Share

3} Sudah Mendapatkan Banyak Hal Meski Belum Memulai

Acara perayaan untuk memperkenalkan Ametys sebagai bagian dari keluarga Barata sudah selesai. Meski itu terasa cukup membosankan, namun Ametys menyukai makanan yang dihidangkan di sana. Dia baru akan masuk ke dalam kamarnya, sebelum suara seseorang menghentikan langkahnya.

“Tunggu!”

Ametys mengerutkan kening saat melihat Karina yang berdiri tak jauh darinya. Penampilan gadis itu sedikit berlebihan untuk ukuran seseorang yang baru saja menginjak usia sembilan belas tahun. Namun dia terlalu malas untuk mengomentari hidup orang lain, jadi dia hanya diam menanti pihak lain bicara.

Melihat ketenangan alami yang dimiliki Ametys, Karina entah kenapa merasa marah dan tidak nyaman. Akan lebih menyenangkan kalau gadis kampungan itu terlihat cupu dan ketakutan sehingga dirinya bisa menunjukkan kekuasan yang dimiliki.

“Bagaimana rasanya menjadi seorang putri secara tiba-tiba?” tanya Karina dengan raut wajah mengejek yang begitu jelas. “Perumpaan tentang seekor itik buruk rupa yang ingin menjadi angsa sepertinya memang cocok untukmu.” Gadis bertubuh tinggi itu mendekati Ametys sembari menyentuh ujung pakaian yang gadis itu kenakan dengan jari-jemarinya yang berwarna-warni, “baju yang kamu kenakan memang mahal, namun itu tidak bisa menutupi aura murahan yang melekat pada dirimu.”

Ametys hanya mengangkat satu alis, malas menimpali orang tidak waras yang ingin mencari gara-gara. Sedangkan Karina merasa geram karena tidak mendapatkan respon yang diinginkan. “Jadi, jangan harap kamu bisa menggeser posisiku sebagai satu-satunya putri di dalam keluarga ini. Tolong, bersikaplah tahu diri!” lanjutnya dengan desisan karena menahan kesal.

Setelah menghela nafas lelah, Ametys hampir memutar bola matanya jengah. Sebenarnya, apa yang ada di dalam otakmu? Begitulah kira-kira. Gadis itu menghadap sepenuhnya pada Karina dengan tangan yang bersilang di dada, menatap kakak tirinya secara terang-terangan tanpa rasa takut sedikitpun.

“Tolong dengar dan ingat ini baik-baik! Aku tidak akan mengulanginya meskipun kamu meminta nanti.” Melelahkan sekali rasanya karena harus menjelaskan hal yang sama di waktu yang hampir bersamaan, “aku tidak berniat menggeser posisimu sebagai Tuan Putri ataupun sebagai kandidat pewaris kekayaan di keluarga ini. Aku hanya akan hidup sebagai Ametys yang biasanya. Adapun beberapa hal yang orang itu berikan padaku, aku tidak pernah memintanya. Aku bahkan tidak bersedia untuk tinggal di rumah ini kalau saja orang itu tidak memberikan ancaman.”

Memang benar, Mahesa memberikan ancaman kalau dia akan membakar rumah kecilnya yang penuh dengan kenangan bersama sang ibu jika Ametys tidak mau mengikutinya untuk tinggal di rumah besar tersebut. Selain itu, Mahesa juga berjanji akan memberikan kehidupan yang lebih layak untuk seseorang yang begitu baik padanya sejak ibunya pergi dulu. Maka, tak ada salahnya mencoba. Begitu pikir Ametys.

“Aku bisa memberimu sebuah saran. Bujuk saja ayahmu agar memberikanku sebuah modal untuk membuka usaha kecil-kecilan. Dengan begitu, aku mungkin tidak akan tinggal di sini lagi dan membuatmu merasa terancam.” Semua ucapan yang keluar begitu dewasa dan tertata, layaknya seseorang yang sudah ratusan tahun mengembara seorang diri. Tak ada nada merajuk, kekanakkan ataupun keluhan yang seharusnya ada pada seorang gadis yang baru menginjak usia yang begitu muda.

Ametys melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dia benar-benar lelah dan mengantuk sekarang. Sembari menahan kantuk, gadis itu kembali menatap Karina yang terlihat bingung namun ingin marah secara bersamaan. “Omong-omong, bukankah yang seharusnya bersikap tahu diri itu kamu?”

“Apa?”

“Besok pagi semua orang akan tahu bahwa akulah putri kandung seorang Mahesa Batara, sedangkan kamu hanyalah putri tirinya. Darah lebih kental daripada air, benar? Maka yang sebenarnya terjadi adalah kamu itik buruk rupanya dan aku angsa putihnya.” Ucapan itu langsung menohok Karina hingga nyaris membuatnya dongkol setengah mati.

“Jadi, berhati-hatilah! Hehe.” Ametys menepuk pundak Karina pelan sebelum masuk ke dalam kamarnya disertai kekehan yang membuat kakak tirinya merasa aneh dan merinding.

Sambil mengusap tangannya yang terasa dingin, Karina bergumam, “yang barusan itu apa?”

. . .

Hari demi hari berlalu dengan cepat, sampai tiba di mana Ametys harus siap memulai kembali kegiatannya sebagai seorang pelajar di tempat yang baru. Meski Ametys belum bisa tertidur dengan nyenyak setiap malamnya, namun dia terbiasa bangun lebih pagi dari orang lain. Jadi, saat di lantai bawah para pelayan sedang sibuk melakukan pekerjaan ini dan itu, Ametys sudah turun dengan seragam sekolah baru miliknya. Gadis itu hampir menahan langkahnya di ujung tangga saat melihat seseorang yang sudah lebih dulu duduk di depan meja makan.

“Kamu bangun begitu awal. Duduklah, Ametys!” itu adalah Mahesa yang sedang membaca sebuah koran berita. Laki-laki itu menatap putrinya yang terlihat lebih segar hari ini. “Seragam itu cocok untukmu.”

Ametys tidak tahu harus bereaksi seperti apa, jadi dia hanya membalas seadanya. “Terima kasih.”

Mahesa tidak terganggu dengan sikap Ametys yang begitu tertutup, matanya masih menyiratkan senyuman tulus. “Duduklah di sini, ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan.” Menarik sebuah kursi di sampingnya, membuat Ametys mau tak mau menuruti kemauannya.

“Apa tidak masalah jika aku duduk di sini?” Ametys terlihat ragu untuk sesaat.

Mahesa menggeleng kecil, “kursi itu memang selalu dikosongkan, bukankah kamu juga tahu itu?”

Setelah mendengar itu, maka Ametys tidak ragu lagi untuk duduk dengan tenang di samping Mahesa. Tidak seperti kebanyakan remaja lainnya yang akan selalu memainkan ponsel saat merasa bosan atau tengah menunggu sesuatu, Ametys hanya diam sambil melirik sekitar atau terkadang memperhatikan pelayan yang sibuk berlalu-lalang. Dan itu menambah poin baik Ametys di mata sang ayah.

Entah kenapa, meski Mahesa sudah menghabiskan hari-harinya untuk mengamati Ametys, namun dia selalu terkejut jika menemukan sesuatu yang baru dari putrinya itu. Entah itu cara bicaranya, caranya menjaga sikap, atau saat dia memandang orang lain dengan netra bulat yang jernih itu. Mahesa seperti menemukan semangat hidup yang selama ini hilang.

“Aku sudah melihat laporan nilaimu sebelumnya, kamu begitu pintar dan berbakat.” Mahesa melipat korannya dan mulai memberikan atensi pada putrinya, “kamu juga pernah mengikuti kelas akselerasi dan sekarang sudah menginjak kelas dua belas meski usiamu masih cukup muda untuk itu.” Ada nada kebanggaan dalam suara Mahesa saat mengatakannya, tidak menyangka jika kepintarannya ternyata menurun juga pada Ametys selain pada Ganesha. Namun di sisi lain dia tidak merasa terkejut karena dengan itu, sudah dapat dibuktikan kalau Ametys memang darah dagingnya.

Ametys sedikit mendunduk sebelum menjawab dengan suara kecil, “aku...suka belajar.”

Mahesa mengangguk mengerti, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. “Ini untukmu. Gunakan ini untuk membeli apa yang kamu inginkan."

Nerta itu terlihat terkejut saat melihat sebuah kartu berwarna hitam dengan sedikit sentuhan emas yang disimpan di depannya. Bukankah itu adalah kartu tanpa batas yang sering dibicarakan oleh teman-temannya? hanya ada puluhan orang di negara ini yang memilikinya. Apa dia masih bermimpi?

“Semua kebutuhanmu adalah tanggungjawabku sebagai ayahmu, jadi jangan mengkhawatirkan apapun. Saldonya akan terisi secara rutin setiap bulannya. Anggap saja itu uang jajan bulananmu.” Mahesa mengatakannya dengan begitu enteng seolah dia hanya memberikan uang recehan.

“Ini, apakah ini tidak berlebihan?” Ametys baru berani mengangkat pandangan untuk melihat wajah Mahesa.

“Berlebihan?”

Ametys mengangguk, “Anda hanya perlu memberiku uang pecahan sepuluh ribu setiap harinya. Itu akan terasa lebih mudah.”

Sepuluh ribu? Apa yang bisa dibeli dengan harga sepuluh ribu?

“Oh, kamu ingin uang tunai?” Mahesa mengambil dompetnya, lalu mengeluarkan lima lembar uang berwarna merah dan memberikannya pada Ametys, “katakan saja kalau kurang, aku bisa menyuruh Gama untuk menukarkannya untukmu.”  Lanjutnya sembari menyebut nama orang kepercayaannya yang sudah lama mengabdi di rumah ini.

Gadis yang rambutnya diikat satu itu membersitkan hidung, merasa tidak berdaya menghadapi seseorang dengan latar belakang kaya raya seperti Mahesa. Sepertinya, bagi orang-orang seperti mereka, uang bukanlah apa-apa.

Karena melihat respon Ametys yang hanya diam, Mahesa berinisiatif untuk mengambil kartu dan beberapa lembar uang tersebut untuk dimasukkan ke dalam tas sang putri tanpa meminta persetujuan lebih dulu. Ametys ingin protes namun sudah didahului oleh Mahesa, “hari ini kamu berangkat bersama Hadyan atau Ganesha lebih dulu. Besok aku akan mengatur supir lain untuk mengantar dan menjemputmu ke manapun kamu pergi.”

“Aku mengerti, terima kasih.” Jawab Ametys dengan patuh.

Mahesa tersenyum tipis sebelum mengerutkan kening saat sebuah pikiran terlintas tiba-tiba, “atau kamu ingin mengendarai mobil sendiri?” tapi putrinya itu belum masuk usia yang legal untuk mengenderai sebuah kendaraan, itu terlalu berbahaya. Namun jika Ametys menginginkannya, mungkin dia bisa menyuruh seseorang untuk mengajarkannya secara profesional demi mengurangi resiko.

Ametys menahan nafas untuk sejenak.

Terima kasih, tapi itu terlalu merepotkan. Aku terbiasa naik kendaraan umum.” Jawabnya jujur yang sekali lagi malah membuat Mahesa merasa sangat bersalah karena membiarkan hidup putrinya kesulitan selama ini.

Tangan besar nan kuat itu terangkat untuk mengusap kepala Ametys tanpa aba-aba sehingga membuat si empunya terperanjat kaget namun tidak melakukan penolakan. “Kamu adalah putriku, kamu berhak mendapatkan apapun yang seharusnya memang kamu dapatkan sejak awal. Jadi tidak perlu mengatakan terima kasih karena itu adalah hakmu. Maaf karena aku begitu terlambat mengetahui keberadaanmu.”

Ametys merasa asing dengan perlakuan hangat seperti itu, namun ada sekelibat kenyamanan yang membuatnya merasa seolah apa yang telah hilang kini perlahan kembali.

Di tengah keheningan itu, sayup-sayup keduanya mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Sepertinya orang-orang sudah akan bergabung untuk sarapan. Ametys baru akan menjauh dari Mahesa sebelum ayahnya itu menahan tangannya, “tidak apa-apa, tempatmu memang di sini. Di samping ayahnya.”

Seperti dugaannya, empat anggota keluarga yang lainnya datang dan memberikan tatapan heran di mata mereka saat melihat Ametys yang begitu akrab dengan Mahesa dan berani duduk di kursi yang sejak dulu selalu kosong.

Itu adalah Ganesha yang mengambil kursi di samping Ametys sehingga kini gadis tersebut diapit oleh Mahesa yang duduk di kursi utama dan Ganesha di sisi lainnya. Pemuda dewasa itu tidak mengomentari apapun seolah sudah biasa melihat Ametys di sana. Pun dengan Hadyan yang duduk tepat di depannya yang hanya menatap sang adik tiri dengan senyuman kecil. Berbeda dengan Karina yang menahan emosi dan menatap Ametys seolah keduanya adalah musuh bebuyutan. Sedangkan Widya hanya mengernyit tidak nyaman namun masih bisa bersikap tenang.

Mereka memulai sarapan dalam diam didampingi para pelayan yang berdiri di belakang mereka, begitu siap jika sewaktu-waktu tuan mereka membutuhkan sesuatu. Ametys sudah lebih dari satu minggu mengalami ini, namun dia tetap saja merasa asing. Kenapa makan saja harus dikawal? Pikiran orang kaya memang di luar jangkauannya.

“Hadyan.” Panggil Mahesa saat semua orang sudah menyelesaikan sarapannya dan bersiap-siap untuk pergi.

“Ya, Pa?”

“Ametys akan berangkat denganmu hari ini. Jangan bawa motor, pakai mobilmu!”

Hadyan melirik Ametys yang ternyata juga sedang menatap ke arahnya. Entah disadari atau tidak, senyuman kecil di sudut bibirnya kini malah melebar seolah baru saja mendapatkan mainan baru. Mahesa yang melihat Hadyan tidak menjawab tiba-tiba menatap putra sulungnya, "atau Ganesha, kamu saja yang mengantar adikmu. Bukankah jalannya masih satu arah?"

"Ametys akan bersamaku, Pa."

"Aku tidak keberatan untuk mengantarnya."

Hadyan maupun Ganesha sama-sama menjawab dengan cepat sehingga apa yang mereka katakan tidak begitu jelas. Dua pria muda itu saling melirik satu sama lain namun langsung mengalihkan pandangan dengan cepat seolah tidak ada yang terjadi. Mahesa mengangkat satu alisnya dengan senyuman miring sambil menatap kedua putranya yang terlihat cukup bersemangat. 

"Baiklah, terserah kalian."

Tentu saja semua orang melihat apa yang terjadi dengan jelas. Posisi Ametys di rumah ini sepertinya cukup penting karena dua tuan muda begitu memperhatikannya. Diam-diam, para pelayan yang berdiri di setiap sudut mengingatkan dirinya sendiri agar selalu memperlakukan Ametys dengan baik di masa depan. Sedangkan Karina dan Widya, tak ada ekspresi kebaikan sedikitpun di wajah mereka.

. . .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status