Pisah Terindah #38Di depan pintu utama aku menyapa security yang telah siap untuk bertugas. Setelah menginjakkan kaki di dalam kantor aku segera mengarahkan langkah ke tempat yang biasa kutempati. Namun, baru beberapa langkah saja, aku spontan menghentikan gerak kaki begitu melihat siapa yang tengah duduk di sofa yang tak jauh dari meja yang selama ini kutempati. Seorang wanita berpakaian formal duduk dengan kaki disilang. Dia tengah berkutik dengan ponsel yang ada di tangannya. Aku tahu bahwa kehadirannya ke sini akan memberi kabar yang kurang baik buatku. Aku melangkah perlahan. Ternyata di belakangku juga ada Mbak Tania yang baru masuk. Berbeda dengan aku yang sekuat tenaga melawan rasa tak berdaya, Mbak Tania justru melangkah dengan enerjik hingga dalam sekejap saja dia sudah mendahuluiku. Begitulah hasil dari penglihatanku selama beberapa minggu di sini. Jika sehabis memenangkan sebuah perkara, energi Mbak Tania akan terproduksi berkali-kali lipat. "Selamat pagi, semua!" s
Pisah Terindah #39"Jadi memang seperti ini yang terjadi di belakang aku?" Aku dan Mas Daniel sama-sama menoleh ke arah datangnya suara. "Dara, kamu benar-benar luar biasa! Ternyata, kamu jauh melebihi yang aku sangka." "Dan kamu, Daniel, licik sekali cara kamu memanfaatkan Dara." Mas Danar berdiri hanya berjarak beberapa langkah di sampingku. Sorot matanya menyiratkan ada emosi yang tengah berkobar. "Hei, brother, nyantai dikitlah! Hidup jangan terlalu dibawa serius,"ujar Mas Daniel dengan santainya. Sementara aku merasakan hal yang sebaliknya. Meskipun tidak merasa bersalah karena memang tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tetapi tetap ada kecemasan yang menyelimuti hati. Mendapati aku tengah bersama dengan Mas Daniel, kemungkinan besar Mas Danar akan semakin salah paham. Kesalahpahaman yang kemarin-kemarin saja masih ngambang karena Mas Danar tidak memberi aku kesempatan untuk menjelaskan. Sekarang akan bertambah lagi. Kepalaku berdenyut hebat dibuatnya. Padahal tujuanku i
Pisah Terindah #40 Pov Danar Aku merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia. Bisa-bisanya aku tidak menyadari bahwa musuh yang sebenarnya adalah orang yang ada di sampingku. Dara, entah dendam sebesar apa yang disemayamkan di hatinya hingga dia sampai tega menikamku dengan brutal. Ya, brutal! Mungkin kedengarannya sangat hiperbola. Tetapi seperti itulah yang kurasakan ketika mengetahui kenyataan ini. Ingin aku tidak percaya, tetapi ini benar-benar nyata. Karir yang kubangga-banggakan, yang kutargetkan akan melesat lebih tinggi lagi, serta yang menjadi tumpuan hidup sekarang telah berantakan. Laksana bangunan yang hanya menyisakan puing-puing. Entah masih bisa dibangun kembali atau tidak. Karir hancur saja sudah merupakan mimpi terburuk dalam perjalanan hidupku hingga saat ini. Namun, masih bisa kuterima dengan jiwa ksatria dan kujadikan pecutan untuk bangkit jika yang menghancurkan aku adalah saingan yang nyata. Namun, manakala yang menghancurkan adalah orang yang selama
Pisah Terindah #41 Pagi ini, setelah segala rutinitas di rumah selesai aku segera menuju kantor Mbak Tania. Tentunya setelah mengantarkan Shahna ke sekolahnya. Sejatinya ini adalah hari terakhir aku beraktivitas di kantor hukum ini. Namun, di dalam hati aku berharap tidak begitu adanya. Besok, besok, dan besoknya lagi aku berharap masih akan tetap dibutuhkan di sini. Ya, aku sangat berharap karena sebuah pekerjaan dengan penghasilan tetap sangat kubutuhkan mulai dari sekarang. Aku melangkah pelan. Sesekali pandangan kuedarkan ke arah yang berbeda. Sebelum melewati pintu depan, aku sempatkan menyapa petugas keamanan yang juga baru menempati tempatnya. Di dalam sudah ada tiga orang staff. Mereka tengah berbincang santai di sofa yang ada di pojok ruangan. Aku pun menyapa mereka lalu langsung menuju meja yang biasa kutempati. Beberapa kali kumenarik napas panjang. Aku tengah mencoba menetralkan suasana hati yang sedang hinggapi kelabu ini. Segelas air mineral hangat telah tersedia
Pisah Terindah #42"Benar, kan, kalau firasat seorang ibu itu tidak pernah salah? Cepat atau lambat semua akan terbukti juga." Ibu mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyuman sinis. Aku yang duduk dengan posisi berhadapan dengan ibu mencoba untuk tetap bersikap biasa. Meskipun aku sangat tahu, apa pun yang akan diucapkan ibu tak lain dan tak bukan ujung-ujungnya adalah penghakiman untukku. Entah itu tersirat lewat sindiran-sindiran maupun terang-terangan. Lagi pula ini bukanlah kali pertama hal semacam ini terjadi. Selama menjadi istri Mas Danar sikap seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hariku dari ibu. Mungkin bisa dibilang aku sudah kebal dengan sikap-sikap sinis ibu kepadaku. Ibu datang beberapa menit yang lalu saat aku baru saja sampai di rumah setelah menjemput Shahna. Aku tidak kaget atas kedatangan ibu karena beberapa jam sebelumnya ibu sudah menanyakan keberadaanku. Aku sudah bisa menebak kalau kedatangannya dibersamai oleh kemarahan yang sudah meluap-luap di dada
Pisah Terindah #43Sebuah amplop cokelat terletak di meja. Untuk beberapa saat pandanganku terpaku ke benda berbentuk persegi panjang itu. Aku belum punya keinginan untuk meraih apalagi membukanya karena tanpa membuka pun aku sudah bisa memastikan apa isinya. Hal itu berbanding terbalik dengan perasaanku saat ini. Aku sama sekali tidak bisa memastikan apa yang dirasakan hatiku. Apakah aku sedih, nelangsa, atau malah sebaliknya? Entahlah rasanya masih ngambang. Pikiranku terasa hampa. "Nggak mau dibuka?" tanya Windi sembari mengarahkan pandangan ke meja tempat dia meletakkan kertas cokelat berbentuk persegi panjang tersebut. Beberapa saat yang lalu ketika Windi baru saja datang ada yang mengantarkan amplop tersebut. Aku yang baru saja hanyut dalam ketermanguan melirik sebentar pada Windi, lalu melemparkan pandangan sembarangan. "Seperti mimpi," ujarku pelan. Kali ini hanya terdengar helaan napas Windi yang terdengar berat. "Kamu nggak siap?" Pertanyaan Windi lirih menyinggahi
Pisah Terindah #1 Dengan senyum semringah aku menjawab telepon dari lelaki yang teramat kucintai. Siapa lagi kalau bukan pemilik wajah rupawan yang telah berhasil memenjarakan hatiku. Dialah Mas Danar, suamiku. "Kamu ada di rumah?" Pertanyaan itu diajukan Mas Danar seketika setelah telepon darinya kuangkat. "Bukan! Aku lagi berada di istana rindu," selorohku dengan suara manja. Terdengar sedikit tawa dari Mas Danar. Aku pun menimpali dengan tawa renyah. "Aku udah mau nyampai. Aku kira kamu di rumah Windi, biar sekalian disamperin." Suara Mas Danar terdengar datar. Mungkin karena terlalu lelah, pikirku. "Langsung pulang, kan? Jangan lama-lama, ya, aku udah kangen berat," lanjutku masih dengan nada manja. "Okey, see you." Mas Danar memutus sambungan telepon sebelum aku sempat bersuara lagi. Di depan cermin, aku mematut diri. Mencermati kembali penampilanku untuk menyambut suami tercinta. Lelaki yang sudah hampir tujuh tahun hidup bersamaku. Mengarungi mahligai rumah tangga yan
Pisah Terindah #2 "Dara ...." Setelah lama hening, akhirnya Mas Danar bersuara juga. Namun, aku sudah tidak berminat untuk mendengarkan apa-apa lagi. Rasanya sudah terlalu sakit. Sakit yang sudah tak sanggup untuk kuungkapkan. Toh, sedetail dan sejujur apa pun pengakuan Mas Danar tidak akan merubah apa-apa lagi. Tidak akan memutihkan kembali kertas yang sudah penuh coretan. Ibarat kaca, kalau sudah retak tidak akan bisa utuh dan mulus lagi seperti semula, meskipun sudah direkatkan kembali. Sebagus apa pun bahan perekat yang digunakan. Mustahil!"Dara ... aku minta maaf, tolong ...." Aku bangkit tanpa menghiraukan Mas Danar. Kutinggalkan dia begitu saja. Aku berjalan menuju kamar kami. "Dara!" Mas Danar ikut berdiri dan mencoba meraih tanganku. Aku menepis kasar tangannya yang sempat menyentuh lenganku. Aku mempercepat langkah karena Mas Danar masih mengekori. Begitu memasuki kamar, langsung kututup pintu dengan cukup keras lalu menguncinya. "Dara!" Mas Danar mengetuk pintu da