Share

Pulang Disambut Bendera Kuning
Pulang Disambut Bendera Kuning
Author: Intan Resa

Kenyataan yang Menyakitkan

"Siapa yang meninggal di rumah kami? Apa istriku? Sudah satu bulan ini dia tak pernah menjawab telponku. Ah, tidak mungkin."

Hati Fajar gelisah dan terus bertanya-tanya. Tiga tahun merantau di Riau, mulai dari buruh kelapa sawit hingga jadi mandor, kini ia pulang kampung ke Sumatera Utara tanpa memberitahu kabar ini pada semua keluarga. Hanya sekali setahun berjumpa, tak tahan lagi Fajar berpisah dengan keluarga kecilnya.

Bulan yang lalu Yunita minta uang dalam jumlah yang banyak untuk membuka usaha, tapi Fajar tak mengabulkan dan akhirnya memicu kemarahan sang istri. Imbasnya, sebulan terakhir nomor Yunita jadi lebih sering nonaktif.

"Ini ongkosnya, Pak!" ujar Fajar, menyodorkan selembar uang pecahan bergambar presiden pertama kepada tukang becak tanpa meminta kembalian lagi. Ia letakkan asal tas dan kotak oleh-oleh yang ia beli saat singgah di perjalanan.

Orang-orang yang mengerumuni rumah itu terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Mereka menatapnya iba, memberi jalan agar lebih cepat masuk.

"Yunitaaaaaa!" serunya.

Bau busuk menyeruak, menusuk indra penciuman.

"Ini bukan istrimu, Fajar," ujar seorang ibu-ibu paruh baya, menepuk pundak lelaki yang sedang terpukul itu. Di dalam rumah, tak begitu banyak orang karena tak tahan mencium bau jenazah.

Fajar menoleh, mengusap sudut mata yang berair.

"Lalu siapa, Bu?"

Perempuan berjilbab hitam itu membuka penutup wajah jenazah. Netra Fajar membeliak sempurna, lalu meraung histeris. Wajah itu adalah penyemangatnya di rantau. Dia bekerja demi masa depan buah hatinya.

"Hera? Kenapa kamu bisa begini, Nak?" lirihnya di sela tangis.

"Tabahkan hatimu, Fajar. Kita harus segera menunaikan fardu kifayah anakmu. Kami tak tahu di mana istrimu, tapi kalau ibumu sedang dalam perjalanan ke sini."

Fajar mengangukkan kepala dengan pikiran yang berkecamuk. Dengan segera para pengurus jenazah memandikan dan mengkafani bocah yang belum genap berusia 12 tahun itu. Tahun ini dia akan masuk SMP dan Fajar ingin melihat gadisnya tumbuh remaja.

Fajar masih tak menyangka kalau putrinya meregang nyawa tanpa diketahui siapa pun. Menurut cerita warga, tetangga baru tahu karena mencium bau busuk dari rumah yang sering tertutup seminggu ini. Dan yang lebih membuatnya tak habis pikir adalah bahwa sang istri tidak ada di rumah.

Jenazah langsung disalatkan dan dikuburkan karena tak memungkinkan lagi untuk dilama-lamakan. Fajar begitu terpukul. Dia bekerja sampai ke Luar Provinsi demi istri dan buah hatinya. Namun, tak ada senyuman yang menyambut melainkan tangisan pilu.

*

Sudah lima hari pasca Fajar kembali ke kampung. Penampilannya memprihatinkan. Kumis dan rambutnya belum sempat dirapikan. Makan juga tak berselera, apalagi merawat diri.

"Ibu masih tak menyangka kalau Hera akan pergi secepat ini," lirih Bu Sumi, ibunya Fajar yang tinggal dikecamatan sebelah. Dia menyodorkan segelas air buat putranya.

"Iya, Bu. Fajar masih belum percaya kalau putriku sudah tak ada lagi di rumah ini."

Tatapan Fajar begitu kosong. Dia seperti kehilangan semangat hidup. Istrinya juga tak tahu entah dimana. Berkali-kali mencoba menghubungi, tapi tidak dijawab sama sekali.

"Bu, apa mungkin ada yang menculik istriku?" tanya Fajar meskipun tak yakin.

Bu Sumi menggelengkan kepala. Dia pun tak tahu tentang keberadaan menantunya. Mereka memang tidak terlalu akrab, terlebih Fajar pergi merantau. Saat berkunjung menjenguk sang cucu, sering kali Yunita pura-pura tidur dan tidak menemui mertuanya sampai pulang.

Suara deru mobil membuat Ibu dan anak itu berdiri dan menatap dari jendela yang menghadap langsung ke jalan. Besar harapan mereka bahwa yang datang itu adalah Yunita.

Fajar menyipitkan mata melihat seorang lelaki berpenampilan necis turun dari mobil, lalu memutar dan membukakan pintu lainnya. Seorang wanita berambut lurus dan pendek memakai dress selutut warna ungu menyambut tangan lelaki itu, lalu berjalan bergandengan seraya tertawa kecil.

Fajar kenal betul dengan wanita itu meskipun penampilannya berubah drastis. Rambut bergelombang yang sangat ia sukai itu sudah tak berbekas, tapi Fajar masih ingat dengan jelas wajah wanita yang dia nikahi 13 tahun lalu.

Darahnya mendidih dan langsung keluar. Yunita dan teman lelakinya terperanjat. Seketika wajah yang baru tersenyum bahagia itu jadi pucat.

Bu Sumi mengejar putranya dan mengusap bahu lelaki yang sedang diliputi amarah itu. "Jangan ambil keputusan dalam keadaan marah, Nak. Jangan terbawa emosi kalau tak ingin berujung penyesalan," lirih wanita tua itu, lalu meninggalkan anak menantunya menyelesaikan masalah mereka.

"Siapa dia?" bentak Fajar, merapatkan gigi hingga bergemeletuk.

"Ma-mas Fajar sudah pulang? Kapan? Kok gak ngasih kabar?"

Perempuan dengan lipstik merah menyala itu terbata-bata, mengalihkan pembicaran. Sesaat baru ia sadar kalau tangannya masih melingkar di lengan pria di sampingnya. Dengan cepat ia langsung bergelayut manja di lengan sang suami.

"Ayo masuk, Mas. Pasti sudah kangen sama aku, ya."

Fajar menepis tangan gemulai yang kukunya dihiasi kutek, lantas menarik kerah baju lelaki tegap di hadapannya. Ini sudah keterlaluan. Istrinya pulang dengan pria lain dan bahkan tak menanyakan keadaan putri mereka. Tega sekali meninggalkan anak yang belum dewasa tinggal sendirian di rumah berhari-hari hingga jasadnya ditemukan membusuk. Ini bukan perkara yang sepele.

"Apa hubunganmu dengan istriku? Darimana kalian? Jawab!" sergah Fajar.

"Tenang, Bro. Jangan main kekerasan begini!" balas lelaki yang sedikit lebih tinggi dari Fajar. Senyumnya meremehkan dan menepis tangan lelaki berkulit sawo matang itu. Merasa jauh lebih segalanya dibandingkan lelaki dengan penampilan semrawut di hadapannya.

"Gue dan Yunita cuma sedikit bersenang-senang saja. Gue hanya membantu menunaikan tugas yang tidak bisa lo tunaikan selama di perantauan. Harusnya lo berterima kasih."

"Apa maksudmu?" Fajar semakin emosi mendengar jawaban yang masih ambigu. Hati dan otaknya bertolak belakang. Biar bagaimanapun, dia dan Yunita menikah atas dasar saling mencintai. Bekerja ke Luar Provinsi juga atas rekomendasi sang istri. Mereka jarang bertengkar dan sering bersikap romantis saat menelpon. Apa iya tega berkhianat saat suami bekerja demi hidup yang lebih layak!

"Jangan pura-pura polos, Bro. Lo di sana pasti kesepian, kan? Dan pasti ada beberapa wanita yang menggantikan posisi istrimu di sana. Jangan egoislah sebagai laki-laki! Istri lo juga berhak bahagia dengan kehangatan dari gue."

Bugh.

Satu pukulan Fajar yang sudah dikuasai emosi mendarat di perut bak roti sobek.

"Mas Daviiid! Kamu gak apa-apa, kan?"

Fajar masih ingin menghajar pria itu, tapi kakinya berat melangkah. Hatinya semakin ngilu melihat kenyataan ketika Yunita berlari menyongsong lelaki yang sudah terjungkal ke tanah yang sedikit becek, sisa hujan tadi malam. Suara istrinya terdengar cemas pada lelaki itu hingga semakin meyakinkan kalau pengakuan pria bernama David itu bukanlah dusta.

"Aaaah!"

Fajar berteriak keras dengan kedua tangan terkepal hingga buku-buku jari memucat. Sudah sedih ditinggalkan anak, kenyataan baru ini bagai menabur garam dan jeruk nipis di hati yang tersayat sembilu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status