"Bowo! Gue pulang dulu, ya. Tiba-tiba ada urusan mendadak ... kalau nggak balik lagi handle aja sama lo. Ntar kasih laporan aja lewat WA," ucap Erick pada mandor proyeknya di daerah Menteng, Bogor. Dia melepas helm orange itu, lalu berjalan menuju mobilnya yang terparkir.Pria itu duduk di balik kemudi, sejenak ia menggeram. "Diana ... Diana ... siapa ntu cewek? Gue inget pernah pergi liburan ke puncak sama temen-temen. Tapi perasaan nggak ngapa-ngapain. Atau gue lupa? Ah, kampret. Berabe kalau bener tuh cewek bunting!" Erick memukul stir, wajahnya tampak frustrasi. Ia masih ingat suara lirih Lani dari ujung telepon. Bagaimana tanggapan gadis itu kalau benar ia menghamili perempuan lain?Habis dia digorok kakeknya!Mobil melaju dengan kecepatan 40 km/jam. Melesat membelah kepadatan di Kota hujan ini. Beberapa kali Erick menarik napas. Namun, tak bisa mengurangi rasa geramnya.Erick sampai di pelataran rumah. Pria itu berjalan menghampiri dua orang yang berdiri di depan pintu. Entah a
"Astaga dragon!" Erick terlonjak kaget, setibanya di rumah dan melihat kakeknya tengah duduk di ruang tamu dengan bertumpang kaki.Ekspresi sama Lani tunjukan. Padahal tadi ia hanya bergurau bahwa kakek Erick akan datang. Namun, apa yang ia lihat kini, pria dengan rambut yang sudah memutih sepenuhnya itu tengah menunggu kepulangan mereka."Sejak kapan ntu kakek peyot ke sini?" Erick bergumam yang masih bisa terdengar oleh Lani.Bergegas Lani menghampiri Sultan Wardhana, kemudian mencium punggung tangannya. "Maaf buat kakek nunggu, tadi kita ada urusan sebentar." Lani merasa bersalah, gadis itu tersenyum kecil."Nggak apa-apa, Sayang. Duduk sini, Lan!" Sultan menepuk sofa di sampingnya, meminta untuk Lani duduki. "Kakek malah bersyukur kalian bisa keluar bareng. Walau bagaimana pun kamu dan anak kurang ajar itu memang harus lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Biar mata Si Erick nggak perlu jelalatan lagi."Lani hanya mampu menanggapi ucapan Sultan dengan senyuman tipis. Masih te
Cinta adalah suatu hal yang mutlak. Kita tak bisa menyangkal, maupun menghindarinya. Begitu pun dengan perasaan Lani kepada Erick. Perasaan yang awalnya tak ia sadari. Bahkan perempuan itu hanya berpikir hanya perasaan yang timbul sesaat, lalu hilang perlahan. Namun, seiring berjalannya waktu akhirnya ia mulai sadar. Perasaannya kepada Erick semakin dalam. Tak peduli seberapa banyak pria itu menyakiti perasaannya. Lani tahu cinta itu datangnya dari Tuhan. Jadi tak mungkin bila Tuhan meniupkan sebuah perasaan yang salah di hatinya. Perempuan itu yakin, cepat atau lambat suaminya akan berubah. Itu doa yang selalu ia sematkan di setiap sujudnya.Dia percaya Tuhan Maha membolak-balikan perasaan. Dia juga Maha tahu akan segala hal yang akan terjadi. Hanya kepada-Nya 'lah Lani memohon pertolongan. Hanya kepada-Nya 'lah Lani meminta agar kelak perasaan yang semakin dalam ini akan berbalas.Dalam hening ia menatap Erick yang terbaring di sampingnya. Malam tadi adalah malam panjang yang tela
"Rick, minggu depan Opick mau pulang. Katanya dia mau bawa seseorang dari Mesir!" Suara Sultan memecah keheningan di ruang makan. Erick mengalihkan pandangan dan menatap kakeknya yang duduk di kursi utama, sedangkan ia dan Lani berhadapan."Ngaku juga dia punya keluarga di Indonesia. Kirain udah ganti kewarganegaraan saking betahnya sampe 3,5 di Mesir." Pria itu tampak mengedikan bahu dan kembali fokus pada sarapannya di piring."Jangan gitu, Rick. Di Mesir, 'kan dia nuntun ilmu sambil kerja. Yang kakek denger tahun depan dia bisa jadi dosen termuda di sana!""Bodo amat. Terus kalau dia jadi Dosen Erick kudu koprol gitu, Kek? Lagian kerjaan Erick juga bisa dibilang keren. Nggak mudah loh jadi Arsitek.""Iya Kakek tahu. Maksud Kakek itu pengennya kamu jadi Dokter atau Dosen juga, biar bisa bantu orang banyak dengan kemampuan yang kamu miliki.""Emangnya Arsitek kerjaannya nggak bantu orang? Kalau nggak ada Arsitek ... noh, rumah-rumah, bangunan, jalan-jalan, taman, tempat wisata. Semu
"Mas, tadi ada Tante Melinda dateng ke rumah!" ucap Lani saat mereka tengah duduk di ruang tamu. Menonton TV."Tante Melinda?" Erick mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Kemudian menatap Lani dengan mata memicing."Kenapa Mas?" "Nggak apa-apa ... mau apa dia dateng? Nggak nitipin si Chico, 'kan, Lan?""Oh, nggak. Dia kasih rendang buatannya, Mas!""Kirain. Biasanya, 'kan dia dateng kalau cuma buat nitipin anaknya atau cari perhatian gue. Tante Melinda itu Janda kaya beranak satu. Bisnisnya jualin tas yang harganya selangit. Suaminya meninggal karena serangan jantung. Lo jangan sampai kepincut barang dagangan, ya! Soalnya strategi marketing ntu emak-emak nggak perlu diraguin lagi.""Kok Mas bisa tahu banget sih," tanya Lani dengan mata memicing."Ng, itu ... dulu gue pernah sempet ditawarin Ferrari buat hadiah ulang tahun.""Serius, Mas?""Iya, tapi gue nolaklah. Dia nggak mungkin ngasih cuma-cuma. Pasti ada udang dibalik bakwan. Emangnya gue cowok apaan!""Tapi keliatannya dia
Erick menunggu dengan tak sabar. Beberapa kali ia memeloti ponselnya yang tak bersalah, tapi masih belum ada balasan dari Lani. Pria itu menggeram, dicengkeramnya ponsel hanya untuk memastikan apakah centang dua di pesannya sudah berubah biru apa belum."Kampret! Ke mana lagi si Lani?" gumamnya kesal."Ada apa, Mas?" tanya Pak Agus pada Erick yang tampak sibuk sendiri. Sementara pesanan mereka sudah datang beberapa menit yang lalu, "Nanti Mie kocoknya keburu dingin nggak enak loh Mas!"Erick mengalihkan pandangan dari layar ponsel, ia menatap pria paruh baya itu kemudian tersenyum kecil."Duluan aja Pak, saya nunggu agak dingin sedikit. Nggak bisa makan yang panas-panas, soalnya sering panas dalem," ucap Erick kembali sibuk dengan ponselnya.To : Bini Voloz 😺Lan!Send.Lani!Send.Alani ... woy!Send.Alani Rhamadanti, lo masih hidup?!Send."Ah, kesel gue." Erick melempar ponselnya ke meja. Kemudian menyantap Mie kocok yang masih panas itu dengan lahap.Kekesalan menguasainya hingg
Sesampainya di hotel, Erick duduk di tepi ranjang. Pria itu meraih sebungkus rokok di kantong celana lalu menyalakannya dengan pematik. Asap rokok terlihat mengepul pekat mengisi ruangan. Sesekali ia melirik ponsel yang tergeletak di sampingnya. Benda itu bergetar beberapa kali. Awalnya ia abaikan karena itu mungkin saja panggilan dari perempuan-perempuan yang pernah menjadi korbannya dulu.Namun, saat melihat nama Lani tertera di sana, ia segera meraih benda persegi tersebut tanpa berpikir panjang."Jangan, Rick, jangan diangkat!" Erick menatap ponsel itu kemudian menggeleng keras, logika dan hatinya berjalan bertentangan. Sekali lagi ia tak bisa menurunkan ego yang selalu ia bumbung tinggi, hingga yang terjadi panggilan itu hanya ia biarkan begitu saja.Erick kembali menghisap rokoknya kuat-kuat, pikirannya berkelana entah kemana. Pernikahannya dan Lani baru berjalan seminggu. Namun, perempuan itu telah berhasil mengambil kendali dalam dirinya. Sepanjang hidup ia belum pernah merasa
Seketika raut wajah Erick berubah masam, ketika melihat ekspresi Lani akan kedatangannya bukan seperti yang pria itu harapkan."Ck, nggak asik lo, Lan!" Dia berjalan melewati Lani kemudian menghempaskan diri ke sofa."Mang Wawan, woy ... ambil barang di mobil!" teriaknya, tak lama pria parubaya yang kebetulan suami dari bi Ningsih itu berlari tergopoh-gopoh dari belakang."Iya, Pak.""Turunin oleh-oleh di mobil, peuyeumnya masukin kulkas. Kalo roti unyilnya bawa sini. Udah itu cuci sekalian mobilnya. Tadi di jalan hujan," ucap Erick dengan wajah datar dan ditanggapi anggukan oleh mang Wawan.Sepeninggal mang Wawan Lani berjalan ragu menghampiri Erick di sofa. Perempuan itu duduk di samping suaminya kemudian menyentuh lengan Erick yang sibuk dengan ponselnya."Diem Lan, masih sore!" Erick menepis tangan Lani."Mas kenapa sih, dari kemaren di telepon kok aneh banget?"Erick mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, ia menatap Lani dengan ekspresi jengah."Harusnya gue yang tanya. Kena