Bagian 37
Pov Ummi
Makan malam kami usai. Namun, gilanya Azka dan Yazid tak kunjung datang. Sudah hampir jatuh terlelap bagai Putri Salju aku di meja makan ini. Apa yang mereka lakukan di rumah depan sana? Antre bantuan pemerintah atau latihan tawaf mengelilingi Kakbah?
“Faraz, kita nonton tivi saja, yuk.” Abi membawa cucu keponakannya pergi menuju ruang tengah.
“Bi, Ummi tinggal sendiri di sini?” Aku sudah merah telinga. Enak saja Abi meninggalkanku di meja makan sendirian seperti orang yang tengah jaga lilin pesugihan babi ngepet.
“Ya, ayo!” Abi menoleh dengan muka kesal.
&ld
Bagian 38PoV Yazid Dengan kerapuhan hati yang sebentar lagi akan hancur berkeping, aku menyetir dengan mobil mewahku. Hampa benar hati ini. Seolah aku baru saja kehilangan satu ginjal. Apalah dayaku tanpa sosok Almira. Hidup jadi tak semarak. Makan pun pasti aku tak akan kenyang. Mira ... tega-teganya kamu pergi bersama sepupuku sendiri. Bahkan tanpa pernah kau beri tanda sebelumnya bahwa kalian memang ada apa-apanya. Sepanjang perjalanan yang tak kutahu bakal menuju mana, pikiranku benar-benar kacau. Marah dan kecewa bertumpuk pada sosok kedua orangtuaku. Ini semua gara-gara mereka. Terutama Ummi yang sejak aku kecil selalu saja bersikap keras dan kasar. Bahkan aku sampai lupa kapan terakhir kali wanita tua itu berucap manis kepada kami saking seringnya dia marah-marah dan penuh emosi jiwa.&
Bagian 39PoV Azka “Azka, kamu mau kan, membuat Mbak Mira menjauhi Mas Yazid supaya hanya Kak Dinda seorang yang menjadi istrinya?” Permintaan Kak Dinda sebelum hari H pernikahannya dengan Mas Yazid membuatku seketika terhenyak. Apa maksud Kak Dinda? Menjauhkan Mbak Mira menjauhi Mas Yazid? Oh, tidak. Kurasa itu bukanlah keahlianku untuk membuat hubungan seseorang hancur, terlebih Mas Yazid adalah sepupuku sendiri. “Maksudnya, Kak?” Aku masih bingung dengan ucapan Kak Dinda. Kuhentikan sesaat aktifitasku mengemaskan seluruh barang-barang kami untuk dibawa ke rumah Ummi. Kupandangi sejenak wajah Kak Dinda yang diliputi keresehan. “Buat dia mencintaimu dan berpaling dari Mas Yazid. Dekati terus perempuan itu. Sementara aku akan me
Bagian 40 Tercenung aku sesaat. Duduk bersandar di atas sofa ruang tamu kost milik Lubna. Setengah menyesal diriku telah memberi tahu Mas Yazid tentang posisiku saat ini. Namun, entah mengapa hati ini seperti memberontak. Meronta minta bertemu suamiku. Seakan mempercayai semua janji-janji klasiknya. Benarkah bahwa Mas Yazid bakal menunaikan kata-katanya tadi? Memangnya, dia sanggup hidup tanpa harta Ummi dan Abi? Baiklah. Sesuai kemauannya tadi, ini adalah kesempatan terakhir. Benar-benar terakhir kalinya aku sudi menemui lelaki itu. Namun, jika dia kembali bertingkah plin plan atau bahkan membawaku kembali pada orangtuanya, maaf aku tak akan bisa. Lebih baik aku hidup sendiri di kota ini atau pulang ke kampung saja dengan sisa uang yang ada. Sekarang aku malah mer
Bagian 41 Sepanjang malam, kami habiskan dalam kamar hotel dengan penuh gelora desah asmara. Kini aku bebas mengekspresikan rasa cinta dan rinduku pada Mas Yazid. Begitu pula dengan dirinya. Kami tak malu maupun sungkan. Sekadar erang atau lenguh, aku keluarkan tanpa merasa risih. Malam ini aku benar-benar hanyut dalam hasrat yang membara. Tak seperti biasanya. Selayaknya aku baru saja menemukan sesuatu yang berbeda pada suamiku itu. Dan tentu saja, setelah puas saling bertukar peluh, kami jatuh tidur dalam keadaan yang sangat lelah. Hari ini sangat di luar kebiasaan. Tiga kali bercinta dalam tempo kurang dari 24 jam. Aku sampai geleng-geleng kepala. Kok bisa? Paginya aku dan Mas Yazid terbangun dalam keadaan matahari telah meninggi. Kami sama-sama kaget. Sebab belum mandi junub dan menunaikan salat Subuh. Tanpa pikir panjang, suamiku la
Bagian 42 Sepanjang perjalanan dari hotel menuju rumah sakit tempat Abi dirawat, tak hentinya aku membaca doa untuk kesembuhan lelaki tua yang meskipun akhir-akhir ini sering membuat kami terluka. Dua puluh menit menerobos jalanan yang lumayan padat merayap akibat serbuan para pekerja menuju kantor, cukup membuatku merasa deg-degan luar biasa. Pertama, kami akan kembali berjumpa Ummi dan Abi. Kedua, kondisi bapak mertuaku itu sedang tak baik-baik saja. Ketiga, bagaimana nantinya reaksi mereka jika melihat aku kembali bersama Mas Yazid setelah apa yang terjadi semalam. Campur aduk perasaan di dalam kalbu. Gundah, cemas, takut, semuanya teraduk jadi satu. Membuat aku semakin tak keruan. Akhirnya kami tiba di depan gedung berlantai empat dengan halaman parkiran yang sangat luar. Tepat di tengah halam parkir, terdapat air mancur dan kolam ya
Bagian 43Tiga bulan kemudian .... Sejak kejadian tumbangnya Abi akibat hipertensi, Dinda dan Azka sama sekali tak memberi kabar. Sibuk kami mencari, tetapi keduanya menghilang bagai ditelan bumi. Sempat kutemui Lubna untuk mencari keberadaan lelaki itu. Namun, Lubna berkali-kali mengatakan tak tahu. Mungkinkah Azka telah berpesan pada sahabatnya tersebut untuk menyembunyikan keberadaanya dari kami? Entahlah. Yang jelas, saat wisuda mereka dihelat pun, lelaki itu sama sekali tak muncul batang hidungnya. Sarfaraz yang semula rindu pada om dan mamanya, perlahan mulai kembali ceria dan seakan baik-baik saja meski tanpa mereka. Kami merawatnya dengan baik dan penuh cinta. Tak pernah sekali pun bocah itu dimarahi. Bahkan Ummi dan Abi tak segan untuk mengajak tidur bersama pada malam-malam tertentu.
SEASON 2Bagian 1Setibanya di rumah Ummi dan Abi, kami buru-buru ke ruang makan untuk menjumpai keduanya. Ternyata, mereka sudah hampir selesai santap pagi bersama sang cucu. “Kalian kemana, sih? Kok baru ke sini?” Ummi tampak sedang mengelap bibirnya dengan tisu. Wanita berkaftan warna hitam dengan hiasan payet di dadanya itu terlihat agak marah. “Sudah. Duduk dulu kalian.” Abi ikut berkata. Lelaki tua itu tersenyum ramah ke arah kami. “Ummi, Abi. Kami ada kabar.” Mas Yazid begitu antusias. Dia menyikutku untuk mengeluarkan buku pink dan test pack yang tersimpan dalam tas selempang. Segera aku membuka ritsleting tas, kemudian merogoh test pack dan berniat untuk menunjukkannya pada mereka.
Bagian 2Keluarga besarku di kampung sangat bahagia kala mendengarkan kabar ini. Tak hentinya Ayah dan Ibu mengucap syukur sembari menangis kala kutelepon tentang kabar kehamilan ini. Keduanya memberikan doa agar kehamilanku berjalan dengan lancar dan sehat. Kehamilan pertamaku di usia 30 tahun setelah mengarungi bahtera rumah tangga selama 7 tahun lamanya ini memanglah sangat mengejutkan. Betapa tidak. Tak ada satu pun terapi atau program yang kami lakukan dalam beberapa waktu belakangan. Semuanya hanya berjalan secara alami. Bedanya, sejak kepergian Dinda, keadaan keluarga Mas Yazid menjadi 180o bedanya dalam memperlakukanku. Tak ada lagi yang mempermasalahkan ketidakhamilanku. Semuanya hanya fokus untuk membuatku nyaman dan merasa bahagia di rumah ini. Aku pun tak bakal menyangka dengan kehamilan yang sungguh datang secara tiba