Share

4. Sial

"Arggh ... kampret, setan, b*bi ngepet, wewe gombel! Gue keceplosan!!"

Lani menatap suaminya yang seperti kerasukan setan itu di sana. Erick terlihat menendang-nendang sofa yang tak bersalah setelah acara ia bubarkan begitu saja bahkan sebelum dimulai.

"Astaga pajangan mahal gue. Pala si Panjul sama ini barang yang gue impor dari Itali lebih berharga barang ini." Erick memunguti serpihan guci yang berserakan di lantai. Guci itu pecah karena tubuh Panji menghantam benda tersebut saat Erick melayangkan bogemnya.

Panji pun tak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit. Namun, bukannya merasa bersalah Erick justru menangisi guci mahalnya.

"Mas ...," panggil Lani lirih, gadis itu berjalan menghampiri Erick yang bersimpuh di lantai.

"APA?" Erick menatap Lani dengan pelototan hingga membuat gadis itu mengurungkan niatnya untuk menyentuh bahu Erick. "Ini semua terjadi gara-gara lo tahu nggak, Lan. Coba kalau lo nggak turun dan menarik perhatian ... guci mahal gue nggak akan jadi korbannya!"

"Maaf." Lani menundukan kepalanya.

"Maaf, maaf, lo tuh kebanyakan minta maaf kayak mpok Indun si sitkom Bajaj Bajuri tau nggak ... apa kata maaf lo bisa mengembalikan semuanya, mengembalikan kepercayaan temen-temen yang akhirnya tahu kalau gue udah married. Ah, elah ... kalau gini gue nggak bisa modusin cewek-cewek bohay lagi di proyek!"

"Tapi Mas ... kenyataannya, 'kan memang begitu. Kita sudah meni--"

"Nggak usah nyela!" Erick menatap Lani tajam. "Suami kalau lagi ngomong itu dengerin. Lo tahu, 'kan adab istri untuk menghormati suami? Dengerin nggak waktu pak Ustadz ceramah? Apa jangan-jangan Lo molor lagi!"

"Astagfirullah ...." Lani mengelus dadanya.

"Udahlah ... gue cape mau bobo. Jadi males, 'kan mau kerja besok juga. Suruh mang Wawan sama Bi Ningsih beresin ini semua. Makanannya bagiin aja ke tetangga, itung-itung sodaqoh!" Erick bangkit kemudian berjalan menuju kamarnya di lantai atas. Melewati Lani yang diam tertegun di tempat.

"Oh, iya ... malem ini gue males liat muka lo. Tidur aja di kamar sebelah."

Lani menatap punggung Erick yang perlahan menjauh, dadanya nyeri. Perasaan itu muncul kembali. Baru setengah jam yang lalu ia dibuat kagum dengan aksi heroik Erick. Namun, setelahnya kata-kata kejam itu kembali menyakiti sudut hatinya yang paling dalam.

Dalam lirihnya Lani bergumam. "Ya Allah, sampai kapan hamba akan tahan dengan sikapnya?"

* * *

Suara adzan berkumandang, panggilan yang diperuntukan untuk umat muslim agar segera menunaikan kewajibannya. Lani bangkit dari ranjang, ia meraih jilbabnya yang tersampir di tempat tidur. Kakinya meraba-raba mencari sandal rumah.

Gadis itu berjalan menuju kamar mandi, lalu wudhu dan menunaikan salat subuh.

Selepas melakukan ibadah rutinnya Lani memutuskan untuk berjalan menuju kamar sebelah. Kamar milik Erick atau bisa dibilang kamar mereka berdua. Dia berdiri di depan pintu. Ragu, Lani memutar hendelnya yang kebetulan tak terkunci.

Ceklek!

Dia menatap Erick yang masih terlentang di atas ranjang berukuran king size itu. Penampilannya kacau. Bau rokok menyengat indra penciuman Lani yang sejenak membuatnya sesak napas.

Kamar itu tampak berkabut, entah berapa bungkus rokok yang Erick habiskan hanya dalam waktu semalam. Terlihat puntungnya berserakan di lantai.

"Uhuk ... uhuk ...." Lani terbatuk. Suara batuk itu berhasil membangunkan Erick dari tidur lelapnya.

Dengan tatapan linglung pria itu bangun. Ia menatap Lani dengan dahi berkerut setelah berhasil mendapatkan sepenuhnya kesadaran.

"Lo siapa? Gue di mana? Gue siapa?" ucapnya yang membuat Lani berdecak.

"Jangan becanda, Mas. Nggak lucu!" cetus Lani dengan mata memicing.

"Kejadian kemaren mimpi, 'kan? Temen-temen masih belum tahu kalau gue udah married, 'kan Lan?" tanyanya tanpa menghiraukan ucapan Lani yang sebelumnya.

"Mas!" Lani mulai jengah. Bagaimana mungkin setelah tidur Erick bisa bangun dengan keadaan seperti ini.

Apa ini semua terjadi hanya karena ia begitu menyesal mengakui Lani sebagai istri di hadapan teman-temannya? Begitu tak bergunakah dirinya di mata Erick?

"Arrggh ... bukan ya!" Erick mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan. "Jam berapa ini?"

"Jam lima subuh Mas. Kalau mau sholat waktunya masih ada kok!" jawab Lani dengan senyum.

Bukannya menjawab Erick hanya menatap Lani sekilas, kemudian memalingkan pandangan seolah mencari sesuatu.

"Hape gue di mana?" ujarnya mengalihkan pembicaraan.

"Itu Mas, di meja!" Lani menunjuk meja di samping ranjang.

Erick mendengus kemudian meraih ponselnya. Ia mulai sibuk dengan gadget itu, mengabaikan Lani yang masih berdiri di depannya.

"Ngapain masih berdiri di situ?" Erick mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

"Ng ... aku mau ganti baju Mas!"

"Ya udah ganti aja, tutup pintunya. Ribet amat sih lo!" Erick berdecak.

"Tapi--"

"Kenapa ... malu? Toh, cepat atau lambat gue akan liat juga. Kenapa mesti malu." Erick menatap Lani lekat. Gadis itu tampak menundukkan kepala setelahnya. Seolah tak sanggup bersitatap dengan Erick.

"Tapi--"

"Oke, oke ... gue keluar." Akhirnya Erick menyerah, ia beranjak dari ranjang, kemudian berjalan melewati Lani dan menutup pintu yang baru saja dilaluinya.

Lani tertegun. Gadis itu menggigit bibir bawahnya kuat.

Tak tahu kapan semua ini akan berakhir. Menaklukan Erick bukanlah perkara mudah. Pria itu bagai Buaya buas yang siap menerkamnya sewaktu-waktu bila Lani salah mengambil langkah.

Lani seolah bingung dengan dirinya sendiri. Sebenarnya apa yang ia harapkan dari pernikahan tanpa cinta ini? Apa yang ia bisa lakukan untuk membuat Erick berubah seperti kata ibunya. Meskipun ini masih terlalu dini. Namun Lani perhatikan tak ada yang berubah dari diri Erick selain statusnya. Julukan buaya darat itu melekat erat dalam diri pria itu.

Dia bahkan tak sungkan menggoda perempuan lain di hadapan Lani. Namun, di satu sisi Lani juga bingung kenapa pria itu begitu peduli padanya.

Pada akhirnya Lani kembali mengubur semua pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.

Tanpa membuang waktu bergegas ia menganti pakaian dengan yang lebih santai. Sebuah gamis berbahan satin dengan potongan biasa yang tak memperhatikan lekuk tubuhnya menjadi pilihan. Ia mengikat rambut panjangnya lalu mulai mengenakan jilbab instan.

Ceklek!

Lani berbalik saat mendengar seseorang membuka pintu. Ia melihat Erick di ambang sana tengah memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Lan, sebenarnya lo itu cantik. Cuma gue nggak suka aja, atau belum suka. Nggak tahu deh kalau tahun depan, atau tahun depannya lagi, atau nggak akan pernah sama sekali!"

Pandangan mereka bertemu, keheningan panjang pun menyelimuti mereka.

"Tolong jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Gue kayak gini bukan berarti suka sama lo. Cewek sering kali menyalahartikan sebuah perhatian kecil, mereka terlalu baper dan mudah tersentuh. Gue kasih tahu sama lo ... di zaman sekarang, sulit ngebedain cowok yang bener-bener tulus sama yang cuma modus. Jadi semua perhatian yang gue tunjukin sama lo itu semata-mata-- cuma karena rasa peduli dan iba ... nggak lebih!"

Lani menatap Erick nanar. Ucapan Erick bak tombak yang baru saja menghujam jantungnya. Benar apa yang baru saja dikatakan. Lani tak boleh terlalu mudah tersentuh hanya karena perhatian kecil yang Erick berikan padanya.

Ia perempuan kuat. Ibunya selalu menekankan pada Lani untuk tak mudah termakan omongan yang belum tentu kebenarannya. Pria seperti Erick sudah jelas tak akan mudah jatuh cinta. Hobinya berganti-ganti pasangan tentu bukan untuk mencari cinta sejati. Namun, hanya untuk kesenangan sesaat.

Sekarang Lani tahu, dan ia akan mulai mempersiapkan semuanya. Membentengi diri agar tak terlalu rapuh hanya karena ucapan yang menyakitkan.

Karena semakin menonjolkan kelemahan, semakin orang akan dengan mudah menginjak-injak harga diri kita.

Lani tak mau seperti itu, dia yakin bisa menghadapi Erick.

* * *

Suasana di ruang makan itu tampak hening. Yang terdengar hanya bunyi sendok garpu yang beradu dengan piring. Lani menatap Erick yang duduk di hadapannya. Setelah percakapan singkat tadi mereka tampak canggung satu sama lain.

Erick selesai lebih dulu, pria itu menatap Lani yang langsung salah tingkah karena kedapatan memperhatikannya.

"Gue berangkat kerja dulu. Nggak usah tungguin gue pulang. Kalau kemaleman tidur aja duluan. Ini uang buat kebutuhan lo sehari, nggak usah kasih ke Bi Ningsih karena dia udah gue kasih uang belanja. Terserah mau lo apain duit itu. Mau tabung atau apa kek. Kalau kurang bilang aja, nggak usah sungkan. Gue nggak pernah kekurangan duit." Erick mendorong kursi lalu bangkit dari tempatnya. Pria ia meletakkan sepuluh lembar uang seratus ribuan di atas meja makan.

Lani menatap uang di meja dan Erick bergantian. Hingga akhirnya pria itu memakai jaketnya kemudian meraih kunci mobil.

"Eh, Mas!" panggil Lani saat Erick hendak melangkah keluar rumah.

Sebelah alis Erick terangkat naik, "Apa?"

"Hati-hati di jalan!" Lani meraih tangan kanan Erick lalu menciumnya.

Erick tertegun, ada sebuah perasaan yang tak bisa terucap dengan kata-kata saat melihat gadis itu tersenyum begitu manis dan mencium punggung tangannya.

"Iyalah ... gue belum mau mati muda!" ucapnya setelah berhasil menggendalikan diri.

Pria itu berbalik, kemudian berjalan menuju mobilnya yang sudah terparkir di pelataran. Lani memperhatikan suaminya masuk ke dalam mobil yang perlahan menghilang dari pandangan.

Ia tersenyum saat menatap uang di tangan. Hatinya menghangat, meski pun kekanakan namun Lani benar-benar senang. Tak peduli bagaimana hubungan mereka saat ini, ia bersyukur karena Erick menjalankan perannya sebagai pemimpin rumah tangga yang baik.

"Pagi-pagi udah senyum-senyum aja, Neng!" Lani tersipu malu saat Bi Ningsih yang tengah membersihkan meja makan memergokinya.

"Hehe ... aku bantuin ya, Bi!" Lani mengalihkan pembicaraan dan berjalan menghampiri Ningsih kemudian mengambil alih piring kotor di tangan perempuan parubaya itu.

"Eh, sama Bibi aja Neng!"

"Nggak apa-apa, Bi. Lani udah biasa cuci piring, kok." Gadis itu berjalan ke belakang.

Dia menyimpan piring kotor itu di wastafel dan mulai mencucinya. Ningsih memperhatikan Lani seraya tersenyum. Tak pernah ia duga sebelumnya dari semua perempuan yang pernah dekat dengan Erick, pria itu bisa mendapatkan seorang istri sebaik Lani.

Apa hal seperti ini bisa dibilang adil? Mengingat sifat keduanya yang begitu bertolak belakang. Entahlah ... toh, jodoh setiap orang itu sudah ada yang mengatur. Kita tak mampu merubah maupun memilih takdir dengan siapa kita mau berjodoh.

"Bi, apa setiap hari memang selalu se-sepi ini?" tanya Lani setelah selesai mencuci piring dan membersihkan tangannya. Kemudian gadis itu duduk dihadapan bi Ningsih, menduduki kursi yang tersedia di dapur.

"Ya begitulah, Neng. Di rumah ini, 'kan cuma ada tiga orang. Sekarang nambah neng Lani. Bibi jadi seneng akhirnya ada temen ngobrol. Eh, ngomong-ngomong Neng Lani emangnya nggak ada kegiatan? Kayak kuliah gitu, atau kerja?"

Lani mengulum senyum, mengingat masa-masa pahit yang pernah ia rasakan. Seolah mengorek luka lama yang nyaris sembuh.

"Lani sempat kuliah dua semester, Bi. Tapi nggak diterusin karena keterbatasan biaya. Lani nggak mau bergantung sama ibu jadi putusin untuk berenti aja. Sebelum nikah sih, Lani sempet jadi sukarelawa ngajar anak-anak panti."

"Subhanallah ... Bibi juga punya anak seumuran kamu, tapi dia belum bisa berpikir sedewasa kamu!"

"Hehe ... kedewasaan itu nggak bisa diukur dari usia, Bi, tapi bagaimana kita mengikapi masalah. Alhamdulillah Lani bersyukur karena sejauh ini meskipun kekurangan materi, Lani tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang-orang di sekitar."

"Iya bener Neng. Itu yang paling penting."

Berjam-jam mereka bercengkerama di dapur. Lani bercerita banyak hal pada Bi Ningsih, begitu pun sebaliknya. Sesekali gelak tawa terdengar. Gadis itu seolah mempunyai sosok seorang ibu lain dari diri Bi Ningsih.

Sosok yang tak ia temui dari Rima-- mami Erick. Meskipun ibu mertuanya tak semenyeramkan seperti yang terlihat di sinetron-sinetron. Namun, perempuan paruh baya itu cukup sulit didekati. Semenjak menikahi putranya hanya beberapa kali mereka sempat bertegur sapa.

* * *

Drrtt! Drrt!

Ponsel di saku celana Erick bergetar. Pria itu merogohnya dan menemukan satu panggilan masuk dari nomber telepon Lani yang tertera di layar.

"Hallo ...."

"Assalamu'alaikum."

"Wallaikumsallam. Ada apa, Lan? Gue lagi kerja, nih," sahut Erick.

"Mas, ada yang nyariin!"

Seketika dahi lelaki itu mengernyit.

"Siapa?"

"Aku nggak tahu, dia nangis-nangis di depan rumah, Mas. Aku takut dia kenapa-kenapa."

"Cewek!"

"Iya!"

"Kasih hapenya ke dia!" pinta Erick setelahnya.

Jeda sebentar, Erick tahu di seberang sana ponsel itu telah berpindah tangan. Hingga mulai terdengar suara lain yang membuat sebelah alisnya terangkat naik.

"Hallo Erick ... hik." Erick dengar perempuan itu terisak.

"Lo siapa?"

"Gue Diana!"

"Diana? Diana yang mana?"

"Puncak ... dua bulan yang lalu." Mata Erick melebar seketika. "Gue hamil, Rick!"

Tut! Tut! Tut!

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status