Share

Luka yang Menganga

"Jual sayur tak seberapa uangnya, Mas. Apalagi tetangga sering berhutang dan tak tahu kapan dibayar. Mas juga dibilangin, jangan kasih utangan, tetap aja dikasih. Pokoknya Mas harus coba merantau. Kemarin ada orang yang cari anggota baru untuk memanen sawit," ujar Yunita tiga tahun lalu. 

Fajar yang berprofesi sebagai penjual sayur keliling menghembuskan napas kasar. Dia juga sudah tahu tentang tawaran pekerjaan ini dari salah seorang temannya. Sudah banyak yang pergi ke sana dan pulangnya mereka berhasil membangun rumah atau modal usaha. 

"Tapi Mas tak mau jauh dari kalian, Sayang. Kamu dan Hera di sini berdua, tak ada laki-laki. Mas cemas kalau ada orang yang berniat jahat karena tahu tak ada laki-laki di rumah ini."

"Haduh, Mas. Apa pernah kejadian di kampung ini penjahat masuk rumah? Berapa banyak janda di kampung ini, tak pernah ada berita maling. Kecuali barang diletakkan di luar semalaman, baru hilang," ujar Yunita mulai kesal. Fajar termasuk lelaki yang selalu ingin dekat dengan anak dan istri, ke warung kopi saja hanya sesekali agar bisa banyak mengobrol dengan Hera. 

Sengaja Yunita meminta sang suami bekerja cukup jauh karena dia tahu kalau jaraknya dekat, Fajar bisa sering pulang. 

"Baiklah, Mas akan pergi."

"Benarkah? Makasih, Sayang." Perempuan dengan rambut panjang bergelombang itu langsung mencium pipi sang suami. 

"Tapi kalian ikut, ya, Sayang. Di sana juga ada sekolah kok."

Yunita langsung cemberut, lalu membelakangi sang suami. 

"Katanya sayang pada kami, tapi berkorban seperti itu saja tak mau. Kalau ikut ke sana, apa gak kasihan sama Hera, Mas. Dia harus beradaptasi dengan lingkungan baru dan sekolahnya jauh pula."

Fajar bimbang. Kebahagiaan keluarga kecilnya adalah impian seorang suami. Melihat kesuksesan tetangga yang kerja di sana juga, dia memang tergiur. Tapi kebanyakan dari mereka pergi dengan keluarga karena para istri pun bisa bekerja. Dengan begitu, uang lebih cepat terkumpul. Namun, Yunita sudah jelas menolak untuk ikut. 

"Baiklah, Sayang. Mas akan merantau, tapi kamu harus janji."

Fajar berujar sembari memeluk istrinya dari belakang. Wanita yang tetap cantik dalam keterbatasan ekonomi itu langsung tersenyum semringah. 

"Janji apa, Mas?"

"Mas boleh pulang setahun sekali."

"Hah? Sayang ongkosnya, Mas. Lebih baik uangnya ditabung. Orang juga pulang sekali dua tahun, kadang sekali tiga tahun, Mas," protes Yunita. 

"Kalau begitu, tidak usah pergi sama sekali. Setahun saja adalah waktu yang cukup lama untuk menahan rindu"

"Jangan gitu dong, Mas. Oke, gak apa-apa," balas Yunita pasrah. 

"Kamu juga harus janji, kalian baik-baik di sini. Jaga dirimu, hatimu dan anak kita," tandas Fajar. 

"Pasti, Mas. Aku sayang kamu."

Percakapan malam itu pun berakhir di peraduan, meluapkan rasa cinta yang akan terpisah jarak dan waktu. 

Air mata meluncur tanpa permisi. Fajar menangis tanpa suara mengingat keharmonisan mereka dulu. Namun, sekarang istrinya yang penyayang telah memberikan perhatiannya pada seorang lelaki di hadapannya sendiri.

"Fajar, ayo masuk, Nak! Malu dilihat tetangga," ujar Bu Sumi. Tergopoh dia datang dari dapur karena mendengar teriakan putranya yang melengking. Beberapa tetangga kelihatan mengintip dari jendela rumah masing-masing. 

"Ya Allah, Nak. Tanganmu berdarah. Ayo kita obati."

Bu Sumi menarik pergelangan tangan Fajar. Hatinya cemas karena mengucur darah dari telapak tangan kanan putranya. 

Duduk di kursi plastik, Fajar masih menatap nanar ke arah pintu. Tak kelihatan Yunita datang untuk mengkhawatirkan dirinya yang sedang terluka akibat terlalu keras mengepalkan tangan hingga kuku melukai. 

Bu Sumi mengambil kain dan mengelap tangan Fajar. Wajah lelaki berusia 35 tahun itu tak sedikit pun meringis saat di teteskan getah pohon yang daunnya mirip daun singkong. Tumbuh sebatang di belakang rumah. Biasanya akan terasa perih bila di teteskan di luka, tapi akan cepat sembuh. 

"Sudahlah, Bu, tidak usah diobati. Ini tak sakit kok. Palingan juga dua hari ini sembuh sendiri. Yang sakit itu di sini," ujar Fajar, menekan dadanya. 

Bendera kuning tak hanya dipasang di depan rumah, tapi tertancap juga di hati. Cinta itu telah mati. 

Terdengar suara deru mobil, lalu perlahan menjauh. David telah pulang, barulah Yunita masuk. 

"Mas keterlaluan. Dia itu sepupu jauhku, teganya Mas memukulnya. Dia itu orang kaya dan punya banyak kerabat polisi. Kalau sampai Mas dipenjarakan, jangan salahkan aku," cetus perempuan yang dulu menerangi hati Fajar. Sekarang sudah gelap gulita. Padam seketika saat melihat kenyataan. 

"Sepupu? Sepupu yang menghangatkan badanmu?" desis Fajar, tak menoleh sama sekali. Sedikit tersenyum menutupi luka hatinya. 

"Jaga bicaramu, Mas. Selera humor Mas memang rendah sampai tak tahu kalau Mas David cuma bercanda." Yunita masih membela diri dan menyalahkankan suami. 

Bu Sumi mengelus dada dan tak tahu mau bicara apa lagi. Dia sendiri sangat kehilangan cucu pertamanya, apalagi seorang ayah yang begitu dekat dan manja dengan putrinya selamanya ini. Jarak yang memisahkan tak jadi penghalang. Hera sering cerita kalau mereka hampir setiap hari bertukar kabar dengan sang ayah. Ditambah lagi masalah ini, pastinya semakin kacaulah hati Fajar. 

"Heraaa! Lihat, Ibu bawa apa. Ayo cepetan keluar! Ini makanan kesukaan kamu, Sayang."

Yunita mengetuk pintu kamar gadis yang mewarisi kecantikannya. Tak ada sahutan. 

"Apa yang kamu lakukan pada anak kita, Mas? Apa kamu dan Ibu memarahinya sampai-sampai gak keluar kamar? Biasanya dia selalu rindu sama kamu dan bertanya kapan pulang," cecar Yunita, menatap sinis pada mertuanya. 

Seketika air mata Fajar luruh lagi, terbayang akan kondisi terakhir Hera yang sudah tak bisa memeluknya. Betapa tersiksanya gadis itu sebelum ajal menjemputnya. 

Bu Sumi mengusap-usap bahu Fajar, seolah mentransfer kekuatan. 

"Hera sudah meninggal 5 hari yang lalu, Yun. Ibu kecewa sama kamu. Kalau kamu mau pergi berhari-hari, kenapa tak titipkan dia ke rumah Ibu?"

Bu Sumi menutup wajah dengan kedua tangan. Kali ini dia tak bisa pura-pura kuat lagi. Wanita tua itu ikutan menangis bersama putranya. 

Kotak makanan di tangan Yunita terjatuh tanpa sadar. Tenggorokan rasanya tercekat. Lekas dia masuk ke kamar yang ternyata tak dikunci. Ya, di sana tak lagi ada anak gadisnya. Tidak mungkin lagi main di luar karena belakangan ini Hera lebih suka berkurung di kamar daripada bergaul dengan teman-temannya. 

"Heraaaaaa! Jangan tinggalin Ibu, Nak!" ratap Yunita, membuka lemari plastik motif hello kitty. Menciumi baju-baju kesukaan putri semata wayangnya. Penyesalan seorang Ibu yang tiada berguna lagi. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Fajar yang malang merantau untuk.kebahagiaan keluarga tapi pulang.kehilangan buah hati nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status