Ada kok, Nay. Kamu jangan pikirkan itu. Yang terpenting saat ini kamu sehat." Aku hanya mengangguk. Memang benar ucapan Mas Rendi. Kalau aku sakit bagaimana nasib si kembar. Aku harus segera pulih. 

Mas Rendi mencari jilbab instan di dalam lemari. Jilbab berwarna merah marun berada di tangannya. Warna yang kontras dengan daster hijau yang ku kenakan. 

"Di pakai dulu, baru kita ke bidan." Kukenakan hijab itu, meski tak  cocok dengan daster lengan panjangku. 

Perlahan Mas Rendi memapah tubuhku yang terasa lemas. Aku tak memiliki tenaga untuk berdiri sendiri.

"Bawa istrimu ke bidan saja. Uangnya tidak akan cukup kalau ke dokter!" ucap Ibu saat kami melewatinya di teras depan. 

Ada rasa nyeri saat mendengar perkataan ibu. Ya, meski semua yang dikatakan benar tapi ucapannya membuatku merasa tak ada artinya di mata beliau. 

Ku jatuhkan tubuh di jok motor. Mas Rendi mulai menyalakan mesin motor. 

"Ibu... itut!" teriak Salwa dan Salma serentak. Kedua putriku segera berlari menuju motor metik yang ku naiki. 

Aku turun dengan hati-hati, aku berjongkok tepat di depan Salwa dan Salma. Kedua putriku justru bergelayut di pundak. Si kembar masih saja merengek agar di ajak ke bidan. Namun tubuh ini tak sanggup. 

"Salwa dan Salma ikut nenek dulu ya, ibu mau diperiksa." Kedua anak itu tak menggubris. Justru tangis mereka kian keras dan menyayat hati. 

"Salwa dan Salma ikut nenek yuk! Kita jajan es kirim," rayu ibu. Sejak kapan ibu berdiri di belakang Salwa dan Salma. Tahu-tahu ibu sudah berada di sana. 

"Mau itut ibu," rengek Salwa lagi. 

"Kita beli es krim pelangi yuk! Sama biskut rasa coklat."

"Ama mau itut nenek. Ama mau beli es tim," ucap Salma dengan logat anak kecil. 

Salwa diam, bingung harus ikut aku atau ibu. Namun akhrinya ia memilih ikut adik kembarnya untuk membeli es krim di warung tak jauh dari sini. 

Aku mulai duduk di jok motor. Kedua anakku melambaikan tangan saat motor perlahan meninggalkan halaman rumah. Ibu menatapku sinis saat tak sengaja mata kami saling bertemu. Ibu memang tak pernah menyukaiku. Namun beliau sangat menyayangi kedua putriku. 

Satu pertanyaan yang hingga kini aku belum menemukan jawabannya. Jika menyayangi kedua putriku, lalu kenapa beliau ingin menggugurkan janin yang tengah ku kandung? 

Ya Allah, Ya Robb... 

Selalu ada rasa sesak setiap mengingat perkataan ibu. 

"Belum ada nyawanya kan?"

Ucapan ibu selalu terngiang di telinga. Seakan kata-kata itu menempel di gendang telinga. Pipi terasa hangat saat air mata keluar dengan sendirinya. Sesak memenuhi rongga dada. 

"Kamu kuat, nak!" Ku elus perut yang masih datar. 

Mas Rendi melajukan motor dengan kecepatan rendah. Jarak rumah dengan klinik bu bidan tak terlalu jauh. Hanya beda desa saja. Namun laku kendaraan yang pelan membuat jarak terasa begitu jauh. 

Kami berhenti di depan rumah dengan cat berwarna hijau muda. Klinik Bu Bidan memang berada di kediamannya. Bagian barat untuk klinik dan bagian timur adalah rumah Bu Bidan Rahayu. 

Klinik Rahayu tertulis besar di depan rumah. Selain bidan ada juga dokter kandungan dan dokter umum. Namun berhubung ini hari minggu, hanya bu bidan saja yang ada. 

Suasana klinik terbilang sepi. Tak ada balita yang antri imunisasi. Mungkin sudah pulang. Ya, karena ini sudah pukul sembilan. 

Mas Rendi berjalan sambil merangkul pundakku agar tidak terjatuh karena kepalaku masih terasa pusing. 

Kami masuk ke ruang pendaftaran. Perawat sudah menyambut kedatangan kami. Perawat yang memakai baju berwarna pink itu  mulai mengukur tekanan darahku. Menanyakan keluhan yang ku rasakan. Setelah selesai aku di persilahkan menunggu tak jauh dari ruang pendaftaran. 

"Ibu Naya!"  panggil perawat yang tadi mengukur tekanan darahku. 

Aku berjalan sambil di gandeng Mas Rendi. Ku rebahkan perlahan tubuh ini di atas ranjang khas klinik. 

Bu bidan bernama Rahayu segera memeriksa dengan stetoskop. Perutku di tekan secara perlahan. 

"Bagaimana keadaan istri saya, bu?" tanya Mas Rendi. 

"Ibu hanya kelelahan, pak. Maklum usia kandungan yang baru lima minggu  membuat tubuh Bu Naya mudah lelah. Saya akan memberikan vitamin dan obat untuk mengurangi rasa mual dan pusing. Kalau pusingnya belum juga mereda. Periksa ke dokter kandungan ya, Pak." Bu Rahayu menuliskan resep di secarik kertas lalu memberikan kepadaku. 

"Terima kasih, bu."

"Semoga lekas sembuh, bu." Ku anggukan kepala lalu berjalan meninggalkan ruangan Bu Bidan Rahayu. 

***

"Kamu tiduran dulu, Nay! Mas ambilkan makan dulu." Ku anggukkan kepala. 

Ku pejamkan mata tapi kepala masih berputar-putar. Terdengar suara langkah kaki menuju ka kamar. Aku yakin itu Mas Rendi. 

Kreeekk.... 

Suara pintu di buka. Tak ada suara langkah kaki yang mendekat. Langkah itu berhenti tepat saat terdengar suara pintu dibuka. 

Perlahan ku buka mata. Siapa yang masuk, Mas Rendi ataukah si kembar? 

Ku telan saliva dengan susah payah saat melihat ibu sudah berkacak pinggang di depan pintu. Matanya tajam saat menatapku. Terlihat amarah di sorot mata itu. Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Semoga saja ibu tidak menarik rambutku seperti kemarin. Membayangkan saja rasa sakitnya masih terasa. Apa lagi jika itu menjadi kenyataan. 

"Ayo bangun! Jangan bersandiwara di depan Rendi." Ibu mendekat ke arahku. Aku hanya diam membisu. Tak berani menjawab apalagi berpindah tempat. Kepala yang berdenyut membutku hanya bisa diam. 

"Jangan manja! Urus si kembar, jangan bisanya hamil dan hamil."

Aku masih diam dengan air mata membasahi pipi. Ucapan ibu bagai belati yang menyayat kulitku.

 Apa aku tak pernah mengurus si kembar? 

Apa kehamilan ini salahku?

Ya Allah, kuatkan aku saat mendengar caci dan maki dari mulut wanita bergelar ibu mertua. 

"Jadi pengangguran jangan manja! Kerja! Jangan bisanya hanya menghabiskan yang suami!" ucapnya lalu pergi dari kamarku. 

Apa ibu rumah tangga itu seorang pengangguran yang kerjanya menghabiskan uang suami? Lalu pekerjaan rumah tangga yang ku kerjakan dari membuka mata hinga tidur itu di sebut apa? 

Kalau bisa memilih, aku ingin bekerja di pabrik dan menghasilkan uang. Aku lelah dipanggil pengangguran yang suka menghabiskan gaji suami. 

Mas Rendi datang dengan membawa piring berisi nasi dan segelas air putih. Segera ku hapus bekas air mata. Aku tak ingin suamiku khawatir dan sedih. Biarlah kutahan luka ini sampai aku benar-benar tak sanggup lagi. 

"Makan dulu, Mas suapin setelah itu minum obat ya." Mas Rendi menyuapiku dengan nasi dan telur ceplok. Ku kunyah makanan yang terasa begitu pahit di lidah.

Aku harus cepat sembuh demi anak-anakku. 

***

Dua hari hanya bisa tidur di atas ranjang. Setiap kali ku paksa bangun. Lantai yang ku pijak seakan ingin menenggelamkan ku. Tak hanya pusing, mual dan muntah telah menemaniku dua hari ini. Rasanya sungguh luar biasa. 

"Maaf ya Mas, gara-gara aku Mas Rendi jadi izin kerja." 

Mas Rendi mengelus puncuk kepalaku dengan lembut. Rasa sayang yang tak pernah luntur dari awal menikah hingga saat ini. Dialah lelaki penyabar meski kadang lebih membela ibunya dari pada aku. Aku tahu, Mas Rendi tak ingin menjadi anak durhaka. 

"Mas yang harusnya minta maaf, gara-gara Mas, kamu jadi seperti ini. Baru dua hari saja badan kamu sudah semakin terlihat kurus, Nay."

"Tak apa, Allah akan mengantikan dengan pahala. Memang beginilah wanita yang sedang mengandung, Mas." Mas Rendi mencium kening ku. Hingga akhirnya terlelap di sampingku... 

Ku elus perlahan pipinya. Rasanya bersalah menyusup dalam sanubari. Karena aku sakit, Mas Rendi jadi melakukan apa pun sendiri. Dari menjaga Salwa dan Salma hingga mencuci pakaian kami. 

Ting... 

Satu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau. 

[Woy pengangguran jangan manja. Tak usah bersandiwara dengan pura-pura sakit untuk menarik simpati Rendi.]

Bulir bening mengalir dari sudut netra membaca pesan itu. Begitu tak berartikah diriku ini? 

Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status