Zaydan dan Qiara sedikit merasa kecewa karena Bu Jamilah tidak ingin menceritakan tentang anaknya. Perempuan paruh baya itu malah mengatakan dia lebih bahagia melihat kebahagiaan Zaydan dan Qiara daripada memikirkan untuk mencari anaknya.
"Kasihan banget Bu Jamilah. Mungkin dia sudah tidak menemukan jejak anaknya lagi makanya dia berputus asa." Qiara mengusap punggung Zaydan saat lelaki itu menatap kepergian Bu Jamilah.
Zaydan yang tidak jadi berangkat ke kampus memutuskan untuk menemani istrinya sepanjang hari di rumah karena memang beberapa hari terakhir lelaki itu disibukkan dengan pekerjaan di kampus.
Zaydan mengajak Qiara duduk di saung di samping rumah mereka yang mana ada banyak ikan koi yang begitu senang setiap kali Qiara dan Zaydan menyerahkan makanan. Qiara berbaring di pangkuan Zaydan yang membelai rambutnya dengan lembut.
"Sayang, Mas sangat berharap kalau nanti bayi di dalam kandunganmu ini adalah bayi kembar. Mas ingin melihat mereka bermain bersama di halaman rumah dan berkejar-kejaran. Nanti anget-anget akan sangat seru kalau melihat kamu meneriaki mereka dari dalam rumah ketika hari sudah mulai sore." Zaydan tersenyum penuh bahagia membayangkan suatu saat ketika Qiara melahirkan anak kembar dan hidup mereka benar-benar bahagia.
Qiara ikut bahagia mendengar ucapan Zaydan karena dia pun juga sangat menginginkan sepasang anak yang tentu saja nanti akan melengkapi kehidupan mereka.
"Ya ampun Mas. Perutku tiba-tiba gerak loh." Qiara meraih tangan Zaydan saat tiba-tiba dia merasakan perutnya yang bergerak.
Zaydan pun menyentuh perut istrinya dan ikut merasakan bahwa permukaan perut istrinya sedikit berdenyut menandakan ada gerakan di dalam sana.
"Sore ini juga kita akan ke dokter kandungan untuk memeriksanya." Zaydan langsung bersemangat mengajak Qiara untuk mendatangi dokter kandungan dan memeriksakan berapa usia kandungan Qiara yang sebenarnya.
Qiara pun memeluk Zaydan dengan erat karena dia benar-benar tidak menyangka bahwa dia akan bertahan sejauh itu karena awalnya dokter memprediksi bahwa mereka tidak boleh berharap terlalu banyak pada bayi itu.
Setelah melaksanakan ibadah salat magrib berjamaah, Zaydan langsung membawa Qiara ke rumah sakit di kota Jambi. Dia membawa Qiara ke klinik dokter Anisa karena Zaydan lebih nyaman jika Qiara di tangani oleh seorang dokter perempuan dan memakai hijab lebar.
"Usia kandungan Nona Qiara sudah memasuki Minggu ke-17. Bayinya sehat-sehat saja dan semuanya normal." Dokter Annisa memperlihatkan video bayi di dalam komputer kepada Qiara dan Zaydan.
"MasyaAllah. Tabarakallah. Apakah bayi kami kembar, Dokter?" Zaydan kembali mempertanyakan hal yang sama kepada dokter karena memang dia sangat berharap jika Qiara akan melahirkan bayi kembar.
"Sayang, dokter Annisa kan sudah pernah bilang kalau aku nggak mengandung bayi kembar. Kamu kok ngeyel banget sih." Qiara membingkai wajah Zaydan sambil keduanya menoleh ke arah video di mana bayi itu bergerak dengan lamban.
Hati Qiara dan Zaydan benar-benar berbahagia karena akhirnya Qiara mampu melewati masa sulit selama kehamilan hingga saat ini kandungannya berusia 4 bulan.
"Mas akan mengadakan acara syukuran untuk memberkahi kandunganmu yang sudah memasuki usia 4 bulan. Mas mau mengundang beberapa orang di panti asuhan dan juga beberapa ulama untuk mendoakan bayi di dalam kandunganmu agar nanti ketika lahir, dia tumbuh menjadi seorang anak yang sholeh dan solehah." Zaydan dengan bersemangat ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan atas kandungan Qiara.
"Gimana kalau kita ngundang teman-temanku juga? Dan juga mengundang teman-teman Mas? Sebaiknya kita diskusikan dulu sama ayah gimana kita akan mengadakan acara ini soalnya ayah pasti juga sangat antusias jika kita mengadakan acara syukuran ini." Qiara menatap Zaydan meminta pertimbangan dari suaminya itu.
"Boleh deh. Yang jelas kita harus membicarakan ini dengan ayah terlebih dahulu agar ayah bisa memberikan bimbingan kepada kita untuk melaksanakan acara ini." Zaydan segera bersiap-siap membawa mobilnya karena malam itu dia ingin langsung mengajak Qiara menemui Ayah mertuanya di kecamatan Muara Bulian.
Sesampai di kediaman rumah Pak Bustomi, Zaydan dan Qiara langsung menyampaikan maksud kedatangan mereka membuat Pak Bustomi sangat antusias untuk mendukung apa yang ingin dilakukan oleh anaknya tersebut.
"Bagaimana kalau acara tasyakurannya diadakan di rumah Ayah saja? Bukankah Zaydan ingin mengundang anak-anak panti asuhan? Air rasa sangat jauh Kalau kalian harus mengadakan acara syukuran ini di pemayung mengingat panti asuhan jaraknya dekat dengan rumah Ayah," ujar Pak Bustomi.
Qiara menoleh ke arah Zaydan karena dia sendiri tidak bisa memutuskan hal tersebut mengingat Zaydan adalah kepala rumah tangga.
"Nggak masalah sih, Yah. Lalu kapan kita akan mengadakan acara tasyakuran tersebut?" Zaydan bertanya kepada ayah mertuanya karena dia ingin menyesuaikan jadwal Ayah mertuanya yang selalu sibuk di perkebunan, dengan jadwalnya yang selalu sibuk di kampus.
"Bagaimana kalau lusa. Ayah rasa, lusa adalah waktu yang tepat untuk kalian mengadakan acara tasyakuran karena lusa teman-teman Ayah tentu bisa datang. Ayah boleh mengundang teman-teman Ayah untuk ikut mendoakan kehamilan kalian kan?" Pak Bustomi sedikit menyipit ke arah Qiara dan Zaydan.
***
Zaydan menarik Qiara ke dalam pelukannya. Menuntun istrinya itu naik ke atas ranjang dan duduk di kepala ranjang. Dibelainya kepala Qiara yang tertutup hijab persegi empat berwarna army, lalu dikecupnya kening Qiara dengan lembut.
Malam itu mereka memutuskan untuk menginap di rumah Pak Bustomi karena Ayah Qiara itu tidak mengizinkan anak dan menantunya untuk pulang dikarenakan hari yang sudah malam.
"Kamu tahu, Sayang, Mas merasa sangat bahagia setiap kali kita berkumpul bersama ayah. Rasanya Mas memiliki sebuah keluarga yang utuh. Keluarga yang Mas impi-impikan sejak masih kecil." Zaydan menopang dagunya di atas kepala Qiara.
Qiara mendongak demi melihat wajah suaminya yang dia yakini pasti tampak sendu. Perempuan bermata bening itu mengusap rahang Tegas Zaydan yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Sesekali dikecupnya rahang itu dengan penuh kasih.
"Aku juga sangat bahagia jika Mas merasa Ayah adalah seorang ayah kandung Mas, bukan sebagai seorang mertua. Itu artinya Mas menganggap ayah bagian dari keluarga ini." Qiara menatap manik mata Zaydan dengan intens.
Perempuan berwajah cantik itu merebahkan kepalanya di dada bidang Zaydan sambil sesekali memainkan kancing kemeja yang dikenakan suaminya itu.
"Sayang."
"Hmmm."
"Kamu pernah nggak membayangkan bagaimana nanti kita mengurus bayi kita berdua?"
Qiara kembali mendongak demi melihat wajah suaminya. Dia sedikit mengurai pelukan, lalu duduk di di hadapan Zaydan.
Zaydan yang melihat Qiara duduk, memutuskan untuk ikut duduk dan menggenggam erat tangan Qiara.
"Aku selalu membayangkan setiap malam kita akan berjaga untuk menenangkannya yang cengeng." Qiara menyahut Seraya menatap langit-langit kamar dengan senyum mengembang.
"Cengeng?" Zaydan menyipit. Tak terlintas sedikitpun di dalam benaknya Jika dia akan memiliki seorang bayi cengeng seperti yang dikatakan oleh Qiara.
2 tahun kemudian. "Jangan peluk Abinya Zahwa." Zahwa mendorong tangan Qiara yang melingkar di perut Zaydan saat mereka berbaring di saung samping rumah. "Abinya Zahwa kan kesayangan Umi." Qiara tetap memeluk Zaydan. "Lepasin! Abinya Zahwa!" "Sayangnya Abi dan sayangnya Mas kok berantem gitu sih? Sini-sini, peluk Abi sama-sama." Zaydan meletakkan Zahwa di atas perutnya dan membaringkan kepala Qiara di atas bahunya. Setiap hari selalu ada keributan karena memperebutkan perhatian Zaydan dari Qiara dan Zahwa. "Sayang, kita mandi yuk. Udah sore nih." Qiara membujuk Zahwa agar mandi. "Nggak mau." "Tapi ini udah sore." "Nggak mau!" "Zahwa, jangan lari-lari gitu. Umi capek." Qiara menyeka dahinya yang berkeringat karena mengejar Zahwa di halaman rumah. "Sayang, kamu aja deh yang bujuk Zahwa. Aku capek banget." Qiara akhirnya pasrah. Ia duduk di tepi kolam ikan sambil melipat tangan di dada. "Ya udah, Mas bujuk dia dulu. Kamu mandi duluan gih." "Oke." "Tunggu." "Apa lagi, Mas?"
"Ayah harus mencicipi tumis kangkung buatan Mas Zaydan. Kali ini tumis kangkungnya pakai cumi loh." Qiara meletakkan satu sendok tumis kangkung ke dalam piring ayahnya."Kalau Zaydan yang masak, tentu saja ayah tidak meragukannya lagi. Tapi kalau kamu yang masak, ayah masih agak sedikit ragu.""Iihhhh. Ayah kok gitu sih? Di sini kan Qiara yang anaknya ayah."Suasana makan malam begitu hangat karena Pak Bustomi yang sudah merindukan masakan Zaydan hari itu terbalaskan sudah kerinduannya.Zahwa selalu terkekeh setiap kali digoda oleh Pak Bustomi. Bayi mungil itu merasa teramat sangat senang karena bertemu dengan seorang lelaki yang sangat mirip dengan ibunya."Ayah sangat setuju dengan ide Zaydan memakaikan Zahwa hijab sejak bayi. Jangan sampai kesalahan ayah dan ibumu akan terulang kembali pada cucu ayah ini." Pak Bustomi membantu Zaydan memasangkan hijab untuk Zahwa karena bayi itu baru saja selesai gumoh.Ponsel Pak Bustomi berdering dengan kencang ketika mereka masih asyik berbincan
"Saya tidak pernah menimpakan kesalahan Zaydan di bahu saya. Justru Zaydan lah yang sudah mengemban dosa saya sehingga perseteruan ini bisa terjadi. Kalau saja saya tidak mendorong Qiara dengan keras. Kalau saja saya menuruti permintaan Qiara untuk menceritakan tentang jati diri saya. Kalau saja saya tidak memiliki pemikiran buruk pada Qiara, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi." Air mata meleleh membanjiri pipi Bu Jamilah.Pak Budi dan istrinya yang berada di dalam mobil tidak tahan melihat perdebatan antara Pak Bustomi dan Bu Jamilah yang tak kunjung usai. Sepasang suami istri itu pun menghampiri Pak Bustomi yang masih berdebat dengan Bu Jamilah."Budi?""Apa Anda percaya jika saya yang menceritakan kejadian sebenarnya?"Pak Bustomi menatap sepasang suami istri yang wajahnya begitu tegang. Hubungan baik sebagai sesama donatur di yayasan kasih ibu membuat Pak Bustomi mempersilakan sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.Pak Budi pun menceritakan semua yang terjadi antara Bu Jami
"Harganya 150 juta?" Zaydan terbelalak ketika cincin itu sudah diletakkannya di toko berlian terbesar di kota Jambi."Benar sekali, Pak. Berlian ini penuh dengan permata dan hanya gagangnya saja yang kecil. Sehingga harganya memang relatif tinggi.""Sebentar. Saya tanya istri saya dulu." Zaydan segera menghubungi Qiara dan mengabarkan bahwa harga berlian itu dibeli dengan nilai 150 juta."Alhamdulillah. Berarti tidak terlalu banyak mengalami penyusutan. Mas minta pihak toko berlian mentransfer ke rekening Mas saja supaya lebih aman.""Oke, Sayang."Zaydan merasa lega karena satu permasalahan telah selesai di rumah tangganya. Kemarin setelah berdebat dengan Qiara, Zaydan akhirnya memenuhi keinginan istrinya itu untuk menjual cincin berlian tersebut dan segera mengambil program S2.Pak Rektor kampus IAI Nusantara merasa bersyukur karena akhirnya Zaydan memutuskan mengambil program S2. Pihak kampus memang teramat sangat menyayangi Zaydan karena kedisiplinannya di kampus dan beberapa pres
"Bukan begitu, Sayang." Zaydan menarik Qiara ke dalam pelukannya dan mencium pipi istrinya itu Dengan mesra."Aku tahu, Mas, tapi aku tetap sependapat dengan kamu. Aku tidak ingin jika nanti calon menantuku memiliki nasib yang sama dengan suamiku. Aku tidak ingin Zahwa seperti ibunya yang sangat membangkang soal memakai hijab karena tidak dibiasakan dari kecil." Qiara mengecup telapak tangan Zahwa dengan lembut."Dia cantik sekali. Kulitnya putih bersih dan wajahnya ....""Fotocopy Mas Zaydan. Sepertinya aku hanya tempat penampungan benih saja.""Bukankah lebih baik seperti itu, Nak? Hari-hari kamu akan ditemani oleh dua Zaydan yang generasi dan versinya berbeda."Qiara hanya terkekeh mendengar ucapan Bu Jamilah. Dia sendiri sebenarnya merasa bangga melihat kemiripan Zaydan dan Zahwa. Dari raut wajah Zahwa yang menandakan bahwa Qiara memiliki cinta yang begitu teramat sangat besar kepada Zaydan. Sehingga sedikitpun tak ada celah wajahnya di tubuh bayi mungil itu.***"Ibu mau ke mana?
Pak Bustomi mengusap kasar wajahnya. Menyesal karena sudah mendatangi rumah anak menantunya yang akan berdampak pada kekecewaan di hatinya sendiri."Terserah bagaimana kemauanmu. Ayah tidak akan pernah peduli lagi apapun yang terjadi padamu." Pak Bustomi pergi meninggalkan kediaman Qiara dan Zaydan."Sayang, Mas tahu Mas bukanlah suami yang baik untukmu. Mas mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang baik seperti ayahmu. Tapi Mas berjanji tidak akan pernah membiarkan kalian tidak makan seperti yang ditakutkan oleh Ayah." Zaydan merangkul bahu Qiara dan mengecup kening istrinya itu dengan mesra.***"Kamu keberatan nggak kalau ibu pulang ke rumah kita?" Zaydan menggulung lengan baju sambil menatap Qiara yang tengah menyusui Zahwa."Mas kok nanya sama aku sih? Mas kepala keluarga yang wajib mengambil keputusan di rumah ini.""Tapi kamu adalah istri Mas. Keputusannya Mas ambil harus sesuai dengan persetujuan darimu.""Masalahnya, apa ibu juga setuju untuk tinggal di sini?"Zaydan mengh