Share

2} Kita Memang Sedarah, Lalu Apa?

Tak ada yang bertanya bagaimana perasaannya saat sang ibu meninggalkannya seorang diri. Tak ada yang bertanya bagaimana perasaannya saat harus menjalani hidup serba kekurangan tanpa adanya sosok pegangan. Tak ada yang sekedar menanyakan kabarnya saat satu atau dua hari dirinya tidak masuk sekolah. Terbiasa melakukan segalanya seorang diri membuat pikiran Ametys menjadi lebih dewasa dari yang seharusnya. Jadi, saat dirinya dibawa oleh sosok yang mengaku sebagai ayahnya, tak ada rasa antusias berlebihan di hatinya. Dia hanya mengikuti ke mana jalan takdir akan membawanya.

Beberapa saat yang lalu, Mahesa telah memperkenalkan dirinya pada semua tamu undangan. Orang itu terlihat bangga dan bahagia saat mengaku bahwa dirinya memiliki seorang putri kandung. Mereka yang hadir tentu saja kaget dan tidak menyangka, namun tak ada yang berani bertanya terlalu jauh demi menjaga kesopanan dan hubungan kekerabatan. Setelah mengucapkan selamat dan menyapa Ametys ala kadarnya, orang-orang berlalu begitu saja, kembali berbaur dengan sesama.

Sejak awal, Ametys tidak mengharapkan sambutan apapun. Jadi, tidak ada raut sakit hati maupun kesedihan saat mereka sedikit mengabaikannya. Alih-alih merenungi apa yang terjadi, gadis berusia enam belas tahun itu malah mencari meja kosong di tempat yang agak pojok. Meski kesepian itu tidak menyenangkan, namun dia sangat menyukai ketenangan.

“Apa mereka tidak lelah hanya berdiri seperti itu?” Ametys menikmati makanannya dengan tenang, tidak terganggu dengan beberapa lirikan ragu dari orang-orang di sekitarnya. Pesta adalah sesuatu yang baru untuknya, dan dia memiliki kesan pertama yang cukup buruk saat harus mengalaminya sendiri seperti ini. Dia merasa heran karena pernah mendengar temannya mengatakan bahwa pesta itu menyenangkan. Maka di mana letak menyenangkan itu?

“Bagus. Di sini memang lebih baik untukmu.”

Ametys mengangkat pandangannya saat mendengar suara seseorang yang akhir-akhir ini terasa familiar di telinganya. Itu adalah Ganesha dengan setelannya yang rapi dan maskulin. Dilihat dari manapun, orang yang katanya kakaknya ini memang memiliki paras rupawan.

Gadis itu tidak tahu harus menjawab apa. Jadi, setelah berdehem sebentar sambil menatap Ganesha, dia kembali menyantap hidangannya. Namun siapa sangka, alih-alih dianggap tak sopan, orang di sampingnya malah terkekeh kecil. Membuat Ametys tidak bisa untuk tidak kembali menengok dengan pandangan ‘ada apa denganmu?’ di wajahnya.

“Saat Papa mengatakan kalau aku memiliki seorang adik yang benar-benar seorang ‘adik’, aku tidak bisa menerimanya begitu saja. Bagaimana pun kita adalah dua orang asing yang sebelumnya belum pernah bersinggungan.” Pandangan Ganesha mengarah ke depan, tepat pada adik laki-lakinya yang terlihat bosan karena harus terjebak di antara para tetua yang sedang bercengkerama. Senyuman kecil tercipta di bibir tipisnya, “aku terbiasa hidup dengan dua adik tiriku dan menganggap keduanya bagian dari hidupku juga. Meski mereka tidak memiliki sikap yang baik, namun mereka tetaplah saudaraku.”

Ametys seharusnya merasa tersinggung dengan ucapan Ganesha yang terang-terangan menyadarkan posisinya. Namun tidak, dia tidak merasakan itu sama sekali. Karena menurutnya itu adalah hal yang wajar. Ini adalah sikap yang seharusnya Ganesha tunjukkan padanya. Akan sangat aneh bila laki-laki di sampingnya ini langsung bisa menerima kehadirannya begitu saja. Lagipula, dia tidak mengharapkan apapun.

Ganesha mengamati wajah Ametys yang begitu tenang dengan mulut yang masih sibuk mengunyah, dia merasa sedikit terpancing untuk melanjutkan, “katakanlah kalau kita memang saudara kandung yang memiliki ayah dan ibu yang sama, selain itu kita juga memiliki paras yang serupa. Lalu, apa?”

Mendengar nada bicara Ganesha yang terdengar sedikit menjengkelkan, Ametys menghentikan gerakannya sejenak. Namun hanya sekedar itu, karena setelahnya dia kembali makan dengan khidmat. Dan Ganesha tidak peduli dengan itu, karena sepertinya Ametys tidak keberatan dengan pembicaraan sepihak ini, dia kembali berujar. “Pada akhirnya, tidak ada sesuatu yang akan membuat kita merasa kalau kita adalah saudara. Hanya menyadari kalau dalam diri kita mengalir darah yang sama. Tidak lebih dari itu. Benar bukan?”

Ametys tidak langsung menimpali, gadis itu menenggak air mineralnya setelah membuat piring kecilnya kosong, lalu mengambil tisu untuk mengusap mulutnya yang basah. Semua gerakan itu tidak luput dari pengamatan Ganesha. Cara makan Ametys tidak bisa dikatakan anggun, namun itu penuh dengan kehati-hatian seolah dirinya sudah terbiasa dengan itu.

“Aku tidak tahu kalau kamu ternyata begitu banyak bicara.” Melirik Ganesha dengan mata bulatnya yang jernih, “tapi terima kasih untuk usulannya. Aku tidak memiliki harapan apapun untuk kita, meskipun itu hanya untuk sebuah keakraban di antara saudara. Seperti katamu, itu tidak mungkin.”

Padahal Ganesha mengatakan itu semua dengan fasih tadi, namun itu terdengar tidak benar saat Ametys yang mengatakannya dengan wajah yang terlampau tenang. Dia merasa seperti tidak bisa menerimanya begitu saja.

“Tenang saja. Aku tidak akan mengambil semua harta ayahmu atau berniat menjadikan diriku sebagai kandidat yang akan menggeser posisimu sebagai seorang pewaris. Paling-paling, aku hanya akan meminta modal agar bisa memiliki usaha sendiri.” Ucapan Ametys terdengar begitu masuk akal. Daripada bersaing dengan ketiga anak ayahnya demi sebuah warisan, dia lebih baik memisahkan diri setelah meminta uang yang banyak.

"Daripada itu, aku lebih penasaran dengan hal lain." Ametys menyandarkan punggungnya pada kursi sambil menatap Ganesha tepat di matanya, "apa orang itu mengatakan sesuatu tentang ibuku yang mungkin juga adalah ibumu..sudah lama tiada?" tanyanya dengan sedikit ragu.

"A-apa?"

Tubuh Ganesha terasa kaku, pun dengan pikirannya yang seolah berhenti beroperasi. "Apa yang kamu katakan?" ucapannya lebih terdengar seperti bisikan di telinganya sendiri, saking tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Sudah kuduga." Gumam Ametys pelan sebelum membiarkan Ganesha bergelut dengan pikirannya sendiri.

Maka, saat detik demi detik berlalu pun, sepasang saudara yang baru dipertemukan itu hanya saling diam tak mengeluarkan suara. Ganesha yang linglung, dan Ametys yang merasa lelah karena terlalu banyak bicara malam ini. Meski begitu, di mata orang lain mereka terlihat seperti sepasang saudara yang akrab. Seketika, pemandangan itupun menjadi perbincangan hangat para tamu undangan. Termasuk sekelompok gadis muda yang sejak tadi mengelilingi Karina.

“Mereka memang terlihat begitu mirip. Dalam sekali lihatpun, orang akan tahu kalau keduanya memiliki ikatan darah.”

“Bukankah Nona Ametys terlihat seperti Tuan Ganesha versi perempuannya? Sangat cantik.”

“Tidak akan ada orang yang berani menyangkal kalau Nona Ametys adalah adik kandungnya Tuan Ganesha. Aura yang mereka miliki begitu kuat.”

“Ya Tuhan, aku seperti sedang melihat dua lukisan paling indah dalam hidupku.”

Karina menghela nafas jengkel saat harus mendengar ucapan yang sama untuk ke sekian kalinya malam ini, sampai dia merasa muak. Harapan kalau dirinya akan kembali menjadi sorotan di acara besar keluarga seperti biasanya, kini harus dipatahkan begitu saja oleh sosok yang sejak tadi tidak bertindak apapun. Bagaimana bisa Ametys yang sejak tadi diam menjadi sorotan?

Dengan susah payah Karina mengulas senyum terbaik yang dia miliki demi menjaga reputasinya. Dia harus pura-pura bahagia saat mendapatkan saudara yang baru bukan?

“Aku senang karena ternyata aku memiliki saudari.” Ujar Karina tiba-tiba, menyadarkan teman-temannya yang sejak tadi hanya membicarakan Ametys.

“Ah, benar. Kamu pasti senang karena memiliki adik perempuan yang cantik.”

“Iya, selamat ya! Tolong ajak kami kalau kalian berdua bermain bersama.”

“Pasti menyenangkan memiliki banyak saudara seperti Karina. Terlebih lahir di tengah-tengah keluarga terhormat. Kamu sangat beruntung.”

Para gadis muda dengan penampilan modis itu berbondong-bondong menyanjung sang tuan rumah, tak lupa saling menjilat satu sama lain. Alih-alih mual, Karina malah merasa senang dan tersanjung. Meski harus bersaing dengan Ametys, namun gadis itu masih bisa dia singkirkan dengan mudah di masa depan. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh seorang gadis yang terlahir miskin? Memiliki pendirian saja tidak, maka tidak ada yang bisa diharapkan.

Renungan Karina terganggu saat tiba-tiba mendengar suara riuh di sekitarnya.

“Oh, bukankah itu Tuan Muda dari keluarga Atmadja?”

“Ya Tuhan, itu Tuan Muda Kalingga. Tampan sekali. Aku tidak tahu kalau dia juga akan datang.”

Pekikan tertahan para gadis muda semakin terdengar nyaring kala sosok yang tengah dibicarakan itu mendekati sebuah meja paling ujung, di mana dua saudara Batara tengah duduk bersama.

“Apa-apaan itu? Dia mendatangi meja Nona Ametys. Apa ini yang namanya tertarik pada saat pertemuan pertama?”

“Omong kosong!”

Sontak saja para gadis itu memandang Karina yang baru saja mengumpat dengan ekpresi terkejut.

“Ma-maksudku, Tuan Muda Kalingga bisa saja ke sana karena ingin berbicara dengan Kak Ganesh. Bukankah wajar jika pembisnis saling mengenal satu sama lain? Ya, ya seperti itu.” Jelasnya dengan gugup. Bagaimana bisa dia kelepasan seperti tadi?

Lagipula, kenapa pewaris keluarga pengusaha terbesar di ibukota itu malah duduk di meja yang sama dengan Ametys? Laki-laki muda itu adalah salah-satu incaran Karina sejak lama. Bisa-bisanya Kalingga tidak meliriknya dan malah tertarik dengan Ametys.

Netra tajam Karina menyipit saat melihat Ametys yang hanya diam di sana, seperti tidak tertarik dengan orang-orang di sekitarnya. Tangan Karina yang sedang menggenggam sebuah gelas, nampak mengerat. Bersamaan dengan raut wajahnya yang mengeras. Pesona apa yang gadis itu miliki sebenarnya? Karina jadi ingin segera menghancurkannya.

“Lihat saja!” gumamnya dengan penuh tekad dan rasa iri dengki.

. . .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status