"Mas Beryl, saya tak mau diantar pulang oleh teman peserta ospek." suara Ernasari begitu merengek."Mas Beryl, saya tak mau diantar pulang oleh teman sesama peserta ospek." Suara Ernasari begitu merengek."Mau pulang sendiri? Baguslah!""Saya tak mau, Mas." Ernasari lebih merengek lagi."Oke. Biar diantar bagian keamanan.""Jangan, Mas. Jangan!" suara Ernasari jadi histeris.Beryl menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia berpikir, Ernasari sangat merepotkan. Sebenarnya apa yang sudah dialami oleh Ernasari? Selama dua hari sebanyak dua kali pingsan. Apa dia diganggu makhluk halus selama kegiatan ospek ini? Apa yang membuatnya jadi begitu takut?"Kenapa tak mau juga diantar o
Ririn terus mengikuti Beryl, melangkah menuju ruang panitia ospek. Sebelum masuk ke ruang panitia ospek, Ririn sempat melihat para peserta ospek yang tengah mengikuti berbagai goglogan dari para senior mereka. Di ujung halaman Joni tengah menunjukkan aksi kekuasaannya sebagai seorang panitia. Di hadapan Joni tengah terduduk seorang peserta ospek. Peserta ospek itu bersimpuh dengan wajah yang tertunduk. Sikap Joni bak seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak atas kerajaan yang dipimpinnya. Suara Joni keras menggelegar hingga membuat banyak peserta menjadi takut dan tersentak.Ririn hanya geleng-geleng kepala menyaksikan ulah calon suami dalam memperlakukan anak buahnya.“Mengapa kamu harus lupa? Mau menjadi seorang pembangkang?”&ldqu
Beberapa saat lamanya Winda membiarkan ruangan itu hening dan sepi. Hanya alunan musik lirih yang diputar dari tadi yang sayup-sayup terdengar. Ernasari masih tetap duduk di sudut ruangan. Cewe itu juga ada dalam sunyi.Matahari mulai menunjukkan kekuasaannya di langit. Winda terlihat telah bosan dengan aktivitas membacanya. Hawa panas siang mulai terasa.Winda meletakkan buku bacaannya. Dia mengangkat kepala, lalu tersenyum pada Ernasari yang tengah menatapnya.“Masih terasa panas seperti kemarin, ya?” kata Winda memecah kebekuan.Ernasari mengangguk.“Ventilasi dari ruangan ini memang kurang baik. Udara belum begitu bebas bisa masuk. Sehingga ruangan terasa pengap.”Di luar ruangan, pucuk-p
Di sudut gelap ruang panitia ospek, Winda masih berdiri dengan tegak dalam sikap diam. Semua peserta ospek sudah mempersiapkan diri untuk pulang. Mereka tinggal mengikuti satu kegiatan lagi, yaitu apel malam.Lampu di ruang panitia itu kini sudah menyala dengan terang. Meskipun sudah masuk waktu malam, anggota panitia ospek masih banyak yang sibuk dengan pekerjaannya. Dari pintu itu, kemudian Beryl keluar. Dari sudut ruangan terlihat mata Winda yang tak berkedip. Selanjutnya Ernasari juga keluar. Cewe itu tampak ceria tersenyum. Dari sudut ruangan, Winda samar-samar menangkap senyum itu. Winda menghela nafasnya dalam-dalam.Ternyata, Beryl dan Ernasari meninggalkan ruang panitia itu. Tak lama kemudian, Winda juga meninggalkan ruangan itu. Yang tersisa sekaran
Baju yang dikenakan Ernasari memang sangat luar biasa. Dengan baju yang dikenakannya, Ernasari melangkah dengan sangat hati-hati untuk menginjakkan kakinya. Pakaian yang dikenakannya seputih kapas. Warnanya sangat lembut dan mengkilat. Setiap gerakan yang dilakukan Ernasari meskipun sangat halus dan sangat lembut, namun tetap menguar penuh keharuman. Begitu harum aroma yang keluar dari tubuh Ernasari. Bau harum yang sangat menyejukkan dan tentunya juga sangat menggoda. Sepanjang jalan yang mereka lintasi, Beryl menikmati keajaiban atas aroma harum itu. Keharuman yang penuh kelembutan, begitu lunak, namun sangat menggoda. Betapa lembut dan halusnya kulit Ernasari dirasakan Beryl setiap kali keduanya saling bersentuhan secara tak sengaja
Suara mesin motor Beat itu begitu menderu, bikin merusak pendengaran Beryl. Beberapa kali klakson motor itu dibunyikan dengan suara panjang. Beryl menengok lewat jendela kafe yang mengalirkan udara sejuk.Beryl cepat-cepat membayar minuman yang dipesannya, untuk kemudian dia segera keluar. Di luar kafe, Ernasari tengah duduk di atas motornya sambil mempermainkan mesin motor.“Apa kita jadi pergi?” tanyanya kemudian.“Siap.”Ernasari kemudian turun dari motornya. Beryl menggantikan posisi Ernasari, kemudian mereka berdua segera beranjak.“Kamu gak pake jaket dulu?” kata Ernasari sambil memeluk pinggang Beryl.“Gak perlu.” Jawab Beryl sambil menancap gas kembali.
Mahasiswa yang diterjunkan ke berbagai desa telah tersebar. Beryl telah tiba di perbatasan desa. Seorang lelaki paruh baya menyambut kedatangan mereka di perbatasan itu.“Benar, dengan Saudara Beryl?” Tanya laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya.“Betul, Pak. Saya Beryl.” Jawab Beryl.“Nama saya, Herman. Saya, ayahnya Winda. Saya diberitahu Winda, untuk kedatangan rombongan Saudara.. Saya akan membantu tugas-tugas Saudara beserta rombongan selama di sini.”“Terima kasih, Pak, atas semua bantuannya. Tapi sebaiknya Bapak, panggil nama saya saja. Cukup panggil Beryl. Panggilan itu lebih enak di telinga saya, Pak."Ayah Winda mengangguk-angguk. Beryl mengikuti Pak Herman berjalan menuj
Matahari masih bersinar seperti hari-hari yang kemarin. Sinarnya sangat cerah. Pagi yang indah. Sinarnya yang jatuh di tanah mulai mengeringkan embun sisa semalam. Sebentar lagi ketika embun telah kering, tanah akan kembali kelihatan kering kerontang.Jamilah kembali memperhatikan Beryl yang akan berangkat mencuci ke pancuran. Selama tinggal di rumah itu setiap tiga hari sekali, pasti Beryl mencuci. Seperti biasa juga, Jamilah selalu mengintip Beryl dari celah-celah dapur.Beryl bersenda gurau dengan anak-anak kecil desa itu. Sambil bergurau, dia berusaha mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anak kecil itu. Dengan senang, Beryl melakukannya buat anak-anak itu.Bersama Beryl, anak-anak kecil itu terlihat sangat riang. Melihat anak-anak yang tamp