Share

Anak Haram

Author: Nielly 11
last update Last Updated: 2025-04-16 17:11:03

“Anak haram…. Anak haram….”

“Pergilah kalian.” Azka mengusir teman-temanya, dia sama sekali tidak sakit dengan hinaan itu apalagi menangis—mengadu pada ibunya karena di bully. Azka justru mengkhawatirkan nasib teman-temannya yang terus mengejeknya. Jangan sampai hinaan itu terdengar ke telinga ibunya, bisa bahaya.

“Ganteng-ganteng anjjir, nggak taunya dia anak haram.”

“Iyah, kasihan banget sih nggak punya bapak,” ejek temannya lagi.

“Mana bapaknya nggak jelas lagi siapa,” sambung bocah bergigi ompong.

“Pulanglah,” usir Azka sekali lagi, takutnya ibunya yang bar-bar mendengar ejekan itu bisa-bisa ibunya marah besar jika mulut mereka tidak diam dan pergi.

Hinaan apapun separah apapun itu tak akan membuatnya marah. Azka sudah kebal dengan semua kata-kata menyakitkan itu dan tidak pernah memusingkan orang-orang yang menghina tentangnya. Tapi jika sudah menyangkut ibunya, menghina ibunya itu jadi urusannya.

“Pantes aja nggak ada yang mau temenan sama, lo anak haram, sih.”

“Tapi si anak haram itu juga aneh. Masa kemana-mana pake masker dan jaket tebal di cuaca panas kayak gini?” sambung bocah laki-laki seusianya.

Azka mengalah, dia masuk ke halaman rumahnya agar teman-temannya pergi. Kesalnya, mereka masih disana mencari masalah tak bisa membuat dia marah kini mereka melempari genteng rumahnya dengan batu kecil dengan olokan anak haram yang semakin keras.

Apa ibunya tidak akan mendengar anaknya di ejek?

Ya, ibu tunggal itu mendengarnya sejak tadi bahkan ubun-ubunnya hendak meledak karena putranya di bully . Dengan daster usangnya dan rambut yang dicepol asal, satu tangan ibu beranak satu itu sudah siap membawa sapu lidi berjalan cepat keluar dari dalam rumah.

“Mana bocah yang sudah menghina anak saya, hah?” 

Azka mengusap dada kaget dengan kedatangan ibunya yang tiba-tiba mengejutkannya apalagi ibunya berlari mengejar kelima temannya dan berhasil membawa satu temannya. Bocah bergigi ompong itu ditarik sampai ke depan gerbang.

“Kalian ngatain apa sama anak gue, hah?”

“Bu,” Azka memegangi tangan ibunya.

“Panggil temen lo yang tadi udah menghina anak gue,” pintanya.

Hidungnya kembang kempis, wajahnya memerah marah jika mereka bisa melihat kepalanya seolah bertanduk saking marahnya karena putra semata wayangnya di bully.

“Ampun Ibunya Azka. Sa-saya nggak bilang apa-apa,” bocah itu mengatupkan kedua tangannya memohon ampun tapi ibu satu anak yang tak lain Ayumie tidak akan mengampuni begitu saja.

“Nggak usah minta ampun-ampun sekarang. Panggil temen lo tadi yang udah enak banget ngehina anak gue. Kalo nggak gue gantung di tiang listrik di depan gang rumah gue, hah?”

Tubuh bocah laki-laki itu beringsut ketakutan sementara Azka yang melihat hal itu hanya hela nafas dia membujuk ibunya untuk melepaskan temannya yang sudah kencing di celana.

“Gue aduin lo pada sama emak dan bapak lo! Kalau perlu gue panggil pak Rt sekalian! Lo pada harus diarak warga karena sudah meresahkan banyak orang,” amarah Ayumie meledak, semakin kesini anak tetangganya semakin meresahkan.

“Tapi bukan saya, Bu.”

“Halah, udah ketangkap lo masih aja ngelak!” decak Ayumi tak terima.

Mata Ayumie menyipit menatap empat bocah yang berlindung di balik tembok dengan tubuh bergetar ketakutan.

“Saya punya bukti kalau kalian pada lah pelakunya,” Ayumie menunjuk pada cctv rumahnya yang terpasang di beberapa sudut termasuk di samping rumah agar melihat siapa bocah yang sering melempar batu pada genteng rumahnya.

“Lo apain anak gue, Yum?” Ibu si bocah itu akhirnya keluar setelah salah satu dari keempat anak itu mengadu pada ibunya.

Ayumie dengan santai tersenyum tipis ketika melihat tetangga resenya mendekat. “Kebetulan Emak lo ada disini.”

“Lepasin anak gue!”

Ayumie menghempaskan cengkeramannya seketika sampai tubuh kecil itu terhuyung dan hendak saja terjatuh jika Azka tidak menopangnya.

“Lo apain anak gue sampai ketakutan gini, Ayumie.”

“Gue nggak apa-apain anak lo! Nggak ada tanda-tanda kekerasaan juga. Gue cuman ancem anak lo doang mau gue gantung di tiang listrik. Kelakuannya sudah nggak bisa ditoleransi bikin ribut terus sama gue!” Ayumie menjeda kalimatnya, dia menarik nafas sebelum melanjutkan kembali.

Ceu Edoh, ibu dari anak itu marah tak terima anaknya di ancam-ancam seperti itu apalagi sampai di gantung di tiang listrik.

“Gak kaca jendela rumah saya saja yang anak Eceu pecahkan,” Ayumie mulai melembut, tak memanggil wanita subur dan lebih tua darinya itu dengan panggilan tak sopan seperti tadi.

“Genting rumah saya bocor sering di timpuk sama batu sama anak Eceu! Terus sekarang mulutnya lemes banget menghina anak saya anak haram!”

“Anak lo emang anak haram kan, Yum?”

Tangan Ayumie terkepal erat matanya melotot sangat mengerikan. Ceu Edoh yang di depannya ikut takut. Mau mandur, tapi dia malu dan takutnya gengnya malah mentertawakannya.

“Tau dari mana Eceu kalau anak saya anak haram, hah? 12 tahun lalu Eceu menjelma jadi dedemit atau setan sampai tahu proses pembuatan anak saya lahir ke dunia tanpa ayah?” amuk Ayumie.

“Buktinya selama ini bapaknya Azka nggak pernah datang? Anak lo sendiri pun nggak tahu bapaknya yang mana?”

Ayumie semakin geram, ia menggulung lengan dasternya sampai ke atas. Habis sudah kesabarannya menghadapi tetangga resenya ini. Dua ibu-ibu itu hendak saja berkelahi saling pukul, saling jambak jika Akira tidak lekas datang melerai perkelahian mereka.

“Jadi ini alasan kamu nggak mau lanjut sekolah disini?”

“Azka obatin dulu luka ibu di tangan,” sela Azka seraya membawa kotak obat.

“Duduk kamu,” titahnya.

Azka duduk di kursi single kepalanya menunduk, keputusannya melanjutkan sekolah ke pesantren keinginan sejak lama.

“Mereka bukan alasanku tidak melanjutkan sekolah disini, Bu.”

“Bohong!” hardik Ayumie marah, ia tahu salah satunya itu. “Kenapa kamu diam aja nggak ngomong sama ibu kalo selama ini dikatain anak haram? Nggak mungkin kamu ngotot sama Ibu buat pasantren kalo di rumah saja telingamu berisik karena bully an teman-temanmu.”

Apa Azka tidak tahu, di dunia ini hanya dia yang Ayumie punya? Keseharian Ayumie akan terasa lebih sepi dengan ketidak adanya putra semata wayangnya.

“Alasan Kakak pasantren itu karena Kakak ingin Ibu—“ Azka menatap ibunya lekat sebelum mengutarakan alasanya.

Ayumie terkesiap kaget di sela mendengarkan alasan dan juga permintaan putranya. Azka mau sekolah disini dengan satu syarat yang membuat Ayumie jengkel sekaligus sedih. Sedihnya Ayumie tak akan bisa mengabulkan permintaan Azka.

“Rumah ini masih sama,” Jackson mendekati sahabatnya yang berdiri memandangi sekitar rumahnya seolah pria itu sedang mengingat masa-masa remaja pernah tingga di rumah sederhana milik orang tuanya.

Jackson berjabat tangan. “Hari ini di dalam formasi lengkap seperti belasan tahun lalu. Ya, hanya hari ini mereka kumpul di hari libur untuk mengantarkan anaknya ka Lisa lanjut sekolah ke pesantren.”

Jackson mengajak sahabatnya masuk lebih dalam lagi pada keluarganya yang berkumpul. Disana, mereka menyambut pria itu dengan senang dan sesekali orang tua dan kakak Jackson bertanya akan istrinya.

“Kompak banget keluarga lo tanya mana istri gue?”

“Wajarlah mereka bertanya. Cuman lo doang sahabat gue yang sampai sekarang masih betah menjomblo makanya mereka penasaran sama wanita mana yang nanti bisa menaklukan hati lo yang sedingin es itu.”

Pria itu mendengus pelan, Jackson terlalu berlebihan. “Gue serius. Sejak remaja lo sibuk belajar dan belajar nggak pernah lo terlibat sama wanita. Pacaran? Nggak pernah sama sekali.”

Dia memang tidak pernah pacaran tapi setidaknya sekali dalam hidupnya dia pernah terlibat dengan satu wanita. Ya, wanita bertopeng itu yang telah membuat hari-harinya resah bertahun-tahun.

“Mananya anaknya ka Lisa yang mau pasantren?” Jackson menunjuk bocah gembrot yang sedang bersama keponakan yang lain. “Dia mau di pasantren in?”

“Awalnya sih nggak mau tapi setelah kakak gue kasih air jampe keponakan gue langsung nurut.”

“Kenapa di pesantren in bukannya itu anak satu-satunya?”

Jackson mendengus. “Dia memang anak satu-satunya tapi kalo anaknya solehnya nggak ketolong lagi sampai buat kakak dan keluarga ibu gue serangan jantung ya lebih baik di pasantrenin.”

Batara terkekeh pandangannya menatap sekumpulan keponakan Jackson. 

“Makannya lo cepet nikah, gih, Bat. Biar nanti lo ngerasain punya anak sendiri yang sudah baligh kayak apa,” sambung Jackson.

Batara masih mempertahankan tawanya meski kepalanya mendadak penuh dengan anak bermata indah yang serupa dengannya yang sering datang ke mimpinya.

“Nggak tawuran, nggak berantem, nggak bikin anak orang masuk rumah sakit. Nggak bikin guru kejang-kejang akan keusilan keponakan gue. Sudah nggak naik kelas dua kali. Jadi sekarang kakak gue nyerah. Takut khilaf menyiksa anaknya sendiri saking kesalnya makanya dia masukkan ke pesantren. Moga si Dodo di sana jadi anak soleh,” ungkap Jackson yang diaminkan oleh Batara.

“Lo nggak kepikiran pengen nikah terus punya anak gitu, Bat?” Secara usia sahabatnya sekarang menginjak 39 tahun. “Temen kita yang lain udah punya anak cuman lo doang yang masih betah nggak nikah.”

“Pernah kepikiran cuman gue masih trauma sama kejadian itu dan gue juga belum menemukan wanita yang tepat yang bisa mengimbangi sifat egoisnya gue, Jack,” ungkap Batara. 

“Berapa umurnya si Dodo?”

“14 tahun. Apa anakmu ada seusianya?”

Entahlah Batara tidak tahu, itu hanya firasatnya saja dia memiliki seorang anak dari wanita bertopeng itu, benihnya 12 tahun lalu pastinya tumbuh bukan?

“Dari pada lo balik lagi apart tiduran sampai malem ikut gue antar mereka ke pesantren sembari gue bahas kerjaan disana.”

Batara setuju, dia pun ikut bersama keluarga Jackson ke sebuah kota X perjalanan jauh kurang lebih 4 jam keluarga Jackson dan yang lain tiba mereka langsung mengantarkan Dodo ke asrama sementara Jackson dan Batara duduk di gubug sembari memandangi hamparan hijaunya sawah sambil membicarakan pekerjaannya.

“Om Jack, Om Batara ayo kita ke masjid mau adzan Ashar, kita shalat berjamaah bareng,” teriak Dodo.

“Ayo Bat, nanti kita bahas lagi.” Keduanya bangun dari duduknya lalu berjalan bersama ke masjid paling besar di tengah-tengah asrama. 

Selesai berwudhu Jackson dan Batara masuk kedalam masjid namun, langkah kaki Batara dan seorang anak laki-laki masuk secara bersama alhasil tubuh kecil itu terhuyung dan hendak saja terjatuh ke lantai bila Batara tidak cepat menariknya.

“Kamu tidak apa-apa kan, Nak?”

Batara memegangnya dengan hati-hati sementara anak laki-laki bermasker hitam itu menatapnya, bola mata indah nan serupa itu dan jantung yang berdebat membuat Batara kaget.

“Tidak. Maaf aku terburu-buru. Aku duluan, Om,” kata bocah itu seraya melambaikan tangan dan berjalan cepat menghampiri temannya.

“Kenapa, Bat?” Jackson menghampiri Batara. 

“Enggak apa. Gue kok cuman nggak asing sama anak itu.” Jackson ikut menatap ke arah pandangan Batara pada anak laki-laki memakai baju koko berwarna putih. “Matanya nggak asing.”

“Oh, ya. Dimana lo pernah ketemu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Polisi Tampan itu Ayah Anakku   Ajakan!

    “Tolong jawab dulu, Ndan.”Matanya mengikuti pergerakan Batara yang diam tak memberikan jawaban di sela rasa ingin tahunya begitu besar dan ketakutan yang sedang dilanda nya akan jejak merah di leher dan bagian dadanya.“Aku nggak akan jawab sebelum kita makan siang bersama, Ay.”Ayumie melotot menatap Batara yang berjalan kesana kemari membawa beberapa alat makan dan gelas untuk makan di depan sofa panjang. Awalnya Ayumie ingin membantu tapi Batara memintanya untuk duduk manis saja.“Aku nggak salah denger kan, ya?” Mata Ayumie masih sibuk memandangi Batara yang berjalan lalu lalang dari sofa ke dapur kecilnya itu. “Sejak kapan kucing dan tikus kini berganti dengan ‘Kita’ bukannya dia benci banget ya sama aku?&

  • Polisi Tampan itu Ayah Anakku   Hak!

    “Tunggu sebentar ya, Pak. Saya ambilkan dulu.”Batara berikan anggukan sebagai jawaban sementara resepsionis wanita itu pergi ke belakang untuk mengambil titipan helm dari satpam yang berjaga malam. Batara menyipitkan mata ketika berbalik badan di sela menerima panggilan telepon dari Jackson.Dia melihat Cantika, wanita itu berdiri di luar pintu uatam lobby apartementnya dengan posisi membelakanginya, seolah berpuara-pura dia tidak melhatnya. Jelas pakaian dan kerudung yang dipakai dia kenal. Batara bingung sendiri, harus bagaimana menjelaskan pada wanita itu jika dia tak ingin diganggu. Penolakan semalam sudah jelas bukan, jika dia tidak menyukainya apalagi cara semalam yang tiba-tiba marah dan mengatainya baginya sudah cukup jelas. Lalu apa yang dipertahankan sampai datang memberikan makan siang.“Nanti gue telephone balik lagi, Jack,” katanya seraya mengambil helm milik Ayumie dan berlalu pergi untuk segera ke atas rumahnya setelah panggilan berakhir.Melihat Batara menjauh, Canti

  • Polisi Tampan itu Ayah Anakku   Selingkuhan!

    Joshua dibuat geram, Batara sama sekali tak memberikan penjelasan dan pria itu begitu saja keluar dari ruangan nya menyisakan tanya besar.Astaga, kenapa Batara tak langsung menjelaskan permasalahanya. Apa istrinya itu mengadu pada saudaranya, pikir Joshua.“Haish,” Joshua mendesah frustasi, sudah dua jam duduk di kursi panasnya diminta menyelesaikan laporan yang sudah ditunggu pak Bachtiar sore ini sampai sekarang otaknya mendadak mandek dan itu semua karena Batara.“Kenapa gue harus minta maaf sama istri gue? Emangnya gue salah apa sama Ayuma?”Hanya itu yang Batara jawab, dia diharuskan meminta maaf pada Ayuma dengan kesalahan yang entah apa.“Gue harus tanya ke dia, gue n

  • Polisi Tampan itu Ayah Anakku   Perlepasan

    “Lho. Ayumie mana Ra?”“Lah itu dia, Bu. Ayumie nggak ada di rumahnya, kamarnya juga kosong.”“Belanja gitu?” tanya tetangganya.Akira menggeleng tidak tahu, tapi kalo Ayumie belanja biasanya dia selalu mengirim pesan dan menitipkan amanah. Tapi kali ini tidak, sahabatnya itu pergi begitu saja meninggalkan Catering Mbak Naga yang kini mulai banyak mendapatkan orderan.“Saya nggak denger suara motornya keluar, Bu. Gerbang juga aman masih di gembok meskipun motor kesayangan nya nggak ada di parkiran,” tunjuk Akira.Berarti Ayumie memang benar-benar pergi jika motor kesayangannya itu tidak ada. Astaga kemana sepagi ini si janda itu, kenapa membuat orang resah dan panik seperti ini.

  • Polisi Tampan itu Ayah Anakku   Ungkapan

    “Kamu tidur?” tanya Batara serupa bisikan lembut di telinga Ayumie.Tangannya tak henti mengusap punggung kecil yang memeluknya, isak tangisnya sudah tak terdengar lagi sejak beberapa menit lalu. Mungkin Ayumie tertidur setelah menumpahkan air matanya yang membasahi setengah punggung kemejanya.Si janda yang biasanya selalu menantang, kebal cacian dan makian, bertingkah seenaknya kini terlihat rapuh menangis di pundaknya. Caranya yang menangis persisi seperti bocah lima tahun yang sedang merajuk, dia tidak menunjukan wajahnya.“Kepalamu pasti makin sakit—ya?” tanya Batara lagi ketika mendapatkan jawaban serupa gelengan kepala. Ayumie belum tidur.Batara menarik tubuh kurus yang duduk diatas pahanya, dia menolak dan tak melepaskan pelukannya

  • Polisi Tampan itu Ayah Anakku   I must go now

    “Mbak Ayumie berkelahi sama aa Harry.” Jawaban Fani membuat Batara semakin dibuat bingung.Ayumie berkelahi? Batara diam dengan ketidak percayaan dibalik tatapannya pada wanita memejamkan matanya. Namun, dari cahaya minim yang menerangi mereka Batara bisa melihat pipi Ayumie yang memerah dan lebam. Kedua tangannya yang mulus pun terluka dan berdarah yang dibiarkan begitu saja tanpa diobati.“Tapi dua orang yang tadi sama Aa Hary masih ada di sana, Aa,” tunjuk Fanny pada satu wanita dan juga dua pria di tempat kejadian pemukulan tadi.“Bangun, Ay?” Batara mengguncang tubuh kurus Ayumie agar wanita itu sadar.Ayumie menaikan pandanganya lalu menatap pria di depannya dengan bibir yang bergetar dan air mata yang berjatuhan. Batara merapikan rambut Ayumie dan memegangi rambut panjangnya untuk melihat si janda ini yang terlihat bersedih.“Kenapa sakit, hm?”Ayumie manggut-manggut pelan, tapi luka-luka di sekujur tubuhnya tak sebanding dengan rasa sakit hatinya yang terus dipermainkan oleh p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status