“Tuan Leander, silakan Anda untuk makan di meja kami.” Tuan Romero mengundang pria yang masih menjadi sorot utama di pesta itu.
“Dengan senang hati.” Leander berjalan beriringan dengan Tuan Romero. Ketika dia sampai di meja yang khusus diduduki oleh keluarga inti. Tanpa ragu dia langsung duduk di sebelah Avenna – tempat yang seharusnya di duduki olah Tuan Romero. “Eh, Tuan ….” Romero sedikit merasa bimbang saat sorot mata Leander terlihat tajam ke arahnya. Ingin menegur tapi dia juga punya kepentingan sendiri dengan Leander, sehingga dia tidak bisa menyinggung pria ini sekarang. Avenna sendiri kaget ketika melihat sosok pria itu tiba-tiba duduk di sebelahnya. Dia sampai menegakkan tubuhnya. Kikuk. Seharusnya dia diapit oleh Randy dan Kakeknya, tapi sekarang, dia malah diapit oleh dua orang pria, dan wangi kayu Cendana bertarung dengan wangi Licorice di hidungnya. Randy sendiri menegangkan rahangnya. Entah kenapa sikap pria ini begitu mengusiknya. Jelas sekali dia mengincar istrinya dan bagi Randy, apa yang masih menjadi miliknya, tak boleh diusik oleh orang lain. “Randy!” Suara Tuan Romero seolah mengisyaratkan bahwa Randy tak boleh melakukan sesuatu yang gegabah. Karenanya pria itu hanya diam dan meminum alkoholnya hingga tandas. Dasar pengecut! Avenna menggumam dalam hati. Dia bahkan tak bertindak saat ada yang ingin mendekati istrinya. Setidaknya dia harusnya bertindak seperti suami jika di depan orang-orang. Nasibmu, Avenna, punya suami pengecut, pikirnya sambil memutar mata menatap Randy yang seolah tak risih tapi terlihat jelas di wajahnya ketidak nyamanan itu. “Tuan Romero, sebelum acara dimulai, aku hanya menyiapkan hadiah ini untuk Anda.” Leander menggerakkan tangannya yang seketika dimengerti oleh Josen, Asistennya. Pria yang selalu ada di dekat tuannya itu menyerahkan kotak kecil bertuliskan Rolex di atasnya. Saat melihat ke dalamnya Tuan Romero berbinar, itu adalah jam Rolex klasik yang harga jualnya sangat tinggi dan sangat langka. “Tuan Lean ….” Romero tampak ingin mengatakan kesungkanannya. “Selain itu, Ini ….” Leander mengambil sebuah map yang ada di tangan Josen dari tadi. “Aku sudah menandatanganinya. Selamat bergabung di L.S. Consortium.” Mata tua Romero hampir saja terbelalak keluar saat mendengar itu. Satu potong surat perjanjian di dalam map itu, bahkan lebih berharga dari jam tangan Rolex mana pun baginya. Jika dia tidak bernapas dengan baik, mungkin di detik itu Romero akan mendapatkan serangan jantung ringan. “Tu–tuan, Anda serius?” Tuan Romero tampak gemetar mengambil map itu. Dan untuk sekian kalinya matanya membesar melihat sepucuk kertas itu. “Terima kasih Tuan!” Leander hanya mengangguk pelan penuh wibawa. Memperbaiki jasnya yang membuat semerbak wangi Cendana menjadi lebih dominan. “Ayo kita bersulang untuk Tuan Leander.” Romero menaikkan gelasnya. Seketika saja, acara keluarga Hazelton itu malah menjadi acara Leander. Semua orang bersulang. Suara ramai membicarakan kehebatan Leander di sekitar mereka. Hanya Avenna dan Randy yang merasa keadaan ini aneh adanya. “Randy, setelah ini, belajarlah dengan Tuan Leander. Kau harus bisa seperti Tuan Leader.” Randy menarik napasnya. Dengan wajah sungkan, dia melirik pria yang hanya berwajah datar. Bagi Randy jelas menunjukkan keangkuhannya. Tapi dia tidak bisa mengatakan apa-apa selain, “baik Kakek.” Avenna hanya bisa menggigit bibirnya. Entah kenapa dia merasakan sedikit meriang berada di antara kedua pria ini. Saat dia melirik ke arah Leander, aura dingin menjalar seolah ingin membekukannya. Sedangkan, saat dia melirik ke arah Randy, aura panasnya membuatnya kegerahan. Kenapa malah dia yang harus merasakan semua ini? “Kakek!” Avenna cepat-cepat berdiri. Dia sudah tidak tahan dengan apitan dua pria ini. “Ya? Ada apa Avenna?” Tuan Romero tidak bisa lagi melepas senyuman dari wajahnya. “Aku ingin ke toilet dulu. Permisi.” Tanpa menunggu jawaban, Avenna melengos pergi dari sana. Tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sana melihatnya berjalan cepat bak dikejar sesuatu. Masalahnya, udara di sana membuatnya tidak bisa bernapas. Randy semakin gusar Ketika mendapati Leander yang memandang segala gerakan yang dibuat oleh istrinya itu hingga sosoknya menghilang. Sial! Pria ini! Terang-terangan sekali mengincar Avenna, pikir Randy dengan tangan mengepal. Avenna mencuci mukanya. Tak peduli riasan tipis di wajahnya akan luntur. Ah! Kapan acara ini akan berakhir? Dia memasang wajah merengeknya di depan kaca. Entah siapa yang ingin dia rayu, tapi setidaknya itu membuat dirinya sedikit lebih lega. Ia sangat ingin untuk tidak kembali ke sana. Tapi, tidak mungkin. Apa yang akan dikatakan oleh para penjilat itu tentangnya pada kakeknya nanti. Hah! Kuatkan dirimu Avenna, sebentar lagi! Bertahanlah! 4 bulan lagi! Kau akan keluar dari keluarga penuh orang-orang gila itu dan hidup enak di Melbourne. Dengan tekat kuat akhirnya Avenna membuka pintu toilet itu. Baru saja dia ingin bebelok tiba-tiba langkahnya berhenti karena dia hampir saja menabrak pria berbadan jangkung di depannya. Dan ... Dia lagi! Leander berdiri di depannya. kenapa pria ini ada di mana-mana sekarang? pikir Avenna. “Eh, Anda … maafkan, saya tidak hati-hati. Permisi.” Avenna menunduk, cepat-cepat mengubah arah jalannya, ingin cepat meninggalkan pria itu. Jangan sampai berinteraksi dengannya. Pergi Avenna! Jangan tambah masalah. Tapi apa yang dikatakan pria itu selanjutnya membuat kakinya benar-benar terpatri di lantai. “Bukankah kau sudah bersusah payah mencariku lewat kelompokmu?” Degh! Jantung Avenna serasa melocos, ingin keluar dari sangkar iganya. Dia bahkan langsung melirik pria yang tampak santai memandangnya. Sorot matanya tajam tak bisa terhalang. “Ma–maksud Anda?” Avenna hampir tergagap. “Sudahkah mereka mengirimkan email tentangku padamu? Kau butuh fotoku? Sekarang, aku sudah di depanmu. Kau tidak ingin melihatku lebih lama?” Pria itu semakin mendekat. Ia tahu dia ingin lari, tapi entah kenapa seluruh tubuhnya kaku, tak sedikit pun bisa bergerak. “Maaf, Anda bicara apa?” sebisa mungkin Avenna menutupi suaranya yang gemetar. Sial bagaimana dia tahu! Bukankah mereka kelompok rahasia? Tak sembarang orang tahu. Keheningan merambat seperti es yang membuat udara menjadi dingin, karenanya Avenna merasa menggigil. Pria itu bergeming tapi sorot matanya menguliti. Lalu dia menegakkan badannya tapi sorotnya masih tertuju pada Avenna. “Tuan! Anda tidak boleh ….” Avenna berontak ketika pria itu mengambil tangannya dengan kasar. “Aku sudah bersuami!” Avenna berteriak cukup keras. “Srtt … kau pasti tidak ingin ada orang lain yang melihat kita dengan keadaan seperti ini bukan?” Avenna baru sadar. Dia sudah terpojok di dinding dan pria itu benar-benar hampir berhimpit dengan tubuhnya. “Tuan Romero, Kakek angkatmu itu, paling benci perselingkuhan, bukan? Jadi … aku sarankan, kau datang ke aula sekarang … jangan lewatkan pertunjukannya.” Pria itu menyeringai, wajah tampannya berubah dingin dan kejam. Dia membuka paksa tangan Avenna lalu menjejalkan sesuatu. Saat Avenna melihat ke dalamnya. Matanya membesar sempurna dan dia memadang pria itu dengan tatapan tidak percaya. “Kau …!” Suara Avenna hampir tercekat. Bagaimana bisa? Di tangannya ada ATM yang dia berikan pada pria bayarannya. “Avenna, pertunjukannya.” Senyuman pria itu penuh dengan misteri. Membuat Avenna membesarkan matanya. Jangan-jangan! “Apa yang kau lakukan?!” Avenna menggertak marah. Tentu saja, pria ini membohonginya selama ini, selain itu, apa yang sudah dia rencanakan? Avenna langsung mendorong tubuh pria yang tampak sangat puas dengan reaksi Avenna. Melihat wanita itu yang berlari panik ke arah aula. “Kau akan menyukainya, Vena,” gumam pria itu pelan sebelum melangkah pergi dari sana. Avenna langsung membuka pintu ruang aula dengan cepat. Dan, saat itu dia melihat di layar besar ruangan aula itu terpampang jelas adegan ….“Tuan Leander, silakan Anda untuk makan di meja kami.” Tuan Romero mengundang pria yang masih menjadi sorot utama di pesta itu. “Dengan senang hati.” Leander berjalan beriringan dengan Tuan Romero. Ketika dia sampai di meja yang khusus diduduki oleh keluarga inti. Tanpa ragu dia langsung duduk di sebelah Avenna – tempat yang seharusnya di duduki olah Tuan Romero. “Eh, Tuan ….” Romero sedikit merasa bimbang saat sorot mata Leander terlihat tajam ke arahnya. Ingin menegur tapi dia juga punya kepentingan sendiri dengan Leander, sehingga dia tidak bisa menyinggung pria ini sekarang. Avenna sendiri kaget ketika melihat sosok pria itu tiba-tiba duduk di sebelahnya. Dia sampai menegakkan tubuhnya. Kikuk. Seharusnya dia diapit oleh Randy dan Kakeknya, tapi sekarang, dia malah diapit oleh dua orang pria, dan wangi kayu Cendana bertarung dengan wangi Licorice di hidungnya. Randy sendiri menegangkan rahangnya. Entah kenapa sikap pria ini begitu mengusiknya. Jelas sekali dia mengincar
Avenna turun dengan gaun Merahnya yang elegan. Matanya menyipit melihat dua manusia yang tampak saling berbicara di ruang tengah. Sekilas terlihat Randy seperti sedang menenangkan Wandy yang sepertinya tak ingin di tinggal oleh kekasihnya itu. Rengekan manja terbaca dari wajahnya. “Hmm? Sudah siap?” Suara Avenna memecah pembicaraan mereka. Randy dan Wendy selaras menatap ke arahnya. Ada keterkejutan di sorot mata Randy tapi wajah Wendy menjadi muram. “Kenapa?” Tanya Avenna risih dengan tatapan mereka berdua. “Wendy ingin ikut? Bawa saja dia.” Wajah Wendy langsung sedikit sumringah. Memandang Randy yang terkejut dengan pernyataan Avenna. Apakah wanita ini sama sekali tidak punya rasa bersaing dengan Wendy? “Kakak ….” Suara Wendy merayu. “Tidak bisa. Jika Kakek tahu aku bersamamu sebelum bercerai ….” Randy tampak sulit memilih. “Nanti juga Kakek akan tahu. Kelahiran bayi kalian tak mungkin bisa diundur 4 bulan, ‘kan? Jadi … ya, dia akan tahu.” Avenna mengatakannya sa
“Kau pikir, dia mengenalmu?” Ada nada mencemooh dipertanyaan yang baru dilontarkan oleh Randy. “Kau hanya menghalangi jalannya.” Avenna mendengkus pelan. Malas meladeninya. Tapi matanya masih menjurus ke arah pria yang sekarang sudah masuk ke dalam mobil sedan hitam yang segera melaju. Tidak mungkin! Gumam Avenna. Walau nada suara, bahkan wanginya sama. Tapi, pria bayarannya, seorang mahasiswa, auranya pun hangat, sorot matanya sama-sama tajam tapi penuh kelembutan. Tidak seperti pria itu. Dingin, mengerikan. Bukan! Pasti bukan dia! Lagipula, Pria dengan gaya seperti dia tadi. Tidak mungkin menurunkan marwahnya hanya demi menjadi seorang pria bayaran untuk dirinya. Avenna menggeleng kuat. Menyakinkan diri, pria itu tak mungkin pria yang sudah menghangatkan rajangnya selama setahun ini. Tettt!!! Suara klakson membuat Avenna terlonjak kaget. Dia mengepalkan kedua tangannya, geram. “Masuk!” Suara Randy lantang. “Iya, iya! Aku masuk!” Ia langsung menyipitkan matanya melihat
“Selamat datang, Suamiku!” Suara Avenna terdengar tercekat, seolah terperangkap antara ironi dan kepura-puraan. Senyumnya, jika bisa disebut senyum, tampak begitu kaku dan asing di wajahnya yang biasanya ekspresif. Seperti hasil latihan di depan cermin berulang kali yang gagal terasa alami. “Atau… senang bertemu denganmu, Suamiku?” gumamnya lagi, kali ini dengan nada penuh keraguan. Ia berbicara kepada udara, tetapi headset di telinganya menyambungkan kata-kata itu kepada Lula, sahabatnya yang sudah mengenalnya lebih dari separuh hidup. “Aku yakin wajahmu sekarang seperti orang yang menahan BAB,” tawa Lula meledak dari seberang, menyentak udara panas di pelataran bandara. Avenna mendengkus, malas. Wajahnya yang tadi berbinar penuh pura-pura kini kembali pada ekspresi aslinya—kesal, letih, dan ingin pulang. “Mana yang lebih baik?” tanyanya, gusar. “Yang terdengar ramah tapi tidak terlalu berlebihan.” “Hah, mana aku tahu? Dia suamimu. Lagi pula, kenapa kau juga yang harus
"Apa kita bisa melakukannya sekali lagi? Aku tidak mau rugi. Aku sudah membayarmu mahal, bukan?” Avenna mengucapkannya dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan yang mengalir pelan dari bibir yang masih basah, sensual. Jemarinya mengukir perlahan di sepanjang garis otot pria yang menjadi sandaran tubuhnya, keras, kokoh, dan terasa hangat di bawah kulitnya. Pria itu hanya melirik, dan senyum kecil muncul di ujung bibirnya. Bukan senyum ramah, tapi senyum yang tahu betul bagaimana caranya menyalakan kembali bara di tubuh wanita yang tengah bersandar padanya. “Baiklah,” ucapnya, tenang. “Kita lakukan.” Dengan satu gerakan luwes, pria itu membalikkan tubuhnya, kini hampir menindih Avenna. Napasnya hangat, matanya pekat seperti malam yang tak mengenal cahaya. Ia menunduk, bersiap membenamkan ciumannya ke leher jenjang wanita itu. Tapi Avenna menahan dadanya, mendorong sedikit, memaksa mata mereka bertemu. Avenna selalu suka sorot mata hitam yang sekelam malam itu. “Sudah ha