Share

Pisah Terindah
Pisah Terindah
Penulis: Hanina Zhafira

Part 1

Pisah Terindah

#1

Dengan senyum semringah aku menjawab telepon dari lelaki yang teramat kucintai. Siapa lagi kalau bukan pemilik wajah rupawan yang telah berhasil memenjarakan hatiku. Dialah Mas Danar, suamiku.

"Kamu ada di rumah?" Pertanyaan itu diajukan Mas Danar seketika setelah telepon darinya kuangkat.

"Bukan! Aku lagi berada di istana rindu," selorohku dengan suara manja.

Terdengar sedikit tawa dari Mas Danar. Aku pun menimpali dengan tawa renyah.

"Aku udah mau nyampai. Aku kira kamu di rumah Windi, biar sekalian disamperin." Suara Mas Danar terdengar datar. Mungkin karena terlalu lelah, pikirku.

"Langsung pulang, kan? Jangan lama-lama, ya, aku udah kangen berat," lanjutku masih dengan nada manja.

"Okey, see you."

Mas Danar memutus sambungan telepon sebelum aku sempat bersuara lagi.

Di depan cermin, aku mematut diri. Mencermati kembali penampilanku untuk menyambut suami tercinta. Lelaki yang sudah hampir tujuh tahun hidup bersamaku. Mengarungi mahligai rumah tangga yang bahagia.

Hari ini Mas Danar pulang. Sudah tiga hari dia keluar kota. Terasa sangat lama bagiku. Mungkin baginya juga. Meskipun bukan kali pertama dia melakukan tugas keluar kota, tetap saja merasa canggung bila dia tak ada. Rindu terasa begitu menggebu-gebu. Tak sabar rasanya ingin segera bermanja di pelukannya.

Tak berapa lama kemudian terdengar klakson mobil dari depan rumah. Lalu suara pagar terbuka. Sudah sangat pasti kalau itu adalah Mas Danar. Aku segera memanjangkan langkah menuju pintu depan. Seperti biasa, aku akan menyambutnya dengan sambutan terbaik.

"Welcome home!"

Aku berseru dari ambang pintu. Dengan wajah semringah dan senyum termanis. Wajahku pun sudah kupoles dengan riasan yang disesuaikan dengan baju yang kupakai. Setelah melalui beberapa percobaan, akhirnya pilihanku jatuh pada dress selutut berwarna baby pink. Mas Danar sangat senang melihatku memakai warna ini. Aku terlihat lebih menggemaskan, katanya.

Aku rasa penampilanku tidak terlalu kalah fresh dengan ABG belasan tahun. Tubuhku tidak melar walaupun sudah hamil dan melahirkan seorang putri yang sebentar lagi berusia empat tahun.

Meskipun tinggiku tidak terlalu semampai, tetapi posturku ideal. Tubuhku masih ramping dan sesekali aku sempatkan juga melakukan perawatan tubuh dan wajah. Walaupun tidak glowing-glowing amat, yang penting tidak kusam.

Aku berjalan gemulai menyongsong Mas Danar yang baru saja menginjak lantai teras. Aku mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangannya. Mas Danar melirik dengan senyum tipis. Dia terkesan pasif ketika aku mengambil tangannya dan kubawa ke puncak hidung.

"I miss you so much," ungkapku penuh kejujuran lalu mendaratkan kecupan ke pipinya.

Mas Danar tidak merespons sama sekali. Biasanya dia juga akan balas mengecup kening atau pipiku. Namun entah kenapa kali ini tidak dilakukannya. Dia meletakkan ransel yang dijinjing dengan tangan kirinya ke meja di teras lalu melepas sepatunya satu per satu. Setelah itu dia kembali meraih ransel hitamnya itu dan melangkah masuk.

Aku segera bergelayut di lengannya dan kami beriringan masuk.

Jika melihat ekspresi wajahnya, sepertinya Mas Danar sedang tidak baik-baik saja. Sepertinya ada masalah dengan pekerjaannya.

Dia memang akan lebih sedikit pendiam kalau sedang ada beban pikiran. Begitulah yang dapat kupahami selama kami tinggal seatap.

Seingatku bulan lalu dia pernah berkeluh-kesah tentang sebuah proyek yang ditanganinya. Proyek itu terindikasi merugi. Penyebabnya adalah karena ketidaktelitian Mas Danar dalam mengecek selisih harga suatu produk. Kalau benar-benar terjadi kerugian, kemungkinan Mas Danar harus bertanggung jawab menutupi kerugian tersebut.

Pikiranku yang tengah terfokus pada curhatan Mas Danar bulan lalu disentakkan kembali oleh pertanyaan Mas Danar.

"Shahna mana? Lagi tidur?"

"Dia lagi di rumah Windi. Ntar agak sorean aja jemputnya."

Mas Danar hanya mengangguk mendengar penjelasanku. Lagi, tidak seperti biasanya. Tidak ada respons apa-apa lagi dari Mas Danar.

Shahna adalah nama putri tunggal kami. Tadi pagi Windi --sahabatku-- mampir. Ketika dia pulang Shahna ikut dengannya. Dan itu sudah sering terjadi. Windi juga sangat menyayangi Shahna.

Mas Danar melepas kancing lengan kemejanya lalu menggulungnya asal. Dia duduk di sofa ruang tengah sambil meletakkan ponsel dan kunci di atas meja.

"Dara, aku mau bicara," ucap Mas Danar dengan suara tanpa tenaga.

"Nanti aja. Sekarang Mas mandi. Setelah itu kita bicara sambil ngeteh. Tadi aku bikin bolu karamel, loh. Ini percobaan pertamaku dan hasilnya wow banget. Aku jamin kamu pasti suka, Mas."

"Tapi Ra, aku ingin bicara ...."

"No ... no ... nehi ...! Tidak sekarang, Sayang. Kita bicara nanti di taman. Pasti akan kudengarkan semuanya tanpa melewatkan satu huruf pun. Swear."

Aku menyimpulkan sebuah senyum lalu menarik Mas Danar agar bangun dari duduknya. Setelah dia berdiri aku mendorongnya ke kamar. Handuk, pakaian dalam, serta baju ganti telah kusiapkan di atas kasur. Setelah itu, aku segera ke dapur.

***

Aku membawa sebuah nampan yang di atasnya tersusun sebuah teko berisi teh, dua buah cangkir, dan beberapa potong bolu karamel hasil olahan tanganku sendiri.

"It's time!"

Aku meletakkan nampan di atas meja. Mas Danar sudah terlebih dahulu ada di sana. Dia nampak sangat serius menekuni layar ponselnya.

"Kok nggak jadi mandi, Mas?"

Mas Danar menggeleng pelan. Sepertinya Dia hanya mencuci muka dan itu cukup berhasil membuat wajahnya sedikit lebih segar.

"Dara, duduklah dulu. Aku ingin bicara.”

Aku menurut. Segera kuambil tempat di sampingnya. Pada kursi taman yang ada di teras samping. Teh yang baru saja kutuangkan ke cangkir mengepulkan asap yang kemudian membaur dengan udara yang lembap. Hujan memang turun beberapa jam lalu dan hawa dingin masih terasa sampai sekarang.

“Ceritalah, Mas. Akan kudengar apapun keluh kesahmu. Berbagilah denganku,” ujarku dengan tatapan meyakinkan dan sesimpul senyum tipis.

Mas Danar berdiri, lalu menarik kursinya lebih mendekat padaku. Sekarang jarak kami begitu tipis.

“Dara ….” Mas Danar menarik  napas dalam. Untuk beberapa saat dia menggantung ucapannya.

Tanpa diberitahu pun, aku sudah dapat memastikan bahwa beban yang sangat berat kini tengah bergelayut di hati Mas Danar. Hingga begitu sulit untuknya mencari kata yang tepat untuk mulai mengurai cerita.

Aku mengembuskan napas pelan lalu sedikit mencondongkan badan ke arah lelaki tercintaku itu.

“Mas, berbagilah denganku. Jangan kaupikul sendiri. Susah senang kita lalui bersama. Begitu, kan janji kita?" Aku mendaratkan telapak tangan ke punggung tangan Mas Danar yang bertengger di atas pahanya.

Mas Danar menarik tangannya dan dibawanya mengusap pelipis. Sorot mataku mengikuti pergerakan tangannya dan berlabuh pada wajahnya yang kembali tampak kusut.

Mas Danar juga mengarahkan tatapan padaku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan. Dia tidak pernah menatapku seperti ini sebelum-sebelumnya. Tatapannya selalu hangat dan penuh cinta yang menggebu-gebu. Jika pun suasana hatinya sedang tidak baik, tatapannya akan terlihat lebih sayu dan meminta untuk disemangati. Namun, kali ini tidak begitu. Sangat berbeda dan terasa asing.

“Dara ... aku butuh persetujuan kamu.” 

Kalimat Mas Danar masih menggantung. Belum bisa kutarik kesimpulan ke mana arah yang ditujunya. Kendatipun begitu, simpul-simpul saraf di otak besarku telah berkelana lebih cepat dari yang kuperkirakan untuk mengumpulkan beberapa dugaan.

Menjual mobil atau rumah. Atau mungkin juga dua-duanya. Kemungkinan-kemungkinan itulah yang pada akhirnya bersarang di kepalaku. Membuat rasa penasaran semakin bertalu-talu.

Jujur, aku ingin segera mendengar secara lugas dari Mas Danar. Namun, aku pun tak ingin mendesak. Aku memilih bersabar, menunggu cerita itu mengalir dengan lancar dari mulut Mas Danar.

Lelaki itu membuang tatapan sejenak lalu kembali mata kami saling beradu. Wajah tegang Mas Danar mau tidak mau juga mengalirkan rasa yang sama padaku. Jantungku tiba-tiba saja berdegup lebih cepat. Kecemasan yang entah tentang apa seketika menggerogoti. Meskipun begitu, sebisa mungkin aku tetap tenang. Bersabar menunggu detik-detik yang terasa sangat menegangkan.

"Aku butuh persetujuan kamu untuk menikah resmi."

Dalam satu tarikan napas kalimat itu terucap tanpa tersendat dari mulut Mas Danar. Lalu dia memundurkan badannya, merapatkan punggung pada sandaran kursi dengan kepala tetap tegak. Satu tangannya mengusap wajah yang sedari tadi dihiasi ketegangan.

Untuk beberapa detik aku terpaku. Seperti ada kekuatan maha dahsyat yang memindahkan aku dalam sekejap mata ke dunia tanpa udara. Aku tercekat, aliran oksigen untuk pernapasan bagai terhenti. Kesadaranku seakan terbang tanpa bisa kutahan. Aku tak tahu, sudah berapa lama aku mematung.

"Dara."

Sentuhan tangan Mas Danar di bahuku telah menarik kembali kesadaranku dengan paksa. Seolah baru terbangun dari tidur yang panjang, aku mengerjap beberapa kali dengan tarikan napas lebih cepat. Lalu berusaha secepatnya untuk menguasai diri kembali.

“Bercanda kamu ga lucu, Mas. Jangan ngeprank, ah. Aku nggak ultah hari ini dan lagi nggak ada momen spesial apa-apa hari ini.” Aku mengipaskan di depan wajah dan mencoba mengeluarkan tawa kecil.

Aku yakin ini hanyalah akal-akalan Mas Danar ingin mengerjai aku. Dan aku pastikan dia gagal total. Meskipun begitu, aku tidak suka sama sekali dengan candaan seperti ini. Meskipun suka bercanda tetapi menurutku hal-hal yang sakral tidak patut sama sekali dijadikan bahan banyolan.

“Dara, aku tidak bercanda. Ini serius! Tak lama lagi dia akan melahirkan anak kami. Aku butuh persetujuan kamu untuk menikahinya secara resmi agar anak yang dilahirkan itu punya dokumen resmi."

Mas Danar mengalihkan pandangan dariku setelah menyelesaikan kalimat yang bagaikan petir menyambar-nyambar di kepalaku.

Aku menatap lekat-lekat pada Mas Danar. Wajahnya masih tegang dengan sorot mata yang dihiasi kekalutan dan kecemasan. Aku segera tahu bahwa dia tidak main-main. Mas Danar tidak sedang bercanda sama sekali.

Kepalaku berdengung seperti baru saja ditimpa benda yang keras dan berat. Atau jangan-jangan langit yang menaungi bumi ini telah runtuh dan semuanya berjatuhan padaku?

Tak hanya sebatas itu, di dadaku ini serasa tengah ditancapkan ratusan belati lalu disirami dengan air garam dan asam. Pedih, perih, hancur, dan lebur.

“Melahirkan? Menikahi secara resmi?"

Aku bergumam pelan dengan pahatan kerutan di kening. Semua yang ada di sekitarku seakan berputar-putar menambah rasa pening di kepalaku.

Mas Danar menatapku sebentar kemudian menunduk.

“Kamu berzina, Mas? Kamu menghamili perempuan lain?” Aku mencecarnya dengan napas memburu.

“Tidak ... Bukan ... bukan seperti itu! Kami telah menikah sebelumnya secara agama. Dan sekarang tinggal meresmikannya secara negara. Dan, kamu pasti tahu kalau syaratnya adalah persetujuan dari kamu sebagai istri pertama."

"Apa? Meresmikan?"

Bibirku rasanya sangat kelu walau sekadar untuk mengulang kata yang telah dilontarkan Mas Danar. Mas Danar mengangguk pelan.

"Kamu ... kamu telah menikahi perempuan lain tanpa sepengetahuan aku, Mas? Kamu ... kamu sudah mengkhianati aku dan pernikahan kita selama ini? "

Tatapan tajam yang menuntut penjelasan yang kulayangkan masih dijawab dengan helaan napas berat dari Mas Danar. Dia sepertinya tengah menimbang-nimbang apa yang tepat untuk dia ucapkan.

"Mas?! Jawab! Sejak kapan? Sudah berapa lama?"

Tanpa bisa kukontrol lagi, suaraku mulai meninggi. Napasku pun mulai memburu. Aku memejamkan mata rapat-rapat agar air mata yang perlahan menggenang tidak sampai luruh.

****

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Tin Sutinah
baru satu bab kok sudah suami membagi cinta sama yg lain ya
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
seruuu nih
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
kho ssh nyesek sih ,jgn sampi di bikin bodoh ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status