“Astagfirullahaladzim.” Anton kaget, dia buru-buru mendorong tubuh kekasihnya untuk tidak ikut masuk ke dalam kamar mandi.
“What wrong, Babe?”
“Tunggu di luar saja dan tolong buatkan aku sarapan dulu,” pinta Anton seraya menarik pintu dan menyisakan setengah tubuhnya untuk berbicara pada kekasihnya.
“I'm going to shower.”
Anton mendengus, matanya melotot tajam tanda sepagi ini dia tidak ingin bertengkar karena satu manusia menyebalkan yang mengejutkan paginya. Pria bule itu menggeleng kepalanya, lalu pergi dari hadapan Anton sementara Anton buru-buru menutup pintu kamar mandinya dan menatap kesal pada si pelaku yang semalam sudah membuatnya khawatir.
Orang yang dikhawatirkan semalam kini sudah berada di dalam kamar mandinya, berendam dengan mata terpejam seiring menikmati aroma terapi miliknya. Wajah Ayumie bukannya segar akan uap yang keluar dari aroma terapi itu, tapi kusut dan mata yang sembab.
“Kemana aja lo semalam, hah? Gue sampai telephone daddy buat bantu cariin lo.”
Anton tak mendekat, dia berdiri di depan wastafel mencuci muka nya. “Semalam gue minta tunggu yang tunggu, Ayumie. Nggak ngilang gitu aja sampai gue kesulitan cari lo. Apa lo nggak tahu segimana gilanya gue cari lo sampai semua orang di dalam club gue tanyain.”
Ayumie bungkam masih enggan membuka matanya meski telinganya mendengarkan ocehan tetangganya itu.
“Yang ada di otak gue malam itu lo diculik orang terus di jual, Yum?” Negeri ini sedang gencar-gencarnya banyak warga yang hilang dan tetangga resenya itu...
“Gue udah kembali dengan selamat. Tolong jangan berisik, gue lagi nenangin pikiran, Ton,” pinta Ayumie dengan santai tapi perkataannya itu membuat Anton semakin kesal.
“Ck! Nenangin pikiran,” Anton berdecak kesal seiring duduk di tepi bathup. “Kemana lo semalem?” tanya Anton, lagi.
“Ngadem,” jawab Ayumi tanpa repot-repot membuka mata beruntungnya Anton seorang gay melihat dada Ayumie yang terekspos tidak membuat pria itu bernafsu padanya.
“Ck! Ngadem di mana, hah? Bisa-bisanya ngadem terus pulang bawa oleh-olehnya ikan cupang sebanyak itu di tubuh lo, Ayumie!” bentak Anton.
Anton jadi geregetan, dia tidak habis pikir dengan sahabatnya yang akan bertindak bodoh. Dari jejak merah di dada sampai lehernya, Anton tahu semalam tanpa kabar Ayumie telah menghabiskan malam bersama pria.
“Lo nyerahin keperawanan sama siapa sampai sebuas itu meninggalkan kenangan seindah itu?” sindir Anton.
“Yang jelas sama pria karena gue bukan lo yang doyan adu pedang.”
“Ck! Nggak usah dibahas yang lain, Ayumie. Gue lagi bahas lo. Gue tanya sekali lagi, laki mana yang udah buat lo kayak jallang gini?”
Ayumie mendesah pelan, matanya terbuka lebar-lebar lalu menatap Anton. “Gue juga nggak tahu siapa pria itu.”
“Namanya? Barangkali kamu ingat atau tempat pria itu tinggal?” cecar Anton.
Meski ini urusan pribadi Ayumie dan perbuatan itu sudah wajar disini, tapi tidak bagi Anton. Ayumie boleh dikatakan dewasa tapi perbuatanya itu tidur dengan sembarang laki-laki jelas salah apalagi kini Ayumie sudah menikah dan berstatus istri orang, jelas perbuatanya salah besar.
“This is just one night, Ton!” Rahang Anton mengetat marah, tahu. Namun, amarahnya meredup kala mendapati wanita itu meneteskan air mata. “Bodohnya, gue sendiri berkata seperti itu ketika pria itu bertanya namaku.”
Ayumie tersenyum lebar menunjukkan kebodohannya kali ini begitu juga rasa penyesalannya. Matanya yang bengkak bukan menangisi Jo lagi, tapi sesuatu yang membuat Ayumie tidak tenang setelah berhasil keluar dari hotel dengan si pria yang masih terlelap.
“Hanya satu malam bersenang-senang tanpa kita tahu identitas kita masing-masing!”
“Sinting!” umpat Anton. “Lo sadar nggak sih kalo lo itu baru menikah dan punya suami di kampung, hah?” seru Anton mengingat status Ayumie.
Walau Galang bukan pria yang baik dan musuh bebuyutan Ayumie setidaknya Anton minta Ayumie bisa menjaga diri bukan menyerahkan kesuciannya pada pria asing yang semalam ditemuinya yang entah siapa.
“Gue udah minta cerai sama preman kampung itu.”
Ya, Anton sudah mendengar kedua kalinya Ayumie berkata demikian.
“Sekalipun lo udah minta cerai tetap aja lo masih istri sahnya.”
Hakim belum mengetok palu mereka sah bercerai.
“Galang memang bodoh. Harusnya dia mencegah lo bila perlu mengunci lo di kamar agar lo nggak berbuat nekat sampai mengejar si Jo ke negeri singa ini. Bukannya malam pertama sama istrinya eh, istrinya malah malam pertama dengan pria asing.” Anton geleng-geleng kepala, “Anak pak Suga memang patut diacungi empat jempol kalau sudah sudah gesrek.”
“Sudahlah, jangan dibahas. Gue malah semakin pusing.”
Anton memberikan handuk, Ayumie bangun dari berendamnya lalu menghampiri wastafel dan membersihkan wajahnya.
“Terus itu laki semalam perawanin lo itu pakai pengaman kagak?”
Ayumie menghentikan kedua tangannya, ia menatap Anton serius dari pantulan cermin dengan helaan nafas berat.
“Lo nggak bodoh kan, Yum? Mr stranger lo pakai pengaman, kan?” cecar Anton, tatapan Ayumie dari pantulan membuat Anton harap-harap cemas.
“Tidak!”
“Haish, sialan. Lo bener-bener gila, Ayumie. Gimana kalo lo hamil, hah?”
Setetes demi setetes air mata Ayumie kembali jatuh itulah yang Ayumie pikirkan sejak sepulang dari hotel. Mereka bercintta berulang kali sampai membuat sekujur tubuh Ayumie rasanya remuk dalam kesenangan sesaat Ayumie membiarkan pria asing itu bercintta tanpa pengaman dan membuang benihnya di dalam rahimnya.
Satu yang hal yang sejak tadi Ayumie jauhkan kata-kata itu yang kini berhasil Anton ingatkan. Ya, sejak tadi Ayumie takut benih pria asing itu tumbuh. Ayumie takut hamil.
“Itulah yang sejak tadi gue pikirin dan takutin, Ton. Gue takut hamil.”
Disisi lain si pelaku yang sedang dibicarakan itu terbangun, Batara menggeliatkan tubuhnya seiring membuka kedua matanya. Dia menarik nafasnya bersamaan satu tangannya mencari keberadaan wanita itu untuk dipeluk kembali ketika pelukannya lepas.
Batara tertawa dalam matanya yang masih terpejam, tidak perlu berandai-andai lagi wanita itu keluar dari dalam kamar mandi memakai piyama dengan handuk yang menggelung rambut panjangnya terbangun lebih dulu lalu mengucapkan ‘Good morning’ padanya dan memberikan secangkir kopi untuknya. Ck, itu sangat mustahil pikir Batara yang ada wanita itu sudah pergi dari ranjangnya.
“Dia sudah pergi,” ucap Batara seraya bangun dari tidurnya lalu memunguti pakaiannya yang berserakan dimana-mana.
Batara kembali memakai pakaiannya namun, pandanganya tertuju pada sekeliling kamar besarnya. Tidak ada satu pakaian wanita itu tersisa di lantai hanya ada sepasang heels dan topeng berwarna silver yang tertinggal di atas nakas.
Dia mengambil secuil kertas lalu membacanya. Lagi lagi yang bisa Batara lakukan hanya tertawa. Menertawakan kebodohannya.
‘Maafkan aku tampan. Aku lupa membawa uang cash, hanya selembar ini yang tersisa di dalam dompetku. I’m really so sorry.’ Isi secuil keras itu.
“Ck! Kau hanya membayar jasaku sebesar SGD $50?”
Batara kembali tertawa yang dibuat-buat, sungguh sangat memalukan sekali harga yang diberikan oleh wanita itu meski—ya malam panas itu tak bisa dia lupakan begitu saja. Bukan masalah uang yang saat ini jadi masalah Batara, tapi banyak.
“Tuan…” Panggilan itu mengalihkan perhatian Batara, dia menoleh mendapati orang kepercayaan yang baru saja masuk ke dalam kamar hotelnya.
“Maaf saya baru menemukan anda. Semalam saya masih mengurus—“
“Tidak usah dibahas lagi,” sela Batara cepat. “Apa kau melihat wanita keluar dari kamar ini, Bian?”
Bian mendelik kaget, lalu menggeleng kepalanya. “Tidak. Saya baru menemukan anda menginap di hotel ini. Wanita mana yang anda cari, Tuan?”
Batara telah rapi dengan kemeja hitamnya. “Saya tidak tahu namanya. Tolong periksa semua cctv hotel ini lalu kirimkan padaku.”
“Baik, Tuan. Ada lagi?”
Batara memasukan selembar uang tersebut jasa telah melayani semalamnya. “Beli hotel ini dan—“ Batara menatap sekitar ruangan president suit tempat pertama kalinya dia berbagi kehangatan dengan wanita bertopeng itu. “Jangan pernah sewakan kamar ini pada orang lain.”
Bian melongo, ini aneh sebelumnya tuan mudanya tidak pernah bersikap berlebihan harus membeli hotel begitu juga dengan kamar ini. Bian pandangi kamar yang berantakan dengan bercak darah yang berada di sprei putih itu, menandakan tuan mudanya telah bercintta dengan wanita di malam dimana Batara sedang berduka.
"Dan, tolong rahasiakan masalah ini jangan sampai satu orang pun tahu.”
“Baik, Tuan.”
Batara mengambil sepasang hills dan topeng yang ditinggalkan wanita itu dengan wajah yang marah.
“Secepatnya aku akan menemukanmu, Nona,” ucapnya dalam hati disela berdiri di pantulan cermin dengan kedua tangan yang membawa barang yang ditinggalkan wanita itu, Batara menatap marah.
“Awas kau Nona jika nanti aku menemukanmu, aku bersumpah membuatmu tak berdaya diatas ranjang ku. Tak akan ku ampuni perbuatanmu yang sudah meninggalkan aku seperti pria menyedihkan dengan bayaran $50 dollar,” decak Batara dalam hati.
“Satu lagi, Bian.”
Bian yang hendak keluar dari dalam kamar pun berbalik badan dan kembali menghadap Batara.
“Cari wanita itu sampai dapat, aku akan membuat perhitungan dengan wanita itu!”
“Baik, Tuan!”
“Tolong jawab dulu, Ndan.”Matanya mengikuti pergerakan Batara yang diam tak memberikan jawaban di sela rasa ingin tahunya begitu besar dan ketakutan yang sedang dilanda nya akan jejak merah di leher dan bagian dadanya.“Aku nggak akan jawab sebelum kita makan siang bersama, Ay.”Ayumie melotot menatap Batara yang berjalan kesana kemari membawa beberapa alat makan dan gelas untuk makan di depan sofa panjang. Awalnya Ayumie ingin membantu tapi Batara memintanya untuk duduk manis saja.“Aku nggak salah denger kan, ya?” Mata Ayumie masih sibuk memandangi Batara yang berjalan lalu lalang dari sofa ke dapur kecilnya itu. “Sejak kapan kucing dan tikus kini berganti dengan ‘Kita’ bukannya dia benci banget ya sama aku?&
“Tunggu sebentar ya, Pak. Saya ambilkan dulu.”Batara berikan anggukan sebagai jawaban sementara resepsionis wanita itu pergi ke belakang untuk mengambil titipan helm dari satpam yang berjaga malam. Batara menyipitkan mata ketika berbalik badan di sela menerima panggilan telepon dari Jackson.Dia melihat Cantika, wanita itu berdiri di luar pintu uatam lobby apartementnya dengan posisi membelakanginya, seolah berpuara-pura dia tidak melhatnya. Jelas pakaian dan kerudung yang dipakai dia kenal. Batara bingung sendiri, harus bagaimana menjelaskan pada wanita itu jika dia tak ingin diganggu. Penolakan semalam sudah jelas bukan, jika dia tidak menyukainya apalagi cara semalam yang tiba-tiba marah dan mengatainya baginya sudah cukup jelas. Lalu apa yang dipertahankan sampai datang memberikan makan siang.“Nanti gue telephone balik lagi, Jack,” katanya seraya mengambil helm milik Ayumie dan berlalu pergi untuk segera ke atas rumahnya setelah panggilan berakhir.Melihat Batara menjauh, Canti
Joshua dibuat geram, Batara sama sekali tak memberikan penjelasan dan pria itu begitu saja keluar dari ruangan nya menyisakan tanya besar.Astaga, kenapa Batara tak langsung menjelaskan permasalahanya. Apa istrinya itu mengadu pada saudaranya, pikir Joshua.“Haish,” Joshua mendesah frustasi, sudah dua jam duduk di kursi panasnya diminta menyelesaikan laporan yang sudah ditunggu pak Bachtiar sore ini sampai sekarang otaknya mendadak mandek dan itu semua karena Batara.“Kenapa gue harus minta maaf sama istri gue? Emangnya gue salah apa sama Ayuma?”Hanya itu yang Batara jawab, dia diharuskan meminta maaf pada Ayuma dengan kesalahan yang entah apa.“Gue harus tanya ke dia, gue n
“Lho. Ayumie mana Ra?”“Lah itu dia, Bu. Ayumie nggak ada di rumahnya, kamarnya juga kosong.”“Belanja gitu?” tanya tetangganya.Akira menggeleng tidak tahu, tapi kalo Ayumie belanja biasanya dia selalu mengirim pesan dan menitipkan amanah. Tapi kali ini tidak, sahabatnya itu pergi begitu saja meninggalkan Catering Mbak Naga yang kini mulai banyak mendapatkan orderan.“Saya nggak denger suara motornya keluar, Bu. Gerbang juga aman masih di gembok meskipun motor kesayangan nya nggak ada di parkiran,” tunjuk Akira.Berarti Ayumie memang benar-benar pergi jika motor kesayangannya itu tidak ada. Astaga kemana sepagi ini si janda itu, kenapa membuat orang resah dan panik seperti ini.
“Kamu tidur?” tanya Batara serupa bisikan lembut di telinga Ayumie.Tangannya tak henti mengusap punggung kecil yang memeluknya, isak tangisnya sudah tak terdengar lagi sejak beberapa menit lalu. Mungkin Ayumie tertidur setelah menumpahkan air matanya yang membasahi setengah punggung kemejanya.Si janda yang biasanya selalu menantang, kebal cacian dan makian, bertingkah seenaknya kini terlihat rapuh menangis di pundaknya. Caranya yang menangis persisi seperti bocah lima tahun yang sedang merajuk, dia tidak menunjukan wajahnya.“Kepalamu pasti makin sakit—ya?” tanya Batara lagi ketika mendapatkan jawaban serupa gelengan kepala. Ayumie belum tidur.Batara menarik tubuh kurus yang duduk diatas pahanya, dia menolak dan tak melepaskan pelukannya
“Mbak Ayumie berkelahi sama aa Harry.” Jawaban Fani membuat Batara semakin dibuat bingung.Ayumie berkelahi? Batara diam dengan ketidak percayaan dibalik tatapannya pada wanita memejamkan matanya. Namun, dari cahaya minim yang menerangi mereka Batara bisa melihat pipi Ayumie yang memerah dan lebam. Kedua tangannya yang mulus pun terluka dan berdarah yang dibiarkan begitu saja tanpa diobati.“Tapi dua orang yang tadi sama Aa Hary masih ada di sana, Aa,” tunjuk Fanny pada satu wanita dan juga dua pria di tempat kejadian pemukulan tadi.“Bangun, Ay?” Batara mengguncang tubuh kurus Ayumie agar wanita itu sadar.Ayumie menaikan pandanganya lalu menatap pria di depannya dengan bibir yang bergetar dan air mata yang berjatuhan. Batara merapikan rambut Ayumie dan memegangi rambut panjangnya untuk melihat si janda ini yang terlihat bersedih.“Kenapa sakit, hm?”Ayumie manggut-manggut pelan, tapi luka-luka di sekujur tubuhnya tak sebanding dengan rasa sakit hatinya yang terus dipermainkan oleh p