Share

7. Sedingin Balok Es

Jatuh hati mengajarkan aku bagaimana memberanikan diri, juga bagaimana menjadi sabar saat sikapmu bertentangan dengan hati nuraniku.

 

(Syakila Zanitha Firdaus – Pilot Pencuri Hati)

***

Syakila masih  bergeming di tempat duduknya. Ia hanya bisa menelan saliva, mengurangi kegugupannya.

“Kakak Cantik ... kenalkan ini Papa Thania,” ucap bocah cantik itu mencairkan kebekuan Syakila.

“I-iya,” jawab Syakila terbata. Ia masih berusaha menata hati dan tingkah laku supaya tidak menjatuhkan imagenya sebagai wanita. Ia juga seorang pendidik harus bisa jaga tata Krama seorang guru. Tidak mungkin dia berbuat bar-bar dan agresif.

 

Kasyaf melihat ke arahnya dengan tatapan tajam. Memindai penampilan gadis itu dari atas hingga ke bawah. Membuat Syakila semakin canggung dibuatnya. Setelah itu laki-laki tampan tersebut memalingkan wajah, terlihat sekali keangkuhannya.

“Pe-perkenalkan saya Syakila, guru les privat Thania,” ucapnya  canggung sambil menangkupkan tangan di depan dada

“Hmm,” jawabnya tanpa menoleh ke arah Syakila, bahkan Kasyaf langsung fokus pada sang putri, tanpa membalas perkenalan Syakila.

“Astaghfirullah ... dingin bin jutek bin cuek banget, untung tampan. Kalau enggak tampan sono jauh-jauh, apa aku buang ke laut aja, ya?” gumam Syakila mengumpat kesal. Ia sudah berusaha menetralkan degup jantungnya. Malah reaksi laki-laki itu bikin moodnya ambyar.

“Papa, Thania belajar dulu, ya.” Bocah cantik itu langsung mengajak Syakila ke tempat duduknya.

“Iya, Sayang. Papa ke kamar dulu,” ucap laki-laki itu melirik sekilas Syakila sebelum meninggalkan keduanya. Setelah tidak dihiraukan tadi, Syakila hanya menunduk. Ia harus tahu diri.

Moodnya benar-benar buruk. Membuatnya kehilangan semangat dan sering melamun. Namun, ia harus berusaha profesional dalam mengajar. Apalagi bocah cantik di sampingnya terlihat sangat bersemangat.

Dua jam Syakila menghabiskan waktu untuk mengajar Thania, meskipun hatinya masih kesal dengan perlakuan Kasyaf, tapi semangat Thanialah yang membuatnya kembali bersemangat.

Seperti biasa sebelum azan magrib, Syakila sudah membereskan barang-barangnya.

“Kakak makan malam di sini, ya!” pinta bocah cantik itu penuh harap.

“Maaf, Sayang. Kakak enggak bisa. Lain kali aja, ya,” tolaknya halus. Ia tidak mau semakin kesal bila bertemu lagi dengan Kasyaf. Cukup tatapan tajam Kasyaf tadi yang seolah menelanjangi membuatnya tidak nyaman. Ia tidak mau lagi bertemu laki-laki itu.

“Please ... ayolah, Kak. Mau, ya!” bujuk Thania merengek.

“Maaf, Sayang. Kakak enggak bisa hari ini. Lain kali Inshaallah Kakak usahakan,” tolak Syakila lembut. Ia tetap membujuk bocah cantik itu yang matanya sudah berkaca-kaca. Andai saja awal pertemuannya dengan Kasyaf tadi baik, ia mau diajak makan malam. Ia pun tidak tega membuat bocah cantik itu sedih.

“Aku maunya Kakak Cantik ikut makan malam sekarang,” ucap Thania. Bahkan rengekan tadi sudah berubah menjadi isakan.

“Kamu apakan anak saya sehingga dia menangis?” Suara bariton menggema di belakang Syakila membuat nyalinya menciut.

Deg!

“Bagaimana ini? Kenapa Thania pakai nangis segala? Menyusahkan banget, deh,” gumamnya masih belum membalikkan badan. Ia masih berusaha menenangkan Thania yang terisak.

“Saya tanya itu dijawab. Kenapa  anak saya menangis?” tanyanya lagi. Syakila merasakan laki-laki itu kini berjalan mendekat ke arahnya dan Thania.

“Kakak Cantik ndak mau aku ajak makan malam bersama, Pa,” sahut bocah cantik itu sambil terisak.

Kasyaf mendekat ke arah Thania bersamaan dengan Syakila berbalik badan.

Deg!

Mata keduanya saling beradu. Kini jarak antara keduanya hanya satu jengkal. Membuat jantung Syakila berdebar kencang.

“Saya harap kamu mau menuruti kemauan Thania untuk makan malam di sini,” ucap Kasyaf. Bahkan embusan napas dan aroma mint dari mulut laki-laki tampan itu Syakila rasakan.

Syakila bergeming dengan debar jantung yang makin berdegup kencang. Setelah mengatakan itu Kasyaf menghampiri sang putri dan menggendongnya. Laki-laki itu duduk di sofa yang tidak jauh dari Syakila berdiri, ia menenangkan sang putri dengan memangkunya.

Perlahan Syakila menghembuskan napas setelah Kasyaf tidak lagi berada di depannya. Ia berusaha tenang.

“Kakak Cantik mau ‘kan?” tanya Thania memastikan. Ia masih duduk di pangkuan sang papa. Sedangkan mata Kasyaf fokus dengan televisi yang baru saja ia nyalakan.

Syakila mencoba menerbitkan senyum manisnya. Ia terpaksa mengangguk.

“Non Thania, ayo kita ambil wudu untuk salat berjamaah dengan papa!” ajak Bik Sumi yang baru datang dari arah dapur.

“Iya, Bik. Sama Kak Syakila juga, ya. Kita salat berjamaah, ya, Kak,” ujar bocah cantik itu sambil turun dari pangkuan sang papa.

Syakila tersenyum mengangguk.

“Mari Nak Syakila ikut saya!” ajak Bik Sumi tersenyum lembut.

“I-iya, Bik.”

“Aku terjebak di rumah ini. Dengan laki-laki yang sedingin es batu, huh,” gumam Syakila sambil menghembuskan napasnya kasar sebelum masuk ke dalam kamar mandi mengambil wudu.

“Kita salatnya di Musallah keluarga Nak Syakila. Den Kasyaf yang jadi imamnya,” ujar Bik Sumi sambil menyerahkan mukena untuk Syakila. Thania yang sudah memakai mukena tersenyum padanya.

“Ayo, Kak!” ajak Thania menggandeng Syakila yang sudah selesai memakai mukena.

Deg!

Hati Syakila kembali berdebar saat melihat laki-laki tampan di depannya memakai baju Koko putih gading dengan sarung dan peci. Kasyaf semakin terlihat tampan. Wajahnya terlihat bercahaya dan berkarisma.

“Ya Allah, apa ini? Kenapa perasaanku teraduk-aduk bila berhadapan dengan Kapten Kasyaf. Sungguh, aku belum pernah  merasakan hal ini. Seolah Kapten Kasyaf sudah mencuri separuh  hatiku,” gumam Syakila.

“Sudah siap, Bik. Kita mulai, ya,” ucap Kasyaf lembut pada Bik Sumi. Ia tersenyum juga pada sang putri. Namun, pada Syakila ia terlihat dingin tidak tersentuh.

“What? Ternyata laki-laki ini lembutnya hanya sama Bik Sumi dan Thania saja, sedangkan padaku terlihat jutek dan cuek bebek, dasar ...,” gumam Syakila.

Syakila semakin mengagumi sosok Kasyaf. Suara merdu mendayu Kasyaf saat membaca surat Alfatihah membuat Syakila larut dan khusuk mengerjakan salat. Bahkan zikir yang dibaca Kasyaf setelah salat pun mampu menggetarkan hati Syakila.

“Ya Allah, kalau lama-lama di sini aku bisa jantungan. Sejak tadi jantungku berdetak kencang,” gumam Syakila.

“Nak Syakila, sehabis salat Magrib Non Thania biasanya mengaji bersama Den Kasyaf. Kalau Den Kasyaf tidak di rumah baru bersama saya,” bisik Bik Sumi yang berada di samping gadis cantik itu. Ia melihat Syakila sejak tadi melihat ke arah Kasyaf dan Thania yang menyiapkan Alquran.

“O iya, Nak. Bibi tinggal dulu untuk nyiapin makan malam,” pamit Bik Sumi. Wanita itu melipat mukenanya dan hampir berdiri meninggalkan Syakila.

“Bik, tunggu! Boleh saya ikut membantu, Bibi?” tanyanya sedikit ragu. Ia tidak mau lama-lama di dekat Kasyaf, bisa-bisa dirinya olahraga jantung terus.

“Boleh, kalau Nak Syakila tidak keberatan,” jawab Bik Sumi

“Sama sekali tidak keberatan,” ucapnya tulus sambil tersenyum cantik, menunjukkan lesung pipinya.

Syakila masih berkutat di meja makan membantu menyiapkan makanan. Setelah salat Isya Kasyaf dan Thania menghampiri mereka menuju meja makan. Kasyaf melewati Syakila begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Bahkan sebagai tuan rumah ia tidak mempersilakan makan pada Syakila. Membuat gadis cantik itu memutar bola matanya malas. Beruntung Thania dan Bik Sumi yang ikut makan bersama mempersilakannya.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status