Di luar, matahari bersinar cerah. Angin pagi yang segar menghembus lembut, menggugah keberaniannya. Ia akhirnya melangkah keluar rumah, kunci mobil di tangan. Namun, ketika sampai di garasi, ia berhenti sejenak. Mobil sport hitam mengilap itu terasa seperti simbol masa lalunya yang mewah dan hampa. Ia memilih berjalan kaki.
Setiap langkah menuju masjid terasa seperti perjalanan panjang yang tak berujung. Ia melewati jalanan kecil yang sepi, pikirannya terus dipenuhi pertanyaan. Apa yang akan orang pikirkan? Bagaimana jika ada yang mengenalnya? Tapi di sela semua itu, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk terus maju. Langkah demi langkah, ia akhirnya sampai di depan sebuah masjid kecil yang tampak bersahaja. Suara adzan dzuhur baru saja berkumandang ketika ia tiba. Masjid itu terlihat tenang, dengan beberapa orang yang berjalan masuk. Pohon mangga besar di halaman masjid memberikan keteduhan, sementara angin semilir membawa aroma khas sandal kayu yang baru dipakai para jamaah. Farhan berdiri di gerbang, merasa sedikit canggung. "Assalamu’alaikum, Nak," sebuah suara lembut menyambutnya. Seorang pria tua dengan jenggot putih dan sorban kecil di kepalanya berdiri di depan pintu masjid, senyumnya hangat. "Baru pertama kali ke sini?" Farhan mengangguk, mencoba tersenyum meski gugup. "Wa’alaikumussalam. Iya, Pak. Saya… saya cuma ingin coba." Pria tua itu tertawa kecil, suaranya penuh kehangatan. "Masya Allah, jangan ragu, Nak. Allah selalu menyambut hamba-Nya yang ingin kembali. Masuklah, mari." Farhan mengikutinya dengan langkah ragu. Kakinya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya. Namun, begitu melewati pintu masjid, hawa sejuk langsung menyapanya. Suara lantunan adzan yang mengisi ruangan membuat hatinya bergetar. Farhan memandang sekeliling, melihat orang-orang yang duduk bersila dengan wajah tenang, beberapa di antaranya tampak memejamkan mata sambil berdoa. Hatinya masih ragu, tetapi pria tua itu menepuk bahunya lembut. "Santai saja, Nak. Kita di sini bukan untuk dihakimi. Kita di sini untuk mendekat kepada-Nya," ujarnya, seolah membaca kegelisahan Farhan. Farhan tersenyum kecil, lalu mengangguk. Ia mengikuti langkah pria itu menuju tempat wudhu. Aliran air dingin yang mengalir dari keran membuatnya merasa segar, seolah ada beban yang perlahan-lahan hilang. Setiap gerakan wudhu yang ia lakukan terasa baru, meski ia pernah mempelajarinya di masa kecil. Ada rasa haru yang ia rasakan ketika menyentuh wajahnya dengan air, seperti membasuh luka yang telah lama ia abaikan. Selesai berwudhu, Farhan memasuki ruang shalat. Pria tua tadi membimbingnya menuju barisan paling belakang. "Di sini saja, Nak. Ikuti saja gerakannya kalau belum hafal," ujarnya sambil tersenyum. Farhan mengangguk, hatinya berdebar-debar. Ia berdiri di antara para jamaah, mendengar imam mulai melantunkan takbir. Suaranya merdu, penuh ketenangan. Farhan mencoba mengikuti, meski gerakannya sedikit kaku. Namun, ketika ia bersujud, sesuatu yang berbeda terjadi. Di sana, di atas sajadah, dengan dahi menyentuh lantai, ia merasa kecil—kecil di hadapan kebesaran Allah. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. Hatinya terasa ringan, seperti beban yang selama ini menghimpitnya perlahan menghilang. Selesai shalat, Farhan duduk di sudut masjid, memandangi mihrab yang sederhana namun menenangkan. Ia memejamkan mata, mencoba mencerna apa yang baru saja ia rasakan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa damai. Tidak ada suara musik bising, tidak ada tawa palsu teman-temannya. Hanya ada dirinya dan perasaan tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Bagaimana rasanya, Nak?" suara lembut pria tua itu memecah keheningan. Ia duduk di sebelah Farhan, membawa aroma kayu gaharu yang samar-samar. Farhan menoleh, tersenyum kecil. "Tenang, Pak. Entah kenapa, saya merasa lebih baik." "Itulah janji Allah," jawab pria itu sambil tersenyum. "Hati kita hanya bisa tenang dengan mengingat-Nya. Dunia ini penuh gemerlap, tapi hati yang gelisah tidak akan pernah puas. Allah yang memegang kendali, dan Dia selalu menunggu hamba-Nya kembali." Farhan mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca lagi. "Saya nggak tahu harus mulai dari mana, Pak. Hidup saya… berantakan," ujarnya lirih. Pria tua itu menepuk bahunya lagi. "Semua orang punya masa lalu, Nak. Tapi yang penting adalah langkah yang kamu ambil sekarang. Allah Maha Pengampun, selama kita mau berubah. Jangan takut, insya Allah, semuanya akan lebih baik." Farhan menghela napas panjang, hatinya terasa lebih ringan. Malam tadi, ia merasa kehilangan arah. Namun, pagi ini, di tempat yang sederhana ini, ia merasa seperti menemukan jalan pulang. Meskipun langkah pertamanya berat, ia tahu ini adalah keputusan yang tepat. Saat ia melangkah keluar masjid, matahari siang menyambutnya dengan hangat. Pohon mangga di halaman bergoyang lembut diterpa angin. Ia berhenti sejenak di bawahnya, menatap langit biru yang terasa lebih cerah dari biasanya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Namun, dari kejauhan, suara klakson mobil memecah keheningan. Sebuah mobil hitam berhenti di depan gerbang masjid, dan seseorang yang ia kenal keluar dari dalamnya. Tio. Wajah temannya itu tampak bingung sekaligus marah. "Farhan! Lo di sini? Lo nggak serius kan?" teriak Tio, berjalan cepat mendekatinya. Farhan berdiri diam, menatap temannya dengan hati yang mulai bergolak. Apa yang harus ia katakan? Apa yang akan terjadi jika Tio tahu apa yang sebenarnya ia lakukan di sini? Angin bertiup lembut, seolah menjadi saksi dari keputusan besar yang harus Farhan ambil.Setelah Farhan pergi, Aisyah tetap terdiam di kursi ruang makan. Dingin pagi itu terasa semakin menusuk, meskipun matahari sudah mulai naik perlahan. Ia menatap kosong ke piring sarapan yang masih menyisakan nasi dan telur yang belum ia habiskan. Perasaannya campur aduk. Ada rasa bersalah, namun juga kekecewaan yang tak bisa ia abaikan."Aku cuma butuh dia ada," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Tangannya menyentuh perutnya yang mulai membesar. Ada kehidupan di dalamnya, sebuah keajaiban yang seharusnya menjadi kebahagiaan. Tapi kenapa semuanya justru terasa begitu berat? Ia merasa sendirian, meskipun Farhan selalu berusaha meyakinkannya bahwa ia tidak sendiri.Tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Layar menunjukkan nama Farhan. Aisyah menghela napas dan mengangkatnya tanpa semangat."Mas?" suaranya terdengar datar."Aisyah, aku baru selesai sama Arman. Aku pulang sekarang," suara Farhan terde
Malam itu, setelah hari yang begitu panjang, Aisyah akhirnya bisa tidur lebih awal. Farhan duduk di sisi tempat tidur, memandangi wajah tenang istrinya yang terlelap. Ada rasa lega yang perlahan mengisi dadanya. Sudah beberapa hari ini Aisyah terlihat begitu gelisah, bahkan sulit tidur. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, ia bisa tidur lebih cepat.Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.Di tengah malam, Aisyah terbangun mendadak. Napasnya terengah-engah, tangannya mencengkeram perutnya dengan panik. Matanya terbuka lebar, penuh ketakutan. Farhan yang baru saja memejamkan mata langsung tersentak bangun."Aisyah!" panggil Farhan sambil meraih bahu istrinya. "Kamu kenapa? Mimpi buruk lagi?"Aisyah menggeleng cepat, tapi air matanya sudah mengalir. "Mas ... aku nggak bisa ... nggak bisa tenang. Aku takut, Mas. Aku takut banget." Suaranya bergetar, penuh kepanikan yang sulit dijelaskan.Farhan menarik napas panjang, menenangkan dirinya dulu sebelum mencoba menenangkan Aisyah. Ia
Farhan memijat pelipisnya, mencoba menjelaskan situasi tanpa terdengar terlalu khawatir. "Dia masih ... gitu, Man. Banyak kecemasan. Gue nggak tahu harus gimana lagi. Kayak semua yang gue lakuin nggak cukup buat bikin dia tenang."Arman terdiam sejenak sebelum menjawab. "Gue ngerti, Bang. Tapi lo juga harus sabar. Kehamilan tuh pasti bikin dia lebih sensitif. Lo ingat nggak dulu waktu Ibu hamil gue? Bapak juga sering cerita, Ibu jadi sering cemas. Apalagi Aisyah ini kehamilan pertama, kan?"Farhan terdiam. Ia ingat cerita itu. Tapi rasanya apa yang dialami Aisyah jauh lebih berat dari sekadar kehamilan biasa. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum Aisyah ungkapkan."Tapi ini beda, Man," balas Farhan akhirnya. "Dia sampai nggak bisa tidur, nggak mau keluar rumah. Tiap hari cuma khawatir soal bayi. Gue takut dia terlalu stres.""Kalau gitu, lo harus ajak dia bicara lebih dalam, Bang. Mungkin ada sesuatu yang dia pendam. Kadang, kit
Aisyah duduk di sofa ruang tamu, kedua tangannya menggenggam erat secangkir teh hangat yang sudah mulai dingin. Pandangannya tidak fokus, terus tertuju pada jendela besar yang menghadap ke taman kecil di depan rumah. Di luar, hujan rintik-rintik membasahi dedaunan, menciptakan irama menenangkan. Tapi dalam hati Aisyah, tidak ada ketenangan. Hanya kecemasan yang terus merongrong pikirannya."Masih hujan, ya?" Suara Farhan memecah keheningan. Lelaki itu muncul dari dapur dengan segelas kopi di tangan, lalu duduk di sebelah Aisyah. Ia menatap istrinya, mencoba membaca ekspresi yang sejak beberapa hari terakhir terasa sulit ia pahami.Aisyah hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. "Iya, Mas. Hujan," jawabnya singkat.Farhan menghela napas pelan. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Sejak kehamilan Aisyah memasuki trimester kedua, istrinya itu mulai berubah. Semakin sering termenung, memilih tinggal di rumah, dan kadang terlihat seperti orang yang sedang dihantu
Aisyah memandang kotak kecil di tangannya dengan napas tertahan. Tangannya sedikit gemetar saat ia membukanya perlahan. Di dalamnya, ada alat tes kehamilan yang baru saja dia gunakan beberapa menit lalu. Farhan berdiri tak jauh darinya, menatap dengan campuran rasa khawatir dan harapan yang tadi sempat terlukis di matanya. "Aku lihat hasilnya, Mas?" tanya Aisyah dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. Farhan mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Dia meraih tangan Aisyah, menggenggamnya erat, seolah ingin memberikan kekuatan. "Bareng aja, Sayang. Kita lihat bareng." Aisyah mengangguk kecil. Ia menarik napas panjang dan berusaha menenangkan debaran jantungnya yang terasa semakin kencang. Dengan tangan yang masih bergetar, ia mengangkat alat tes kehamilan itu untuk melihat hasilnya. Dua garis merah. Mata Aisyah membelalak. Ia menatap alat itu, memastikan apa yang dilihatnya benar. "Mas ... ini ... dua garis,"
Matahari mulai memancarkan sinarnya, mengintip dari sela-sela tirai kamar. Suara burung di luar jendela terdengar ceria, seolah menyambut hari baru dengan semangat. Namun, di dalam kamar, suasana masih hening. Farhan membuka matanya perlahan, merasa berat untuk bangun dari kasur. Ia menoleh ke samping, melihat Aisyah yang masih terlelap. Wajah istrinya terlihat tenang, meski ada jejak kelelahan yang sulit disembunyikan. Farhan menarik napas panjang. Dalam hatinya, ia berjanji akan melakukan apa saja untuk membuat Aisyah bahagia. Ia tahu, perjalanan mereka tidak akan mudah. Namun, ia juga tahu bahwa cinta mereka lebih kuat dari segala rintangan. Sekitar setengah jam kemudian, Aisyah mulai menggeliat pelan. Matanya perlahan terbuka, dan ia tersenyum tipis saat melihat Farhan sudah bangun. "Mas, udah bangun duluan?" tanyanya dengan suara serak khas pagi. Farhan tersenyum balik. "Iya, aku nggak mau bangunin kamu. Kamu kelihatan capek semalam." Ais