Mas Rendi berjalan mendekat ke arahku. Perlahan ia membantu aku bangun.
"Kita ke bidan ya,Nay!" ajak Mas Rendi."Tapi apa Mas punya uang?" tanyaku lirih. "Ada kok, Nay. Kamu jangan pikirkan itu. Yang terpenting saat ini kamu sehat." Aku hanya mengangguk. Memang benar ucapan Mas Rendi. Kalau aku sakit bagaimana nasib si kembar. Aku harus segera pulih. Mas Rendi mencari jilbab instan di dalam lemari. Jilbab berwarna merah marun berada di tangannya. Warna yang kontras dengan daster hijau yang ku kenakan. "Di pakai dulu, baru kita ke bidan." Kukenakan hijab itu, meski tak cocok dengan daster lengan panjangku. Perlahan Mas Rendi memapah tubuhku yang terasa lemas. Aku tak memiliki tenaga untuk berdiri sendiri."Bawa istrimu ke bidan saja. Uangnya tidak akan cukup kalau ke dokter!" ucap Ibu saat kami melewatinya di teras depan. Ada rasa nyeri saat mendengar perkataan ibu. Ya, meski semua yang dikatakan benar tapi ucapannya membuatku merasa tak ada artinya di mata beliau. Ku jatuhkan tubuh di jok motor. Mas Rendi mulai menyalakan mesin motor. "Ibu... itut!" teriak Salwa dan Salma serentak. Kedua putriku segera berlari menuju motor metik yang ku naiki. Aku turun dengan hati-hati, aku berjongkok tepat di depan Salwa dan Salma. Kedua putriku justru bergelayut di pundak. Si kembar masih saja merengek agar di ajak ke bidan. Namun tubuh ini tak sanggup. "Salwa dan Salma ikut nenek dulu ya, ibu mau diperiksa." Kedua anak itu tak menggubris. Justru tangis mereka kian keras dan menyayat hati. "Salwa dan Salma ikut nenek yuk! Kita jajan es kirim," rayu ibu. Sejak kapan ibu berdiri di belakang Salwa dan Salma. Tahu-tahu ibu sudah berada di sana. "Mau itut ibu," rengek Salwa lagi. "Kita beli es krim pelangi yuk! Sama biskut rasa coklat.""Ama mau itut nenek. Ama mau beli es tim," ucap Salma dengan logat anak kecil. Salwa diam, bingung harus ikut aku atau ibu. Namun akhrinya ia memilih ikut adik kembarnya untuk membeli es krim di warung tak jauh dari sini. Aku mulai duduk di jok motor. Kedua anakku melambaikan tangan saat motor perlahan meninggalkan halaman rumah. Ibu menatapku sinis saat tak sengaja mata kami saling bertemu. Ibu memang tak pernah menyukaiku. Namun beliau sangat menyayangi kedua putriku. Satu pertanyaan yang hingga kini aku belum menemukan jawabannya. Jika menyayangi kedua putriku, lalu kenapa beliau ingin menggugurkan janin yang tengah ku kandung? Ya Allah, Ya Robb... Selalu ada rasa sesak setiap mengingat perkataan ibu. "Belum ada nyawanya kan?"Ucapan ibu selalu terngiang di telinga. Seakan kata-kata itu menempel di gendang telinga. Pipi terasa hangat saat air mata keluar dengan sendirinya. Sesak memenuhi rongga dada. "Kamu kuat, nak!" Ku elus perut yang masih datar. Mas Rendi melajukan motor dengan kecepatan rendah. Jarak rumah dengan klinik bu bidan tak terlalu jauh. Hanya beda desa saja. Namun laku kendaraan yang pelan membuat jarak terasa begitu jauh. Kami berhenti di depan rumah dengan cat berwarna hijau muda. Klinik Bu Bidan memang berada di kediamannya. Bagian barat untuk klinik dan bagian timur adalah rumah Bu Bidan Rahayu. Klinik Rahayu tertulis besar di depan rumah. Selain bidan ada juga dokter kandungan dan dokter umum. Namun berhubung ini hari minggu, hanya bu bidan saja yang ada. Suasana klinik terbilang sepi. Tak ada balita yang antri imunisasi. Mungkin sudah pulang. Ya, karena ini sudah pukul sembilan. Mas Rendi berjalan sambil merangkul pundakku agar tidak terjatuh karena kepalaku masih terasa pusing. Kami masuk ke ruang pendaftaran. Perawat sudah menyambut kedatangan kami. Perawat yang memakai baju berwarna pink itu mulai mengukur tekanan darahku. Menanyakan keluhan yang ku rasakan. Setelah selesai aku di persilahkan menunggu tak jauh dari ruang pendaftaran. "Ibu Naya!" panggil perawat yang tadi mengukur tekanan darahku. Aku berjalan sambil di gandeng Mas Rendi. Ku rebahkan perlahan tubuh ini di atas ranjang khas klinik. Bu bidan bernama Rahayu segera memeriksa dengan stetoskop. Perutku di tekan secara perlahan. "Bagaimana keadaan istri saya, bu?" tanya Mas Rendi. "Ibu hanya kelelahan, pak. Maklum usia kandungan yang baru lima minggu membuat tubuh Bu Naya mudah lelah. Saya akan memberikan vitamin dan obat untuk mengurangi rasa mual dan pusing. Kalau pusingnya belum juga mereda. Periksa ke dokter kandungan ya, Pak." Bu Rahayu menuliskan resep di secarik kertas lalu memberikan kepadaku. "Terima kasih, bu.""Semoga lekas sembuh, bu." Ku anggukan kepala lalu berjalan meninggalkan ruangan Bu Bidan Rahayu. ***"Kamu tiduran dulu, Nay! Mas ambilkan makan dulu." Ku anggukkan kepala. Ku pejamkan mata tapi kepala masih berputar-putar. Terdengar suara langkah kaki menuju ka kamar. Aku yakin itu Mas Rendi. Kreeekk.... Suara pintu di buka. Tak ada suara langkah kaki yang mendekat. Langkah itu berhenti tepat saat terdengar suara pintu dibuka. Perlahan ku buka mata. Siapa yang masuk, Mas Rendi ataukah si kembar? Ku telan saliva dengan susah payah saat melihat ibu sudah berkacak pinggang di depan pintu. Matanya tajam saat menatapku. Terlihat amarah di sorot mata itu. Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Semoga saja ibu tidak menarik rambutku seperti kemarin. Membayangkan saja rasa sakitnya masih terasa. Apa lagi jika itu menjadi kenyataan. "Ayo bangun! Jangan bersandiwara di depan Rendi." Ibu mendekat ke arahku. Aku hanya diam membisu. Tak berani menjawab apalagi berpindah tempat. Kepala yang berdenyut membutku hanya bisa diam. "Jangan manja! Urus si kembar, jangan bisanya hamil dan hamil."Aku masih diam dengan air mata membasahi pipi. Ucapan ibu bagai belati yang menyayat kulitku. Apa aku tak pernah mengurus si kembar? Apa kehamilan ini salahku?Ya Allah, kuatkan aku saat mendengar caci dan maki dari mulut wanita bergelar ibu mertua. "Jadi pengangguran jangan manja! Kerja! Jangan bisanya hanya menghabiskan yang suami!" ucapnya lalu pergi dari kamarku. Apa ibu rumah tangga itu seorang pengangguran yang kerjanya menghabiskan uang suami? Lalu pekerjaan rumah tangga yang ku kerjakan dari membuka mata hinga tidur itu di sebut apa? Kalau bisa memilih, aku ingin bekerja di pabrik dan menghasilkan uang. Aku lelah dipanggil pengangguran yang suka menghabiskan gaji suami. Mas Rendi datang dengan membawa piring berisi nasi dan segelas air putih. Segera ku hapus bekas air mata. Aku tak ingin suamiku khawatir dan sedih. Biarlah kutahan luka ini sampai aku benar-benar tak sanggup lagi. "Makan dulu, Mas suapin setelah itu minum obat ya." Mas Rendi menyuapiku dengan nasi dan telur ceplok. Ku kunyah makanan yang terasa begitu pahit di lidah.Aku harus cepat sembuh demi anak-anakku. ***Dua hari hanya bisa tidur di atas ranjang. Setiap kali ku paksa bangun. Lantai yang ku pijak seakan ingin menenggelamkan ku. Tak hanya pusing, mual dan muntah telah menemaniku dua hari ini. Rasanya sungguh luar biasa. "Maaf ya Mas, gara-gara aku Mas Rendi jadi izin kerja." Mas Rendi mengelus puncuk kepalaku dengan lembut. Rasa sayang yang tak pernah luntur dari awal menikah hingga saat ini. Dialah lelaki penyabar meski kadang lebih membela ibunya dari pada aku. Aku tahu, Mas Rendi tak ingin menjadi anak durhaka. "Mas yang harusnya minta maaf, gara-gara Mas, kamu jadi seperti ini. Baru dua hari saja badan kamu sudah semakin terlihat kurus, Nay.""Tak apa, Allah akan mengantikan dengan pahala. Memang beginilah wanita yang sedang mengandung, Mas." Mas Rendi mencium kening ku. Hingga akhirnya terlelap di sampingku... Ku elus perlahan pipinya. Rasanya bersalah menyusup dalam sanubari. Karena aku sakit, Mas Rendi jadi melakukan apa pun sendiri. Dari menjaga Salwa dan Salma hingga mencuci pakaian kami. Ting... Satu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau. [Woy pengangguran jangan manja. Tak usah bersandiwara dengan pura-pura sakit untuk menarik simpati Rendi.]Bulir bening mengalir dari sudut netra membaca pesan itu. Begitu tak berartikah diriku ini? Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen.Sudah satu minggu aku terbaring di atas ranjang. Rasa pusing, mual dan muntah selalu menemani hari-hariku. Aku bahkan tak lagi mengurus kedua putriku. Untuk bangun sendiri saja tidak kuat, apalagi harus menjaga si kembar yang sedang aktif-aktifnya. Satu minggu sudah ibu mertua yang membereskan rumah dan merawat si kembar. Ada rasa tak enak menyelimuti hati. Namun mau bagaimana lagi. Aku saja tak kuat untuk berdiri. Sepi, tak ada suara Salma dan Salwa, bahkan tak ku dengar teriakan ibu seperti biasanya. Rumah ini seperti kuburan. Sunyi. Kemana perginya ibu dan anak-anak? Apa mungkin ke rumah Mbak Ambar? Ingin pergi mencari, tapi lagi-lagi terkendala tubuh yang lemas ini. Kugeser tubuh. Kini aku duduk dengan punggung menempel dinding kamar. Kuminum air putih meski terasa pahit. Ya, hanya air putih yang tidak ku muntahkan. Aku memijit kepala yang terasa berdenyut. Pusing. Aku sendiri bingung dengan kondisi tubuh. Kehamilan ini terasa begitu berat. Berbeda saat hamil si kembar. Tub
Samar-samar terdengar azan subuh berkumandang. Aku bangun perlahan, kepalaku memang tak sepusing kemarin tapi tubuh masih lemas karena memang belum ada makan yang masuk. Setiap kali makan selalu keluar. Itu yang membuat tubuhku lemas. "Bangun, Mas!" Kusentuh pipi Mas Rendi. Suamiku menggeliat lalu membuka mata meski masih terasa berat. Melihatnya kelelahan dan kurang tidur membuatku kasihan. Salma dan Salwa semalam sedikit rewel,pasti kecapekan. Kalau seperti ini biasanya aku memijat kaki dan tangan menggunakan minyak zaitun hingga akhirnya mereka terlelap kembali. "Sudah bangun,Nay?" tanyanya sambil mengucek mata dengan kedua tangan. Aku tersenyum tipis. Ini kali pertama aku bangun sendiri setelah sakit beberapa hari yang lalu. "Shalat bareng yuk, dek. Sudah lama kita tidak shalat berjamaah bersama." Kuanggukan kepala. Lalu berjalan perlahan menuju kamar mandi diikuti Mas Rendi dari belakang.Mas Rendi sudah berada di mushola kecil tak jauh dari dapur. Sementara aku baru selesai
Aku dan Mas Rendi berjalan beriringan masuk ke rumah. Ransel dan tas di letakkan di samping kursi kami. Emak dan Bapak tak luput memperhatikan tas yang baru saja di letakkan suamiku. "Kenapa membawa ransel dan tas, Ren?" tanya bapak dengan mata masih memperhatikan tas. Aku dan Mas Rendi saling pandang, bingung harus menjawab apa? "Em, itu Mak, Pak ...." Mas Rendi diam. Bingung mau menjawab apa? Tak mungkin jika ia menjelekkan ibunya. Meski kenyataannya benar. Sejelek-jeleknya seorang ibu, seorang anak tak akan menjelekkan keburukan di depan orang lain. Apa lagi di depan mertuanya. Dan begitulah sifat Mas Rendi. "Naya mau tinggal di sini, Pak." Bapak menyatukan dua alis, nampak tak mengerti dengan ucapanku. "Maksudnya apa ini?" Kuhembuskan nafas pelan. Mencoba menetralisir gejolak yang ada di dalam dada. Tak mungkin ku jelaskan jika di rumah Mas Rendi aku diperlakukan buruk. Bahkan mertuaku ingin membunuh janin yang aku kandung. Mas Rendi nampak semakin gelisah. Lelaki bertubuh
[Ingat ya, Ren. Setelah kamu antar Naya, kamu harus cepat pulang!]Aku telan saliva dengan susah payah. Pesan ibu membuatku susah bernafas. Tidak sopan jika aku mengantar dan tidak ikut menginap. Apa kata emak dan bapak nanti? [Rendi menginap di sini beberapa hari ya, bu. Tidak enak dengan emak dan bapak.]Aku harap ibu mengerti dengan keputusanku. Sebagai menantu yang baik. Aku harus tinggal di sini beberapa hari. Bukan mengantarkan Naya lalu kembali pulang. Nanti mereka pikir aku suami yang tidak bertanggung jawab. Lagi pula belum ada alasan yang tepat untuk berpamitan dengan mereka. Pabrik tempatku bekerja terletak di antara rumah emak dan rumahku. Mau berangkat dari mana pun jaraknya tetap sama. Jadi aku tinggal di sini pun tak masalah. Ting... Ponselku berbunyi lagi. Pasti pesan dari ibu. Kunyalakan benda pipih milikku. Jantungku berdetak saat hendak membaca pesan itu. Bukan deg-degan di SMS pacar tapi jantungan kena marah ibu. [PULANG SEKARANG ATAU KUCORET DARI DAFTAR ANAK]
Semalaman aku menangis. Bayang Mas Rendi pergi terus saja menari-nari dalam angan. Apa aku tak berarti hingga dengan tega ia memilih pulang? Memilih menuruti keinginan ibu dibanding aku, istrinya. Aku tahu, surga seorang lelaki ada di telapak kaki ibunya. Namun tak begini juga. Dia tega menitipkan aku dan kedua putrinya di rumah mertua, sedangkan dia tinggal di rumah ibunya. Apakah seperti ini berumah tangga. Tinggal terpisah. Kalau aku tahu akan seperti ini, lebih baik tak menikah sekalian. Toh, menikah atau tidak sama saja. Semua kulakukan sendiri. "Salwa, Salma, nenek bawakan cokelat." Suara emak terdengar kian mendekat. Lekas kuhapus bulir bening yang sempat menetes. Jangan sampai emak melihat aku menangis. Kedua putriku segera berlari ke arah emak. Dua gadis kecil yang wajahnya bak pinang dibelah dua itu meraih cokelat yang ada di tangan emak. Senyum bahagia tergambar jelas di sana. "Kamu sudah makan, nduk?" tanya wanita yang sudah melahirkanku itu. "Belum mak, Naya gak naf
"Assalamu'alaikum ...," salam Rendi seraya masuk ke dalam. Tatapan tajam dihadiahkan kepada Rendi. Bahkan sang ayah mertua bak serigala yang akan menelan mangsanya. Rendi menelan ludah, tatapan tak bersahabat membuatnya gugup dan bingung. Apa salahnya hingga ia diberi sambutan seperti itu? Kenapa juga Naya menangis? Kalimat itu menari-nari di kepala bapak beranak dua itu. "Untuk apa kamu datang lagi ke sini?" Suara Ahmad menggelegar bagai halilintar yang menyambar. Rendi terdiam, masih tak tahu dengan maksud sang ayah mertua. Sedikit ragu ia letakkan tas di atas kursi tamu. Lalu segera berjalan mendekat ke arah Naya. Dia masih tidak mengerti dengan maksud perkataan Ahmad. Bukankah kemarin Ahmad memintanya tinggal di sini? Namun kenapa sekarang justru memintanya pergi dari sini? "Ada apa ini, Pak? Kenapa bapak meminta saya pergi? Bukankah kemarin bapak yang meminta saya untuk tinggal di sini?" ucap Rendi pelan. Dada Ahmad naik turun, emosi sudah memenuhi hati lelaki berkulit
Pov RendiAku mengerjapkan mata perlahan. Sorot lampu begitu menyilaukan netra ini. Kembali ku tutup sepasang indera pengelihatan yang Allah berikan. Lalu membukanya sedikit demi sedikit.Ku pindai setiap sudut ruangan yang bernuansa putih. Bau obat-obatan tercium saat pintu kamar di buka. Seorang wanita berambut sebahu berjalan mendekati ku. Dari penampilan dia bukan suster atau pun dokter. Lalu dia siapa? "Mas, sudah siuman? Saya panggilkan dokter. Tunggu sebentar, Mas!" Wanita itu kembali ke luar dari ruang rawat inapku. Tak berselang lama pintu kembali terbuka. Wanita tadi datang bersama seorang dokter dan seorang suster. Suster berpakaian serba putih dengan sigap mengukur tekanan darahku. Aku hanya diam meski banyak tanda tanya dalam kepala ini. "Masih pusing, Pak?" tanya dokter setelah memeriksaku menggunakan stetoskop. "Masih dok," ucapku pelan. "Ini karena benturan di kepala, Bapak. Tapi tidak ada luka yang berat. Kalau sudah tidak pusing,besok pagi bapak boleh pulang."
Aku kembali merebahkan tubuh di atas ranjang. Ku tutup wajahku dengan bantal yang sudah terasa keras. Sengaja ku lakukan agar tangis ini tak terdengar emak atau pun bapak. Aku tidak mau bapak semakin membenci Mas Rendi. Ingin aku bercerita pada siapa saja agar beban yang ku pikul sedikit berkurang. Namun lagi dan lagi aku harus menjadi istri yang mampu menutup aib suami. Sekali pun itu sangat menyakitkan. Sikap ibu mertua yang kejam memang menyakitkan. Namun jauh lebih menyakitkan saat melihat suami berduaan dengan wanita lain. Berkali-kali aku beristighfar dalam hati. Mencoba menahan gejolak rasa yang menyesakkan rongga dada. Aku harus menghubungi Mas Rendi. Aku butuh penjelasan darinya. Segera ku ambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di atas ranjang. Ku pencet dua belas digit nomor suamiku. Namun nomor Mas Rendi tidak aktif? Apa dia sengaja bersenang-senang dengan wanita itu? Ya Allah.... Di saat aku hamil seperti ini justru Mas Rendi tengah asyik bersama wanita lain.