Sebuah duri menggores jari Yuta yang sejak tadi melamun. Bahkan sahabatnya hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku Yuta yang tak seperti biasanya. Ia sempat menghilang beberapa hari tanpa kabar, lalu tiba-tiba muncul dari dalam mobil mewah.
Geisha, sahabatnya, tak mengucapkan sepatah kata pun. Wajah Yuta berbeda. Ia lebih sering melamun dan tidak menggubris ucapan pelanggan. Ia hanya sibuk merangkai bunga, tidak menyadari bahwa duri telah melukai jarinya.
“Hei, mau sampai kapan kamu melamun seperti itu?” ucap Geisha dengan wajah kesal.
“Ah, aku lupa membersihkan durinya,” jawab Yuta santai.
“Istirahatlah. Sepertinya kamu tidak konsentrasi sejak tadi. Kalau seperti ini terus, kamu bisa merugikan toko bunga ini,” protes Geisha.
“Hahaha, toko bungaku tidak akan pernah rugi.”
“Ah, akhirnya kamu ingat kalau toko ini milikmu. Jadi berhenti melamun dan ceritakan semua kegundahanmu itu.”
“Aku bertemu mantanku kembali...” ucap Yuta dengan wajah sendu.
Hal itu membuat Geisha terkejut. Ia belum pernah melihat ekspresi sahabatnya seperti ini sebelumnya. Ke mana perginya jiwa dingin seorang Yuta? Apakah kehadiran mantan itu membawa kembali drama dalam hidup sahabatnya yang selama ini sudah cukup tenang?
“Kamu baru bilang sekarang kalau kamu punya mantan. Kukira kamu jomblo karatan!” celetuk Geisha, yang langsung mendapat timpukan bunga dari Yuta. Tapi wanita itu malah cengengesan, seolah tak melakukan kesalahan apa pun.
“Kamu tahu, banyak pria yang mengantri,” ujar Yuta.
“Aku tahu. Tapi kamu seperti manusia yang hanya jatuh cinta pada bunga. Bukankah kamu punya kelainan?”
“Sialan, aku masih normal. Hanya saja... aku tidak ingin lagi menjalin hubungan,” ujar Yuta sambil duduk di kursi dekat jendela. Ia menyandarkan punggungnya, sementara Geisha mendekat dan duduk di hadapannya, memperhatikan setiap ekspresi sahabatnya itu.
“Apakah mantanmu pernah mengecewakanmu?”
“Come on, Geisha... kamu tahu alasanku memilih hidup seperti ini.”
“Apa? Balas dendam? Kamu nggak lelah dengan semua itu?” tanya Geisha, membuat Yuta memandang ke luar toko. Orang-orang berlalu-lalang di depan tokonya. Letaknya memang strategis, di tengah kota Roma.
“Kamu tidak lupa kalau Yuta Rica Shiketsu sudah meninggal beberapa tahun lalu dalam kebakaran yang membakar seluruh kediaman keluarga Shiketsu. Sejak itu, aku hanya seorang agen rahasia tanpa latar belakang. Yuta sekarang hanyalah bayang-bayang. Jadi... apa alasanku untuk tidak menyelesaikan penyesalan hidupku?” ucap Yuta, matanya memerah menahan air mata. Kesedihan dan amarah berkecamuk dalam dirinya.
“Tapi Yuta—”
“Tidak ada lagi alasan, Geisha. Aku tidak bisa kembali menjadi Yuta yang dulu. Aku juga tidak bisa bersama pria itu...” ucapnya lirih. Hanya kepada Geisha, Yuta bisa menceritakan keresahan yang ia simpan selama ini.
“Yuta, pria itu pasti akan membantumu.”
“Aku tidak butuh bantuan siapa pun, Geisha. Karena semua itu hanya akan berakhir dengan kekecewaan.”
Ia teringat pada misi pertamanya sebagai agen. Saat itu ia ditusuk oleh orang yang selama ini ia percaya. Ternyata, orang itu adalah bagian dari kehancuran dunia—orang yang sudah dianggapnya sebagai keluarga.
“Aku tidak ingin lagi terluka oleh perasaan bahagia yang cuma sesaat...” ucap Yuta sebelum pergi, meninggalkan Geisha sendirian. Wanita itu terdiam, tak menyangka betapa dalam luka yang disimpan sahabatnya.
“Yuta... waktu akan bercerita tentang takdir kita. Seberapa pun kamu menolaknya... kamu tahu hatimu tak pernah berubah. Dan kamu butuh pertolongan. Aku hanya berharap... pria itu adalah tempatmu bersandar setelah semua ini.” gumam Geisha lirih.
Yuta melangkah menjauh dari toko bunga. Ia butuh angin segar untuk menenangkan pikirannya. Rasanya ia lelah.
“Aku rindu kalian. Kenapa kalian meninggalkanku begitu saja? Harusnya... aku ikut bersama kalian... agar aku tidak sendirian...” bisiknya pelan, hingga ia menyadari sesuatu.
Ada seseorang yang mengikutinya. Ia yakin, itu bukan orang suruhan Gio. Di saat yang sama, ponselnya berdering. Nama di layar membuatnya langsung menjawab.
“Halo?”
“Yuta, mereka ada di sekitarmu. Kamu harus mencari tem—”
“Kamu kira aku wanita lemah? Aku lebih tahu cara menyelesaikan ini semua,” potong Yuta, lalu memutuskan sambungan. Ia melangkah biasa, pura-pura tak sadar sedang dibuntuti. Ia menyelinap ke kerumunan orang untuk mengaburkan keberadaannya, lalu masuk ke gang sempit di antara bangunan.
Beberapa pria berseragam gelap mengikutinya masuk ke gang. Tanpa pikir panjang, Yuta langsung membekuk mereka satu per satu. Salah satu ponsel mereka berdering. Yuta mengangkatnya.
“Kamu tidak seharusnya meremehkan orang lain,” ucapnya dingin.
Pria di ujung sana terkejut mendengar suara targetnya sendiri yang mengangkat panggilan.
“Kamu memang wanita yang menarik. Apa itu yang membuat sang ketua Black Devil tertarik padamu?” ucap pria itu.
“Apa rencanamu?”
“Hanya ingin bermain denganmu, nona Yuta Rica Shiketsu. Apa orang-orang akan terkejut jika tahu sang pewaris keluarga Shiketsu masih hidup?”
“Berhenti ikut campur. Kamu akan mendapatkan balasannya.”
“Sangat menarik... tapi tidak seharusnya kamu membanggakan dirimu—”
DOR!
Sebuah tembakan meletus. Seseorang yang baru datang langsung terkejut saat melihat kondisi Yuta yang kini terjatuh, perutnya tertembak. Rahangnya mengeras, matanya liar.
“Sial... aku lengah...” gumam Yuta, menahan darah yang mengalir dari luka tembak di perutnya.
“Yuta!” teriak pria itu.
“Hei... kamu datang telat lagi...”
“Maaf...”
“Tenang... ini cuma luka kecil. Aku tidak mudah mati,” ucap Yuta dengan senyum tipis.
Pria itu segera mengangkat tubuh Yuta dan membawanya ke dalam mobil. Ia memerintahkan bawahannya untuk menangkap semua pria yang menyerang Yuta. Ia tak akan membiarkan mereka hidup tenang.
“Aku tidak selemah dulu, Gio...” ujar Yuta sambil meringis.
“Diamlah,” ucap Gio tegas.
“Aku memakai alat pelindung, bodoh. Aku tidak mungkin menyerahkan nyawaku untuk hal seperti itu,” protes Yuta.
Gio terkejut. Wanita itu menipunya. Tapi di balik amarahnya, ada kelegaan: Yuta masih hidup. Masih bertahan.
Lembut, nyaris seperti bisikan angin, tangan Gio menyusuri rambut Yuta. Sentuhan itu menyadarkannya dari lamunan. Perlahan ia mendongakkan kepala. Tatapan mereka bertemu, dalam, penuh sejarah yang tak pernah benar-benar selesai.Setetes air mata jatuh di pipi Yuta—tak diminta, tak disadari. Hanya kenangan yang datang tanpa diundang. Gio tertegun, lalu memutar tubuh Yuta hingga keduanya saling berhadapan.“Apa yang membuatmu menangis?” tanyanya lirih, menyentuh wajah wanita itu dengan hati-hati seolah takut menyakitinya.Yuta menggeleng pelan. “Hanya... kenangan buruk yang datang tiba-tiba.”Suara Gio melembut, seperti sedang berbicara dengan bayangan masa lalu. “Honey... kamu tahu aku tidak pernah menduakanmu, bukan? Wanita itu... hanya pion. Suruhan seseorang yang ingin menjebak kita berdua.”Yuta tersenyum samar, getir. “Aku tahu, Gio. Beberapa tahun lalu, aku menemukan fakta itu. Tapi saat itu... rasanya aku malu untuk sekadar menatap matamu. Aku harusnya percaya padamu... bukan?”
Senyum seorang pria terbit saat ia selesai membaca sebuah dokumen yang baru saja diantar oleh bawahannya. Ia menyesap cerutunya, menyandarkan tubuh pada kursi, dan menatap ruang kosong yang ditempatinya—sebuah ruang kerja yang dipenuhi senjata favorit dan didominasi warna hitam di setiap sudutnya."Aku tidak menyangka wanita itu masih hidup," gumamnya, tatapannya mengarah pada sebuah potret yang terpajang di meja kerjanya. "Ternyata kamu sudah besar."Sebuah ketukan pelan mengembalikannya dari lamunan. Seseorang masuk ke dalam ruangannya. Tak sepatah kata pun keluar dari pria itu sampai bawahannya memulai pembicaraan."Kami sudah menemukan keberadaan keduanya, Tuan," ucap si pria sambil menunduk dalam-dalam. Tatapan tajam atasannya membuat bulu kuduknya meremang. Ia tahu, suasana hati tuannya sedang buruk."Biarkan mereka bersenang-senang dahulu. Aku suka mempermainkan peliharaanku. Setelah itu, pastikan kau menangkap wanita itu. Aku tak sabar bertemu dengan kelinci manisku," ucapnya,
Yuta tidak pernah merasakan pagi yang seindah ini sejak kejadian itu terjadi. Ia selalu sulit tidur dan bangun dalam keadaan sangat lelah. Tapi pagi ini, ia tidak lagi merasakan hal itu. Ia merasa seperti kembali ke masa lalu. Apakah sebesar itu pengaruh keberadaan Gio dalam hidupnya? Kedua matanya menatap pria yang sedang tidur di sampingnya. Kedua tangan besar memeluknya begitu erat. Tak ada jarak yang memisahkan keduanya. Sekarang, ia bisa menikmati pemandangan indah di hadapannya. Napas pria itu menghembus ke wajahnya.Seharusnya ia berteriak dan memarahi pria itu karena telah lancang masuk ke dalam kamarnya di vila milik Gio. Tapi biarlah, untuk kali ini ia ingin merasakan kehangatan yang telah hilang beberapa tahun ini. Rasanya semua bebannya menghilang begitu saja. Rasa rindu yang ia pendam selama ini telah terbayar. Tangannya bermain di wajah pria itu, dari alis yang sangat tebal dan berbentuk indah, berlanjut pada kelopak mata dengan bulu mata hitam yang begitu lentik, hidung
Yuta mengejar pelaku penembakan beberapa waktu lalu. Hampir saja dia mencapainya tapi orang itu berbalik dari melepaskan tembakan. Beruntungnya dia memiliki reflek yang baik. Peluru itu memang tidak melukainnya. Waktu bersamaan kap bergoyang karena gelombang air laut. Saat itu waktu seakan berlambat, tubuhnya terlempar dari kapal akibat kakinya yang tak seimbang. Apakah keinginannya terwujud dalam waktu dekat sebelum kebenaran terungkap sepenuhnya. Saat itu muncul rasa kesal karena dia belum bisa membalaskan dendamnya. Tapi seakan takdir sedang mempermainkannya. Tubuhnya terlempar kedalam gelombang air laut yang sedang berkecambuk. Hal yang paling dirinya hindari ialah air karena dia tidak bisa berenang. Apakah ajalnya akan datang dengan seperti ini. Rasannya dia ingin menyesal karena belum bisa mengucapkan perasaanya pada pria itu. Sekarang dia malah ingat seluruh kenangan indah dengan pria manis itu. Padahal seluruh orang disekitarnya mengatakan pria itu dingin dan sedikit bicara.
Sebuah tangan memeluk pinggangnya dan tangan lain menutup mulutnya yang hampir saja berteriak. Dia menyadari sosok pria yang membisikan dirinya. Pertanyaan mengisi isi kepalanya, dia bertanya-tanya bagaimana pria itu bisa mengetahui rencananya malam ini. Tubuhnya dibutar dan akhirnya sekarang keduanya saling bertatapan. Sesaat kedua mata mereka bertatapan. Tak ada satu kata yang keluar dari keduannya. Mereka saling terpesona dengan penampilan satu sama lain. Hingga pria itu mendekatkan dirinya ke telinga wanita. "Kamu sangat cantik, aku tidak lera membiarkan pria-pria itu menikmati keindahanmu." ucap pria itu yang berhasil membuat rona merah muncul di wajah wanita itu. Dia mengakui penampilan pria dihadapannya sangat menawan. Tapi dia lupa kalau pria ini memang selalu berpenampilan menawan. Rasa tak lela bila pria itu bersanding dengan wanita lain. "Tampan bukan? tanya pria itu dengan diakhiri kedipan mata pada wanita dihadapannya yang membuatnya tersadar. "Biasa saja." sambil memb
Yuta membuang nafas kasar saat melihat tingkah laku pria dihadapannya. Bagaimana tidak pria itu membuat satu rumah sakit tegang karena ancamannya. Pria itu memintanya mengikuti pemeriksaan padahal dia tidak mendapatkan luka parah selain memar pada tempat tembakan. Peluru itu menancap pada pelindung yang dirinya selalu gunakan setelah kejadian beberapa tahun lalu. "Berhenti Gio, aku tidak apa-apa." ucap Yuta yang dibalas dengan tatapan tajam pria. Walaupun dia tahu wanita di depan tidak mengalami luka parah. Tapi dia tetap khawatir. Rasa takutnya melingkupinya saat ini. "Diam dan ikuti saja setiap prosedur, atau kamu tidak boleh lagi keluar dari mansion." ancam Gio yang membuat wanita itu menatap sebal pria itu. Dia tidak memiliki keberanian untuk melawan ancaman pria. Yuta sangat tahu sikap pria itu saat sedang marah. Yuta sangat ingat saat hubungan keduanya saat menjadi sepasang kekasih. Pria itu bukan tipe yang mudah marah untuk sikapnya yang menyebalkan. Tapi sekali pria itu mar