Yuta menatap tajam mobil hitam yang melaju meninggalkan mansion megah itu. Sudah tiga hari sejak dirinya “dibawa pulang” oleh mantan kekasihnya ke kediaman terpencil di tengah hutan. Selama itu pula ia tak henti mencoba kabur—namun selalu gagal. Pria itu... Gio, selalu ada. Selalu mengawasi.
Tapi hari ini berbeda. Untuk pertama kalinya, Gio pergi.
Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Ia harus pergi. Harus bebas.
Walau ada sisa rasa yang belum hilang, kehangatan yang muncul tiap kali mereka berinteraksi, Yuta tahu: perasaan itu harus dia bunuh. Cinta telah mati bersama keluarganya. Bersama kehancuran yang ia tinggalkan di masa lalu.
“Tak ada lagi kesempatan untuk kita kembali seperti dulu,” bisik Yuta lirih sebelum meninggalkan balkon kamar—kamar yang didesain seperti seleranya, seolah Gio mencoba menciptakan kenyamanan palsu di dalam penjara emas itu. Tapi hati Yuta sudah beku. Hidupnya hanya tersisa satu tujuan: balas dendam... lalu lenyap dalam ketenangan.
Jauh dari mansion, di dalam mobil yang melaju pelan, seorang pria mendengarkan kata-kata itu lewat alat penyadap tersembunyi.
Gio menarik napas panjang, nyaris seperti desahan lelah. Ada bahagia... dan perih. Melihat Yuta lagi setelah bertahun-tahun adalah mukjizat—tapi juga penyiksaan. Dia tahu luka yang ditanggung wanita itu, dan sadar, ia menjadi salah satu penyebabnya.
“Aku tidak akan melepaskanmu lagi. Tidak untuk kedua kalinya,” gumamnya, menyunggingkan senyum tipis.
Sorot matanya dingin, nyaris membeku, hingga membuat Dave—tangan kanannya—enggan bicara. Tak ada yang berani mengusik Giovandro sejak hari tragedi itu—kebakaran yang mengabarkan kematian Yuta. Tapi kini wanita itu hidup. Bernapas. Namun bukan untuknya.
“Dave, aku tunggu laporanmu,” perintahnya pelan. Dave hanya mengangguk. Ia tahu: Yuta adalah satu-satunya titik lemah atasannya—sekaligus sumber kekuatan gilanya. Ia pernah melihat Gio tertawa karena wanita itu. Tertawa, bercanda... menjadi manusia.
“Dia tetap luar biasa,” gumam Gio sambil menatap layar pemantau. “Selalu keras kepala, selalu gigih. Aku ingin mengurungnya... tapi dia harimau betina. Liar dan berbahaya.” Ia tersenyum tipis. “Dan tetap milikku.”
Yuta akhirnya berhasil keluar. Ia melangkah cepat ke jalan raya dan menghentikan taksi. Tanpa banyak bicara, ia menyebutkan alamat apartemennya.
“Akhirnya... pulang,” gumamnya lirih, mencoba menepis kenyataan pahit bahwa Gio mungkin masih mengawasinya.
Taksi berhenti di depan apartemennya. Tapi sebelum sempat membuka pintu, sebuah tangan mencengkeram lengannya dan menariknya menjauh. Pria itu—Wil, sahabat lamanya—membawanya menyusup ke gang sempit.
“Hey! Kenapa kamu menarikku?!”
“Kamu bodoh? Kau tidak sadar diikuti? Apartemenmu sudah diawasi sejak kamu menghilang,” bisik Wil tajam.
Yuta hanya menghela napas. “Aku tahu. Kabur dari Gio tidak akan semudah itu.”
“Kau... tidak terkejut?”
“Justru itu yang membuatku kesal,” geram Yuta. “Seharusnya aku sadar. Semuanya terlalu mudah hari ini. Penjagaan melemah, rencana berjalan mulus. Dia sengaja membiarkanku pergi. Sial...”
Prok... prok...
Tepuk tangan lirih membuat keduanya menoleh. Gio berdiri santai di ujung gang. Sorot matanya menusuk Wil.
“Kemarilah, Yuta,” ucapnya pelan, tapi tegas.
Wil berdiri melindungi Yuta. “Jangan dekati dia.”
“Siapa kau?” tanya Gio datar.
“Kau tak perlu tahu. Yang jelas, aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya lagi.”
“Kau tahu, aku bukan pria yang sabar.” Suara Gio menurun satu oktaf. “Yuta, kemarilah.”
“Kenapa kamu selalu mempermainkanku?” seru Yuta.
Gio tertawa pelan. “Sayang, aku hanya memberimu kesempatan untuk bangga. Kamu berhasil kabur, bukan?”
“Berhenti memanggilku seperti itu! Kita sudah selesai!”
“Aku tak suka kata-katamu.”
Langkah Gio mendekat. Wil segera mengangkat pistol. Logam dingin menempel ke pelipis Gio. Tapi Gio tetap tenang, bahkan tersenyum... dan menarik senjatanya sendiri, diarahkan ke dada Wil.
“Satu tembakan dan kau mati,” ujar Wil tenang.
“Mau kita coba?” balas Gio santai.
“BERHENTI!” bentak Yuta, muak dengan kedua pria itu.
Mereka menurunkan senjata. Dalam satu gerakan cepat, Gio menarik tangan Yuta dan menggiringnya ke mobil. Yuta tak melawan. Untuk apa?
Semua usahanya sia-sia.
“Aku suka saat kau seperti ini,” bisik Gio.
“Diam.”
“Baiklah,” ucapnya sambil mengecup punggung tangan Yuta, “jangan kabur lagi. Kamu tahu itu tak mungkin. Aku tak akan kehilanganmu lagi... My Yuta.”
Lembut, nyaris seperti bisikan angin, tangan Gio menyusuri rambut Yuta. Sentuhan itu menyadarkannya dari lamunan. Perlahan ia mendongakkan kepala. Tatapan mereka bertemu, dalam, penuh sejarah yang tak pernah benar-benar selesai.Setetes air mata jatuh di pipi Yuta—tak diminta, tak disadari. Hanya kenangan yang datang tanpa diundang. Gio tertegun, lalu memutar tubuh Yuta hingga keduanya saling berhadapan.“Apa yang membuatmu menangis?” tanyanya lirih, menyentuh wajah wanita itu dengan hati-hati seolah takut menyakitinya.Yuta menggeleng pelan. “Hanya... kenangan buruk yang datang tiba-tiba.”Suara Gio melembut, seperti sedang berbicara dengan bayangan masa lalu. “Honey... kamu tahu aku tidak pernah menduakanmu, bukan? Wanita itu... hanya pion. Suruhan seseorang yang ingin menjebak kita berdua.”Yuta tersenyum samar, getir. “Aku tahu, Gio. Beberapa tahun lalu, aku menemukan fakta itu. Tapi saat itu... rasanya aku malu untuk sekadar menatap matamu. Aku harusnya percaya padamu... bukan?”
Senyum seorang pria terbit saat ia selesai membaca sebuah dokumen yang baru saja diantar oleh bawahannya. Ia menyesap cerutunya, menyandarkan tubuh pada kursi, dan menatap ruang kosong yang ditempatinya—sebuah ruang kerja yang dipenuhi senjata favorit dan didominasi warna hitam di setiap sudutnya."Aku tidak menyangka wanita itu masih hidup," gumamnya, tatapannya mengarah pada sebuah potret yang terpajang di meja kerjanya. "Ternyata kamu sudah besar."Sebuah ketukan pelan mengembalikannya dari lamunan. Seseorang masuk ke dalam ruangannya. Tak sepatah kata pun keluar dari pria itu sampai bawahannya memulai pembicaraan."Kami sudah menemukan keberadaan keduanya, Tuan," ucap si pria sambil menunduk dalam-dalam. Tatapan tajam atasannya membuat bulu kuduknya meremang. Ia tahu, suasana hati tuannya sedang buruk."Biarkan mereka bersenang-senang dahulu. Aku suka mempermainkan peliharaanku. Setelah itu, pastikan kau menangkap wanita itu. Aku tak sabar bertemu dengan kelinci manisku," ucapnya,
Yuta tidak pernah merasakan pagi yang seindah ini sejak kejadian itu terjadi. Ia selalu sulit tidur dan bangun dalam keadaan sangat lelah. Tapi pagi ini, ia tidak lagi merasakan hal itu. Ia merasa seperti kembali ke masa lalu. Apakah sebesar itu pengaruh keberadaan Gio dalam hidupnya? Kedua matanya menatap pria yang sedang tidur di sampingnya. Kedua tangan besar memeluknya begitu erat. Tak ada jarak yang memisahkan keduanya. Sekarang, ia bisa menikmati pemandangan indah di hadapannya. Napas pria itu menghembus ke wajahnya.Seharusnya ia berteriak dan memarahi pria itu karena telah lancang masuk ke dalam kamarnya di vila milik Gio. Tapi biarlah, untuk kali ini ia ingin merasakan kehangatan yang telah hilang beberapa tahun ini. Rasanya semua bebannya menghilang begitu saja. Rasa rindu yang ia pendam selama ini telah terbayar. Tangannya bermain di wajah pria itu, dari alis yang sangat tebal dan berbentuk indah, berlanjut pada kelopak mata dengan bulu mata hitam yang begitu lentik, hidung
Yuta mengejar pelaku penembakan beberapa waktu lalu. Hampir saja dia mencapainya tapi orang itu berbalik dari melepaskan tembakan. Beruntungnya dia memiliki reflek yang baik. Peluru itu memang tidak melukainnya. Waktu bersamaan kap bergoyang karena gelombang air laut. Saat itu waktu seakan berlambat, tubuhnya terlempar dari kapal akibat kakinya yang tak seimbang. Apakah keinginannya terwujud dalam waktu dekat sebelum kebenaran terungkap sepenuhnya. Saat itu muncul rasa kesal karena dia belum bisa membalaskan dendamnya. Tapi seakan takdir sedang mempermainkannya. Tubuhnya terlempar kedalam gelombang air laut yang sedang berkecambuk. Hal yang paling dirinya hindari ialah air karena dia tidak bisa berenang. Apakah ajalnya akan datang dengan seperti ini. Rasannya dia ingin menyesal karena belum bisa mengucapkan perasaanya pada pria itu. Sekarang dia malah ingat seluruh kenangan indah dengan pria manis itu. Padahal seluruh orang disekitarnya mengatakan pria itu dingin dan sedikit bicara.
Sebuah tangan memeluk pinggangnya dan tangan lain menutup mulutnya yang hampir saja berteriak. Dia menyadari sosok pria yang membisikan dirinya. Pertanyaan mengisi isi kepalanya, dia bertanya-tanya bagaimana pria itu bisa mengetahui rencananya malam ini. Tubuhnya dibutar dan akhirnya sekarang keduanya saling bertatapan. Sesaat kedua mata mereka bertatapan. Tak ada satu kata yang keluar dari keduannya. Mereka saling terpesona dengan penampilan satu sama lain. Hingga pria itu mendekatkan dirinya ke telinga wanita. "Kamu sangat cantik, aku tidak lera membiarkan pria-pria itu menikmati keindahanmu." ucap pria itu yang berhasil membuat rona merah muncul di wajah wanita itu. Dia mengakui penampilan pria dihadapannya sangat menawan. Tapi dia lupa kalau pria ini memang selalu berpenampilan menawan. Rasa tak lela bila pria itu bersanding dengan wanita lain. "Tampan bukan? tanya pria itu dengan diakhiri kedipan mata pada wanita dihadapannya yang membuatnya tersadar. "Biasa saja." sambil memb
Yuta membuang nafas kasar saat melihat tingkah laku pria dihadapannya. Bagaimana tidak pria itu membuat satu rumah sakit tegang karena ancamannya. Pria itu memintanya mengikuti pemeriksaan padahal dia tidak mendapatkan luka parah selain memar pada tempat tembakan. Peluru itu menancap pada pelindung yang dirinya selalu gunakan setelah kejadian beberapa tahun lalu. "Berhenti Gio, aku tidak apa-apa." ucap Yuta yang dibalas dengan tatapan tajam pria. Walaupun dia tahu wanita di depan tidak mengalami luka parah. Tapi dia tetap khawatir. Rasa takutnya melingkupinya saat ini. "Diam dan ikuti saja setiap prosedur, atau kamu tidak boleh lagi keluar dari mansion." ancam Gio yang membuat wanita itu menatap sebal pria itu. Dia tidak memiliki keberanian untuk melawan ancaman pria. Yuta sangat tahu sikap pria itu saat sedang marah. Yuta sangat ingat saat hubungan keduanya saat menjadi sepasang kekasih. Pria itu bukan tipe yang mudah marah untuk sikapnya yang menyebalkan. Tapi sekali pria itu mar