Share

part 2

Pisah Terindah

#2

"Dara ...."

Setelah lama hening, akhirnya Mas Danar bersuara juga. Namun, aku sudah tidak berminat untuk mendengarkan apa-apa lagi. Rasanya sudah terlalu sakit. Sakit yang sudah tak sanggup untuk kuungkapkan.

Toh, sedetail dan sejujur apa pun pengakuan Mas Danar tidak akan merubah apa-apa lagi. Tidak akan memutihkan kembali kertas yang sudah penuh coretan. Ibarat kaca, kalau sudah retak tidak akan bisa utuh dan mulus lagi seperti semula, meskipun sudah direkatkan kembali. Sebagus apa pun bahan perekat yang digunakan. Mustahil!

"Dara ... aku minta maaf, tolong ...."

Aku bangkit tanpa menghiraukan Mas Danar. Kutinggalkan dia begitu saja. Aku berjalan menuju kamar kami.

"Dara!"

Mas Danar ikut berdiri dan mencoba meraih tanganku. Aku menepis kasar tangannya yang sempat menyentuh lenganku. Aku mempercepat langkah karena Mas Danar masih mengekori. Begitu memasuki kamar, langsung kututup pintu dengan cukup keras lalu menguncinya.

"Dara!"

Mas Danar mengetuk pintu dan memutar gagangnya. Kemudian dia mengetuk lagi.

"Dara, kita perlu bicara. Tolong dengarkan aku dulu! Aku akan jelaskan semuanya pada kamu."

Kuanggap semua yang terlontar dari mulut Mas Danar adalah angin lalu. Walaupun dia memohon agar aku membukakan pintu, aku tetap tak peduli.

Aku berjalan gontai menuju jendela kamar. Aku ingin menghirup udara segar yang masuk lewat sela-sela teralis bermotif minimalis. Namun, langkahku terhenti ketika melewati kaca yang menempel di meja rias. Kupindai lagi penampilanku dari atas ke bawah. Adakah yang salah, adakah yang kurang dengan fisikku?

Air mata yang telah kutahan sedari tadi, sekarang kubiarkan lolos sesukanya. Kalaulah dengan menangis ini bisa mengikis perih yang mendera, akan kulakukan menangis berhari-hari. Sungguh, sayatan-sayatan benda tajam sekali pun rasanya takkan sesakit ini. Apa salahku pada Mas Danar hingga dia setega ini padaku. Bukan hanya aku yang disakiti tetapi juga Shahna, buah hati kami. Darah dagingnya sendiri. Anak yang sangat dinanti-nanti kehadirannya. 

Di antara isak, aku mencoba menarik napas dalam-dalam. Dadaku terasa sangat sempit dan berat. Udara saja susah untuk melewatinya.

"Semudah ini kamu menghancurkan perjuangan kita selama bertahun-tahun, Mas."

Aku bergumam ketika pandanganku tertumpu pada foto pernikahan kami yang dipajang di dinding di bagian atas tempat tidur.

Tanpa diundang, kepingan-kepingan masa lalu saling berebut mencari tempat terluas di kolom memoriku. Dimulai dari awal perkenalan dengan Mas Danar yang begitu manis. Kami bertemu di sebuah event yang mana, tempat kami bekerja sama-sama mengikuti acara tersebut. Dari pertemuan pertama itu kami sudah mulai saling mengagumi dan hubungan kami berlanjut meskipun urusan pekerjaan telah selesai.

Setelah dua tahun menjalin hubungan yang serius, kami memutuskan untuk menikah meskipun restu tidaklah seratus persen diberikan oleh mamanya Mas Danar.

Aku tidak tahu pasti alasan apa lagi yang membuat mamanya Mas Danar tidak begitu menyukaiku, selain dia ingin agar Mas Damar menikah dengan sepupu dari keluarga papanya yang kala itu merupakan calon dokter.

Mas Danar tidak goyah pada pendiriannya. Dia tetap bersikukuh untuk menikahiku dan dia pun berhasil meyakinkan aku bahwa lambat laun mamanya akan merestui juga. Karena memang cintaku juga sangat besar padanya, maka kami pun menikah.

Dua tahun pertama merupakan ujian yang berat kurasakan. Bukan karena kami tidak bahagia. Bukan! Antara kami berdua tidak pernah terjadi konflik. Malah api cinta kami makin menyala-nyala. Badai itu datang dari luar. Kehamilan yang tak kunjung terjadi membuat mama Mas Danar semakin sinis padaku. Mengingat Mas Danar adalah anak laki-laki satu-satunya membuat mamanya sangat berharap Mas Danar segera memberinya cucu.

Sindiran demi sindiran bahkan tuduhan tak segan-segan ditujukan mama Mas Danar padaku. Bahkan di saat sedang ada acara kumpul keluarga sekali pun. Aku takut kehilangan karirlah, tidak ingin repotlah, bahkan tuduhan mandul juga dengan terang-terangan dilontarkan di depanku. Tuduhan sadis yang tanpa dasar sama sekali.

Setelah mengikuti program hamil, dua bulan setelah ulang tahun ketiga pernikahan, aku melahirkan seorang putri cantik. Kami memberinya nama Shahna Anara Bintang.  Tak berapa lama lagi bidadari kecil kami akan genap berumur empat tahun.

Sejak kelahiran Shahna, badai perlahan mereda. Mama Mas Danar menunjukkan kasih sayang yang besar pada Shahna. Padaku sikapnya juga mulai melembut. Meskipun kami tidak terlalu dekat tetapi jauh lebih baik dari sebelumnya. Sesekali mertuaku itu bersedia menginap di rumah kami.

Setelah hubungan dengan Mama membaik, bagaimana hubunganku dengan Mas Danar? Teramat manis dan semakin mesra. Layaknya pasangan  muda yang sedang dimabuk asmara dan antusias dengan hadirnya seorang anak. Hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia. Apalagi ada gelak tawa Shahna yang tak pernah membiarkan rumah sepi. Senyum dan celotehannya selalu menebarkan bunga-bunga ke setiap sudut rumah kami.

Tidak ada yang kurang dalam rumah tangga kami. Sebulan sebelum persalinan, aku mengundurkan diri dari pekerjaan dan fokus menjadi ibu rumah tangga. Itu pun atas permintaan Mas Danar. Aku pun tidak keberatan. Dengan sepenuh hati aku mengurus segala keperluan Mas Danar dan mengasuh serta merawat Shahna dengan tanganku sendiri. Hari-hariku hanya untuk mengurus suami dan anak bahkan aku sudah lupa yang namanya hang out bersama teman-teman.

Secara finansial kami sudah berada di zona nyaman. Kami sudah menempati rumah sendiri. Meskipun bukanlah rumah di perumahan mewah, tetapi rumah ini sangat nyaman dan asri. Kami sangat betah tinggal di sini. Rumah ini dibeli Mas Danar setelah satu tahun pernikahan kami. Kendaraan pun kami punya. Uang pesangon serta tabungan yang kupunya kubelikan mobil sehingga kami tidak khawatir membawa Shahna pergi ke mana-mana.

Selama ini Mas Danar menampilkan dirinya sebagai seorang family man. Selesai bekerja dia akan langsung pulang dan bercengkrama bersama keluarga. Begitu juga kala hari libur atau akhir pekan. Dia lebih senang menghabiskan waktu di rumah. Jika pun keluar, dia akan senantiasa mengajak aku dan Shahna. Hanya beberapa bulan belakangan ini saja hal itu jarang terjadi. Semenjak kantor Mas Danar terlibat kerja sama dengan perusahaan yang berpusat di Semarang. Hampir tiap bulan Mas Danar harus ikut meninjau ke luar kota.

"Jadi kebahagiaan yang selama ini hanyalah kepura-puraan. Hanya topeng untuk menutupi sebuah kebohongan?"

Aku tersenyum sinis. Betapa bodohnya aku selama ini. Tidak menyadari sedikitpun kalau aku sudah dibohongi mentah-mentah. Sedikit pun aku tidak punya firasat dan menaruh rasa curiga. Konon kata orang insting seorang istri itu sangat tajam. Tetapi kenapa tidak dengan aku? Terbuat dari apa hatiku sehingga tidak menyadari sedikit pun kecurangan yang telah dilakukan suamiku?

Aku memijit pelipis. Kepalaku rasanya bertambah berat. Aku mengusap muka, membersihkan air mata yang masih ada di pipi.

"Bukan kesalahan aku. Tetapi Mas Danar. Dia yang curang. Dia yang tega. Dia yang jahat. Aku bisa saja memaafkan apa saja kesalahannya, tetapi tidak dengan pengkhianatan. Seorang penghianat tidak pantas untuk ditangisi. Aku benci pengkhiatan."

Aku kembali menyeka air mata yang masih saja mengalir. Kembali kupejamkan mata. Kuharap air mata yang masih ada untuk tetap di tempatnya. Tak pantas ia mengalir untuk seseorang yang tidak punya hati dan tega berkhianat seperti Mas Danar. Aku memijit pelipis dengan tekanan yang cukup keras.

Aku berusaha keras mencoba menenangkan diri. Meskipun saat ini aku hancur sehancur-hancurnya, aku tidak boleh memperlihatkannya di depan Mas Danar. Dia bukan lagi Mas Danar suamiku seperti beberapa menit yang lalu.

Kurang dari satu jam yang lalu aku masih merasa bahwa dia adalah separuh napasku. Kami satu jiwa yang menempati raga berbeda. Jika satu orang terluka maka akan sakit bersama. Karena itu kami harus saling menjaga baik lahir maupun batin. Sebagai kepala keluarga, dia adalah tumpuan hidupku, tempat aku mencari kenyamanan, tempat aku berlindung dari apa pun. Namun nyatanya dialah yang memberikan sakit yang begitu sakit padaku.

Dia bukan lagi belahan jiwaku yang sejati. Dan itu harusnya telah terjadi sejak dia mengkhianati pernikahan kami. Karena baru sekarang aku tahu, maka sejak hari ini semua akan berubah.

Aku tak perlu menangis dan meratap untuknya. Dia bukan lagi sandaran yang bisa kupercaya dan andalkan. Ya, sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan.

Setelah merasa agak tenang, aku melangkah ke kamar mandi. Mencuci muka dan mengguyur tubuh dengan air dingin. Cukup lama aku berdiri di bawah guyuran shower. Berharap dingin ini akan menembus hingga ke hati dan otak yang sedang panas membara.

Setelah mengganti baju dan kembali memoles wajah dengan riasan sederhana, aku memutar gagang pintu. Begitu pintu terbuka, hal pertama yang ditangkap oleh penglihatanku adalah keberadaan Mas Danar. Dia tengah duduk bersandar di sofa ruang tengah yang persis menghadap ke kamar kami. Wajahnya masih kusut seperti tadi aku meninggalkannya.

Dia segera berdiri begitu aku melangkah keluar dari kamar.

"Dara ...." Mas Danar langsung meraih tanganku begitu berada di sampingku. Sesaat dia memperhatikan penampilanku.

"Dara, aku akan jelaskan semuanya--"

"Aku nggak butuh penjelasan apa-apa. Nggak ada gunanya. Tidak akan merubah keadaan. Yang aku inginkan hanyalah kita berpisah."

Aku menatap Mas Danar sejenak dengan tatapan datar lalu menghempaskan tangannya yang memegang pergelangan tanganku. Kemudian aku melangkah menuju pintu depan.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tin Sutinah
siapa sih orangnya yang mau di madu.... lanjutkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status