Share

7} Siapa Sebenarnya yang Bodoh Di sini?

Tidak ada yang bersuara selama beberapa menit setelah Ganesha hadir sebagai wali Ametys di sana. Kepala sekolah terdiam mengamati situasi, sedangkan Nyonya Mahendra seperti baru saja kehilangan suaranya. Meski tidak tahu asal-usul maupun latar belakang lelaki muda di depannya ini, dia tentu tidak bodoh untuk bersikap kasar seperti sebelumnya. 

Sedangkan sosok lain bernama Aftha yang tak lain dan tak bukan adalah orang kepercayaan Ganesha, kini sudah dapat memahami situasi. Sebenarnya, ini hanyalah permasalahan di antara dua remaja. Namun pihak lain malah ingin memperpanjang sehingga dia tidak punya pilihan lain selain menerima dengan senang hati.

"Jadi, pihak terkait ingin menyelesaikan masalah ini seperti apa?"

Nyonya Mahendra berkedip dua kali, terlihat ragu namun mencoba mengembalikan keberaniannya seperti tadi. "Orang yang paling dirugikan di sini adalah putri saya, dia adalah korbannya. Jadi, gadis itu tentu harus menanggung akibat dari perbuatannya. Tidak ada kata maaf untuk seorang perundung."

Aftha mengerutkan dahi tidak setuju, "hati-hati, Nyonya! belum diketahui dengan jelas tentang siapa yang merundung dan siapa yang dirundung di sini. Apa Anda memiliki bukti atau saksi untuk membenarkan segala tuduhan Anda? Dari yang saya tahu, Anda bahkan menolak untuk mendengarkan penjelasan dari Nona Ametys. Lalu, dari segi apa Anda menilai permasalahan ini?" Aftha terlalu terbiasa menghadapi manusia dengan segala sikap tidak tahu malu mereka selama bekerja dengan Ganesha. Jadi, orang-orang dengan tipe seperti wanita di depannya ini cukup menjengkelkan meski tidak terlalu merepotkan.

Amanda maupun Nyonya Mahendra mulai ragu dengan identitas Ametys saat mendengar panggilan yang begitu sopan dari pihak lain. Namun karena dibutakan oleh rasa benci dan amarah, tak ada satupun dari mereka yang berpikir lebih jauh. Keduanya hanya ingin Ametys segera dihukum dan dibuang dari sekolah ini demi menjernihkan penglihatan mereka.

"Memang apa yang salah dengan ucapan saya? Amanda jelas-jelas adalah korban. Apa Anda ha -"

"Hentikan!"

Ganesha tadinya hanya ingin diam dan tidak terlalu banyak bicara, alasan itu juga yang membuatnya membawa Aftha ke sini. Namun tidak disangka jika pendengarannya akan begitu sakit saat mendengar suara jelek wanita di depan mereka.

"CCTV."

Aftha terdiam sejenak saat mendengar itu, "benar, mari kita lihat rekaman CCTV. Dengan begitu, semuanya akan terlihat jelas." Lelaki itu menyipitkan matanya saat melihat wajah Amanda yang memucat, "orang yang bersalah, tentu harus dihukum."

Sang kepala sekolah juga diam-diam merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia tidak memeriksa semuanya lebih awal daripada menghabiskan waktu dengan perdebatan yang tidak perlu. 

Sepasang ibu dan anak perempuan itu ingin menyangkal dan mengatakan bahwa mereka terlalu berlebihan, namun pada akhirnya mereka tidak mengatakan apa-apa. Hanya pasrah saat sebuah rekaman di area kantin diperlihatkan di sebuah layar lebar, sehingga semua orang dapat melihat jika Amanda adalah pihak pertama yang memulai masalah lebih dulu. Selain itu, adegan Ametys yang melakukan tindakan balasan terlihat cukup keren untuk diperhatikan. 

"Ma, ini.."

Sepasang mata besar dengan sebuah lensa itu memelototi putrinya tanpa ampun. Beraninya Amanda memberikan sangkalan saat bukti terpampang nyata di depan mereka, kenapa putrinya itu begitu bodoh dalam menilai situasi?

Nyonya Mahendra jelas mati kutu, dan dia terlalu malu untuk mengangkat wajah saat ini. Sadar kalau dirinya terlalu dini dalam menyimpulkan sesuatu.

Melihat pihak lain kehilangan taringnya, Ganesha hanya mendengus sambil menatap ke arah Ametys yang kini baru saja dihampiri oleh Hadyan. Gadis itu menenggak minumannya dengan tenang, tidak terganggu dengan Hadyan yang kini tengah mencoba merapikan rambut panjangnya. 

Untuk sesaat, Ganesha merasa sedikit asing dengan pemandangan itu. Ingin mengatakan sesuatu pada keduanya, namun saat ingat ada hal lain yang lebih penting untuk dilakukan saat ini, dia dengan cepat mengalihkan pandangan. 

"Saya tidak keberetan untuk menempuh jalur hukum jika Anda masih bersikeras melanjutkannya. Atau Anda ingin cara yang lain?" tanya Ganesha dengan sudut bibir yang sedikit terangkat, cukup yakin kalau pihak lain akan lebih tertarik dengan cara kedua.

Benar saja, bak kucing yang diberi ikan, Nyonya Mahendra langsung berbinar-binar saat mengetahui maksud dari ucapan Ganesha. Memangnya kenapa jika Amanda menyerang lebih dulu? Ametys masih harus bertanggungjawab karena sudah membuat putrinya malu dan terluka.

Dengan segera, wanita itu memperlihatkan wajah serakah yang tak mungkin bisa ditutupi. "Saya tidak keberatan jika Anda ingin memberikan kompensasi, cukup lima ratus juta saja. Dengan begitu, saya akan menganggap masalah ini selesai sampai di sini." 

Bodoh, hina dan tidak tahu malu.

Semua orang di sana jelas memiliki penilaian yang sama dalam otak mereka tentang Nyonya Mahendra. Bahkan Amanda menatap sang ibu dengan heran, seolah tengah melihat orang gila yang tiba-tiba meminta sedekah.

"Kak, tolong tambahkan sedikit lagi. Aku tadi mencekik putrinya." Hadyan berujar santai, terlihat tidak peduli.

Ametys mengangguk di samping Hadyan, tidak mungkin untuk tidak setuju. Beberapa saat yang lalu, kakak tirinya itu hampir menghilangkan nyawa seseorang jika tidak segera dihentikan.

Ganesha tidak tahu harus menangis atau tertawa saat ini. Dua remaja itu benar-benar bodoh atau sedang pura-pura tidak tahu? Ucapannya barusan jelas hanyalah sarkas semata karena ingin melihat respon dari pihak lain, namun semua orang sepertinya menganggap serius. Lelaki muda itu menatap Aftha yang kini tengah menunggu mandat dengan sabar.

"Baik, mereka menginginkan kompensasi. Maka kita juga harus melakukan hal yang sama." Ganesha berdiri dan melewati tubuh jangkung Aftha sambil menepuk bahunya, "urus ini!" Lalu berdiri tepat di depan Ametys dan Hadyan yang terlihat patuh. Alisnya mengerut saat melihat kondisi wajah gadis itu tidak lebih baik dari kondisi lawannya. 

"Kalian, ikut aku!" 

Ganesha memilih sebuah taman yang terlihat sepi untuk mengajak keduanya berbicara, letaknya tidak jauh dari ruangan konsultasi siswa yang baru saja mereka kunjungi sebelumnya.

"Hadyan." 

Remaja bertubuh tinggi itu menegakkan punggung tanpa terasa saat mendengar nada panggilan yang seperti suara malaikat maut itu. "Ya, Kak." 

"Kamu tahu apa salahmu?" 

Hadyan mengangguk, "aku terlalu terburu-buru hingga menyebabkan kerugian untuk banyak orang. Tapi aku tidak menyesal karena sudah mencekiknya. Kak, yang benar saja, dia merundung Ametys tepat di depan mataku. Apa haknya melakukan itu?" Sifatnya yang kekanakan muncul kembali, ini adalah sesuatu yang akan terlihat jika Hadyan sedang dalam keadaan genting saja.

Helaan nafas terdengar, "memangnya kenapa kalau dia melakukannya? Apa kamu merasa sakit atau dirugikan?" Itu adalah pertanyaan yang ditujukan untuk Hadyan, namun mata Ganesha jelas tengah menatap Ametys saat ini.

"Ini adalah hari pertamanya pindah sekolah. Dia juga membawa nama belakang keluarga Batara di sini. Apa dia pikir bisa bersikap seenaknya seperti sebelumnya? Seharusnya kamu membimbingnya agar bersikap lebih anggun. Untuk apa terbawa emosi? Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah sedikitpun." 

Rentetan kalimat panjang itu adalah fakta yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Hadyan merasa kalau kakaknya keterlaluan, namun siapa yang menduga jika Ametys tidak protes sama sekali. Gadis itu malah tersenyum tipis dan berujar dengan datar.

"Tentu, aku tahu kesalahanku. Maaf, itu tidak akan terulang."

. . .

. . .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status