Share

4} Sepertinya Itu Ketidaksengajaan

Perjalanan menuju sekolah terasa cukup canggung meski suara musik dari radio yang dinyalakan menggema di dalam mobil mahal milik Hadyan. Remaja tampan itu begitu fokus dengan jalanan yang dilaluinya, sedangkan Ametys hanya diam dengan patuh karena tidak pintar dalam membuka percakapan. Rasanya, lebih baik naik bis seperti biasa daripada duduk satu mobil bersama orang yang baru dikenalnya seperti ini.

Meski tidak hidup dalam keluarga yang mampu sejak kecil, namun Ametys pernah beberapa kali naik mobil cukup mewah milik teman atau gurunya jika sedang dalam perjalanan menuju perlombaan nasional. Otaknya yang jenius ini sebenarnya sudah membawa banyak keberuntungan dalam hidup Ametys. Jadi, dia masih bisa menahan diri agar tidak bersikap kampungan saat menaiki mobil yang memiliki harga miliyaran.

“Aku dengar kita satu angkatan, benar?” pada akhirnya Hadyan membuka percakapan.

Ametys menoleh, menatap siluet Hadyan dari samping. Memang tidak ada fitur Mahesa di sana, tapi rupa Widya juga nyaris tidak ada. Mungkin Hadyan menuruni ayah kandungnya. “Ya, aku kelas dua belas tahun ini.”

Hadyan mengangguk, “sedikit aneh karena usia kita beda dua tahun namun berada di tingkatan yang sama. Namun itu baik-baik saja karena katanya kamu juga pintar.” Sedikit banyaknya dia sudah menelusuri informasi dasar terkait Ametys sejak gadis itu tiba di rumah. Awalnya, dia hanya merasa sedikit penasaran tentang kebenaran yang Mahesa bawa. Namun dia tidak menyangka akan mendapatkan kejutan seperti Ametys yang berotak jenius sehingga bisa lompat kelas.

“Oh, itu..ya. Terima kasih?” Ametys bingung apakah yang barusan itu bisa dianggap pujian.

Tidak disangkanya, Hadyan malah tertawa kecil, "sekarang aku mengerti kenapa Kak Ganes seperti tidak berdaya menghadapimu.” Netra kecokelatan itu menyipit saat menatap Ametys sesekali.

Ametys membatin. Tidak berdaya? Apa maksudnya? Aku bahkan belum melakukan apa-apa.

“Malam hari setelah kamu tiba, Kak Ganes berkata bahwa kalian tidak mungkin menjadi dekat karena sama-sama orang asing sebelumnya. Tapi lihatlah tadi! Bukankah dia cukup manis?” Hadyan menyinggung respon Ganesha saat di meja makan tadi ketika Mahesa menyuruhnya mengantar Ametys ke sekolah.

Setelah mendengus diam-diam, Ametys lagi-lagi membatin. Apanya yang manis? Orang itu bahkan sudah mengibarkan bendera perang lebih dulu saat malam itu.

Perhatiannya teralihkan saat mereka melewati gerbang tinggi di mana terdapat sebuah air mancur yang seolah menyambut kedatangan para siswa. Mereka berhenti tepat di lahan parkir khusus mobil yang cukup luas, lokasinya berada di samping lapangan upacara yang berada di tengah-tengah bangunan sekolah, sehingga begitu banyak orang di sekitarnya.

“Ayo turun! Aku akan mengantarmu ke ruang guru lebih dulu.” Hadyan turun setelah mematikan mesin mobil, diikuti Ametys yang sebenarnya merasa sedikit gugup. Dia sudah menebak kalau berangkat bersama laki-laki ini pasti akan merepotkan. Dan lihat! Baru saja dia menginjakkan kaki. Teriakan para gadis dan perhatian semua orang nyaris mengarah pada mereka.

Keduanya jalan bersama, mengabaikan orang-orang yang sibuk mengarahkan ponsel ke arah mereka. Mengabadikan sebuah momen yang dirasa sangat langka. Kapan lagi kakak kelas tampan yang populer seperti Hadyan berangkat bersama seorang gadis? Begitulah kira-kira.

Di sela-sela langkah kakinya, Ametys berujar pelan namun masih bisa didengar oleh Hadyan. “Lain kali aku tidak akan mau berangkat bersamamu lagi.”

Dan lagi-lagi hanya tawaan kecil menyenangkan yang terdengar dari Hadyan seolah Ametys begitu lucu.

“Mana ponselmu?” tiba-tiba Hadyan berhenti saat keduanya tepat di depan ruang guru.

Ametys berkedip dua kali, baru ingat kalau dia sudah cukup lama tidak menggunakan ponsel. “Terakhir kali, aku menjualnya karena tidak mempunyai uang untuk makan. Jadi, aku tidak punya ponsel sekarang. Kenapa memangnya?” ungkapan menyedihkan itu terdengar biasa saja saat Ametys yang mengatakannya seolah hal tersebut memang bukanlah masalah besar.

Senyuman Hadyan hilang saat mendengarnya. Dia baru ingat kalau Ametys mengalami hidup yang berat selama ini. Tapi dia bingung harus mengatakan apa untuk menghibur karena yang lain terlihat tidak minta untuk dihibur. Jadi, pada akhirnya Hadyan hanya mengangkat tangannya dan menepuk kepala si gadis beberapa kali. Itu terasa asing untuknya karena dia tidak pernah melakukannya kepada siapapun, namun cukup menyenangkan sampai dia ingin melakukannya lagi di masa depan.

“Tidak apa-apa. Setelah ini semuanya akan baik-baik saja.”

Ametys tidak tahu harus mengatakan apa. Fakta tentang orang-orang di sekitarnya yang begitu suka menepuk kepalanya terasa lebih memusingkan daripada memikirkan nasib buruknya sebelum ini.

. . .

Siang itu, di sebuah ruangan luas yang terletak di lantai tertinggi sebuah perusahaan, seorang laki-laki dewasa tengah memperhatikan tayangan berita dari sebuah televisi layar lebar di depannya. Itu adalah jam istirahat makan siang, namun Kalingga lebih tertarik dengan apa yang sedang dia tonton daripada makanan lezat bergizi yang baru saja disiapkan. Sedangkan Han, sekretarisnya masih berdiri di samping seperti biasa karena atasannya itu belum mempersilahkannya untuk keluar.

Melihat jika Kalingga belum menyentuh sendoknya sama sekali, Han mulai merasa ada yang salah. Apa menu makan siang bosnya hari ini kurang mengesankan? Apakah dia akan diberikan mandat lagi untuk mengganti chef yang bekerja di kantin perusahaan?

“Apakah makannya tidak sesuai dengan selera Anda, Pak?” tanya Han hati-hati.

Kalingga mengalihkan pandangannya dari televisi lalu mulai mengamati makan siangnya yang memang terasa hambar, seperti biasa. “Apa gadis itu benar-benar putrinya Mahesa Batara?”

“Ya?” Han mersepon linglung sembari menatap televisi yang sejak tadi ditonton Kalingga. Melihat jika itu adalah berita yang sedang panas-panasnya di kalangan masyarakat kelas atas, Han jadi langsung mengerti ke mana arah pembicaraan ini berlangsung. “Benar, Pak. Hasil tes paternitas membuktikan bahwa Nona Ametys memiliki sembilan puluh koma sembilan persen kemiripan dengan Tuan Mahesa Batara, yang berarti Nona Ametys adalah adik satu ayah dan satu ibu dari Tuan Ganesha.”

Dengan kunyahan malas di mulut dan gagang sendok di tangan, Kalingga sedikit mengernyitkan alisnya seperti memikirkan sesuatu. “Apa saat itu gadis tersebut sudah tahu asal-usulnya yang sebenarnya?”

Han terdiam sejenak, “sepertinya belum, Tuan. Nona Ametys sendiri tidak tahu bahwa dia memiliki keluarga selain mendiang ibunya. Jadi, kejadian di puncak waktu itu memang bukan kesengajaan.”

Kalingga mengangguk ringan, dia juga cukup setuju dengan apa yang Han katakan. Terlebih, saat keduanya bertemu di malam pesta penyambutan, gadis itu hanya mengernyitkan kening saat melihatnya sebelum kembali bersikap tenang seolah mereka tidak pernah bertemu satu sama lain sebelumnya.

“Apakah kita memiliki kerjasama dengan PT. ANC?”

Perasaan Han mulai tidak enak, kali ini apa? “ya, Pak. Itu masih dalam tahap negosiasi.”

“Kapan pertemuan selanjutnya diadakan?” Kalingga sudah meletakkan kembali sendok dan garpunya karena merasa pembicaraan ini lebih menarik.

“Itu dua hari dari sekarang Pak. Apa Anda ingin mengadakan pertemuan ini secara langsung?” otak Han memang selalu berfungsi dengan baik jika menebak siasat mengerikan miliki bosnya.

Laki-laki pertengahan dua puluh itu menunduk, menyembunyikan senyuman miring yang sayangnya masih dapat dilihat oleh sekretarisnya. Dan Han bersumpah, tidak akan ada hal baik yang terjadi saat senyuman maut itu keluar karena Kalingga sangat jarang menampilkan ekspresi di wajahnya.

“Aku mengandalkanmu, Han.”

. . .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status