Share

6. Awal Jumpa

Mungkinkah, pertemuan pertama membawaku terhanyut dalam cinta pertama?

(Syakila Zanitha Firdaus – Pilot Pencuri Hati)

***

Syakila dan Bik Sumi melihat ke arah bocah cantik yang turun dari tangga dan berjalan ke arah mereka. Bocah cantik itu membawa tas yang di dalamnya sudah ada beberapa buku.

“Aku mau belajar sama Kakak Cantik,” ucap Thania mendekat pada Bik Sumi.

Syakila melongo terheran-heran dibuatnya. Ia tidak menyangka bocah cantik itu mau belajar dengannya. Padahal tadi wajahnya menunjukkan tidak bersahabat.

“Aku mau belajar sama Kakak Cantik, duduklah, Kak!” ucap Thania memerintahkan sambil melambaikan tangan mungilnya pada Syakila. Bahkan sekarang gadis itu tersenyum manis.

Syakila membalas tersenyum. Dengan canggung ia duduk di samping bocah cantik itu.

Dua jam Syakila mengajar. Karena keluwesan dan kesabarannya Thania sudah mulai terbuka dan beradaptasi dengannya. Bahkan bocah cantik itu sudah mulai banyak bertanya.

“Tadi aja kelihatan jutek amat. Eh, ternyata tidak sulit menaklukkan hati bocah cantik ini,” gumam Syakila sedikit lega.

“Besok Kakak Cantik ke sini lagi ‘kan?” tanya Thania sambil merapikan buku-bukunya.

“Iya, Setiap sore Kakak akan ke sini. Kita belajar bareng lagi. Thania mau ‘kan?” Bocah cantik itu langsung mengangguk mantap sambil mengacungkan jempol.

“Anak cantik ... semangat belajarnya, ya. Kak Syakila senang bisa mengajar Thania. Baiklah, belajar hari ini kita akhiri dulu dengan membaca Alhamdulillah,” ucap Syakila lembut sambil mengelus rambut panjang Thania. Bocah cantik itu mengikuti Syakila berdoa dengan mengangkat tangannya.

“Iya, Kak. Aku juga senang bertemu dengan Kakak cantik. O iya, besok papaku datang. Aku akan kenalkan pada Kakak cantik, ya,” ucapnya sambil tersenyum manis.

Deg!

“Kenapa belum dikenalkan aja hatiku udah dag-dig-dug  duluan. Astagfirullah,” gumam Syakila sambil mengusap kasar wajahnya.

“Kakak kenapa?” tanya Thania, ia heran dengan apa yang dilakukan Syakila.

“Eh, enggak kenapa-napa, kok.” Syakila tersenyum canggung. Thania mengangguk seolah sudah mengerti.

“Kakak pamit pulang dulu, ya.”

“Iya, kapan-kapan Kakak cantik menginap di sini, ya.”

“Kenapa harus menginap, Sayang?”

“Aku pingin aja ada yang nemenin tidur,” ungkapnya jujur. Syakila tidak menyangka bocah cantik di depannya mengatakan itu. Padahal mereka baru saja kenal.

“Iya, Non. Nanti minta izin papanya Non Thania dulu, ya.” Bik Sumi tiba-tiba mendekat dan ikut menimpali. Wanita tua itu melihat Syakila gelisah dalam menjawab pertanyaan Thania.

“Aku pingin Kakak cantik mau tidur di sini menemaniku. Biar aku ada temannya,” ucapnya polos.

Syakila tersenyum canggung.  “Benar yang dikatakan Bibi, Sayang. Thania harus minta izin dulu sama papa. Baru kalau diizinkan Kakak tidur di sini,” bujuk Syakila. Dengan lembut ia menolak ajakan Thania.

“Ya sudah, besok aku bilang Papa,” ucapnya sambil berlalu. Bocah cantik itu menaiki tangga dengan sedikit berlari.

“Maaf, ya. Non Thania memang  kesepian. Dia tidak banyak punya teman. Apalagi ini kompleks perumahan elit, jadi jarang berinteraksi dengan anak-anak yang sebaya dengannya. Bermain dengan teman pun  hanya waktu sekolah,” papar Bik Sumi.

“Iya, Bik. Enggak apa. Maaf, kalau boleh tau mamanya Thania di mana?” tanya Syakila. Entah, sejak tadi hati kecilnya bertanya-tanya. Rasa ingin tahunya sudah tidak bisa lagi ia bendung.

“Kedua orang tua Non Thania bercerai saat usianya masih empat belas bulan,” ungkap Bik Sumi.

“Kenapa hak asuh Thania tidak jatuh pada mamanya? Maaf, dia ‘kan masih kecil.”

Bik Sumi tersenyum miris. Hingga lama wanita itu tidak mengatakan apa-apa, membuat Syakila canggung. Ia menyadari pertanyaannya mungkin sudah masuk privasi keluarga tersebut.

“Saya, permisi pulang dulu, Bik,” pamitnya merasa tidak enak hati.

“Kehadiran Non Thania tidak pernah diharapkan mamanya. Sejak lahir tidak pernah mendapat sentuhan dari sang mama,” ungkap Bik Sumi yang membuat Syakila menghentikan langkahnya untuk mengambil tas ransel yang berada di sofa.

“Maaf ... kok, bisa Setega itu dengan darah dagingnya sendiri, Bik?” tanyanya lirih.

“Itulah, Nak. Bahkan saat ada  dalam kandungan Non Thania sudah berusaha digugurkan. Beruntung Den Kasyaf selalu mengetahui rencananya sehingga bisa menggagalkannya,” ungkap Bik Sumi.

“Astaghfirullah ... tega sekali,” ucapnya lirih.

“Maaf, Bibi jadi lancang menceritakan pada Nak Syakila.”

“Enggak apa kok, Bik. Inshaallah saya bisa jaga rahasia. Sudah mau Maghrib saya permisi dulu. Assalamualaikum,” pamitnya.

“Wa’alaikumussalam. Terima kasih, Nak. Semoga Nak Syakila kerasan. Non Thania juga enggak rewel sama Nak Syakila,” ucapnya penuh harap.

“Aamiin ... Inshaallah, Bik.”

Keesokan harinya, setelah pulang dari kampus. Syakila pergi ke rumah sakit melihat kondisi sang ayah yang sudah mulai membaik setelah cuci darah. Kemarin uang yang di berikan Azizah padanya sudah ia bayarkan pada bagian administrasi.

“Bagaimana kata dokter, Bu?” tanyanya pada Dita.

“Alhamdulillah, Nak. Ayahmu sudah mulai membaik, tapi dokter menyarankan untuk tetap cuci darah satu bulan sekali.”

“Alhamdulillah. Ayah jaga kesehatan terus, ya,” ucapnya pada sang ayah yang masih terbaring di atas brankar. Dimas mengangguk.

“Maafkan Ayah yang sudah merepotkanmu, Nak.”

“Ayah jangan pernah bilang begitu. Sudah kewajibanku untuk menjaga dan merawat Ayah,” ucapnya tulus.

Setelah cukup beristirahat tiga puluh menit di rumah sakit. Syakila pamit untuk mengajar.

“Aku harus mengajar dulu, Ayah, Ibu.” Syalila menyalami tangan kedua orang tuanya.

“Hati-hati, ya, Nak. Kalau pulangnya sampai malam enggak ada angkot kamu nelepon Fauzi, biar adik kamu yang jemput,” ujar Dita.

“Iya, Bu.”

***

Setelah turun dari angkot. Syakila harus berjalan sekitar dua ratus meter menuju rumah Thania. Maklum ia mengajar di perumahan elite yang dijaga ketat oleh satpam.

Syakila mengetuk pintu rumah tersebut setelah Pak Wawan membukakan pintu gerbang untuknya.

“Assalamualaikum, Bik,” sapa Syakila dengan senyum tulus pada  Bik Sumi.

“Wa’alaikumussalam, mari masuk, Nak! Non Thania sudah menunggu Nak Syakila.”

“Maaf, saya terlambat, ya?” ucapnya  sambil melihat arloji di tangan kirinya.

“Enggak, kok, Nak. Memang Non Thania saking semangatnya belajar sama Nak Syakila. Habis tidur siang langsung minta mandi,” ujar Bik Sumi.

“Kakak ...,” panggil bocah cantik itu. Ia berlari menghampiri Syakila dan memeluknya.

“Hello, Cantik,” sapa Syakila lembut.

“Hello ... aku udah nungguin Kak Syaki sejak tadi,” ungkapnya.

“What, Kak Syaki? Aku paling enggak suka dipanggil Syaki. Nama aku Syakila,” gumam Syakila. Panggilan itu paling tidak dirinya sukai. Sang adik sering memanggil seperti itu dan ia marah.

Syakila masih berusaha tersenyum lembut, meskipun jiwanya memberonta dengan panggilan itu.

“Kak Syaki, ayo mulai belajar!” ajak Thania sambil menggandeng jemarinya.

“Sayang, panggil Kak Syakila, jangan Syaki, ya!” pintanya.

“Kenapa?”

“Nama Kakak ‘kan Syakila, Sayang,” ucapnya lembut.

“Oke, baiklah! Kak Sya-ki-la,” ucap Thania  mengeja sambil tersenyum menunjukkan gigi susunya yang masih rapi. Syakila ikut tersenyum menanggapinya.

“Ehm!”

Suara deheman dari laki-laki tampan yang berdiri tidak jauh dari Thania dan Syakila duduk, membuat keduanya menoleh.

“Papa!” teriak bocah cantik itu. Ia langsung berdiri memeluk sang papa.

Syakila tercengang. Ia diam membeku di tempatnya duduk, hanya bisa melihat laki-laki tampan yang berdiri tidak jauh darinya. Ada perasaan canggung, hatinya pun kembali berdesir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status