Sampai di hari berikutnya masih tak ada kabar apa pun meskipun daya upaya telah di lakukan. Dari mengintrogasi orang-orang yang bersangkutan sampai akhirnya melibatkan pihak berwajib. Tak ada jejak apa pun tentang keberadaan Lira.
"Saya dan Lira memang berpacaran." ucap Andreas pada suami istri Prawira. Di malam ketiga setelah Ayahnya memberikan mandat, akhirnya ia datang bersama keluarga. Tentu saja keluarga yang di maksud hanya Rendy dan Ayahnya, karena Ibu Andreas telah meninggal saat mereka masih berusia delapan tahun.
"Tapi saya benar-benar tidak tahu dia di mana." lanjut Andreas dengan wajah sungguh-sungguh. Dalam hal tertentu Andreas memang konyol dan semau-maunya. Tapi dia tahu sopan santun dan tata krama, apa lagi ini dengan rekan bisnis Ayahnya. Tentu dia tidak akan bertindak sembarangan, jika tidak mau kena murka Adnan yang duduk di sebelahnya dengan raut wajah kakunya.
Liana terlihat putus asa mendengar
Tok!Tok!Tok!Emmy si Pelayan mengetuk pintu kamar Johan tengah malan. Di tangannya ia membawa nampan berisi makanan dan minuman. Sesekali ia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan was-was.Pintu terbuka perlahan. Emmy lekas menyerahkan nampan berisi makanan tadi kepada Johan yang berdiri di ambang pintu tanpa membuka sepenuhnya.Emmy menunduk dan tanpa mengucap apapun, Johan langsung menutup pintu kamarnya.Begitu pintu tertutup, Pelayan Emmy menghela nafas lega. Di pegangi dadanya yang berdebar tak karuan tiap kali ia melakukan pekerjaan yang di perintahkan Tuan mudanya tersebut.Tak mau berlama-lama, dalam keremangan rumah yang lampu-lampu utamanya telah di matikan, Emmy segera pergi dari s
Johan yang sedang meminum susu hangat melihat dari balik gelas kaca saat Pelayan Emmy yang membawa nampan berisi cangkir teh dengan beberapa potong roti lewat di depan.Mereka saling lirik sesaat sebelum Emmy berjalan menuju halaman belakang."Silahkan, Tuan, Nyonya." sambil menunduk Pelayan wanita dengan rambut tergelung sederhana itu menyuguhkan bawaannya ke atas meja kecil samping taman.Dua majikannya tak menanggapi. Atau mungkin tak tahu jika dia ada. Meski begitu, Emmy tetap menunduk dan undur diri dengan sopan.Ia sempat melihat sang Nyonya tengah menitikan air mata di pipinya yang terlihat semakin cekung dari hari ke hari. Yah, sudah sebulan Lira hilang dan sampai sekarang belum ada kabar apa pun. Meski pencarian terus di lakukan. Membuat pasangan suami istri Prawira memutuskan tak lagi mengurusi bisnisn
"Aku ingin mengatakan sesuatu pada kalian." Johan yang sedari tadi hanya bermain dengan kedua keponakannya tiba-tiba angkat bicara.Semua yang berada di ruang keluarga itu menghentikan pembicaraan dan menoleh padanya."Apa ada sesuatu tentang Lira yang belum kau ceritakan pada kami?" Liana bertanya penuh harap."Ini memang ada hubungannya dengan Lira. Tapi bukan soal itu sayangnya." Johan menyesal.Liana terlihat kecewa. Ia kembali merebahkan punggungnya ke sofa."Apa kau ingin tambahan uang saku,Jo?" James terkekeh.Jasmine mengulum senyum menahan geli mendengarnya.Johan menarik salah satu ujung bibirnya. Candaan yang tak lucu. Karena jelas James dan Jasmine tahu,sejak dulu Johan tak pernah mendapat uang saku yang cukup.
"Sayang kau tak pernah merasakan pelukan Mama ya,Jo..?" James menyandarkan diri pada samping mobil.Ia membandingkan pundak Johan dan dirinya yang bersisihan.Tanpa sepengetahuan Johan. Wajah pria berkacamata itu sedikit masam. Dalam hal tinggi badan pun,ia kalah dengan adiknya.Entah karena terdoktrin Papa nya, atau ada hal yang lain. Tapi dalam hati James,ia juga menyalahka Johan atas kematian Ibu mereka. Dan sialnya,Johan pula lah yang paling mirip dengan sang Ibu. Bahkan di banding Jamine sekali pun yang notabene seorang wanita."Kau tahu kenapa aku memilih tinggal di luar Negeri?" tanya James sambil melihat sekilas ke arah Johan sebelum kembali memandangi rumah mewah tempat tinggal Keluarga Prawira dengan halaman yang begitu luas dengan satu paviliun terpisah."Karena bisnismu di sana." Johan menjawab senorm
"Kau lama sekali,Jo." dari sofa tempatnya duduk Sonia berseru saat melihat Johan membuka pintu Apartemennya."James mengajakku mengobrol." Johan tersenyum.Ditaruh tas ranselnya di sebelah sebelum duduk."Oh." Sonia terkejut. "Sejak kapan kalian akrab?" ia bergeser dan langsung bergelayut dan mencium pipi Johan manja.Lelaki berkaos merah itu tertawa geli."Nanti kami akan lebih akrab." kelakarnya.Sonia memandanginya penuh cinta."Aku senang akhir-akhir ini kau banyak senyum." ucapnya sambil menyandarkan kepalanya ke pundak Johan."Aku juga sedang senang." Johan tertawa terbahak.Sonia mengangkat kepalanya dari pundak Johan. Tatapannya berubah serius. "Jo,apa kau senang karena Lira?" tanyanya.
Aji Prawira. Pria paruh baya itu membangun bisnisnya dari nol. Di awali ia yang tak mau melihat istrinya yang tengah hamil tua masih harus bekerja.Di tambah layanan kesehatan yang lambat bagi pemegang kartu kurang mampu, dan berujung keguguran anak pertamanya dulu. Dari situ Aji menilai,kita akan di hormati dan di layani dengan baik jika dompet kita tebal. Maka kita yang tak mampu harus bagaimana caranya menjadi merangkak naik agar di hormati dan mendapatkan segala yang terbaik. Tahun-tahun sulit ia lalui bersama keluarga kecilnya. Dengan tekat yang kuat serta ketekunan. Akhirnya ia mampu memberikan kenyamana hidup untuk Keluarga. Terutama untuk sang istri tercinta yang menemani di kala susah. Namun kebahagiaan serta kemewahan itu hanya bisa sesaat sang istri rasakan. Kehamilan yang tak di rencanakan ser
Bulan-bulan berlalu dengan begitu lambat seiring keberadaan Lira yang tak di ketahui.Mencoba mengikhlaskan sambil terus berharap,jika suatu saat Lira akan pulang dalam keadaan baik dan selamat.Kejahatan sempurna yang tak pernah terbayang. Sesempurna hari ini ketika Johan di nyatakan lulus dengan predikat cumlaude.Ia terlihat gagah dan semakin bersinar dengan baju dan topi toganya. Beberapa teman dan junior mengerubuti mengucapkan selamat dan meminta foto.Ah,Johan memang terlalu memikat bagi siapa pun. Apa lagi jika ia tersenyum dan menunjukkan keramahannya."Selamat Kak.""Kak Johan,selamat.""Hilang satu alasanku untuk berangkat kuliah."Dan masih banyak lagi.&
"Sepi sekali. Di mana semua orang?" tanya Sonia saat memasuki rumah keluarga Prawira."Papa dan Mama lebih sering tinggal di luar negeri setelah kedua saudara ku meninggal dan Lira tak ada kabar." Johan menjawab.Rumah mewah nan luas itu memang terasa kosong. Hampir seperti tak ada kehidupan. Senyap dengan hawa yang tak nyaman meskipun segala sesuatu bersih dan tertata."Aku pikir dia mengajakku ke rumah karena ingin mengenalkanku secara resmi kepada orang tuanya." Sonia berkata dalam hati. Ia menunduk, sesikit kecewa."Papa menyerahkan beberapa anak perusahan kepada ku. Termasuk milik James yang terbengkalai."Johan berkata saat mereka menaiki anak tangga."Benarkah?" Sonia ikut senang. "Akhirnya Papa mu mempercayakan semua padamu."