“Sudah siap?” tanyaku dengan diiringi kedua bola mataku yang membulat melihat penampilan Jannah malam ini.
Bola matanya yang indah, bulu matanya yang tebal dan panjang, tetapi tak lentik. Hidungnya yang seperti hidungku bak piramida. Begitu pula dengan polesan lipstik merah delima di bibirnya. Duhai Jannah, jantungku terasa bergendang begitu cepat.“Hai.” Ibu mengibaskan tangan kanannya tepat di depan wajahku.“E-iya, Bu,” perasaan gugup menyelimutiku saat aku berada di depan Jannah.“Kamu kenapa?” tanya ibu.“Enggak kenapa-napa,” jawabku. Kedua bola mataku terus tertuju ke arah Jannah.“Kamu terpesona ya dengan kecantikan Jannah?” bisik ibu di telinga sebelah kananku.“Enggak.” Aku menyembunyikan perasaanku yang menggebu.“Kenapa bola matamu melotot ke arah Jannah terus?” tanya ibu.“Telat nih! Aku tunggu di mobil.” Aku mengalihkan pembicaraan dan berlalu pergi meninggalkan ibu dan Jannah.****“Tante, aku pamit dulu ya,” Jannah mencium punggung tangan kanan ibuku.“Iya, hati-hati sayang,” kata ibu.“Jannah tunggu!” teriak Atul sambil berlari dari kamar Jannah menuju ke teras.“Mari Tante!” Atul melengos di samping ibu yang masih berdiri di ambang pintu.“Dasar burung beo, tak ada sopan santunnya.” Kepalaku menggeleng.Mungkin Jannah telah diberitahu oleh ibu jika turun dari mobil, ia harus segera menggandeng tanganku. Ia harus berakting seolah-olah menjadi tunangan dari putra tunggal Pak Sastro Wijaya. Para tamu undangan di pesta itu telah mengenalku, tetapi Jannah masih tak tahu jika aku adalah seorang Tuan muda. Jannah hanya tahu jika aku adalah sopir yang berakting di malam ini menjadi seorang Tuan muda.“Wangi sekali Jannah malam ini.” Hidungku mencium aroma wewangian di gaun Jannah.Fiuh, ini kan ciri khas parfumnya ibu.“Hai Sien, gebetan baru ya?” tanya seorang tamu undangan yang tidak lain ialah rekan kerja bapakku.“Bukan, tetapi ia adalah tunanganku.” Aku menghampirinya.“Rendra,” ucapnya sembari mengulurkan tangan kanannya pada Jannah.Jannah menyambut uluran tangan Rendra. “Jannah,” jawaban terlontar dari bibir merona Jannah.Kami berbincang-bincang dengan beberapa tamu undangan. Aku memperkenalkan Jannah ke beberapa rekan kerja bapak sebagai tunanganku. Tanpa kami sadari Atul menghilang.“Bang Husien, Atul ke mana?” tanya Jannah dengan netra yang mulai beraksi memandang seluruh para tamu.“Iya, kok enggak ada ya.” Aku juga ikut kaget.“Apa mungkin di culik orang?” tanya Jannah yang mulai panik.“Enggak mungkin lah! Sudah besar kayak begitu diculik orang,” kataku menenangkan Jannah.****“Ini apa?” tanya Zay.“Bulu mata,” jawab Atul.“Kok panjang banget? Kayak bulu merak saja.” Zay mengangkat sebelah alisnya.“Ini kan bulu mata angin sepoi-sepoi.” Atul bangga dengan kedua bulu mata palsunya.“Bulu mata kok yang satunya miring? Kalau bulu mata asli enggak mungkin kan satunya miring?” tanya Zay heran dan terus memandang bulu mata Atul.“Masa sih? Yang sebelah mana?” tanya Atul balik sembari mengambil cermin kecilnya di dalam tas kecil yang ia bawa.“Sebelah kiri. Coba lihat!” Zay menunjuk mata Atul yang sebelah kiri.“Aduh, kenapa baru bilang?” tanya Atul dengan rasa malu.“Baru lihat,” jawab Zay dengan diiringi senyum melebar.“Coba pegang cerminnya,” pinta Atul.“Buat apa?”“Memperbaiki bulu mataku yang miring,” jawab Atul.Zay tersenyum. ****“Astaga ... Kucari sampai ke semua sudut ruangan di pesta ini rupanya kalian tidak ada, tapi malah di sini berduaan.” Jannah memusut dadanya.Bukannya menyahut pembicaraan Jannah, Atul dan Zay malah tertawa lepas.“Lagi pojok dulu ya?” tanya Jannah dengan mengangkat kedua alisnya.“Enggak!” jawab mereka spontan.“Terus lagi apa di tempat seperti ini?” tanya Jannah dengan menyipitkan kedua bola matanya. Menyelidik.“Lagi cari udara segar,” jawab Atul.“Huh, terserahlah!” Jannah berlalu pergi meninggalkan Atul dan Zay di bawah pohon. Tepat di dekat kolam renang rumah itu. Mereka tidak ikut menikmati pesta, tetapi mereka malah sibuk berkencan.****Srrret!Seseorang mendorong tubuh Jannah. Ia langsung tersandar di dinding bata rumah itu. Semua orang sedang asyik berpesta. Jadi tidak mendengar suara berisik dari samping rumah.Wanita muda dengan pakaian sedikit terbuka. Memakai rok mini disertai dengan baju berlengan pendek juga rambut ikal sebahu berwarna kuning. Dengan mata melotot wanita itu memandang Jannah. Tangan kirinya telah mencekik leher Jannah dan tangan kanannya mengepal.“A-pa salahku?” tanya Jannah. Ketakutan.“Kau telah merebut orang yang aku cintai,” jawab wanita itu dengan melototkan kedua bola matanya yang berwarna kebiruan bak orang asing karena ia memakai lensa memandang wajah Jannah dengan penuh amarah.“Siapa?” tanya Jannah. Rasa penasaran Jannah pun dimulai.“Bang Husien.”“Aku tak tahu akan hal itu. Aku tak tahu jika bang Husien sudah punya tambatan hati.” Ketakutan Jannah muncul lagi ketika wanita itu mengangkat tangan kanannya yang telah mengepal.“Jangan sakiti aku!” Jannah memohon.“Cuih!” Wanita itu menyemburkan sedikit air ludahnya ke wajah Jannah.“Kau telah merebut Bang Husien, tetapi kau memohon agar aku tak menyakitimu?” tanya wanita itu sembari diiringi dengan tawa yang terbahak-bahak.“Apa maumu?” tanya Jannah dengan melirik tangan kanan wanita itu yang hampir satu centimeter lagi menyentuh paras cantiknya.Prakk!“Aduh, sakiiiittt ....”Jannah meronta kesakitan setelah tangan kanan wanita itu melayang ke wajah cantiknya.“Itu yang aku mau.” Wanita itu tertawa lepas.“Tolong lepaskan tangan kirimu ini?” pinta Jannah diiringi air yang jatuh dari matanya.Atul rupanya sedang asyik bercumbu bersama Zay di bawah pohon itu dengan disaksikan rembulan sehingga sahabatnya di sakiti, ia tak tahu akan hal itu. Biasanya Atul yang selalu menjadi penolong Jannah saat ia dalam keadaan seperti ini karena ia yang lebih berani ketimbang Jannah.“Tolong aku Bang Husien.” Jannah merengek.“Aku tidak akan melepaskanmu.” Cekikan itu semakin kuat.Jannah semakin tak bisa bernafas. Lehernya terasa sakit. Jannah ingin berteriak rasanya tak mampu.“Hentikan!” aku menarik wanita itu.Bruk!Ia terhempas ke lantai. Jannah pun memelukku sambil terbatuk-batuk akibat cekikan yang sangat kuat dari wanita itu.“Liana! Kau sungguh kejam. kau tega menyakiti orang yang aku cintai.” Aku melepas pelukan Jannah lalu berjalan ke arah Liana.Liana yang saat itu sedang terjatuh ke lantai lalu berdiri kembali dan akan memelukku, tetapi malah tamparan pedas yang melayang di kedua pipi Liana.Prak!Aku melayangkan telapak tanganku karena telah berani menyentuh calon istriku.Bruk!Aku mendorong Liana lagi hingga ia tersandar di dinding bata bercat abu-abu dan diiringi dengan cekikan tangan yang hebat di leher Liana.Liana tak mampu sedikit pun berbicara. Cekikan itu sangat menyakiti leher Liana. Jannah tak tahan melihat hal itu. Jannah takut jika aku tak dapat menahan ambisiku hingga aku akhirnya melakukan tindak kekerasan yang berkepanjangan, yaitu di luar batas kesadaranku.“Husien hentikan!” pinta Jannah.Aku tak mau mendengarkan perintah Jannah hingga akhirnya Jannah berteriak keras pada malam itu. Semua tamu undangan menghampiriku, Jannah, dan Liana. Semua terpana melihat kami.Jannah menangis sejadi-jadinya. Atul dan Zay yang sedang asyik bercumbu di bawah naungan bulan purnama tersentak ketika mendengar teriakan Jannah memanggil nama Husien. Mereka berlari menghampiri suara asal teriakan Jannah.“Kenapa Husien?” tanya Atul.Tak ada jawaban. Hanya tangisan yang terus bergulir di rona wajah Jannah.Prak!Sekali lagi aku melayangkan telapak tanganku pada wajah Liana dengan keras.“Husien hentikan!” pinta Jannah. Untuk yang ke sekian kalinya Jannah memohon padaku agar menghentikan aksi kekerasannya.Aku seolah tuli. Aku tak mau mendengarkan permintaan Jannah.Dengan sangat terpaksa Jannah harus memelukku dari belakang. Padahal Jannah malu akan melakukan hal itu karena di tonton oleh banyak orang, tetapi ini Jannah lakukan demi kebaikanku. Entah karena Jannah mulai merasa ada perasaan cinta ataukah rasa kasihan padaku dan tak ingin aku terlibat masalah yang berkepanjangan jika melukai Liana karena dirinya?”“Husien tolong hentikan! Lakukan ini semua demi aku,” pinta Jannah sekali lagi dengan merengek dan berbisik di telinga kananku diiringi dengan kedua tangannya yang melingkar di pinggangku.Riasan wajah Jannah terhapus karena air terjun yang keluar dari kedua bola mata indahnya terus membanjiri wajahnya.Dengan pelukan hangat Jannah akhirnya puncak amarahku mereda. Ternyata orang yang memiliki tabiat sepertiku ini yang terkadang humoris, bisa seperti macan yang keluar dari sarang untuk menghajar mangsanya jika orang yang paling aku cintai di sakiti, tetapi titik kelemahanku ialah Jannah. Gadis yang paling aku cintai.Sebelum Jannah berusaha memelukku, semua orang di pesta itu satu persatu berusaha menegur dan melerai pertikaian itu, tetapi tidak digubris sedikit pun. Bahkan aku malah menjadi-jadi menghajar dan mencekik Liana.“Ini baru peringatan jika kau berani lagi menyakiti orang yang paling aku sayang. Maka, aku tidak segan-segan lagi untuk menghabisimu,” ancamku pada Liana.Aku melepaskan tanganku dari leher Liana. Aku kemudian memeluk Jannah dengan mesra tanpa memedulikan orang yang berada di sekitar pesta ini. Orang yang telah menonton aksiku.“Ini kenyataan atau film ftv?” tanya Atul sembari mengucek kedua bola matanya.“Kenyataan,” sahut Zay yang ada di sebelahnya.“Aku ingin sosok pria seperti Husien,” rengek Atul.“Kenapa?” tanya Zay yang seakan ingin tahu tipe lelaki yang Atul inginkan.“Husien tampan, gagah, jagoan, bertanggung jawab, dan yang pastinya romantis. Ooohhhh ....,” jawab Atul sembari menenggelamkan kedua bola matanya disertai mulutnya yang membulat.“Aku harus jadi seperti itu. Pria yang di dambakan Atul. Iya, aku harus bisa.” Zay termenung.Leher Liana memerah akibat cekikanku. Saat Liana akan pergi dari tempat itu, ada seorang wanita setengah baya yang muncul dari kerumunan banyak orang yang telah menonton perkelahian itu.“Liana,” tegur seorang wanita paruh baya.Wanita itu sangat mengkhawatirkan Liana. Semua mata tertuju pada wanita paruh baya itu.Kugeser layar utama ponselku lalu kupencet tombol hijau dan panggilan pun akhirnya tersambung. “Halo,” ucapku.“Halo, Bang Husien. Cepatlah pulang ke rumah,” sahut Atul dari balik telepon. Dari nada bicaranya seperti terlihat gugup dan khawatir.“Apa yang terjadi?” tanyaku yang ikut-ikutan khawatir, tetapi tak gugup.“Jannah, Bang,” jawab Atul.“Kenapa?”Tak ada jawaban.“Ada apa dengannya?” tanyaku lagi dengan perasaan yang makin khawatir ketika kudengar nama Jannah.“Jannah membereskan pakaiannya. Ia akan segera pulang ke kampung dan berhenti bekerja di rumahmu, Bang,” jawab Atul.“Ayah dan Ibu tak melarangnya atau berusaha menghentikan langkahnya?” tanyaku lagi.“Awalnya sih, iya, tetapi kelamaan mereka mengikuti apa maunya Jannah karena Jannah bersikeras untuk berhenti bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahmu, Bang. Kamu cepatlah pulang ke rumah jika kamu memang mencintai Ja
“Tante?” tanya Jannah padaku. Bingung.“Bukan Tante, si cerewet ini hanya salah bicara saja.” Kutoyor adik lucky itu.“Apaan sih?” tanyanya tanpa tahu permasalahannya.“Maksudnya bukan Tante, tetapi Ibu. Iya kan?” tanya ibunya Lucky sambil mengedipkan satu mata pada anak bungsunya itu.“I-iya ...,” jawab adik Lucky.Jannah tersenyum ke arahku. Hampir saja ketahuan. Untung saja tanteku bisa meyakinkan Jannah.Selama di rumah orang tua Lucky, Jannah disambut dengan baik oleh mereka. Jannah sangat pandai bicara pada orang tua Lucky hingga mereka cepat akrab dengan Jannah.Saat Jannah sedang berada di toilet, ibunya Lucky memuji Jannah padaku. “Beruntung sekali kamu, Sien,” bisik tanteku.“Maksudnya?” kedua bola mataku terbelalak. Tak paham.“Beruntung karena kamu telah memilih Jannah menjadi calon pendamping hidupmu. Ia baik, cantik, dan lugu,” ucap tante.Aku tersenyum.
Kasir itu hanya terdiam. Ia tampak semakin bingung dengan sikapku, tapi aku santai saja. Apa pun penilaian kasir itu terhadapku, itu tidak penting bagiku. Yang terpenting saat ini adalah Jannah. Aku takut jika Jannah merajuk karena aku terlambat pulang ke rumah. Kulihat ke langit, matahari sudah hampir menyembunyikan wajahnya. Sudah hampir malam. Aku segera pulang ke rumah walaupun hujan masih belum juga reda. Hujan masih terus saja mengguyur ibu kota sedangkan petirnya telah berhenti.Aku berlari menuju ke arah parkiran mobil dan dengan cepat membuka pintunya. Aku segera masuk ke dalam mobilku dan segera aku hidup kan mesinnya. Huh, bajuku sedikit basah. Tak apalah, yang penting aku harus berhati-hati menyetir mobil untuk melintasi jalan dengan hujan yang cukup deras seperti ini.Ponselku berdering lagi. Kulihat pada layar depan ternyata panggilan itu dari Jannah. Ah, bagaimana ini? Aku terima sambungan teleponnya atau ...?” aku pikir-pikir
Seharian di sibukkan dengan pekerjaan yang begitu banyak. Bertemu dengan klien, survei lapangan, belum lagi meeting dengan beberapa karyawan. Huh, sangat melelahkan. Aku mengusap seluruh keringat yang mengucur di seluruh wajahku. Teringat janjiku pada Jannah, ketika aku melihat jam pada pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek telah menunjukkan angka lima sedangkan jarum panjangnya telah menunjukkan angka dua belas. Huh, Jannah pasti telah menungguku. Jika aku terlambat, ia pasti memasang wajah cemberut.Lagi-lagi aku bertukar peran dengan Lucki. Seolah-olah Lucki adalah anak dari orang tuaku sedangkan aku adalah anak dari orang tuanya Lucki. Syukurlah Lucki dan orang tuanya mau bertukar peran denganku. Mereka juga mau melakukan semua itu demi kebaikanku karena bukan hanya aku dan mereka masih ada ikatan keluarga, tapi juga Lucki dan aku sejak kecil selalu bersama layaknya Lucki seperti adikku sendiri.Kring!Ponselku berdering. Kulihat pada
Pagi ini Jannah sudah menyiram bunga di halaman belakang, samping, hingga pada halaman depan rumah. Rupanya Jannah telah tampak sehat. Syukurlah. Kulihat pemandangan di sana seperti orang yang pernah kukenal sebelumnya. Ah, dia rupanya Lucki. Pandangannya ada yang aneh saat melihat Jannah. Jangan-jangan ia kepincut dengan pesona Jannah. Sesuai perjanjian, Lucki tidak boleh jatuh cinta. Jika Lucki melanggar perjanjian itu, maka ia akan tahu akibatnya. Aku akan melakukan apa pun agar Jannah tidak bisa jatuh hati pada Lucki."Sini! Biar kubantu." Lucki mendekati Jannah."Enggak usah, Den," tolak Jannah."Enggak apa! Biar kamu tidak terlalu lelah. Kamu kan baru sembuh." Lucki mengambil slang air yang berada di dalam genggam Jannah."Aku enggak enak sama Nyonya jika aku hanya berdiam diri saja," ucap Jannah."Ah, enggak apa. Nyonya pasti mengerti." Lucki menyemburkan air di slang ke beberapa tanaman serta bunga-bunga di halama
"Ayo masuk!" aku menarik tangan kiri Lucki."Oh, kamu ternyata sudah bangun sayang?" tanyaku saat melihat Jannah membuka matanya."Iya, kamu baru datang ya? Nyonya mana?" tanya Jannah dengan mata menyebar ke sekitar ruangan itu."Nyonya sudah pulang ke rumah. Sekarang aku yang nunggu kamu di sini." Lucki masih tetap berada di sampingku. Ia menatap pekat wajah Jannah."Ingat, jangan jatuh cinta!" Aku bisikkan kalimat itu di telinga kiri Lucki."Iya, aku tahu." Lucki membalas bisikanku."Itu siapa?" tanya Jannah ketika melihat Lucki yang sedari tadi tersenyum simpul padanya."Oh, ini putranya Nyonya. Ia baru saja pulang dari luar negeri. Mulai hari ini, ia akan tinggal di Indonesia dan membantu Tuan besar untuk mengurus beberapa usahanya di sini." Mulai lagi kebohonganku yang ke sekian kalinya terhadap Jannah."Oh, kenalkan namaku Jannah. Aku salah satu asisten rumah tangga yang sudah cukup lama bekerja d