Lampu neon berkedip-kedip, memantulkan warna biru dan merah ke seluruh ruangan yang dipenuhi dentuman musik. Farhan duduk di sofa VIP, sebotol minuman mahal di genggamannya. Asap rokok mengabur pandangan, sementara suara tawa teman-temannya membahana, seolah semua beban dunia lenyap di balik dinding-dinding klub itu. Namun, di balik keriuhan dan kesenangan semu, matanya tampak kosong.
"Bro, lo serius banget sih? Malam ini kita harus hepi, men!" ujar Tio, salah satu temannya, sambil menepuk bahu Farhan dengan gelas di tangan. Farhan tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang sejak tadi menusuk pikirannya. "Iya, santai aja. Gue cuma lagi capek." "Capek apa? Duit lo nggak akan habis tujuh turunan, Far. Jangan sok-sokan mellow gitu, deh!" Tio tertawa keras, diikuti yang lain. Farhan hanya mengangkat bahu, memilih meneguk minumannya. Di sudut matanya, seorang wanita dengan gaun merah menyala berjalan mendekat. Senyum genitnya membuat teman-temannya bersorak. "Kayaknya dia buat lo, Han," bisik Jefri, yang duduk di sebelahnya. "Lo kan yang paling tajir di sini." Wanita itu kini berdiri di depan Farhan, tangannya bermain di bahunya. "Halo, aku Rina," katanya lembut, sambil tersenyum menggoda. Farhan menatapnya, berusaha memasang ekspresi yang santai. Namun, entah kenapa hatinya terasa semakin berat. Ia tahu permainan ini, terlalu sering memainkannya. Tapi malam ini, sesuatu terasa berbeda. Ada kekosongan yang tak mampu ia abaikan. Rina duduk di sampingnya, semakin mendekat. Teman-temannya bersorak lagi, membuat suasana semakin bising. Farhan hanya diam, bahkan tidak menyadari ketika Tio kembali menuangkan minuman ke gelasnya. "Farhan!" suara keras dari DJ memecah lamunannya. "Ini buat miliarder kesayangan kita! Hidup Farhan!" Semua orang di klub berteriak, mengangkat gelas mereka. Farhan hanya tersenyum kaku, merasa seperti boneka yang sedang dipertontonkan. Ia berdiri, mengangkat gelasnya sekadarnya, lalu meneguk isi gelas itu. Namun, di tengah semua sorak-sorai itu, rasa mual tiba-tiba menyerangnya. Kepalanya berdenyut, dan kakinya terasa lemas. "Gue ke toilet bentar," gumamnya pada Jefri, lalu bergegas meninggalkan sofa. Di dalam toilet, Farhan memandangi wajahnya di cermin. Matanya merah, rambutnya berantakan. Namun, yang paling mengganggunya adalah bayangan dirinya sendiri. Bayangan seorang pria yang tidak tahu apa yang sedang ia cari. "Apa yang gue lakuin di sini?" bisiknya pada diri sendiri. Ia memercikkan air ke wajahnya, berharap itu bisa mengusir semua pikiran buruk. Saat itulah pintu toilet terbuka dengan kasar, dan dua pria masuk sambil berbicara dengan nada tinggi. Mereka tidak menyadari keberadaan Farhan di sudut ruangan. "Lu tahu nggak? Si anak muda tadi tuh sok banget! Berlagak kaya tapi cuma numpang senang," kata salah satu dari mereka. "Emang semua miliarder kayak gitu, sih. Duitnya banyak, tapi nggak punya tujuan hidup. Hidupnya cuma buat pesta-pesta doang," sahut yang lain. Farhan terpaku mendengar percakapan itu. Meski tidak disebutkan namanya, ia tahu mereka berbicara tentang dirinya. Hatinya seperti ditampar. Selama ini, itukah yang orang pikirkan tentang dirinya? Seorang pria kaya yang hidup tanpa arah? Ia keluar dari toilet tanpa menunggu lebih lama. Langkahnya cepat, meninggalkan klub itu tanpa menoleh ke belakang. Udara malam yang dingin menyambutnya, membuat pikirannya semakin jernih. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa muak dengan hidupnya. --- Di kamarnya yang luas dan mewah, Farhan duduk di sofa sambil menatap langit-langit. Rumah itu sunyi, terlalu sunyi. Ia membuka ponselnya, mencari sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Namun, semua hal yang ia lihat terasa hampa. Tiba-tiba, pandangannya jatuh pada sebuah aplikasi Al-Quran yang sudah lama ia unduh tapi hampir tidak pernah dibuka. Ia ragu sejenak, tetapi akhirnya ia mengetuk ikon itu. Layar ponselnya menampilkan ayat-ayat yang terasa asing, tetapi entah bagaimana menenangkan. Ayat pertama yang terbaca olehnya adalah: "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?" (QS Al-Hadid: 16). Farhan tertegun. Pertanyaan itu seolah ditujukan langsung kepadanya. Hatinya bergetar, dan untuk pertama kalinya ia merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan di klub malam atau pesta mewah manapun—ketenangan. Air matanya mengalir tanpa ia sadari. Ia teringat ibunya, yang dulu selalu mengingatkannya untuk shalat, tetapi selalu ia abaikan. Ia teringat ayahnya, yang pernah berkata bahwa harta adalah ujian, bukan tujuan. Dan sekarang, di malam yang sunyi ini, ia merasa semua pesan itu kembali menghantuinya. Keesokan harinya, Farhan duduk di tepi tempat tidur, mengenakan kemeja putih sederhana. Tangannya bergetar saat mencoba mengancingkan kemejanya, pikirannya berkecamuk. "Apa yang gue lakuin ini benar?" tanyanya dalam hati. Ia menatap cermin di depannya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Wajahnya terlihat lebih tenang daripada malam sebelumnya, tetapi ada sorot ragu di matanya.Aisyah memandang kotak kecil di tangannya dengan napas tertahan. Tangannya sedikit gemetar saat ia membukanya perlahan. Di dalamnya, ada alat tes kehamilan yang baru saja dia gunakan beberapa menit lalu. Farhan berdiri tak jauh darinya, menatap dengan campuran rasa khawatir dan harapan yang tadi sempat terlukis di matanya. "Aku lihat hasilnya, Mas?" tanya Aisyah dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. Farhan mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Dia meraih tangan Aisyah, menggenggamnya erat, seolah ingin memberikan kekuatan. "Bareng aja, Sayang. Kita lihat bareng." Aisyah mengangguk kecil. Ia menarik napas panjang dan berusaha menenangkan debaran jantungnya yang terasa semakin kencang. Dengan tangan yang masih bergetar, ia mengangkat alat tes kehamilan itu untuk melihat hasilnya. Dua garis merah. Mata Aisyah membelalak. Ia menatap alat itu, memastikan apa yang dilihatnya benar. "Mas ... ini ... dua garis,"
Matahari mulai memancarkan sinarnya, mengintip dari sela-sela tirai kamar. Suara burung di luar jendela terdengar ceria, seolah menyambut hari baru dengan semangat. Namun, di dalam kamar, suasana masih hening. Farhan membuka matanya perlahan, merasa berat untuk bangun dari kasur. Ia menoleh ke samping, melihat Aisyah yang masih terlelap. Wajah istrinya terlihat tenang, meski ada jejak kelelahan yang sulit disembunyikan. Farhan menarik napas panjang. Dalam hatinya, ia berjanji akan melakukan apa saja untuk membuat Aisyah bahagia. Ia tahu, perjalanan mereka tidak akan mudah. Namun, ia juga tahu bahwa cinta mereka lebih kuat dari segala rintangan. Sekitar setengah jam kemudian, Aisyah mulai menggeliat pelan. Matanya perlahan terbuka, dan ia tersenyum tipis saat melihat Farhan sudah bangun. "Mas, udah bangun duluan?" tanyanya dengan suara serak khas pagi. Farhan tersenyum balik. "Iya, aku nggak mau bangunin kamu. Kamu kelihatan capek semalam." Ais
Malam itu, hujan baru saja reda. Udara dingin menyelinap masuk melalui celah-celah jendela rumah Farhan. Ia duduk di ruang tamu, menatap ponselnya dengan pandangan kosong. Di layar, pesan yang ia tulis untuk Aisyah masih terbuka, belum terkirim. Jari-jarinya gemetar di atas tombol kirim, tapi hati dan pikirannya masih berdebat."Aku harus ngapain, ya?" gumam Farhan pelan, suaranya tenggelam dalam keheningan malam. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa bimbang yang terus menghantui.Sementara itu, di rumah orang tuanya, Aisyah sedang berdiri di depan cermin kamar. Ia menatap bayangannya sendiri, mencoba mencari kekuatan dari pantulan wajah yang kini tampak lelah. Hatinya terasa berat. Ia tahu ia ingin berbicara dengan Farhan, tapi entah kenapa, setiap kali ia mencoba mengetik pesan, pikirannya langsung kacau.Di atas meja kecil di samping tempat tidur, ponselnya bergetar pelan. Aisyah menoleh, berharap ada pesan dari Farhan. Tapi saat dilihat, ha
Aisyah menatap koper yang sudah tersusun rapi di sudut kamar. Tangannya gemetar saat ia merapikan selendang di bahunya. Udara terasa dingin, atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Di luar, langit malam tampak gelap gulita, tanpa bintang. Sebuah kehampaan yang entah kenapa mencerminkan isi hatinya malam itu."Mas, aku mau pulang ke rumah orang tua dulu," ucap Aisyah dengan suara bergetar.Farhan, yang sejak tadi duduk diam di sofa ruang tamu, mengangkat wajahnya perlahan. Wajahnya terlihat lelah, matanya sembab. Ia tahu hari ini akan tiba, tetapi rasanya tetap tak siap mendengarnya. Ia menatap Aisyah yang berdiri dengan koper di sisi tubuhnya. Wanita itu tampak rapuh, seolah beban dunia ada di pundaknya."Kamu yakin?" tanya Farhan akhirnya, suaranya berat. "Ini yang kamu mau?"Aisyah mengangguk pelan. "Aku butuh waktu, Mas. Kita... kita butuh waktu. Aku nggak tahu harus gimana lagi."Farhan menelan ludah, berusaha menahan emosi yang berg
Farhan duduk sendirian di meja makan, menatap piring sarapan yang kini sudah dingin. Telur orak-arik yang ia masak tadi pagi tetap utuh, tak tersentuh. Pikirannya melayang ke arah Aisyah yang tadi pagi pergi tanpa sarapan, dengan alasan "Ada urusan penting." Tapi Farhan tahu, masalah sebenarnya bukan tentang waktu atau urusan. Masalahnya adalah jarak yang semakin terasa di antara mereka.Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Beberapa hari terakhir, suasana rumah terasa seperti medan perang yang sunyi. Aisyah tidak lagi berbicara banyak dengannya, dan ketika mereka berbicara, semuanya selalu berakhir dalam kebuntuan. Farhan tahu dia harus melakukan sesuatu. Dia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut.Pelan-pelan, sebuah ide mulai terbentuk di kepalanya. Dia ingin mencoba satu usaha terakhir untuk menyelamatkan hubungan mereka. Sebuah kejutan. Sesuatu yang bisa mengembalikan senyum di wajah Aisyah, sesuatu yang bisa membuat mereka merasa dekat lagi
Malam itu, meski rumah terasa sunyi, pikiran Farhan terus bergemuruh. Dia duduk di sofa ruang tengah, matanya kosong, tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin. Dari arah kamar, terdengar suara pelan ketikan di laptop. Farhan tahu siapa yang sedang sibuk di sana. Aisyah.Dia menghela napas panjang. Sudah berhari-hari belakangan ini, suasana rumah terasa berbeda. Ada jarak yang perlahan-lahan tumbuh di antara mereka. Jarak yang tidak terlihat, tapi begitu terasa. Farhan merasakannya setiap kali pulang kerja, saat mereka tidak lagi bercanda di dapur seperti dulu, atau saat makan malam yang kini hanya diisi dengan keheningan. Dan malam ini, Aisyah bahkan memilih tidur di kamar terpisah."Aku nggak mau kamu kehilangan diri kamu sendiri gara-gara ini."Kata-katanya sendiri tadi siang terngiang-ngiang di kepala. Dia mengatakannya dengan tulus, berharap bisa menyadarkan Aisyah. Namun, yang ada justru Aisyah semakin menjauh. Seolah-olah semua yang Farhan la