Jonathan Setiadi tidak pernah bahagia dalam pernikahan bisnis yang diatur oleh keluarganya. Pria dingin itu justru makin kesepian. Saat butuh telinga yang mau mendengarkannya, Jonathan ternyata menemukan kenyamanan dari Evita, primadona lokalisasi. Dari curhat, Jo jatuh cinta dan ingin memiliki Evita. Walau harus membayar, ia terus ingin bertemu dengannya. Tapi, apakah semudah itu? Maukah Evita menerimanya?
Lihat lebih banyakEvi merapikan pakaiannya terburu-buru.
Mengabaikan pria yang masih terbaring di ranjang empuk itu. "Tunai atau transfer?" tembaknya langsung. "Kau to the point sekali." "Aku gak ada waktu basa-basi. Biasanya, aku minta bayaran di muka. Karena kau teman baik Mami Riska, jadi aku memberimu servis lebih dulu. Bagaimana, mau cash?' tanya Evi lagi. Lelaki berwajah oriental di hadapan Evi tersenyum lebar. Ia meraih ponsel di meja lalu mengetikkan sesuatu di sana. Beberapa detik kemudian ia mengangkat wajah menatap Evi. "Ke rekening siapa? Riska atau punyamu?' "Punyaku." Evi menyebutkan serangkai nomor yang segera diketik oleh pria itu dengan cepat. Layar ponsel dihadapkan pada Evi . "Ini. Sudah masuk." Evi menatap layar ponsel di depannya dan mengangguk. "Baik. Terima kasih." "Aku akan kembali lagi," kata pria itu tiba-tiba. "Jangan terlalu berharap. Aku gak berencana kerja seperti ini terus.' Lelaki di ranjang itu duduk. Tampak dadanya terbuka dan six pack perutnya terlihat jelas. Selimut putih tebal menutup bagian bawah tubuh atletisnya. "Namaku Jo." "Apa kita perlu berkenalan?" Evi mengambil tasnya di atas nakas. Jo mengamati setiap gerakannya. "Jonathan Setiadi. Itu nama lengkapku." "Good name. Aku pamit." Evi tersenyum sesuai standar yang diajarkan Mami Riska pada semua wanitanya. "Tunggu!" Jo berteriak. Evi yang sudah memegang handel pintu hotel menoleh lagi. Jo membungkus tubuh dengan selimut lalu menghampiri Evi. "Kau tahu Menara Ghaisan?" tanya Jo. "Ya." "Kantorku di lantai tiga puluh. Datang saja ke sana kalau kamu butuh pekerjaan." Evi menatap wajah Jo agak lama kemudian ia mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih. Aku Permisi." Evi keluar dan menutup pintu. Bunyi klik keras terdengar. Gadis bertubuh tinggi ramping itu bersandar ke pintu. Ia terpejam sesaat, menahan air mata yang terasa mendesak ingin turun. Napasnya ia atur agar tenang lagi. Jangan menangis di tempat umum. Jo adalah tamu terakhirnya malam ini. Jam tangan di pergelangan kirinya menunjukkan pukul sebelas malam. Mami Riska tahu alasannya kenapa Evi meminta jam kerjanya dibatasi sampai tengah malam saja dan Evi selalu berterima kasih atas pengertian wanita itu pada keadaannya. Evi juga tahu kenapa Mami Riska menuruti permintaannya. Diantara wanita-wanita yang bekerja untuk Mami, Evi adalah primadona. Ia yang paling dicari oleh tamu. Tarifnya juga paling tinggi. Tiba-tiba pintu tempat Evi bersandar terbuka. Gadis itu terhuyung mundur dan jatuh. Untunglah orang yang keluar dari dalam kamar itu sigap menangkap dan memeluknya. Evi bertatapan dengan Jo selama tiga detik yang canggung. "Maaf!" Evi berdiri lagi dan mengangguk sopan pada Jo. Lelaki itu tersenyum. "Aku yang minta maaf. Aku pikir kau sudah pergi. Kenapa masih di sini? Menunggu tamu berikutnya?" Entah kenapa Evi sangat tersinggung mendengar pertanyaan itu walaupun Jo mengucapkannya dengan gaya sopan. Wajah Evi merah padam. Tanpa menjawab, ia bergegas meninggalkan Jo. Setelah keluar dari hotel mewah itu, Evi berjalan cepat menyusuri trotoar. Kota besar tidak pernah tidur, semakin malam, jalan raya semakin ramai. Evi masuk ke kotak ATM pertama yang ditemuinya. Ia mengambil sejumlah uang dari pembayaran yang diberikan Jo tadi dan mentransfer sisanya ke rekening Mami Riska. Langkah gadis berkaki jenjang itu menuju keramaian jejeran tenda penjual makanan, tak jauh dari ATM. Ia masuk ke tenda penjual sate ayam Madura dan memesan dua kodi. Sambil menunggu, Evi memeriksa ponselnya. Ada beberapa pesan masuk dan missed call. Lima pesan dari Eda, adiknya, ia buka. [Mbak pulang jam berapa?] [Ibu menunggu Mbak, katanya Mbak janji pulang bawa sate.] [Mbak dimana sekarang?] [Ibu gak mau makan katanya nunggu Mbak pulang.] [Mbak balas, Mbak lagi dimana? Pulang jam berapa?] Mata Evi panas lagi. Eda, adik bungsunya yang mengurus Ibu di rumah. Usianya tujuh belas tahun, kelas 12. Evi yang lebih tua sepuluh tahun dari Eda sudah bukan sekedar kakak bagi sang adik, tapi juga kepala keluarga di rumah. Tulang punggung yang menanggung nafkah tiga orang. Empat, sebenarnya. Jika saja Erman, si lelaki dua puluh tujuh tahun itu boleh dianggap kakak. Erman jarang pulang. Evi dan Eda lebih suka Erman lenyap saja dan jangan datang lagi ke rumah. Sate pesanan Evi selesai dibungkus. Gadis itu menerima dan membayar lalu bergegas menuju pinggir jalan menunggu taksi. Sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam metalik berhenti di depan Evi. Jendelanya turun dan Evi melihat wajah Jo melongok dari kursi kemudi. "Naik!" Evi menggelengkan kepala sambil tersenyum sopan. "Terima kasih. Saya menunggu taksi." "Ini taksimu malam ini. Ayo aku antar pulang." "Tidak. Terima kasih." "Ayolah!' Sebuah taksi biru meluncur dan Evi sigap melambaikan tangan. Walaupun sudah berkurang jumlahnya, taksi konvensional masih bisa diharapkan di kota ini. Tanpa berpamitan pada Jo, Evi naik ke taksinya dan berlalu pergi. Jo menatap mobil biru di depannya sampai tidak terlihat lagi. Seulas senyum tampak di bibirnya. ***** Toktoktok! Pintu rumah sudah dikunci dan ruang tamu tampak gelap. Evi mengetuknya sambil mengucap salam dan memanggil Eda. Di ketukan ketiga, pintu terbuka. Wajah manis Eda muncul. Evi tersenyum pada adiknya. Ia ulurkan kantung plastik berisi sate pada Eda. "Ibu sudah tidur?" "Sudah, Kak. Ibu belum makan dari siang. Aku masak sop dan tahu goreng tapi Ibu gak mau," jawab Eda. "Bangunin Ibu pelan-pelan, Da. Ambilkan makan pakai lauk sate itu. Kamu juga makan, ya." Evi menutup pintu rumah yang terbuat dari papan gypsum dan sudah rapuh. Eda masuk membawa sate ke ruang tengah. Evi masuk ke kamar tidur setelah cuci muka di kamar mandi. Rumah itu hanya punya satu kamar saja. Tidak ada tempat tidur di dalamnya. Dua kasur lantai tipis tergelar ditutup seprai menjadi tempat Evi, Eda dan Ibu tidur. Jika Erman pulang dan menginap di rumah, lelaki pembawa berbagai masalah itu tidur di kursi bambu ruang tamu. Ibu terbangun setelah Eda mengguncang lembut bahunya. "Sudah pulang kau, Vi?" tanya Ibu sambil menatap anak keduanya. Evi berganti pakaian dengan cepat tanpa keluar ruangan. Setelan blazer hitam ia letakan di keranjang baju kotor di sudut kamar. Setelah nyaman memakai kaus dan celana pendek , Evi duduk di sebelah Ibu. "Aku bawa sate pesanan Ibu. Ibu harus makan yang banyak. Disuapi aku atau Eda?" tanya Evi dengan suara lembut. "Kau sudah gajian, Nak?" "Sudah, Bu. Tadi dapat bonus juga. Makanya aku bisa beli sate." "Alhamdulillah. Bossmu baik ya, Vi?" Evi tersenyum. Ia menggenggam tangan Ibu yang kurus dan keriput. Eda menyuapkan sesendok nasi hangat berlauk dua potong daging sate ayam. Ibu mengunyahnya, wajah lembutnya tampak begitu bahagia. Setiap melihat Ibu tersenyum, beban Evi terasa lenyap. Ibu lah alasan ia terus bertahan dan kuat menjalani hidupnya yang hitam. Erman, manusia kejam yang selalu Evi salahkan setiap kali ia menyadari betapa gelap hari-harinya!Ibu tertawa melihat isi piring besar yang disodorkan oleh Tini, asisten rumah tangga di rumah Jo. Sate ayam berlumur bumbu kacang pekat harum penuh di piring panjang itu."Silakan dimakan, Bu. Itu kata Pak Jo khusus buat Ibu saja." Tini tersenyum pada Ibu. "Boss Jo sampai hapal kesukaan Ibu, sate ayam!" Eda ikut tertawa melihat mata Ibu berbinar. "Awas makan kacang, ingat asam urat!""Saya pamit ke belakang dulu ya, Bu," kata Tini lagi."Silakan, Mbak. Terima kasih satenya!" Ibu mengangguk pada Tini.Tidak menunggu perintah lagi, Ibu dan Eda menyantap nasi hangat berlauk sate ayam kesukaan Ibu. "Boss Jo dan kakakmu belum bangun, Da?" tanya Ibu setelah menelan suapan pertamanya. Eda menggeleng."Ya belum keluar dari kamar lah, Bu. Namanya juga penganten baru!""Kayak ngerti saja kamu!""Tahu lah!"Sudah seminggu berlalu sejak pesta pernikahan sederhana digelar di rumah Jo. Evi sah jadi istrinya. Ibu dan Eda juga diboyong tinggal di rumah warisan dari ibunda Jo itu. Jo memastikan Ibu
Koridor menuju kamar jenazah Rumah Sakit Daerah lengang di sore hari. Evi tergopoh melangkah mengikuti seorang polisi. Administrasi pemulangan jenazah sedang diurus oleh Jo di kantor RSUD. Mereka juga masih perlu membereskan beberapa masalah di kantor polisi.Semalam terjadi kebakaran yang menghanguskan satu deret kamar kontrakan di daerah pinggir kota. Ditemukan tiga korban jiwa dalam satu unit kamar, semuanya diidentifikasi berjenis kelamin pria.Bahan bakar yang menjadi sebab kebakaran hanya disiramkan di dinding depan satu kamar, sumber nyala api, sedangkan bangunan lain hanya menerima rembetan api dan tidak seluruhnya hangus. Kamar sumber nyala api juga menyisakan dinding belakang yang tidak habis terbakar. Tiga korban jiwa ditemukan berpelukan di dalam kamar mandi, kondisi mereka mengalami luka bakar 80%.Polisi juga menemukan sebuah tas yang separuh dilalap api, di dalamnya ada sebuah dompet hampir meleleh yang berisi kartu identitas atas nama Erman Setiabudi, beralamat di ruma
Ketiga orang di dalam kamar gelap itu berhenti bicara ketika mereka mendengar bunyi langkah kaki yang ribut di luar. Banyak suara bisik-bisik dan mesin motor yang berhenti."Man, mereka datang, Man," bisik Doni.Erman dan Rere saling pandang di bawah lampu layar ponsel."Anak buah Gundul gak bisa diajak main-main, Man. Lu kenapa lari kesini, sih?" Kaki Doni menyepak paha Erman."Gua gak punya tempat lain buat dituju!" bentak Erman dalam bisikan."Dengar!" Rere memukul bahu Erman.Sepertinya kamar di kanan kiri terbuka dan ada suara orang berlari, beberapa pekikan kecil juga barang jatuh. Rere menebak penghuni kamar tetangga lari menyelamatkan diri. "Bagaimana kalau kita lari keluar? Kamar ini gak ada pintu belakangnya!" kata Erman."Mau lari lewat mana?" sahut Doni. "Lihat itu di bawah pintu!"Cahaya teras kamar yang terang menyinari kaki-kaki yang berdiri tepat di depan kamar Doni. Erman merasa dingin sekujur tubuhnya. Bagaimana cara lari dari sini?Gundul memberinya waktu seminggu
Wajah Ibu menampakkan kebahagiaan yang nyata. Wanita yang lebih banyak diam daripada bicara itu terus tersenyum saat Evi menjelaskan padanya bahwa mulai besok akan bekerja jadi staf kantor. Bukan pegawai biasa, malah, tapi sebagai kepala divisi."Siapa bossnya, Vi?" tanya Ibu. Evi menghela napas, melegakan dadanya yang sesak oleh bahagia."Perusahaannya milik Jo, Bu."Senyum Ibu sesaat hilang, tapi lalu muncul lagi. Ibu mengangguk-angguk pelan."Sepertinya persangkaan Ibu padanya selama ini salah. Semoga dia benar-benar orang baik.""Jo ingin bulan depan kami menikah."Mata Ibu sedikit melotot, kaget. Air mukanya berubah-ubah, antara senang dan sedih. Evi meraih tangan Ibu dan menggenggamnya."Jo dan aku saling mencintai, Bu. Kami tidak peduli pada masa lalu. Restui kami, Ibu.""Kau yakin, Vi? Ibu hanya khawatir kau cuma dia jadikan mainan, iseng sambil dia mencari yang lain. Ibu takut kau disakiti.""Semoga tidak, Bu. Aku bisa lihat dia sungguh serius pada janjinya.""Maafin ucapan I
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Kabar penangkapan Salman Setiadi membawa efek buruk bagi kesehatan Hanna Setiadi, istrinya. Ibunda Jo itu jatuh pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Putra tunggal kebanggaannya, Jonathan Setiadi, tidak bisa dihubungi.Hanna tidak hanya sakit di raganya. Jiwanya pun ambruk begitu ia tahu kasus yang menimpa suaminya disebabkan oleh seorang wanita panggilan dari lokalisasi pinggir kota. Bagaimanapun ia menguatkan hati, Hanna tetap hancur. Ia sudah tahu suaminya bukan lelaki setia. Hanna sanggup menahan luka jika hubungan suaminya dengan para wanita itu hanya sebatas pembeli dan penjual. Dari kabar yang diterima Hanna, ia tahu Salman terobsesi dengan wanita bernama Evita itu dan berniat menikahinya.Hanna memang pernah merestui jika Salman menikah lagi, tapi dengan syarat wanita pilihan suaminya harus dari kalangan baik-baik, bukan wanita penghibur. Kondisi Hanna yang sudah drop menjadi makin kritis.Jo sedang sibuk mencari pekerjaan. Uang tabungannya mulai menipis dan ia harus
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen