“Gue mau pindah ke Bali, Ra.”
“Pindah?” Akira yang tengah menyantap semangkuk topokki pun langsung menoleh, dia pandangi sahabatnya yang duduk santai namun tatapannya kosong. “Kenapa mendadak banget lo mau pindah ke Bali? Emangnya kenapa?”
Janda satu ini memang membingungkan, sejak mengantarkan putranya pasantren Ayumie berubah menjadi manusia kutub, jarang keluar rumah apalagi bersosialisasi dengan tetangganya paling banter Ayumie duduk sendiri melamun sepanjang hari di gazebo yang terdapat di lantai 3 kontrakannya.
“Istighfar, Yum. Banyak bersyukur kenapa? Hidup lo itu sebenarnya nggak ada yang kurang.” Dia sudah lama berteman dengan Ayumie, Akira tahu bagaimana kehidupannya tak seperti dirinya sendiri yang serba kekurangan. “Lo punya segalanya yang banyak orang irikan.
Ayumie mendengus disela matanya menyipit menatap Akira. Apa yang orang irikan akan kehidupanya? Apa mereka tahu saat dia kesulitan? Tidak. Orang-orang hanya melihat Ayumie dari versi senangnya saja, saat susahnya mereka pura-pura buta.
“Dari segi materi, lo oke. Hidup lo lurus-lurus bae kan selama ini. Lo nggak akan kesulitan uang, selain lo di kampung ini dikenal juragan kontrakan lo juga punya penghasilan dari menulis novel. Jadi stop ngeluh terus hidup lo hampa,” ungkap Akira dari hati yang paling dalam.
Ayumie merubah posisi duduknya berhadapan dengan Akira, ia masih punya unek-unek akan jawaban Akira yang menurutnya terlalu berlebihan.
“Begini nih kalo punya sahabat otaknya nggak pernah di upgrade,” omel Ayumie. Akira yang mendengar hanya tertawa tanpa marah. “Nyatanya tak sempurna itu hidup gue, Ra. Tapi walaupun begitu gue bersyukur karena Tuhan memberikan aku kenikmatan ini,” ungkap Ayumie.
“Terus lo galau ini apa, hah? Gue perhatiin lo sekarang banyak ngeluh sampai deritanya galau tiap harinya.”
Ayumie menarik nafasnya dalam-dalam lalu berkata, “Permintaan, kakak.”
Akira menyimpan mangkuk kosong lalu menenggak minumannya. Akira ikut menggeser duduk menghadap Ayumie dengan tatapan serius.
“Azka ingin punya ayah agar tidak dikatain anak haram terus sama teman-temannya dan dia juga ingin punya adik agar suatu hari nanti aku nggak sedih?”
Wajah Ayumie berubah sedih begitu juga Akira, keduanya sama-sama tahu kalau bocah berusia 11 tahun itu mengidap penyakit langka permintaan itu membuat Ayumie dan Akira jadi berpikir yang tidak-tidak. Takutnya, itu permintaan terakhirnya.
“Gue masih trauma menikah.” Ingatan tentang pernikahanya bersama Galang membuat bulu kuduk Ayumie meremang begitu juga rasa ketukan akan penukaran pengantin lagi. “Bisa bercerai dari si Galang aja rasanya suatu anugrah.”
Prosesnya sangat sulit butuh perjuangan keras. “Dan untuk mengulangi biduk rumah tangga.” Ayumie tersenyum getir diserta gelengan kepala pelan. “Gue belum siap.”
“Jika permintaanku tidak berdosa pada Tuhan, gue pengen di hamili tanpa harus dinikahi. Satu bibit unggul saja yang tumbuh di rahim gue, selain itu nggak ada permintaan lain,” sayangnya cukup dalam hati.
Ayumie tak berani mengungkapkan keinginannya dan termasuk ide gilanya untuk memberikan Azka adik. Sahabatnya yang satu sangat berbeda, Akira sudah seperti saudaranya sendiri. Jika ide gila ini terlaksana, Akira tak segan-segan memakinya, menceramahinya sampai mulutnya berbusa sekalipun Akira berstatus sama janda sepertinya. Sayangnya, janda sebelah ini sudah mati rasa pada pria, tapi Ayumie?
Sudah tak tahan lama-lama menjanda. 9 tahun menjanda itu tidak enak, tidak ada yang memeluknya tiap malam, tidak ada yang bisa berbagi keluh kesah. Yang terutama Ayumie sudah tidak tahan lagi kalau rahimnya kelamaan tidak dibuahi saking lamanya tidak ada yang datang mengunjunginya. Ayumie takut rahimnya expired. Tapi kendalanya itu dia, Ayumie trauma menikah.
“Lo bukan sekali dua kali–ya, Yum pengen pindah ke Bali. Lo nggak akan terus terang nih sama gue?”
Ayumie terdiam sesaat. “Gue cuman pengen cari suasana baru aja Ra,” bohongnya.
“Emangnya rumah ini kenapa, sampai lo cari suasana baru, Yum?” cecar Akira tak akan lelah mendesak sahabatnya untuk berkata jujur.
Ayumie membuka mulutnya untuk menjawab namun, Akira menahannya meminta Ayumie untuk diam sesaat. Dia mendengar suara bisik-bisik dan keributan kecil di bawah sana. Suara itu semakin kesini semakin jelas terdengar.
“Jer. Apa informasinya ini sudah jelas? Kenapa kita jadi blusukan kayak gini sih cuman cari satu orang? Meragukan,” ucap seorang lelaki tampan sembari berbisik.
“Ssst… Berisik, Ndan.” Jerry memberikan kode telunjuknya ditempelkan di bibir agar komandannya itu tidak banyak komentar. “Menurut laporan dari masyarakat setempat yah di sini lokasinya,” jawab Jerry sambil berjalan mengindap-indap.
“Tapi ini kampung orang. Bukan bagian kita,” balasnya.
“Lo denger nggak ada suara?” tanya Akira pelan.
Ayumie mengangguk, ia bangun dari duduknya begitu juga Akira. Ayumie takut ada pencuri lagi masuk ke halaman rumahnya mengambil kucing kesayangannya. Sudah cukup ia kehilangan kucing berjenis British Shorthair kesayangannya yang dicuri orang di siang bolong.
“Woy…. Lo maling, ya?” Seruan Akira membuat dua pria dibawah sana tersentak kaget, kedua pria di bawah sana kompak mencari sumber suara.
“Kalian mau mencuri si Juliend, ya?” Ayumie ikut bertanya.
“Juliend? Siapa tuh Ndan?”
“Mana saya tau,” jawab Komandannya seraya menggendikan bahu.
Pria berjaket hitam itu menengadahkan kepalanya ke atas, tangannya menghalau sinar matahari yang menghalangi kedua matanya untuk melihat ke atas. Sayangnya, sinar matahari pagi ini terlalu terik hingga kedua matanya silau untuk melihat dua wanita orang yang berada di atas sana.
“Bukan Mbak. Saya lagi cari rumah mang Yayat,” jawab Jerry asal. Dia takut diteriaki maling dan di amuk warga setempat.
“Ohh… rumahnya mang Yayat yang punya koleksi ayam jago itu bukan?”
Jerry mengangguk dia membaca sepintas laporan kasusnya kalau pelakunya memiliki koleksi ayam.
“Dari sini lurus saja Pak, rumah mang Yayat persis sisi jalan banget rumah cet warna ungu,” kata Ayumie memberikan petunjuk.
“Oke, makasih Mbak infornya. Saya pamit kesana,” ucap Jerry diiringi senyuman tak lupa dengan lambaian tangan pergi dari rumah besar tersebut.
“Mang Yayat siapa, Jer?” Komandanya bertanya sambil mengikuti jalan. Dia heran dengan anak buahnya yang sejak tadi sok akrab dengan banyak orang terutama pada wanita. Si pelaku berikan cengiran sebagai jawaban, dia hanya asal tapi kebeneran nama itu ada.
Setelah dua laki-laki itu pergi, Akira dan Ayumie kembali duduk melanjutkan obrolannya yang sempat terganggu.
“Lo nggak akan cerita yang sebenarnya sama gue? Kenapa lo keukeuh ingin pindah ke Bali, hm?”
Ayumie mencebikkan bibirnya. Ah, Akira nya sangat menyebalkan bisa-bisanya dia masih mengintrogasinya dan mendesaknya untuk berkata jujur akan alasannya kepindahannya ke Bali.
“Jujur aja sama gue, Ayumie. Ada apa, hah?”
“Gue pengen minta bibit unggul sama bule di sono…”
“Sinting, lo!”
“Tolong jawab dulu, Ndan.”Matanya mengikuti pergerakan Batara yang diam tak memberikan jawaban di sela rasa ingin tahunya begitu besar dan ketakutan yang sedang dilanda nya akan jejak merah di leher dan bagian dadanya.“Aku nggak akan jawab sebelum kita makan siang bersama, Ay.”Ayumie melotot menatap Batara yang berjalan kesana kemari membawa beberapa alat makan dan gelas untuk makan di depan sofa panjang. Awalnya Ayumie ingin membantu tapi Batara memintanya untuk duduk manis saja.“Aku nggak salah denger kan, ya?” Mata Ayumie masih sibuk memandangi Batara yang berjalan lalu lalang dari sofa ke dapur kecilnya itu. “Sejak kapan kucing dan tikus kini berganti dengan ‘Kita’ bukannya dia benci banget ya sama aku?&
“Tunggu sebentar ya, Pak. Saya ambilkan dulu.”Batara berikan anggukan sebagai jawaban sementara resepsionis wanita itu pergi ke belakang untuk mengambil titipan helm dari satpam yang berjaga malam. Batara menyipitkan mata ketika berbalik badan di sela menerima panggilan telepon dari Jackson.Dia melihat Cantika, wanita itu berdiri di luar pintu uatam lobby apartementnya dengan posisi membelakanginya, seolah berpuara-pura dia tidak melhatnya. Jelas pakaian dan kerudung yang dipakai dia kenal. Batara bingung sendiri, harus bagaimana menjelaskan pada wanita itu jika dia tak ingin diganggu. Penolakan semalam sudah jelas bukan, jika dia tidak menyukainya apalagi cara semalam yang tiba-tiba marah dan mengatainya baginya sudah cukup jelas. Lalu apa yang dipertahankan sampai datang memberikan makan siang.“Nanti gue telephone balik lagi, Jack,” katanya seraya mengambil helm milik Ayumie dan berlalu pergi untuk segera ke atas rumahnya setelah panggilan berakhir.Melihat Batara menjauh, Canti
Joshua dibuat geram, Batara sama sekali tak memberikan penjelasan dan pria itu begitu saja keluar dari ruangan nya menyisakan tanya besar.Astaga, kenapa Batara tak langsung menjelaskan permasalahanya. Apa istrinya itu mengadu pada saudaranya, pikir Joshua.“Haish,” Joshua mendesah frustasi, sudah dua jam duduk di kursi panasnya diminta menyelesaikan laporan yang sudah ditunggu pak Bachtiar sore ini sampai sekarang otaknya mendadak mandek dan itu semua karena Batara.“Kenapa gue harus minta maaf sama istri gue? Emangnya gue salah apa sama Ayuma?”Hanya itu yang Batara jawab, dia diharuskan meminta maaf pada Ayuma dengan kesalahan yang entah apa.“Gue harus tanya ke dia, gue n
“Lho. Ayumie mana Ra?”“Lah itu dia, Bu. Ayumie nggak ada di rumahnya, kamarnya juga kosong.”“Belanja gitu?” tanya tetangganya.Akira menggeleng tidak tahu, tapi kalo Ayumie belanja biasanya dia selalu mengirim pesan dan menitipkan amanah. Tapi kali ini tidak, sahabatnya itu pergi begitu saja meninggalkan Catering Mbak Naga yang kini mulai banyak mendapatkan orderan.“Saya nggak denger suara motornya keluar, Bu. Gerbang juga aman masih di gembok meskipun motor kesayangan nya nggak ada di parkiran,” tunjuk Akira.Berarti Ayumie memang benar-benar pergi jika motor kesayangannya itu tidak ada. Astaga kemana sepagi ini si janda itu, kenapa membuat orang resah dan panik seperti ini.
“Kamu tidur?” tanya Batara serupa bisikan lembut di telinga Ayumie.Tangannya tak henti mengusap punggung kecil yang memeluknya, isak tangisnya sudah tak terdengar lagi sejak beberapa menit lalu. Mungkin Ayumie tertidur setelah menumpahkan air matanya yang membasahi setengah punggung kemejanya.Si janda yang biasanya selalu menantang, kebal cacian dan makian, bertingkah seenaknya kini terlihat rapuh menangis di pundaknya. Caranya yang menangis persisi seperti bocah lima tahun yang sedang merajuk, dia tidak menunjukan wajahnya.“Kepalamu pasti makin sakit—ya?” tanya Batara lagi ketika mendapatkan jawaban serupa gelengan kepala. Ayumie belum tidur.Batara menarik tubuh kurus yang duduk diatas pahanya, dia menolak dan tak melepaskan pelukannya
“Mbak Ayumie berkelahi sama aa Harry.” Jawaban Fani membuat Batara semakin dibuat bingung.Ayumie berkelahi? Batara diam dengan ketidak percayaan dibalik tatapannya pada wanita memejamkan matanya. Namun, dari cahaya minim yang menerangi mereka Batara bisa melihat pipi Ayumie yang memerah dan lebam. Kedua tangannya yang mulus pun terluka dan berdarah yang dibiarkan begitu saja tanpa diobati.“Tapi dua orang yang tadi sama Aa Hary masih ada di sana, Aa,” tunjuk Fanny pada satu wanita dan juga dua pria di tempat kejadian pemukulan tadi.“Bangun, Ay?” Batara mengguncang tubuh kurus Ayumie agar wanita itu sadar.Ayumie menaikan pandanganya lalu menatap pria di depannya dengan bibir yang bergetar dan air mata yang berjatuhan. Batara merapikan rambut Ayumie dan memegangi rambut panjangnya untuk melihat si janda ini yang terlihat bersedih.“Kenapa sakit, hm?”Ayumie manggut-manggut pelan, tapi luka-luka di sekujur tubuhnya tak sebanding dengan rasa sakit hatinya yang terus dipermainkan oleh p