"Hei!"
"Ini bukan permintaan tapi keharusan! Please ...!" Suara yang keluar dari speaker handphoneku ini diucapkan dengan nada tinggi.
"Ini bukan maksa tapi harus!" Suara itu masih terus tak berhenti.
"Anneth!" Suaranya melengking.
Wah!
Terpaksa aku harus menjauhkan handphone ini dari telinga. Efek nada tinggi itu langsung membuat kuping ini sedikit berdenging.
"Masih hidup gak, sih?" Suara itu kembali terdengar.
"Aku bukan lagi anak sekolah yang butuh kerja part time, Sinna. Kayaknya, aku juga sibuk banget deh," jawabku setelah cerocosan dari saluran telepon itu berhenti.
"Aku tahu, tapi ini emergency! D-A-R-U-R-A-T! Skala nasional deh ..., nasional di rumah tanggaku. Bentar ya! Tunggu! Tunggu!" lanjutnya tak menyerah.
Beberapa detik kemudian notifikasi pesan popped up di layar.
Dan setelah kubuka, ternyata, sahabatku ini mengirimkan sebuah video berdurasi lima detik.
Dalam video itu, terlihat seorang bayi sedang tidur ditempel kompres instant di dahinya.
Kulit bayi itu tampak agak memerah, serta pemandangan di sekitar bayi itu berupa sebuah ranjang yang berserakan dengan barang-barang.
"Anakmu sakit, Neth ...," keluhnya dengan nada memelas.
"Perasaan gak ikutan bikin, kenapa tiba-tiba jadi anakku ya?" jawabku dengan nada datar.
Aku berusaha tak terpengaruh dengan apa yang baru saja terlihat dalam video itu.
"Heh! ‘Kan anakku, anakmu juga, Anneeth!" Penelepon galak itu kembali berteriak.
Telepon dua hari yang lalu itu masih terngiang-ngiang di kuping.
Pembicaraan panjang saling ngeyel itu akhirnya dimenangkan oleh ... Sinna, tentu saja.
Sebenarnya, hati ini langsung menyerah ketika melihat foto anak bayi montok itu tidak ceria. Bayi yang biasanya tertawa-tawa ketika video call antara aku dan Sinna sedang berlangsung itu, kini hanya terbaring.
Dan ternyata, tak lama setelah telepon itu berakhir, bayi montok itu langsung dibawa ke rumah sakit oleh kedua orang tuanya karena kekhawatiran mereka memuncak.
"Tenang! Semua sudah kuatur. Kamu hanya tinggal mengerjakan yang kuinstruksikan saja. Beberapa timku akan berada di sana bersamamu. Aku jamin, Kamu hanya perlu melakukan sedikit pekerjaan yang nggak berat."
Begitulah salah satu bujukan agar aku mau memenuhi permintaannya.
Sebenarnya, kalau boleh memilih, tentu aku lebih suka jika menggantikan sahabatku itu menjaga anak tercintanya di rumah sakit, daripada melakukan ini.
"Hei! Anneth! Emang Kamu punya ASI?" Begitu jawabnya.
Dan dengan alasan itu, tentu akhirnya aku harus memilih untuk menggantikan pekerjaannya sebagai pengelola sebuah Event Organizer.
"Tolong, deh, Neth! Di zaman ekonomi suram ini, jika masih ada pesanan untuk mengadakan dinner dengan bayaran selangit, hanya dinner, hanya acara makan malam saja dan bayarannya bessarr, itu luar biasa." Begitu tambahan bujukannya.
Ah!
Itulah yang paling menyebalkan.
Dari latar belakang acara yang disampaikan saja sudah terbayang orang-orang seperti apa yang akan kutemui.
Hanya dengan membayangkan saja rasa lelah muncul.
"Hei, ingat! Lakukan dengan setulus hati! Jangan sampai bisnis yang sudah kubangun ini hancur gara-gara attitude-mu yang suka sembarangan itu!"
Begitu bunyi pesan terakhir sebelum Sinna menutup telepon.
Dan bagai melaksanakan perintah ibu suri, aku hanya bisa ber-iya-iya saja.
“Penthouse,” ucapku pada petugas lift berseragam rapi ini.
Dengan cekatan, tangan laki-laki ini menekan tombol yang berada di bagian samping pintu lift.
Kotak besi ini langsung bergerak ke atas.
Petugas itu sesekali melirik ke arahku yang berdiri di antara tas-tas besar.
"Jangan mengenakan jas laboratoriummu! Kamu bukan mau menyelidiki satu bahan kimia." Pesan Sinna kembali terngiang di telinga.
Alhasil, aku sekarang mengenakan rok span warna hijau lembut dan kemeja warna putih tulang yang dimasukkan ke dalam rok.
Pesannya untuk mengikat rambut biar terkesan rapi, juga sudah kulakukan.
Sepatu pantofel ber-heel pendek juga sudah berada di kaki.
Tetapi, kenapa petugas lift ini masih melirik-lirik penampilanku, ya?
Apa jadinya jika celana dan baju ala dokter yang sedang mengoperasi seorang pasien lengkap dengan jas laboratorium itu yang kupakai tadi?
Ah... gimana kalau lirikan mata petugas lift ini membuat bagian hitam matanya tidak kembali ke tempat semula?
Aku tersenyum membayangkan jika hal itu terjadi.
Sebenarnya, menurutku, nyaman sekali menggunakan baju-baju itu, baju yang biasa aku kenakan di laboratorium, tetapi jika kupakai untuk menggantikan tugas Sinna, tentu para customer akan heran.
Lift berhenti diiringi suara bel yang berdenting nyaring. Lalu, petugas itu mempersilahkan aku keluar.
Seorang laki-laki muda sudah menunggu di depan pintu lift. Kemudian, ia bergegas membawakan tas-tas yang ada bersamaku.
"Kak Anneth, nanti menghias meja makan dan mempersiapkan alat makan di lantai satu saja," ucap laki-laki muda ini sambil berjalan mendahuluiku.
Aku mengangguk mengiyakan.
Wah!
Sudah tingkat paling puncak masih dibangun dengan tiga lantai lagi.
Itu pikiranku begitu masuk ke dalam ruangan ini.
Mata ini mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menaksir kira-kira berapa total biaya yang dihabiskan untuk memiliki satu lantai di hotel ini.
Ini adalah salah satu ruangan yang ada di hotel legendaris, termewah dan termahal di kota Shirm.
Hotel artistik ini telah dimodernisasi dengan sentuhan teknologi mutakhir hingga bangunan ini tampak seperti kerajaan modern abad ini.
Berulang kali lidah ini tak henti berdecak kagum em ... kagum pada jumlah uang yang dimiliki oleh pemilik lantai ini.
Aku terkikik di dalam hati.
Suara bel pintu terdengar nyaring.
Dan laki-laki muda yang tadi bersamaku bergegas ke arah pintu.
Salah satu anggota tim Sinna itu mengangkat tangan dan memintaku melanjutkan kegiatan menghias dan merapikan meja makan.
“Tidak, kami semua petugas dari EO yang disewa untuk acara dinner ini.” Suara laki-laki muda itu terdengar makin dekat setelah suara pintu dibuka.
Selanjutnya suara ujung heel beradu dengan lantai terdengar nyaring, bahkan bergaung di ruangan yang luas ini.
Suara langkah kaki itu terdengar mendekat ke arahku.
"Plak!"
“Aaah!”
Aku menjerit ketika tiba-tiba satu tamparan keras mampir ke pipi.
"A-," Teriakan tercekat laki-laki muda yang berdiri tak jauh dari tempatku terdengar.
"Rupanya Kau yang mau merebut dia dariku!" teriak seorang perempuan cantik berkulit pucat yang kini berdiri dengan jarak sejangkauan tangan dariku.
Aku terkejut dan bingung dengan apa yang baru saja terjadi, juga bingung dengan apa yang ia teriakkan.
Terlebih lagi, tamparan itu menimbulkan rasa perih dan panas.
"Sa-say," ucapku gagu.
"Kau bisa menggunakan kecantikan dan tubuhmu untuk mendapatkan siapa saja, tetapi bukan dia!" teriaknya dengan beringas, matanya tampak memerah.
"Ha-h!" seruku bingung.
Aku memegangi pipi yang terasa makin panas, mungkin perempuan itu menggunakan seratus lima puluh persen kekuatannya untuk menggamparku.
"Kau tak bisa mengelak lagi!" jeritnya sambil berusaha kembali menamparku.
"Amora!"
Sebuah suara dari arah lain terdengar.
Dan seruan itu berhasil menghentikan gerakan telapak tangan yang sebentar lagi akan mendarat di pipiku yang lain.
Aku dan wanita yang baru saja dipanggil itu menoleh secara bersamaan ke asal suara.
"Wah!" seruku takjub.
Bagaimana tidak, seorang laki-laki tinggi tegap dengan wajah kategori outstanding berjalan mendekat hanya mengenakan handuk panjang yang dililitkan di pinggang.
Handuk itu menutupi bagian pinggang hingga sedikit di bawah lutut.
"Hah!" jeritku tertahan.
Mata ini membelalak ketika laki-laki yang baru mendekat ini, kini berjarak sekitar tiga meter dari tempatku berdiri.
Bagaimana bisa?!!!
Sesuatu yang terlihat seperti benang yang tebal tampak bergerak di bawah kulit yang bersih milik laki-laki itu.
Benang itu bergerak perlahan dari lengan kanan ke bahu lalu turun ke dada kanan.
Sejenak tubuhku terasa gemetar menyaksikan benda aneh itu.
"Hah! Itu apa?" jeritku dalam hati.Aku pernah mendengar tentang tanam benang di dunia kecantikan, tetapi apa yang sedang kusaksikan ini bukan jenis dari benang itu.Terlebih lagi, mana ada tanam benang yang benangnya hidup.Laki-laki itu makin dekat dan tubuh ini bergetar halus.Keringat mulai bermunculan di dahi dan telapak tangan.Benang itu tampak berwarna coklat tua, dan ia terus bergerak melingkar di dada kanan laki-laki itu.Laki-laki itu berdiri sejajar dengan perempuan berkulit pucat yang baru saja menamparku.Dan tubuh ini makin terasa gemetar.Benang coklat tua itu kini bergerak dan membentuk sudut-sudut.Mata ini mengikuti setiap gerakan benang coklat itu yang nampaknya hidup di antara bawah kulit dan atas daging.Beberapa saat setelah gerakan-gerakan benang coklat itu terjalin, terbentuklah satu wujud yang dapat dicerna oleh pikiran.Gerakan benang itu akhirnya berhenti.Ternyata, setelah sempurna, jalinan benang itu membentuk gambar sebuah bintang yang rumit.“Hei! Kau t
Aku terus memikirkan keanehan-keanehan yang baru saja terlihat, tubuh ini masih sedikit gemetar.Demi Kamu, Sinna, aku masih bertahan merapikan meja makan ini!“Sudah kubilang, aku baru saja bertemu dengan gadis itu, Mora,” sahut laki-laki itu sambil berjalan memasuki sebuah ruangan.Sepertinya itu kamar tidur, dari tempat aku berdiri, terlihat sedikit sudut ranjang yang indah.“Di situ anehnya, baru bertemu, tapi sudah dapat perlakuan istimewa darimu,” rajuk wanita berkulit pucat itu sambil mengejar laki-laki itu, suara high heel-nya bercetak-cetok nyaring.“Apanya yang istimewa?” sahut laki-laki tinggi tegap itu santai.Dari belakang, benang coklat tua itu masih sibuk bergerak ke sana ke mari.Tunggu!Apa orang-orang di ruangan ini merasa hal itu bukan satu keanehan?Aku menoleh ke arah laki-laki muda yang masih berdiri mematung, tetapi sepertinya ia tertegun karena mengikuti gerak-gerik perempuan berkulit pucat yang cantik itu.Paduan kulit pucat dan rambut pirangnya, memang bakal
Aku bergidik.Kepala ini menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi tak kunjung menemukan sumber suara. Demikian juga, ketika mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.Semua orang dalam ruangan ini masih berada di posisinya. Para tamu duduk di kursi menyantap hidangan dan anggota tim Sinna juga sedang melaksanakan tugasnya masing-masing.“Halo!""Nona! Apa bisa jawab pertanyanku?” ucap laki-laki dengan badan besar itu sekali lagi.Dan pertanyaan itu membuatku harus kembali menolehkan kepala ke tempat di mana laki-laki berbadan besar itu duduk.“Sa-y ...,” ucapku tergagap.Bisikan itu kembali terdengar dan otomatis kepala ini langsung celingukan.Seketika kulitku meremang karena memang tak ada seorang pun yang berada di dekatku, tetapi bisikan itu seolah terasa orang tersebut berada di dekat kuping ini.Apa tamparan itu membuatku halusinasi?Perasaan bukan baru sekali ini aku mendapatkan tamparan atau pukulan, tetapi efeknya biasanya enggak seperti ini.Aku jadi lebih sibuk dengan pikiranku se
Kali ini aku menggosok-gosok mata, lalu mengerjap-ngerjap, berharap apa yang terlihat ini salah.Rambut wanita ini berubah menjadi putih.Di dahinya muncul benda seperti mahkota dengan bagian tengahnya bertahta batu mulia berbentuk trapesium yang mengeluarkan cahaya menyilaukan.Telinga wanita ini bagian atasnya terlihat berubah menjadi runcing.Dalam wujudnya yang berubah itu, wanita ini masih kelihatan cantik dan anggun.Wanita bergaun putih itu masuk ke kamar mandi yang berada di dekat tempat duduk ini.Secepat kilat, aku beranjak dan melaksanakan saran Sinna untuk berada di dekat meja platting saja melaksanakan tugas tanpa harus mendekat pada orang-orang yang mungkin memiliki penampilan ganda.“Penampilan ganda?!” gumamku tanpa suara.Aku terkejut dengan apa yang baru saja terlintas di pikiran, begitu saja pikiran ini memberikan nama pada wujud-wujud yang mendadak muncul dalam satu badan manusia itu.Memang ada ya, hal seperti itu di dunia ini?Hei Sinna! Ini bukan penyakit alerg
“Hek!” Perutku terasa diaduk-aduk. Mata ini membelalak maksimal, sedang tubuh ini tegang dicekam kengerian. Sebuah ekor reptil berwarna hijau yang ternyata keluar dari kursi pengemudi, menjulur-julur ke arahku. Ekor yang terlihat licin menjijikan itu seperti menggapai-gapai sesuatu. Tapi, mendadak benda itu berhenti di dekat kaki-kaki ini, lalu ekor itu tegak. Inilah sumber bau yang aku sejak duduk di dalam taksi ini terasa begitu menyengat. “Sedang sakit ya, Kak?” ucap sopir taksi ketika sekilas sedikit menoleh. "I-iya" Aku menyahut, lalu mengalihkan pandangan dari ekor yang masih berada di dekatku ke wajah sopir taksi itu. “Hah!” seruku kencang. Sopir taksi ini juga memilki penampilan ganda? Napas ku tertahan. Kenapa beberapa orang yang kulihat malam ini memiliki penampilan ganda? Kenapa mereka berubah menjadi wujud menjadi tak wajar? “Mau turun di mana, Kak?” ucapnya sambil mempercepat laju kendaraan. “Si-si-sini saja, Pak. Saya mual!” teriakku cepat dan tergagap. Aku
“Hah! Bagaimana pekerjaanku itu?” seruku panik.Badan ini otomatis bangkit duduk.Aku baru sadar bahwa sejak tadi ada handuk basah kecil yang bertengger di dahi.“Jika itu lepas ... akan kusiram langsung air es ke kepalamu!” ancam Sinna ketika tangan ini bergerak menyingkirkan handuk kecil itu.Aku mengurungkan niat, lalu segera meletakkan kembali benda itu sebelum emak tiri bajakan ini melancarkan apa yang ia ancamkan."Aduh! Tapi bagaimana itu? Pekerjaanku? Di mana handphoneku?" ucapku lemah dengan kepanikan yang belum sirna.Ah!Aku baru ingat, tentu handphone yang tidak terurus selama tiga hari, baterainya bakal habis.“Izinmu sudah diurus,” jelasnya pendek.“Sudah?” seruku terperanjat."Oleh?" lanjutku ingin tahu.“Satu jam setelah seharusnya Kamu berada di tempat kerja, temanmu menghubungiku dan memintaku untuk mencarimu. Sedangkan, ketika ku cek dengan Aaron, anak buahnya melaporkan bahwa tidak sedikit pun makanan yang biasanya lesap tak bersisa itu disentuh. Karena itu, aku la
Sinna menatapku dengan ekspresi tak percaya. Mulutnya tampak sedikit terbuka.Aku membalasnya dengan berusaha melebarkan kelopak mata yang masih terasa berat.“Setiap wanita akan merasa mabuk bila ada di dekatnya, apalagi ketika ia mengajak bicara, wah! Terasa melayang tiga puluh senti di atas tanah,” jelas Sinna antusias.Sinna menelangkupkan tangan dan memandang langit-langit. Jari-jarinya bergerak seolah mengetuk-ngetuk pipi, mungkin di pikirannya saat ini sedang membayangkan suasana ketika berada di dekat laki-laki tampan itu.“Semua ... wanita?” tanyaku heran.Kurasa walaupun seorang laki-laki memiliki ketampanan level kebangetan, tidak akan membuat para wanita semabuk itu.“Ah!” Sinna mendesah lelah.Wanita ini menurunkan tangan, sedangkan bahunya bergerak turun.Kini pandangan matanya tertuju tepat ke manik mataku, sesaat kemudian terlihat ekspresi terperanjat bercampur rasa kesal terlihat di wajahnya.“Ka-mu ti-dak?” serunya seolah sedang mengalami shock.“Em,” sahutku mantap.
“Aduh sudah deh! Pokoknya gadis aneh sepertimu tidak akan paham. Ini hanya dialami aku dan sesamaku yang masih normal saja. N-O-R-M-A-L,” rajuknya geram sambil menunjukku.Aku tertawa mendengar ilmu “pokoknya” itu dikeluarkan. Biasanya jika pembuka kalimat menggunakan kata itu, itu berarti berbantahan harus segera dihentikan.Sinna kemudian bangkit dan menarik selimutku hingga menutupi leher.“Istirahat yang cukup, semoga cepat sembuh dan bisa kerja lagi,” ucapnya terdengar hangat di hati.Aku mengangguk perlahan dan tersenyum di dalam hati merasakan kehangatan seorang ibu dari sahabatku ini. Setelah itu, aku memejamkan mata dan mendengar suara kegiatan yang dilakukan Sinna. Mungkin temanku itu sedang membersihkan tempat ini atau apa saja yang menurutnya bisa membantu mengurangi pekerjaan rumah.Andai ... andai saja bisa menceritakan apa yang baru-baru ini kualami pada sahabat terdekat itu ..., tetapi jika diri ini nekad melakukannya, jangan-jangan sebelum detik berganti, aku langsung