Share

Part 3

Pisah Terindah

#3

"Mau ke mana?"

Aku hanya melirik sekilas lalu kembali melangkah.

"Tunggu, biar aku antar!" seru Mas Danar sembari bergegas menyusulku. Sepertinya dia sudah tahu aku mau ke mana.

"Aku bisa pergi sendiri."

"Nggak, aku antar."

"Mas tolong jangan maksa. Okey, saat ini kita memang masih terikat status. Aku masih istri kamu. Aku keluar rumah harus seizin kamu, jadi tolong jangan buat langkahku ini menjadi dosa. Aku mau pergi sendiri. Tolong beri izin."

"Kamu masih dan akan tetap jadi istri aku sampai kapan pun. Kita tidak akan berpisah! Kamu tidak memikirkan bagaimana Shahna kalau orang tuanya berpisah!"

Aku menyemburkan tawa mendengar kalimat terakhir Mas Danar.

"Shahna? Bagaimana dengan Shahna kamu bilang? Mas, setahu aku kamu punya IQ yang di atas rata-rata dan yang aku tahu juga kamu selalu punya pertimbangan yang matang sebelum melakukan apa saja."

"Lalu, kenapa sekarang kamu memikirkan Shahna? Kemarin-kemarin waktu kamu terlena di pelukan wanita lain, Shahna kamu ke manakan? Kamu baru mikirin dia sekarang? Sudah sangat basi, Mas! Basi!"

Aku menggeleng beberapa kali lalu memutar badan sambil mengehembuskan napas kasar.

"Dara ...."

Mas Danar kembali berusaha menghalangiku.

"Mas, aku nggak mau bicara apa-apa lagi dengan kamu. Nanti saja kita lanjutkan di pengadilan agama. Aku pergi dulu, taksi yang kupesan udah sampai!"

Aku bergegas keluar. Taksi online yang telah kupesan sebelumnya baru saja berhenti di depan pagar.

****

Ternyata ketegaranku tidak bertahan lama. Seiring mobil yang kutumpangi melewati gerbang perumahan, air mataku pun kembali luruh.

Shahna! Ya, Shahna gadis kecilku. Cinta sejatiku yang sesungguhnya. Dialah alasan terbesar aku kembali menangis. Bukan sakit yang mendera hatiku, juga bukan pengkhianatan Mas Danar.

Segunung rasa bersalah pada Shahna menindihku. Tak sanggup aku membayangkan bagaimana Shahna tumbuh dan mendewasa dengan keluarga yang telah hancur seperti ini. Shahna tidak akan lagi mendapat kasih sayang dan perhatian yang utuh dari papanya. Bagaimana aku akan menjelaskan pada Shahna tentang perpisahan kami. Karena sesungguhnya tidak ada perpisahan yang tak menyisakan kepedihan. Bagaimana cara aku nantinya membalut luka Shahna jika nyatanya aku pun terluka parah dan masih berdarah-darah?

Aku tak kuasa mengendalikan kesedihan yang tengah mendera. Tanpa disengaja aku terisak, mengiringi air mata yang bagai menganak sungai mengaliri pipiku.

"Ibu, maaf, ibu baik-baik saja? Apakah ibu sakit?"

Pertanyaan bernada khawatir dari supir  membuat aku menyadari di mana keberadaanku. Buru-buru aku menghapus air mata.

"Oh, nggak, nggak apa-apa," jawabku sedikit tergesa.

"Barangkali ibu lagi kurang sehat, kalau mau ke klinik atau ke rumah sakit, nggak apa-apa saya antar, Bu," ujarnya lagi dengan ramah.

"Nggak, Mas, aku nggak apa-apa. Aku nggak sakit cuma suasana hati aja yang kurang enak."

"Oh, maaf, ya, Bu kalau saya lancang."

Sekilas aku meliriknya lewat spion depan. Sepertinya pengendara angkutan online ini masih cukup muda. Tadi aku tidak terlalu memperhatikan ketika fotonya terpampang di aplikasi.

"Ya, Mas. Nggak apa-apa." Aku mencoba sedikit tersenyum.

"Barangkali ibu termasuk tipe orang yang akan merasa lebih baik setelah mengeluarkan air mata, dikeluarin aja, Bu. Nggak usah malu sama saya. Saya juga gitu, kalau lagi ruwet banget saya nangis aja. Walaupun dibilang cengeng, saya masa bodo aja," ujarnya lagi diikuti tawa kecil.

"Duh, maaf, ya, Bu. Saya lancang lagi."

Aku hanya menanggapinya dengan sedikit mengeluarkan suara tanpa membuka mulut.

"Kukira kita akan bersama. Begitu banyak yang sama. Latarmu dan latarku. Kukira takkan ada kendala. Kukira ini kan mudah. Kau aku jadi kita.

Kasih sayangmu membekas. Redam kini sudah pijar istimewa. Entah apa maksud dunia. Tentang ujung cerita. Kita tak bersama."

Bait demi bait lagu yang mengalun pelan dari audio kembali menemaniku hanyut dalam pikiran. Terasa sangat relevan. Seolah sang solois sedang menjabarkan apa yang tengah menggelayutiku.

Aku dan Mas Danar adalah dua orang yang sangat cocok. Sefrekwensi istilah anak muda kekinian. Hampir tak ada yang bertentangan dari sifat, kesukaan, cara pandang, ataupun impian-impian kami. Hampir semuanya sejalan. Kami sangat serasi. Setiap orang yang mengenal dan melihat pasti akan berpendapat begitu. Nyaris tanpa cela. Namun nyatanya sebegitu banyaknya yang sama tak membuat kami benar-benar bisa bersama.

Harusnya, harusnya memang semuanya akan mudah saja kami jalani. Kami bukanlah karakter yang saling bertentangan. Kami berhasil saling mengisi selama hampir satu dekade. Tapi lagi-lagi semua itu bukanlah jaminan. Nyatanya kami berada tengah di ujung tanduk.

Persis seperti bait lagu itu, aku pun bertanya, entah apa maksud dunia tentang ujung cerita. Aku dan Mas Damar tak selamanya bersama.

Aku kembali menghela napas berat.

"Rumahnya yang ini, ya, Bu?"

Kembali aku tersentak oleh pertanyaan itu. Spontan aku menoleh keluar. Benar, mobil yang membawaku telah berhenti di depan rumah Windi. Buru-buru aku mengusap air mata lalu merapikan kembali penampilan. Setelah mengambil napas panjang beberapa kali aku pun membuka pintu mobil.

Sebelum turun, tak lupa aku berucap terima kasih pada si supir. Saat dia menoleh, aku merasa seperti tidak asing dengan wajahnya. Namun, aku abaikan rasa itu. Otakku sudah terlalu penuh dan energiku sudah banyak terkuras. Tidak ada daya lagi untuk mengingat-ngingat hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kelangsungan hidupku.

Asisten rumah tangga Windi yang kebetulan sedang ada di halaman rumah menyambut kedatanganku dengan wajah dihiasi senyum.

"Eh, ada Mbak Dara. Makin cantik aja!" sapanya dengan tatapan berbinar. Dia memang orangnya selalu ceria dan penyapa.

"Bi Sum bisa aja. Shahna rewel nggak, Bi?"

"Mana mungkin rewel, orang ada Neng Aliya juga di sini."

"Makasih, ya, Bi, udah ikut jagain Shahna. Aku masuk dulu, ya. Windi ada kan di dalam?"

"Kalau Mbak Windi jangan ditanya lagi, sudah pasti ada."

"Aku ke dalam dulu, ya, Bi."

Aku bergegas masuk. Jika meladeni Bi Sum, takkan ada habisnya. Wanita lima puluh tahunan itu memang hobinya ngerumpi.

Setelah memasuki rumah, aku bermaksud akan langsung ke kamar Windi. Biasanya Shahna akan betah berlama-lama di kamar sahabatku itu karena dia mengoleksi banyak boneka. Namun, ternyata Windi ada di ruang tengah.

"Sendirian aja? Emangnya Mas Danar nggak jadi pulang hari ini?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Windi melainkan balik bertanya, "Shahna di mana?"

"Lagi tidur sama Aliya di kamar aku. Jangan dibangunin dulu, belum ada sejam tidurnya."

Aku mengangguk dan mengambil posisi duduk di samping Windi.

"Kok kayak ada yang beda sama kamu, Ra?"

Windi menatapku lekat-lekat. "Tapi apa, ya? Hm ... mata kamu kok merah? Habis nangis apa kelilipan?"

Aku hanya tersenyum tipis sambil memperbaiki posisi duduk.

"Win, Mbak Tania lagi di luar kota, nggak?"

"Iya, lagi ngedampingi kliennya ke Surabaya. Makanya Aliya ada di sini. Kenapa emangnya?"

"Aku butuh bantuan Mbak Tania."

"Mau ngapain emangnya? Butuh notaris buat bikin sertifikat? Atau mau balik nama? Kalian mau beli villa? Rumah mewah?" tanya Windi penuh antusias.

"Langsung sama Mas Adit aja. Dia udah resmi jadi notaris sekarang," lanjutnya lagi masih dengan semangat menyala-nyala. "Mau langsung diteleponin sekarang?"

"Aku ... aku mau ngajuin gugatan cerai," ujarku lirih.

Sesaat Windi terdiam.

"Apa? Cerai?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status