Share

Proposal Cinta Sang Miliarder
Proposal Cinta Sang Miliarder
Penulis: Resya

Prolog: Titik Balik

Penulis: Resya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-03 22:07:10

Lampu neon berkedip-kedip, memantulkan warna biru dan merah ke seluruh ruangan yang dipenuhi dentuman musik. Farhan duduk di sofa VIP, sebotol minuman mahal di genggamannya. Asap rokok mengabur pandangan, sementara suara tawa teman-temannya membahana, seolah semua beban dunia lenyap di balik dinding-dinding klub itu. Namun, di balik keriuhan dan kesenangan semu, matanya tampak kosong.

"Bro, lo serius banget sih? Malam ini kita harus hepi, men!" ujar Tio, salah satu temannya, sambil menepuk bahu Farhan dengan gelas di tangan.

Farhan tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang sejak tadi menusuk pikirannya. "Iya, santai aja. Gue cuma lagi capek."

"Capek apa? Duit lo nggak akan habis tujuh turunan, Far. Jangan sok-sokan mellow gitu, deh!" Tio tertawa keras, diikuti yang lain.

Farhan hanya mengangkat bahu, memilih meneguk minumannya. Di sudut matanya, seorang wanita dengan gaun merah menyala berjalan mendekat. Senyum genitnya membuat teman-temannya bersorak.

"Kayaknya dia buat lo, Han," bisik Jefri, yang duduk di sebelahnya. "Lo kan yang paling tajir di sini."

Wanita itu kini berdiri di depan Farhan, tangannya bermain di bahunya. "Halo, aku Rina," katanya lembut, sambil tersenyum menggoda.

Farhan menatapnya, berusaha memasang ekspresi yang santai. Namun, entah kenapa hatinya terasa semakin berat. Ia tahu permainan ini, terlalu sering memainkannya. Tapi malam ini, sesuatu terasa berbeda. Ada kekosongan yang tak mampu ia abaikan.

Rina duduk di sampingnya, semakin mendekat. Teman-temannya bersorak lagi, membuat suasana semakin bising. Farhan hanya diam, bahkan tidak menyadari ketika Tio kembali menuangkan minuman ke gelasnya.

"Farhan!" suara keras dari DJ memecah lamunannya. "Ini buat miliarder kesayangan kita! Hidup Farhan!"

Semua orang di klub berteriak, mengangkat gelas mereka. Farhan hanya tersenyum kaku, merasa seperti boneka yang sedang dipertontonkan. Ia berdiri, mengangkat gelasnya sekadarnya, lalu meneguk isi gelas itu.

Namun, di tengah semua sorak-sorai itu, rasa mual tiba-tiba menyerangnya. Kepalanya berdenyut, dan kakinya terasa lemas. "Gue ke toilet bentar," gumamnya pada Jefri, lalu bergegas meninggalkan sofa.

Di dalam toilet, Farhan memandangi wajahnya di cermin. Matanya merah, rambutnya berantakan. Namun, yang paling mengganggunya adalah bayangan dirinya sendiri. Bayangan seorang pria yang tidak tahu apa yang sedang ia cari.

"Apa yang gue lakuin di sini?" bisiknya pada diri sendiri. Ia memercikkan air ke wajahnya, berharap itu bisa mengusir semua pikiran buruk.

Saat itulah pintu toilet terbuka dengan kasar, dan dua pria masuk sambil berbicara dengan nada tinggi. Mereka tidak menyadari keberadaan Farhan di sudut ruangan.

"Lu tahu nggak? Si anak muda tadi tuh sok banget! Berlagak kaya tapi cuma numpang senang," kata salah satu dari mereka.

"Emang semua miliarder kayak gitu, sih. Duitnya banyak, tapi nggak punya tujuan hidup. Hidupnya cuma buat pesta-pesta doang," sahut yang lain.

Farhan terpaku mendengar percakapan itu. Meski tidak disebutkan namanya, ia tahu mereka berbicara tentang dirinya. Hatinya seperti ditampar. Selama ini, itukah yang orang pikirkan tentang dirinya? Seorang pria kaya yang hidup tanpa arah?

Ia keluar dari toilet tanpa menunggu lebih lama. Langkahnya cepat, meninggalkan klub itu tanpa menoleh ke belakang. Udara malam yang dingin menyambutnya, membuat pikirannya semakin jernih. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa muak dengan hidupnya.

---

Di kamarnya yang luas dan mewah, Farhan duduk di sofa sambil menatap langit-langit. Rumah itu sunyi, terlalu sunyi. Ia membuka ponselnya, mencari sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Namun, semua hal yang ia lihat terasa hampa.

Tiba-tiba, pandangannya jatuh pada sebuah aplikasi Al-Quran yang sudah lama ia unduh tapi hampir tidak pernah dibuka. Ia ragu sejenak, tetapi akhirnya ia mengetuk ikon itu. Layar ponselnya menampilkan ayat-ayat yang terasa asing, tetapi entah bagaimana menenangkan.

Ayat pertama yang terbaca olehnya adalah: "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?" (QS Al-Hadid: 16).

Farhan tertegun. Pertanyaan itu seolah ditujukan langsung kepadanya. Hatinya bergetar, dan untuk pertama kalinya ia merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan di klub malam atau pesta mewah manapun—ketenangan.

Air matanya mengalir tanpa ia sadari. Ia teringat ibunya, yang dulu selalu mengingatkannya untuk shalat, tetapi selalu ia abaikan. Ia teringat ayahnya, yang pernah berkata bahwa harta adalah ujian, bukan tujuan. Dan sekarang, di malam yang sunyi ini, ia merasa semua pesan itu kembali menghantuinya.

Keesokan harinya, Farhan duduk di tepi tempat tidur, mengenakan kemeja putih sederhana. Tangannya bergetar saat mencoba mengancingkan kemejanya, pikirannya berkecamuk. "Apa yang gue lakuin ini benar?" tanyanya dalam hati. Ia menatap cermin di depannya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Wajahnya terlihat lebih tenang daripada malam sebelumnya, tetapi ada sorot ragu di matanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Epilog: Awal yang Baru

    "Mas, kamu nggak pernah mikir buat kembali lagi ke sini suatu saat nanti?" Aisyah memecah keheningan sore itu. Suaranya lembut, tapi ada nada ragu yang terselip. Ia menatap Farhan yang sedang duduk di taman kecil belakang rumah baru mereka. Bayangan senja memulas wajah suaminya yang terlihat tenang, namun pikirannya jelas sedang mengembara. Farhan mendongak, matanya bertemu dengan mata Aisyah. Ia lalu tersenyum kecil. "Aku pikirin. Tapi sekarang prioritas kita di sini, Sayang. Kamu tahu itu." "Tapi ... ada hal-hal yang nggak bisa kita tinggalkan di sana," lanjut Aisyah pelan. Matanya menerawang, mengingat semua yang pernah mereka lalui di tanah air. Suara kereta api di kejauhan, aroma masakan ibu di dapur, dan tawa Safira yang dulu sering memecah kesunyian rumah mereka. Farhan mendesah. Ia menatap dua bayi kecil mereka yang sedang bermain di atas selimut di rumput. Salah satu bayi tertawa kecil saat kakaknya menarik mainan

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 154: Awal Baru

    "Kalau nanti di tempat baru ... kita menemukan hal-hal yang nggak kita duga, apa yang akan kamu lakukan?"Farhan menatap wajah Aisyah dengan raut serius. Suaranya terdengar berat, tapi ada sesuatu di dalam nada itu yang lebih dalam-sebuah ketakutan yang ia sembunyikan rapat-rapat.Aisyah terdiam sesaat. Ia memandangi suaminya dengan mata yang penuh harap, meski pikirannya sedang berkecamuk. Jemarinya yang mungil menggenggam erat tangan Farhan yang lebih besar. "Mas, aku tahu ini nggak mudah ... tapi aku percaya, apa pun yang kita hadapi, kita bisa selesaikan. Bersama."Farhan menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. "Tapi, kamu tahu kan, ini bukan cuma soal kita, Sayang. Ada dua bayi yang sekarang bergantung sama kita. Kalau kita salah langkah ....""Kita nggak akan salah langkah, Mas," potong Aisyah lembut, namun tegas. "Aku tahu kamu khawatir. Aku juga. Tapi kita nggak bisa terus-terusan takut. Kalau kita terus mikirin kemungkinan buruk, kita nggak aka

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 153:

    "Aisyah, kalau nanti keadaan memaksa kita untuk tetap tinggal di sini, apa kamu siap untuk menghadapi semua risikonya?" Farhan menatap istrinya dengan tatapan tajam, mencoba membaca setiap emosi yang mungkin tersembunyi di balik wajah tenangnya. Aisyah terdiam sesaat, tapi matanya jelas menunjukkan pergulatan batin. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku nggak tahu, Mas," jawabnya akhirnya dengan suara lirih. "Tapi ... kalau itu yang harus kita hadapi, aku akan berusaha. Aku nggak mau kita menyerah begitu aja." Farhan mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya, jawaban itu jauh dari cukup untuk menghapus kekhawatirannya. "Kamu tahu kan, risikonya nggak main-main, Aisyah. Ini bukan cuma soal kita, tapi juga Safira ... dan keluarga besar kita." "Mas ...." Aisyah memotong, suaranya sedikit bergetar. "Aku tahu. Aku

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 152:

    Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Farhan dengan sorot mata yang sulit diartikan, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat penting. "Apa Mas siap mendengar jawabannya sekarang?" tanyanya pelan tapi tegas. Farhan mengerutkan kening, pandangannya beralih ke Aisyah yang masih terbaring lemah di ranjang, dengan bayi perempuan mereka dalam pelukannya. Bayi laki-laki mereka tertidur di boks kecil di samping tempat tidur. Situasi yang baru saja penuh kebahagiaan tiba-tiba berubah menjadi tegang. Farhan kembali menatap pria itu. "Saya siap. Katakan saja," jawab Farhan akhirnya, nada suaranya tegas, meski ia tahu ada sesuatu yang besar di balik pertanyaan itu. Pria itu menghela napas panjang, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Farhan, berbicara dengan suara yang lebih pelan. "Ada kabar dari tim di luar negeri, Mas. Rencana keberangkatan Anda dan keluarga mungkin harus ditunda... atau bahkan dibatalkan." Farha

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 151:

    "Mas ...." suara Aisyah terdengar gemetar. Napasnya terengah-engah, matanya berkaca-kaca menatap Farhan yang berada di sisinya. Genggaman tangannya semakin erat, seolah mencari kekuatan dari suaminya. Farhan membalas tatapannya dengan pandangan penuh ketenangan, meski di dalam hatinya ada gelombang kecemasan yang tak terlukiskan. "Aku di sini, Aisyah. Aku nggak akan kemana-mana," jawabnya lembut namun tegas.Belum sempat Aisyah merespons, seorang perawat masuk ke ruangan dengan langkah tergesa-gesa. "Ibu Aisyah, kita sudah siap. Silakan bersiap untuk masuk ke ruang persalinan," ujar perawat itu, suaranya terdengar profesional namun mengandung ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Aisyah menoleh cepat ke arah Farhan. Wajahnya pucat, tapi ada keberanian yang coba ia kumpulkan. "Mas ...." ia memanggil lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan.Farhan mengangguk, lalu mengusap lembut kening istrinya. "Kamu kuat, Sayang. Aku tahu kamu bisa.

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 150:

    "Aku nggak ngerti, Mas. Kenapa perutku makin besar? Ini nggak wajar, kan?" suara Aisyah pecah di pagi yang seharusnya tenang. Dia memandang Farhan dengan tatapan penuh kekhawatiran, tangannya mengelus perut buncitnya yang terasa begitu berat akhir-akhir ini.Farhan, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menoleh pelan. "Kamu jangan khawatir dulu, Sayang. Setiap kehamilan itu beda-beda. Dokter juga bilang semuanya normal, kan?""Tapi, Mas ...." Aisyah menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang membuncah di dadanya. "Aku tahu ini nggak biasa. Aku merasa ada yang salah. Perutku terlalu besar untuk usia kehamilan delapan bulan."Farhan meletakkan cangkir di atas meja dan menghampiri Aisyah. Dia duduk di depannya, menggenggam tangan istrinya dengan lembut. "Kamu terlalu banyak pikiran, Sayang. Itu yang bikin kamu cemas. Aku yakin bayi kita sehat. Jangan terlalu cemas dulu."Aisyah menggelengkan kepala, matanya mulai memerah. "Nggak, Mas. Aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status