Share

Next: Titik Balik

Author: Resya
last update Last Updated: 2024-12-03 22:11:21

Di luar, matahari bersinar cerah. Angin pagi yang segar menghembus lembut, menggugah keberaniannya. Ia akhirnya melangkah keluar rumah, kunci mobil di tangan. Namun, ketika sampai di garasi, ia berhenti sejenak. Mobil sport hitam mengilap itu terasa seperti simbol masa lalunya yang mewah dan hampa. Ia memilih berjalan kaki.

Setiap langkah menuju masjid terasa seperti perjalanan panjang yang tak berujung. Ia melewati jalanan kecil yang sepi, pikirannya terus dipenuhi pertanyaan. Apa yang akan orang pikirkan? Bagaimana jika ada yang mengenalnya? Tapi di sela semua itu, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk terus maju. Langkah demi langkah, ia akhirnya sampai di depan sebuah masjid kecil yang tampak bersahaja.

Suara adzan dzuhur baru saja berkumandang ketika ia tiba. Masjid itu terlihat tenang, dengan beberapa orang yang berjalan masuk. Pohon mangga besar di halaman masjid memberikan keteduhan, sementara angin semilir membawa aroma khas sandal kayu yang baru dipakai para jamaah. Farhan berdiri di gerbang, merasa sedikit canggung.

"Assalamu’alaikum, Nak," sebuah suara lembut menyambutnya. Seorang pria tua dengan jenggot putih dan sorban kecil di kepalanya berdiri di depan pintu masjid, senyumnya hangat. "Baru pertama kali ke sini?"

Farhan mengangguk, mencoba tersenyum meski gugup. "Wa’alaikumussalam. Iya, Pak. Saya… saya cuma ingin coba."

Pria tua itu tertawa kecil, suaranya penuh kehangatan. "Masya Allah, jangan ragu, Nak. Allah selalu menyambut hamba-Nya yang ingin kembali. Masuklah, mari."

Farhan mengikutinya dengan langkah ragu. Kakinya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya. Namun, begitu melewati pintu masjid, hawa sejuk langsung menyapanya. Suara lantunan adzan yang mengisi ruangan membuat hatinya bergetar. Farhan memandang sekeliling, melihat orang-orang yang duduk bersila dengan wajah tenang, beberapa di antaranya tampak memejamkan mata sambil berdoa.

Hatinya masih ragu, tetapi pria tua itu menepuk bahunya lembut. "Santai saja, Nak. Kita di sini bukan untuk dihakimi. Kita di sini untuk mendekat kepada-Nya," ujarnya, seolah membaca kegelisahan Farhan.

Farhan tersenyum kecil, lalu mengangguk. Ia mengikuti langkah pria itu menuju tempat wudhu. Aliran air dingin yang mengalir dari keran membuatnya merasa segar, seolah ada beban yang perlahan-lahan hilang. Setiap gerakan wudhu yang ia lakukan terasa baru, meski ia pernah mempelajarinya di masa kecil. Ada rasa haru yang ia rasakan ketika menyentuh wajahnya dengan air, seperti membasuh luka yang telah lama ia abaikan.

Selesai berwudhu, Farhan memasuki ruang shalat. Pria tua tadi membimbingnya menuju barisan paling belakang. "Di sini saja, Nak. Ikuti saja gerakannya kalau belum hafal," ujarnya sambil tersenyum.

Farhan mengangguk, hatinya berdebar-debar. Ia berdiri di antara para jamaah, mendengar imam mulai melantunkan takbir. Suaranya merdu, penuh ketenangan. Farhan mencoba mengikuti, meski gerakannya sedikit kaku. Namun, ketika ia bersujud, sesuatu yang berbeda terjadi. Di sana, di atas sajadah, dengan dahi menyentuh lantai, ia merasa kecil—kecil di hadapan kebesaran Allah. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. Hatinya terasa ringan, seperti beban yang selama ini menghimpitnya perlahan menghilang.

Selesai shalat, Farhan duduk di sudut masjid, memandangi mihrab yang sederhana namun menenangkan. Ia memejamkan mata, mencoba mencerna apa yang baru saja ia rasakan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa damai. Tidak ada suara musik bising, tidak ada tawa palsu teman-temannya. Hanya ada dirinya dan perasaan tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Bagaimana rasanya, Nak?" suara lembut pria tua itu memecah keheningan. Ia duduk di sebelah Farhan, membawa aroma kayu gaharu yang samar-samar.

Farhan menoleh, tersenyum kecil. "Tenang, Pak. Entah kenapa, saya merasa lebih baik."

"Itulah janji Allah," jawab pria itu sambil tersenyum. "Hati kita hanya bisa tenang dengan mengingat-Nya. Dunia ini penuh gemerlap, tapi hati yang gelisah tidak akan pernah puas. Allah yang memegang kendali, dan Dia selalu menunggu hamba-Nya kembali."

Farhan mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca lagi. "Saya nggak tahu harus mulai dari mana, Pak. Hidup saya… berantakan," ujarnya lirih.

Pria tua itu menepuk bahunya lagi. "Semua orang punya masa lalu, Nak. Tapi yang penting adalah langkah yang kamu ambil sekarang. Allah Maha Pengampun, selama kita mau berubah. Jangan takut, insya Allah, semuanya akan lebih baik."

Farhan menghela napas panjang, hatinya terasa lebih ringan. Malam tadi, ia merasa kehilangan arah. Namun, pagi ini, di tempat yang sederhana ini, ia merasa seperti menemukan jalan pulang. Meskipun langkah pertamanya berat, ia tahu ini adalah keputusan yang tepat.

Saat ia melangkah keluar masjid, matahari siang menyambutnya dengan hangat. Pohon mangga di halaman bergoyang lembut diterpa angin. Ia berhenti sejenak di bawahnya, menatap langit biru yang terasa lebih cerah dari biasanya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Namun, dari kejauhan, suara klakson mobil memecah keheningan. Sebuah mobil hitam berhenti di depan gerbang masjid, dan seseorang yang ia kenal keluar dari dalamnya. Tio. Wajah temannya itu tampak bingung sekaligus marah.

"Farhan! Lo di sini? Lo nggak serius kan?" teriak Tio, berjalan cepat mendekatinya.

Farhan berdiri diam, menatap temannya dengan hati yang mulai bergolak. Apa yang harus ia katakan? Apa yang akan terjadi jika Tio tahu apa yang sebenarnya ia lakukan di sini?

Angin bertiup lembut, seolah menjadi saksi dari keputusan besar yang harus Farhan ambil.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 146:

    Aisyah menarik napas panjang, lalu menatap Farhan dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, Mas ... apa kamu siap kehilangan semua ini kalau aku bilang nggak?"Farhan yang sedang berdiri di dekat jendela langsung menoleh. Alisnya mengerut dalam, seperti mencoba memahami maksud sebenarnya dari pertanyaan itu. "Kehilangan semua ini? Kamu maksud apa, Aisyah?" Nada suaranya terdengar tegas, tapi jelas ada kebingungan di sana.Aisyah menghela napas sekali lagi. Tatapannya tetap tertuju pada Farhan, meskipun kini ada sedikit genangan air di sudut matanya. "Aku cuma mau tahu, Mas. Kalau aku bilang aku nggak setuju dengan rencana kamu, apa artinya kamu bakal tinggalkan aku? Kita? Rumah yang udah kita bangun selama ini?"Farhan mendekat, duduk di hadapan Aisyah. "Aisyah, kamu tahu jawabannya nggak sesederhana itu." Suaranya melembut, tapi masih ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. "Aku nggak pernah punya niat buat ninggalin kamu atau Anya. Tapi ini so

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 145: Langkah Berat di Antara Bintang

    Aisyah masih berdiri di depan jendela kamar. Udara malam yang dingin menyusup perlahan dari sela-sela kaca, membuat tubuhnya sedikit menggigil. Ia memeluk dirinya sendiri, mengusap lengan dengan kedua tangan. Dari kasur, Farhan memandanginya dengan napas teratur. Ketenangan itu tidak bertahan lama ketika suara lirih Aisyah akhirnya memecah keheningan."Mas ...," Aisyah tidak menoleh. Pandangannya tetap terpaku pada bintang di langit. "Aku tahu ... kamu ada sesuatu yang belum kamu kasih tahu ke aku, kan?"Farhan terdiam sejenak. Wajahnya yang tadi tampak rileks berubah serius. Ia bangkit dari kasur, menarik napas panjang, dan menghampiri Aisyah. Tangannya meraih bahu istrinya dengan lembut."Aku nggak tahu harus mulai dari mana," ujar Farhan pelan.Aisyah akhirnya menoleh. Tatapan matanya lemah, tapi ada sesuatu di dalamnya yang menuntut jawaban. "Kalau itu tentang kita, aku mau tahu sekarang, Mas."Farhan menggigit bibir bawahnya. Ia tahu

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 144:

    Aisyah ingin bertanya lebih lanjut, tapi ia tahu Farhan tidak akan menjawab. Ia hanya bisa mengangguk, meski hatinya dipenuhi rasa cemas. Suaminya itu terlalu sering memilih diam, menyimpan semua beban untuk dirinya sendiri. Hal itu membuat Aisyah merasa seperti berdiri di ujung tebing-seolah ia tidak tahu kapan angin kencang akan datang, menghancurkan keseimbangannya. Namun kali ini, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang keheningan. Aisyah menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang gelisah. "Mas," panggilnya pelan. Tangannya kini menggenggam cangkir teh hangat, yang sejak tadi hanya ia pandangi tanpa minum. Farhan mengangkat wajah dari layar ponsel. "Iya, Sayang?" Nada suaranya lembut, seperti biasa. Tapi Aisyah menangkap sesuatu yang lain di sana. Kelelahan, mungkin. "Aku mau bilang makasih ... buat semuanya," ucap Aisyah, suaranya nyaris seperti bisikan. Farhan mengerutkan kening. Ia meletakkan ponsel di meja, memperhatikan istrinya dengan cermat. "Kamu k

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 143: Next

    "Tarik napas dalam-dalam, tahan selama tiga detik, lalu hembuskan perlahan. Ulangi beberapa kali sampai kamu merasa lebih tenang."Aisyah mencoba mengikuti, meskipun masih terlihat ragu. Matanya menatap Farhan yang duduk di hadapannya, penuh perhatian. Tangannya gemetar saat dia menekan lututnya sendiri, berusaha keras menenangkan diri. Ruang tamu rumah mereka masih terbungkus keheningan, hanya ada suara napas Aisyah yang berat dan sedikit tersendat."Pelan-pelan aja, Mas di sini," ucap Farhan lembut, mencoba memberikan rasa aman.Aisyah menarik napas lagi, kali ini lebih dalam. Matanya terpejam, mencoba mengusir gelombang kecemasan yang terus menghantam pikirannya. Tapi tetap saja, rasa sesak itu tak kunjung hilang. Dadanya seakan dihimpit sesuatu yang berat. Ia membuka mata dengan cepat, seolah-olah mencari udara yang lebih segar."Mas, aku gak bisa," katanya, suaranya bergetar. "Aku udah coba, tapi ... tetep aja rasanya kayak ... kayak aku gak bisa bernapas. Ini kenapa, sih?" Farh

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 142: Luka yang Mulai Terbuka

    Aisyah menggeleng. "Aku malu, Mas. Aku takut kamu nggak akan mau terima aku kalau kamu tahu."Farhan menggenggam tangan istrinya erat, mencoba menyampaikan ketulusan yang mungkin tidak bisa diungkapkan hanya lewat kata-kata. "Aku nggak peduli masa lalumu, Sayang. Aku cuma peduli sama kamu. Dan aku mau kamu tahu, aku di sini buat kamu."Aisyah terdiam, bibirnya bergetar seolah ada ribuan kata yang ingin keluar tapi tertahan. Matanya yang sembab karena air mata menatap Farhan dalam-dalam. Seolah ia sedang mencari sesuatu-mungkin keyakinan, mungkin kepastian. Atau mungkin, ia hanya ingin percaya bahwa Farhan benar-benar ada untuknya."Mas ...," Aisyah memanggil pelan, suaranya hampir tenggelam oleh isakan kecil. "Aku ini ... rusak."Farhan menghela napas dalam, tapi tidak melepaskan genggamannya. "Kamu nggak rusak, Aisyah. Kamu manusia. Semua orang punya luka. Tapi luka itu nggak bikin kamu rusak."Aisyah masih ragu. Ia menunduk, menghindari

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 141: Retakan di Balik Obsesi

    Farhan berusaha tersenyum, meskipun ia tahu senyumnya tak meyakinkan. "Nggak ada apa-apa, sayang. Cuma pesan kerjaan."Tapi pikirannya terus berputar. Siapa yang mengirim pesan itu? Apa hubungannya dengan Aisyah? Dan ... apa yang sebenarnya sedang terjadi? Ponselnya masih ia genggam erat, seolah takut kalau pesan itu tiba-tiba lenyap begitu saja. Di depannya, Aisyah menatapnya dengan wajah penuh curiga."Mas yakin nggak ada apa-apa?" Aisyah bertanya lagi, suaranya pelan tapi tegas. Matanya yang biasanya lembut terasa seperti sedang menyelidiki. "Kenapa Mas kelihatan gugup gitu?"Farhan menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, jika ia menjawab dengan nada salah, Aisyah pasti akan semakin menekan. "Aku beneran nggak apa-apa," jawabnya, kali ini mencoba terdengar lebih santai. Ia meletakkan ponselnya di atas meja, seolah ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu disembunyikan.Tapi Aisyah tetap tidak puas. Ia melipat tangan di dada, duduk bersandar di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status