Pisah Terindah #26 POV Danar Pulang. Waktunya untuk kembali pulang ke rumah yang telah kuhuni bersama keluarga kecilku selama kurun waktu tujuh tahun belakangan ini. Namun, pulang kali ini kulakoni dengan debar yang berbeda. Lonjakan rasa di dada membuatku tak tenang. Bukan karena aku tengah dilanda cinta yang menggebu-gebu kepada Dara, istriku. Sama sekali bukan! Tetapi karena sesampainya nanti aku di rumah, akan kuungkap sesuatu yang akan membawa perubahan besar dalam kehidupanku. Setelah sekian lama mengulur-ngulur waktu, pada akhirnya semua harus diungkapkan. Siap atau tidak siap, tetap harus! Apalagi ada yang sangat mendesak. Seperti biasa, setiap kepulanganku akan selalu disambut antusias oleh Dara. Dia mampu menampilkan diri selayaknya orang yang tengah menanggung rindu berat meski hanya tiga hari saja aku meninggalkannya. Mulai dari penampilan, suasana rumah, masakan, semuanya akan dibuat sangat istimewa untuk menyambut kedatanganku. Sungguh, dia sangat berusaha mencipt
Pisah Terindah #27POV DanarLama aku tertekur duduk di ruang tengah. Dalam rentang waktu tertentu aku melirik ke arah pintu kamar berharap pintu itu akan terbuka. Aku ingin tahu bagaimana keadaan Dara. Harusnya Dara marah, berteriak histeris, menangis terisak-isak, atau bahkan mengeluarkan kata-kata tajam untuk menunjukkan emosinya padaku. Aku telah bersiap untuk menerima semua itu. Walaupun kemungkinan yang terakhir itu kecil akan terjadi karena selama yang kutahu, Dara bukanlah orang yang punya perbendaharaan kata-kata kasar dan dia sangat takut akan menyakiti hati orang lain. Opsi lain yang lebih besar kemungkinannya, Dara akan menangis mengiba-iba agar aku tidak meninggalkannya. Aku yakin sekali Dara tidak akan pernah menginginkan kami berpisah. Shahna anak semata wayang kami adalah alasan terbesarnya. Dara tentu sangat tidak ingin kalau Shahna tumbuh dalam keluarga yang tidak komplit. Mendapatkan reaksi Dara seperti itu, aku akan menjelaskan apa yang terjadi dan meyakinkan d
Pisah Terindah #28 (POV Danar) "Diam-diam aku memberanikan diri menemui istri sah dari rekan bisnis papa yang akan menjadi calon suamiku. Aku memberitahunya kalau suaminya ingin menikahiku. Tentu saja dia tidak ingin hal itu terjadi. Lalu, terjadilah sebuah kesepakatan yang bisa dibilang saling menguntungkan antara kami." "Singkatnya, pernikahan itu tidak jadi terjadi. Otomatis kerja sama yang sangat diimpi-impikan papa juga tidak terwujud. Papa gagal mendapat suntikan dana untuk mempertahankan perusahaannya." Aku sangat fokus mendengarkan cerita Lalisa. Setelah beberapa kali pertemuan singkat, akhirnya ada juga waktu untukku bisa lebih lama berinteraksi dengan wanita yang masih menggenggam sebagian hatiku itu. Kali ini Lalisa sengaja datang ke hotel tempatku menginap. Sedangkan aku sengaja tidak langsung pulang meski tugas dari kantor sudah selesai. Aku mengambil cuti dua hari. Tujuanku agar bisa lebih lama menghabiskan waktu bersama Lalisa. Aku berencana akan memesan satu kam
Pisah Terindah #29Kembali bekerja setelah bertahun-tahun mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga yang hanya fokus pada urusan domestik. Di hari pertama memang terasa kikuk tetapi itu tak lama. Di hari berikutnya aku sudah mulai bisa beradaptasi dengan lebih baik. Aku sangat menikmati aktivitas terbaru ini. Menerima tawaran Mbak Tania untuk menggantikan asistennya yang sedang cuti ternyata tidak ada ruginya. Malah mengasyikkan. Meskipun hanya untuk sementara. Aku bersyukur sekali Mas Danar mengizinkan aku untuk bekerja walau hanya beberapa minggu saja, tetapi dengan catatan bahwa aku bekerja bukan karena kekurangan nafkah darinya. Apalagi karena dia lalai akan tanggung jawabnya memberi nafkah. Melainkan hanya untuk memanfaatkan waktu senggang yang kupunya. Seminggu sudah aku bekerja. Itu artinya sudah selama itu juga aku tidak bertemu dengan Mas Danar. Aku sengaja berbaik hati membiarkan Mas Danar fokus dengan kebahagiaan barunya memiliki anak dari wanita yang mampu membuatnya b
Pisah Terindah #30"Dara, nanti sekitar pukul sepuluh tolong ke kantor Mas Lindan, ya. Cuma ngasihin beberapa dokumen aja. Cuman, harus diterima sama Mas Lindan langsung," ujar Mbak Tania yang baru saja datang. "Aku udah terlanjur ada janji sama calon klien. Padahal aku pengen ngobrol serius sama dia," lanjutnya lagi. "Baik, Mbak. Kantornya yang di deretan ruko biru, kan, Mbak?" "Iya, yang itu. Kamu ingat, kan orangnya? Yang dua hari yang lalu ke sini?" "Iya, Mbak. Aku ingat. Yang waktu itu pakai jas abu-abu?" "Ya, benar. Nanti ingatin aku lagi, ya." Aku mengangguk sambil mengulas senyum. Kukira Mbak Tania akan langsung masuk ke ruangannya setelah menyampaikan tugas yang harus kulakukan. Ternyata dia malah menarik kursi yang ada di hadapanku dan duduk dengan posisi nyaman. "Oh, iya, Dara, kemarin Windi ada ke sini, nggak?" Aku menggeleng pelan. "Nggak, Mbak. Aku nggak ketemu." Mbak Tania menarik napas berat. "Kalau kamu sempat ketemu sama dia, tolong nasihatin, tuh anak s
Pisah Terindah #31Rasa penasaran makin menjadi-jadi menghampiriku. "Apa dibuka aja?" "Tapi ...." Entah kenapa aku harus membuat bingung diri sendiri. Padahal urusan apa pun di kantor Mbak Tania tidak ada kaitan apa-apa dengan kehidupanku. Aku cukup melakukan apa yang diperintahkan oleh orang mempekerjakan aku. Selain itu, aku tidak ada hak untuk ikut campur. Aku juga tidak punya kapasitas untuk melibatkan diri. Aku tidak mengerti apa-apa tentang pasal-pasal hukum. Apa lagi keberadaanku hanya sebagai asisten pengganti yang sifatnya sementara. Meskipun sudah mencoba menyadari tentang posisiku, satu sisi pikiranku yang telah dikuasai rasa penasaran hebat tidak bisa ditundukkan begitu saja. Seperti ada kekuatan lain yang menggerakkan, sehingga jariku telah berada di ujung amplop. "Daripada menanggung penasaran. Lagian juga nggak bakal keciri kalau amplop ini sempat kubuka." Begitu aku berhasil meyakinkan diri untuk mengintip isi amplop itu, telepon genggamku mengeluarkan getar. P
Pisah Terindah #32 "Dara? Lagi apa?" Jantungku seakan mau copot begitu mendengar ada suara yang menyerukan namaku. Tanpa melihat pun aku tahu siapa yang sedang ada di pintu. Meskipun berada pada situasi genting aku tidak boleh memperlihatkan kepanikan selayaknya orang yang tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak benar. Hal itu penting untuk menghindari kecurigaan. Sayangnya aku tak pernah mempelajari ataupun memahami teori-teori ilmu psikologi yang berkaitan dengan penguasaan diri. Namun, sebisa mungkin kucoba untuk mengontrol diri untuk mengkamuflasekan apa yang kurasa saat ini. Aku mencoba menyiasati agar tidak terlihat seperti orang yang panik. Langkah pertama kucoba untuk tetap tenang tanpa ada gerakan tergesa-gesa yang nantinya akan memperlihat kegugupan. Lalu, setelah menarik napas perlahan, aku mengulas senyum dan mengarahkan pandangan dengan serileks mungkin ke arah Mbak Tania. "Ini, Mbak, lagi nyari HP. Barangkali ketinggalan di sini," ujarku spontan. Padahal in
Pisah Terindah #33 POV LalisaLelah! Lelah raga dan terlebih lagi lelah jiwa. Kupikir takkan seperti ini jalan hidupku. Takkan seperti ini kehidupan pernikahan yang akan kujalani. Memang, menjadi istri dari seorang Danar Aryo Bintang adalah sesuatu yang tak lagi terpikirkan olehku. Namun, tanpa sepenuhnya direncanakan takdir membuatnya menjadi sebuah kenyataan. Menjadi wanita kedua, wanita mana di dunia ini yang benar-benar mau berada pada posisi itu. Jelas tidak ada. Namun, lagi-lagi takdir yang berkata terjadi. Maka semuanya pun terjadi hingga saat ini. Hingga sudah memasuki tahun kedua kujalani. Mas Danar, lelaki yang awalnya menikahiku secara sirri itu memang bukanlah orang baru dalam hidupku. Bertahun-tahun yang lalu dia pernah menjadi matahari bagi duniaku. Terlepas dari kesalahpahaman Papa ketika berhasil menemukan aku yang memang sengaja menghilang dari rumah, yang menjadi alasan utama terjadinya pernikahan itu, kuakui aku pun masuk ke dalam jerat pesona mantan. Hampir