Share

5} Pengganggu Itu, Aku Bisa Mengatasinya Sendiri

Setelah melewati sesi perkenalan singkat yang menurut Ametys tidak terlalu penting, gadis itu kini sudah duduk manis di kursi bagian belakang karena kebetulan hanya itu yang kosong. Dia tetap terlihat tenang meski merasakan tatapan penasaran dari para penghuni kelas. Dia juga dapat mendengar bisikan-bisikan para gadis tentang dirinya yang berangkat bersama Hadyan. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang merepotkan nanti ke depannya.

"Halo, namaku Olivia. Kamu bisa panggil aku Oliv. Jangan merasa sungkan kalau kamu merasa ada sesuatu yang tidak dimengerti. " Gadis itu tersenyum manis sampai giginya yang rapi terlihat jelas. Karena pihak lain bersikap baik dan ramah, maka Ametys tidak berdaya untuk menolak ajakan pertemanan sepihak ini.

"Hai, aku Ametys. Terima kasih sebelumnya." Dia memaksakan senyumnya meski yakin kalau itu akan terlihat aneh.

"Iya, aku tahu kamu Ametys. Tadi kamu sudah memperkenalkan diri di depan. Hehe." Oliv membenarkan letak kacamatanya agar tetap sejajar sebelum kembali berbicara, "nanti siang kita bisa pergi ke kantin bersama. Saat istirahat nanti, aku akan menceritakan semua hal penting tentang sekolah ini termasuk apa yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan." Olivia berusaha terlihat misterius di depan Ametys.

Ametys hampir tertawa karena merasa lucu, memangnya apa yang mau diceritakan? bukankah setiap sekolah sama saja? namun karena tidak ingin menghancurkan ekspetasi Oliv, maka Ametys hanya mengangguk untuk menyetujui. "Baik, aku mohon bantuannya." Ujarnya begitu rendah hati.

Dan tentu saja Oliv merasa kegirangan, "tentu saja, kamu bisa mengandalkan aku. Omong-omong, aku dengar kamu ke sini bersama Kak Hadyan?" 

Ringisan kecil terdengar dari mulut Ametys, "ya."

"Benarkah?"

Ametys mengangguk kecil, dia tidak memiliki alasan untuk berbohong. Lagipula, lelaki itu tidak menyuruhnya untuk menyembunyikan identitas siapapun. "Kenapa? Apa ada yang salah?" 

Pipi bulat milik Oliv bersemu sebelum gadis itu mencoba untuk menutupinya, kentara sekali kalau Oliv sedang senang sekaligus malu. "Bukan seperti itu, hanya saja Kak Hadyan adalah salah-satu orang terfavorit di sekolah ini. Banyak sekali gadis cantik yang ingin mendekatinya. Kalian pasti cukup dekat karena bisa berangkat bersama."

Benar dugaannya, Hadyan memang terkenal di sekolah ini. Tidak heran memang, dengan visual memukau dan latar belakang yang tidak sembarangan, memang siapa yang tidak akan tertarik? Namun daripada itu, dia lebih tertarik dengan hal lain. "Dia satu angkatan dengan kita, kenapa kamu malah memanggilnya dengan embel-embel kakak?"

Oliv menjulurkan lidahnya dengan malu-malu, "itu karena dia tinggi, gagah dan tampan. Hampir semua gadis memanggilnya seperti itu meski nyatanya seumuran. Memangnya ada panggilan lain yang lebih pantas dari itu? Aduh, jantungku jadi berdebar-debar."

"Oh.." Ametys tidak sanggup berkata-kata, "..begitukah?" Apa pesona Hadyan memang setinggi itu? Kenapa dia tidak merasakan hal yang sama? Gadis itu menelengkan kepala, berpikir sedikit keras sebelum akhirnya menggeleng pelan saat pikiran tentang dirinya yang kurang normal mampir dalam ingatannya.

Setelahnya, Ametys tidak bertanya apapun lagi dan membiarkan Oliv berceloteh dengan riang di sampingnya. Terus seperti itu sampai guru di depan sana berganti dan berakhir dengan istirahat di jam pertama. 

Ametys masih diam ketika Oliv menyeretnya pergi dari kelas seolah keduanya adalah teman akrab yang selama ini terpisahkan, tidak ada canggung sama sekali. Atau lebih tepatnya, Oliv yang terlalu ramah membuat Ametys menyerah. 

"Omong-omong, kenapa mereka menatapku seperti itu?" tanya Ametys dengan bisikan namun masih dapat didengar oleh teman barunya itu. 

"Ck! itu tidak aneh, Ametys. Kabar kamu berangkat bersama Kak Hadyan tadi pagi sudah menyebar ke mana-mana. Beritanya sudah sampai di mading, bahkan grup pesan sekolah juga. Jadi, ya..itu maksudku." Oliv tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mau bagaimana lagi, obsesi para gadis terhadap sesuatu yang berhubungan dengan Hadyan dan para lelaki tampan di sekolah ini tidak dapat dibendung. Mereka sudah menganggap diri mereka sebagai 'istri', jadi saat ada seorang gadis yang begitu berani dekat dengan Hadyan dan para kawanannya, maka mereka akan bereaksi dengan cepat.

Saat mendengarnya, Ametys merasa bahwa tidak akan ada kata damai baginya sejak hari pertama pindah sekolah, "itu terdengar mengerikan." Keluhnya yang hanya ditanggapi cekikikan oleh Oliv.

Di sisi lain, sekelompok remaja lelaki dengan penampilan keren tengah berkumpul di depan bangku kantin yang terletak di area sudut. Meski tak ada lebel atau tidak ada yang mengatakan bahwa bangku tersebut adalah milik mereka, namun entah kenapa orang-orang terlalu takut untuk duduk di sana hingga tak pernah ada yang menempatinya selain sekelompok tersebut.

"Aku dengar kamu berangkat dengan seorang gadis tadi pagi." Tanya seorang pemuda berkulit pucat pada Hadyan yang duduk di sampingnya. Dan dia langsung mendengus saat mendapat jawaban yang tidak diinginkan karena Hadyan hanya bergumam dan melanjutkan makan.

"Apa? aku tidak dengar apapun. Tolong katakan sekali lagi." Pinta lelaki bernama Erik itu dengan wajah lempeng andalannya.

Hadyan menatapnya hingga menyipit, dasar tuli! gerutunya dalam hati. "Ya."

"Hah? benarkah? tidak mungkin!"

"Apa langit berubah menjadi jingga sekarang?"

Dua orang lainnya yang memperhatikan ikut terkejut, reaksi mereka agak berlebihan seolah-olah tengah melihat seorang petapa tua turun dari gunung untuk mengurusi urusan duniawi. Saking tidak mungkinnya Hadyan mau berdekatan dengan seorang gadis, mereka bahkan pernah berpikiran kalau temannya itu tidak lurus.

Hadyan memutar bola matanya jengah, dua orang lagi yang bodoh. "Ada apa dengan kalian?" 

"Hei, Tuan Muda Batara. Apa kamu tidak tahu kalau gadis yang datang bersamamu tadi pagi hampir dikutuk oleh para penggemarmu yang gila itu?" Erik tidak salah, semua yang dia katakan adalah fakta. Tolong jangan meragukan kemampuannya dalam mendapatkan kabar terbaru yang terjadi di sekolah ini.

"Tidak heran, teman kita memang sepopuler itu." Itu adalah Yuga, seorang pemuda berkulit tan dengan rahang tegas yang memilki sorot mata tajam namun lembut secara bersamaan.

"Kamu mungkin harus melakukan sesuatu sebelum ucapan Erik menjadi kenyataan."  Di antara meraka, dialah yang terlihat paling tenang dan dewasa meski pemikirannya tidak jauh berbeda. Namanya Satria, pemuda bertubuh tinggi sang ketua basket putra yang jumlah penggemarnya tentu bisa disandingkan dengan Hadyan.

Tadinya Hadyan masih bersikap tenang, namun saat mendengar ucapan paling akhir, dia sedikit bereaksi. Apa keputusannya untuk membawa Ametys sekolah bersama itu salah? tapi, di mana letak kesalahannya? mereka adalah sepasang saudara. Lagipula, ini adalah hidupnya, tidak ada yang berhak mengatur dirinya ingin berangkat dan pulang dengan siapapun, oke?

Akhirnya, Hadyan menghela nafas dan menaruh sendok dari genggamannya. "Dia adikku, adik tiriku."

Mereka belum sempat merespon karena terganggu dengan suara benda yang jatuh dengan keras ke lantai, disusul dengan suara pecahan yang cukup memekakkan telinga. Di sana, mereka melihat sekelompok gadis tengah berdiri mengerumuni seseorang yang nampak linglung di atas lantai kantin yang dingin.

"Itu Amanda."

"Dia membuat ulah lagi, sudah tidak heran. Kali ini, siapa korbannya?"

Hadyan mengikuti arah pandang teman-temannya dan matanya membulat saat melihat siapa yang tengah dirundung. "Berengsek! beraninya!" lelaki itu berdiri dengan cepat yang sontak membuat ketiga temannya bingung.

"Hei, mau ke mana kamu?"

"Hadyan!"

Karena penasaran dan khawatir secara bersamaan, ketiganya ikut berdiri dan menyusul ke mana langkah Hadyan pergi. Saat sudah sampai, mereka melihat Hadyan tengah menampar Amanda lalu mencekik gadis itu tanpa ampun. Otomatis, suasana di sekitar mereka langsung riuh tak terkendali.

"Beraninya kamu.." tangan kekar itu menjepit leher Amanda dengan kuat, niat membunuh di matanya benar-benar menakutkan. Ini adalah pertama kalinya mereka melihat Hadyan marah tak terkendali, di mana biasanya anak keturunan ningrat itu akan selalu tenang.

Amanda ingin bersuara namun tenggorokannya sakit karena terjepit, wajah penuh riasannya memucat. Dia bahkan sudah membayangkan akan bertemu malaikat maut hari ini. Untung saja ketiga teman Hadyan berusaha menghentikan lelaki itu sekuat tenaga.

"Hadyan, apa apa denganmu? hentikan, kamu bisa membunuh orang!"

"Kita bisa membicarakan ini baik-baik, Hadyan. Ayo lepaskan!"

Dua pemuda bertubuh kekar itu berdiri di kedua sisi Hadyan sambil mencekal lengan teman mereka. Sedangkan Satria menghampiri seorang gadis yang sedang berusaha berdiri, pakaian gadis itu agak basah dengan rambut yang acak-acakan. Wajahnya juga tidak terlihat baik-baik saja karena pipinya lebam dan sudut bibirnya sobek mengeluarkan darah.Sepertinya kali ini Amanda sudah keterlaluan.

"Kamu.. baik-baik saja?" Satria tahu kalau pertanyaan itu begitu retoris, namun hanya itu yang dapat dia katakan. Lelaki itu baru akan melanjutkan ucapan sebelum didahului oleh yang lain.

"Hadyan."

Itu memang tidak keras karena suara bising dan riuh di sekitar mereka, namun orang-orang yang paling dekat masih mampu mendengarnya dengan jelas. 

"Hentikan, tenanglah. Aku baik-baik saja. Lagipula.." Ametys memandang kakak tirinya dengan tenang sambil menyeka wajahnya yang basah dengan tangan, "..aku bisa mengatasinya sendiri."

Setelah itu, Ametys tiba-tiba meraih sebuah gelas berisi jus jeruk yang masih penuh dari atas meja -yang entah punya siapa. Langkahnya begitu tegas saat menghampiri Amanda yang kini tengah menatap dengan berani meski tubuhnya jelas terlihat gemetar. Mungkin masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Memang siapa yang akan menyangka kalau Hadyan begitu berani menyakitinya hanya karena seorang gadis baru?

Byur! Plak! Prang!

Suara gaduh langsung terdengar saat Ametys tidak ragu melakukan tindakan balasan. Gadis itu mengguyur rambut Amanda, menamparnya dua kali, menjambak rambut hingga mendorongnya ke lantai. Ametys melakukannya persis seperti apa yang Amanda lakukan padanya sebelumnya. 

Di tengah tatapan semua orang yang tengah terkejut bukan main, Ametys terlihat tenang dengan wajah nyaris tidak ada emosi. Itu hanya dua netra jernihnya yang menatap Amanda lekat tanpa takut, seolah gadis primadona itu hanyalah seekor serangga pengganggu.

"Apa yang kamu lakukan? Apa kamu gila?" Jeritan melengking yang terdengar frustasi langsung membuat orang-orang mengerutkan kening tanpa sadar karena merasa pendengarannya terganggu. 

Amanda tengah bersimbah di lantai dengan tampang menyedihkan, kapan lagi mereka dapat melihat seorang perundung dirundung balik? 

"Jika aku gila, lalu kamu apa? Nenek moyangnya orang gila?" Balas Ametys tetap datar.

"Apa?" Amanda menganga tidak percaya. Apalagi saat mendengar orang-orang yang seperti tengah menahan tawa. Seumur hidup, ini adalah kali pertama dia dipermalukan.

"Berani kamu melakukan ini? Kamu tidak tahun siapa ak-"

"Tidak. Dan aku tidak perlu tahu." Potong Ametys dengan cepat, "lagipula, aku hanya melakukan apa yang kamu lakukan sebelumnya padaku. Jadi kita impas bukan?"

Ametys berdiri tepat di depan Amanda yang kini tengah mendongak menatap gadis itu seolah yang lain adalah musuh bebuyutannya. "Aku tidak mengenalmu, aku bahkan tidak tahu di mana letak kesalahanku. Tapi kamu begitu berani merundungku di hari pertama aku pindah?" Hawa di sekitar Ametys terasa dingin, membawa jejak kengerian pada orang-orang di sekitar termasuk Amanda.

"Kamu pikir, kamu siapa?"

. . .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status