Share

Pewaris Kedua Tunangan CEO
Pewaris Kedua Tunangan CEO
Penulis: nasaldinarta

1} Drama Di Awal Pertemuan

“Pa, ini tidak benar. Kenapa Papa harus memasukkan orang asing ke dalam keluarga kita?” seorang gadis muda berpenampilan modis, nampak bersitegang dengan orangtuanya sendiri di sebuah ruangan luas yang mewah nan megah. Dengan hanya sedikit lirikan saja, semua orang nampaknya tahu kalau apa yang mereka perdebatkan merupakan hal yang serius.

Wanita yang seharusnya berusia empat puluhan –yang berdiri di samping si gadis, nampak menegur putrinya pelan. “Jaga bicaramu, Karina! Dia adalah saudaramu sendiri, bukan orang asing.” Meski nampak membela, namun kilatan matanya menunjukkan rasa jijik yang kentara.

“Aku tidak peduli, Ma. Dia sudah belasan tahun hidup di luar rumah ini, lalu kenapa sekarang Papa tiba-tiba membawanya?” Karina terlihat tidak akan menyerah sebelum ayahnya menuruti keinginannya tersebut. Begitu angkuh sampai lupa siapa posisinya di sana.

Terbiasa dimanja, dilimpahi kasih sayang dan dituruti semua keinginannya sejak kecil, menjadikan Karina sebagai sosok yang sombong nan keras kepala. Entah itu salah orangtuanya yang mendidik atau salah dirinya sendiri yang tidak bisa berpikir dewasa seiring dengan bertambahnya usia. Dan sekarang, saat sesuatu yang dia benci nampak di depan matanya, tentunya hanya akan ada penolakan dan kata-kata kasar yang keluar.

Mahesa Batara, sang kepala keluarga di rumah tersebut masih terlihat tenang. Dia duduk tegap di sebuah kursi tunggal sembari menatap putri dan istrinya yang tengah berdiri dengan segala perdebatan mereka. Raut wajahnya tidak goyah sedikitpun meski melihat kekacauan tepat di depan mata.

“Kamu mempertanyakan keputusanku?” suara tegas nan berwibawa mengudara di ruangan yang dihuni oleh satu keluarga tersebut. “Aku adalah kepala keluarga di sini, jadi aku berhak memutuskan segalanya. Jika kamu merasa tidak setuju, maka aku bisa membelikan kamu sebuah apartemen yang siap dihuni.” Itu adalah negosiasi awal dan akhir yang dia miliki.

Tatapan Mahesa mengitari sekitarnya, memandang satu persatu pada mereka yang hadir di sana. Memberikan hawa dingin yang membuat punggung terasa dingin secara tiba-tiba.

Karina yang sebelumnya ingin mendebat dengan kasar seketika kehilangan suaranya. Jadi dengan nada yang lebih lembut namun masih terkesan memaksa, gadis itu kembali berucap, “Pa, Papa tidak bisa seperti itu. Aku adalah putrimu satu-satunya. Papa seharusnya –”

“Menuruti semua keinginanmu. Begitu?” potong Mahesa dengan cepat. Lelaki berusia setengah abad itu menghela nafas dalam diam. “Memang ini salahku sejak awal karena terlalu memanjakanmu. Lihatlah bagaimana sikapmu! Tidak bisakah kamu menghargai keputusan seseorang yang menanggung seluruh hidupmu selama ini?”

“Pa-”

Widya, sang ibu diam-diam mencubit lengan putrinya agar diam dan tidak membuat suasana semakin rumit, “teruslah berbicara kalau kamu memang ingin tinggal di luar rumah ini.” Bisiknya tepat di telinga Karina.

Dan pada akhirnya, Karina hanya mampu menggigit bibirnya dengan kuat. Menahan segala emosi, umpatan dan makian yang ingin dia lontarkan pada seseorang yang menjadi penyebab dirinya marah.

“Bagus, akhirnya kamu mengerti juga.” Mahesa berdiri setelah melirik putrinya yang lain yang sejak tadi diam dengan tenang. Hatinya terasa sakit seperti teriris sembilu kala mengingat bagaimana perjuangan putrinya hidup seorang diri di luar sana.

“Dengarkan aku baik-baik dan jangan membantah!” Mahesa melirik semua orang dengan tatapan memperingati. “Ametys adalah putri kandungku, benar-benar putri kandungku. Posisinya di sini sama seperti Ganesha yang juga adalah putra kandungku. Aku tidak bermaksud mengelompokkan anak-anakku sendiri, tapi ada batasan tertentu yang harus kalian ketahui di sini. Aku akan bersikap baik pada mereka yang patuh.”

Bukan rahasia lagi kalau sebelumnya, hanya Ganesha lah yang dikenal oleh orang-orang sebagai putra kandung Mahesa Barata. Sedangkan dua anaknya yang lain, yakni Karina dan Hadyan adalah anak tirinya. Keduanya masing-masing berusia dua dan tiga tahun saat Mahesa menikahi Widya kala itu. Dan sekarang, putri kandung yang baru dia ketahui keberadaannya itu akan segera dikenal oleh banyak orang.

Karina tentu saja marah saat mendengar kalimat paling terkutuk itu. Fakta bahwa dirinya bukanlah anak kandung Mahesa selalu menjadi hal yang paling dia benci. Ditambah dengan kehadiran Ametys yang ternyata adalah putri kandung ayahnya, membuat Karina semakin murka. Dia merasa seolah-olah apa yang telah dia miliki saat ini akan direbut oleh gadis itu.

Lalu Hadyan, remaja yang memiliki raut nakal di wajah kekanakannya itu hanya diam mengamati semuanya dari awal. Sejak dulu, dia sudah sadar akan posisinya, jadi tak ada yang perlu dia lakukan. Mungkin menjahili adik perempuan barunya akan menjadi kegiatan yang sedikit menarik.

Sedangkan Ganesha, laki-laki dewasa itu tidak berhenti mencuri pandang pada sosok Ametys yang duduk tepat di sampingnya. Entah bagaimana perasaannya saat ini, namun mengetahui bahwa dirinya ternyata memiliki saudara kandung tidak pernah terpikirkan olehnya. Itu berarti, sang ibu sedang dalam keadaan mengandung saat dirinya dibawa pergi oleh Mahesa saat kecil dulu. Sebuah perpisahan memang selalu memberikan dampak yang tidak baik, ini adalah salah-satunya.

Di luar itu semua, Widya jelas orang yang paling tidak terima saat ini. Dia sudah merawat keluarga ini sejak lama, namun harus tersingkirkan oleh seorang gadis kumuh yang terbiasa hidup miskin selama hidupnya. Di mana dia akan menaruh wajah nanti saat berkumpul bersama teman-teman sosialitanya? Ini adalah lelucon.

“Sebenarnya aku tidak membutuhkan validasi dari siapapun untuk ini. Namun, sepertinya kalian harus membaca ini lebih dulu.” Mahesa mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna putih yang di dalamnya merupakan hasil tes DNA paternitas yang baru keluar beberapa hari yang lalu. Sesuatu yang dapat membungkam rasa tidak percaya semua orang tentang Ametys yang adalah darah dan dagingnya.

Tanpa menunggu reaksi dari mereka, Mahesa malah mendekati Ametys yang tidak banyak bereaksi. Untuk sesaat, lelaki paruh baya itu merasa linglung karena rupa putrinya adalah wajah Ganesha versi perempuan. Begitu mirip dengan Ayunda, mantan istrinya yang ternyata telah tiada. Selain itu, Mahesa juga bisa melihat kalau mata serta garis hidung adalah miliknya sendiri. Bagus, dengan begini siapa lagi yang akan merasa ragu? Mereka memang nyaris terlihat sama.

“Kamu sudah berjuang sejauh ini seorang diri, itu bagus.” Mahesa mengusap kepala Ametys yang terasa begitu kecil di telapak tangannya, “bersiaplah! Semua orang harus tahu kalau kamu adalah putriku.”

Mahesa terdiam kaku saat melihat netra serupa miliknya itu mengembun, siap mengeluarkan air mata. Ametys tidak mengatakan apapun sejak tadi, namun bukan berarti dia tidak bisa mendengarkan percakapan semua orang.

Tangannya terulur, ingin menghapus sudut mata putrinya yang basah. Namun harus tertahan karena sebuah suara kecil yang baru dia dengar dengan jelas.

“Terlalu merepotkan untuk hidup bersama orang-orang yang tidak mau menerima kita.” Ametys merujuk pada Karina yang terang-terangan menentangnya, “aku tidak masalah kalau harus tetap hidup di luar sana seorang diri, itu tidak terlalu sulit.” Bertentangan dengan raut wajahnya yang pucat dan sendu, ucapan yang keluar dari mulutnya begitu tegar seolah dirinya sudah melalui berbagai rintangan hidup yang menyakitkan.

Hening untuk sesaat. Entah Mahesa yang kebingungan, atau dirinya memang sedikit terkesima dengan kedewasaan yang dimiliki Ametys. Namun tak lama, bibir laki-laki itu menampilkan sebuah senyuman yang tulus, sesuatu yang jarang dia perlihatkan pada orang lain.

“Benar, tentu saja kamu bisa. Namun itu akan terasa sulit untukku. Aku tidak mungkin membiarkan putriku hidup seorang diri lagi untuk ke dua kali. Kalau aku melakukannya, maka aku bukanlah seorang ayah.”

. . .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status