Fajar yang berprofesi sebagai penjual sayur keliling menghembuskan napas kasar. Dia juga sudah tahu tentang tawaran pekerjaan ini dari salah seorang temannya. Sudah banyak yang pergi ke sana dan pulangnya mereka berhasil membangun rumah atau modal usaha.
"Tapi Mas tak mau jauh dari kalian, Sayang. Kamu dan Hera di sini berdua, tak ada laki-laki. Mas cemas kalau ada orang yang berniat jahat karena tahu tak ada laki-laki di rumah ini."
"Haduh, Mas. Apa pernah kejadian di kampung ini penjahat masuk rumah? Berapa banyak janda di kampung ini, tak pernah ada berita maling. Kecuali barang diletakkan di luar semalaman, baru hilang," ujar Yunita mulai kesal. Fajar termasuk lelaki yang selalu ingin dekat dengan anak dan istri, ke warung kopi saja hanya sesekali agar bisa banyak mengobrol dengan Hera.
Sengaja Yunita meminta sang suami bekerja cukup jauh karena dia tahu kalau jaraknya dekat, Fajar bisa sering pulang.
"Baiklah, Mas akan pergi."
"Benarkah? Makasih, Sayang." Perempuan dengan rambut panjang bergelombang itu langsung mencium pipi sang suami.
"Tapi kalian ikut, ya, Sayang. Di sana juga ada sekolah kok."
Yunita langsung cemberut, lalu membelakangi sang suami.
"Katanya sayang pada kami, tapi berkorban seperti itu saja tak mau. Kalau ikut ke sana, apa gak kasihan sama Hera, Mas. Dia harus beradaptasi dengan lingkungan baru dan sekolahnya jauh pula."
Fajar bimbang. Kebahagiaan keluarga kecilnya adalah impian seorang suami. Melihat kesuksesan tetangga yang kerja di sana juga, dia memang tergiur. Tapi kebanyakan dari mereka pergi dengan keluarga karena para istri pun bisa bekerja. Dengan begitu, uang lebih cepat terkumpul. Namun, Yunita sudah jelas menolak untuk ikut.
"Baiklah, Sayang. Mas akan merantau, tapi kamu harus janji."
Fajar berujar sembari memeluk istrinya dari belakang. Wanita yang tetap cantik dalam keterbatasan ekonomi itu langsung tersenyum semringah.
"Janji apa, Mas?"
"Mas boleh pulang setahun sekali."
"Hah? Sayang ongkosnya, Mas. Lebih baik uangnya ditabung. Orang juga pulang sekali dua tahun, kadang sekali tiga tahun, Mas," protes Yunita.
"Kalau begitu, tidak usah pergi sama sekali. Setahun saja adalah waktu yang cukup lama untuk menahan rindu"
"Jangan gitu dong, Mas. Oke, gak apa-apa," balas Yunita pasrah.
"Kamu juga harus janji, kalian baik-baik di sini. Jaga dirimu, hatimu dan anak kita," tandas Fajar.
"Pasti, Mas. Aku sayang kamu."
Percakapan malam itu pun berakhir di peraduan, meluapkan rasa cinta yang akan terpisah jarak dan waktu.
Air mata meluncur tanpa permisi. Fajar menangis tanpa suara mengingat keharmonisan mereka dulu. Namun, sekarang istrinya yang penyayang telah memberikan perhatiannya pada seorang lelaki di hadapannya sendiri.
"Fajar, ayo masuk, Nak! Malu dilihat tetangga," ujar Bu Sumi. Tergopoh dia datang dari dapur karena mendengar teriakan putranya yang melengking. Beberapa tetangga kelihatan mengintip dari jendela rumah masing-masing.
"Ya Allah, Nak. Tanganmu berdarah. Ayo kita obati."
Bu Sumi menarik pergelangan tangan Fajar. Hatinya cemas karena mengucur darah dari telapak tangan kanan putranya.
Duduk di kursi plastik, Fajar masih menatap nanar ke arah pintu. Tak kelihatan Yunita datang untuk mengkhawatirkan dirinya yang sedang terluka akibat terlalu keras mengepalkan tangan hingga kuku melukai.
Bu Sumi mengambil kain dan mengelap tangan Fajar. Wajah lelaki berusia 35 tahun itu tak sedikit pun meringis saat di teteskan getah pohon yang daunnya mirip daun singkong. Tumbuh sebatang di belakang rumah. Biasanya akan terasa perih bila di teteskan di luka, tapi akan cepat sembuh.
"Sudahlah, Bu, tidak usah diobati. Ini tak sakit kok. Palingan juga dua hari ini sembuh sendiri. Yang sakit itu di sini," ujar Fajar, menekan dadanya.
Bendera kuning tak hanya dipasang di depan rumah, tapi tertancap juga di hati. Cinta itu telah mati.
Terdengar suara deru mobil, lalu perlahan menjauh. David telah pulang, barulah Yunita masuk.
"Mas keterlaluan. Dia itu sepupu jauhku, teganya Mas memukulnya. Dia itu orang kaya dan punya banyak kerabat polisi. Kalau sampai Mas dipenjarakan, jangan salahkan aku," cetus perempuan yang dulu menerangi hati Fajar. Sekarang sudah gelap gulita. Padam seketika saat melihat kenyataan.
"Sepupu? Sepupu yang menghangatkan badanmu?" desis Fajar, tak menoleh sama sekali. Sedikit tersenyum menutupi luka hatinya.
"Jaga bicaramu, Mas. Selera humor Mas memang rendah sampai tak tahu kalau Mas David cuma bercanda." Yunita masih membela diri dan menyalahkankan suami.
Bu Sumi mengelus dada dan tak tahu mau bicara apa lagi. Dia sendiri sangat kehilangan cucu pertamanya, apalagi seorang ayah yang begitu dekat dan manja dengan putrinya selamanya ini. Jarak yang memisahkan tak jadi penghalang. Hera sering cerita kalau mereka hampir setiap hari bertukar kabar dengan sang ayah. Ditambah lagi masalah ini, pastinya semakin kacaulah hati Fajar.
"Heraaa! Lihat, Ibu bawa apa. Ayo cepetan keluar! Ini makanan kesukaan kamu, Sayang."
Yunita mengetuk pintu kamar gadis yang mewarisi kecantikannya. Tak ada sahutan.
"Apa yang kamu lakukan pada anak kita, Mas? Apa kamu dan Ibu memarahinya sampai-sampai gak keluar kamar? Biasanya dia selalu rindu sama kamu dan bertanya kapan pulang," cecar Yunita, menatap sinis pada mertuanya.
Seketika air mata Fajar luruh lagi, terbayang akan kondisi terakhir Hera yang sudah tak bisa memeluknya. Betapa tersiksanya gadis itu sebelum ajal menjemputnya.
Bu Sumi mengusap-usap bahu Fajar, seolah mentransfer kekuatan.
"Hera sudah meninggal 5 hari yang lalu, Yun. Ibu kecewa sama kamu. Kalau kamu mau pergi berhari-hari, kenapa tak titipkan dia ke rumah Ibu?"
Bu Sumi menutup wajah dengan kedua tangan. Kali ini dia tak bisa pura-pura kuat lagi. Wanita tua itu ikutan menangis bersama putranya.
Kotak makanan di tangan Yunita terjatuh tanpa sadar. Tenggorokan rasanya tercekat. Lekas dia masuk ke kamar yang ternyata tak dikunci. Ya, di sana tak lagi ada anak gadisnya. Tidak mungkin lagi main di luar karena belakangan ini Hera lebih suka berkurung di kamar daripada bergaul dengan teman-temannya.
"Heraaaaaa! Jangan tinggalin Ibu, Nak!" ratap Yunita, membuka lemari plastik motif hello kitty. Menciumi baju-baju kesukaan putri semata wayangnya. Penyesalan seorang Ibu yang tiada berguna lagi.
"Tidak mungkin, ini tidak mungkin."Yunita meracau. Penampilannya sudah kacau dengan mekap luntur dan rambut berantakan."Mas, katakan kalau kamu cuma mau menghukummu, kan? Maaf karena aku tak ada di rumah saat kamu pulang. Katakan dimana Hera, Mas! Kumohon."Yunita masih mencoba berpikiran positif kalau ini cuma prank.Fajar dan ibunya masih sesenggukan. Tidak seharusnya saling menyalahkan dalam duka, tapi terlalu berat untuk menerima pahitnya kenyataan."Bu, kenapa banyak pengharum ruangan di kamar Hera? Biasanya dia tidak suka bau jeruk."Suaranya bergetar dan mulai melunak, menatap sang mertua dengan penuh harap."Cucu Ibu ditemukan dalam keadaan tak bernyawa dan sudah bau, Yun. Mungkin sudah beberapa hari, baru ketahuan tetangga," jawab Bu Sumi di sela tangis.Yunita kembali meraung-raung. Ini semua bukan mimpi.Dua minggu yang lalu, dia terlalu ingin liburan dengan teman-teman barunya. Sayang kalau tidak ikut, tapi bingung jika harus membawa Hera. Apalagi semua biaya liburannya
"Yunita, kamu kenapa, Sayang?" Tanpa sadar Fajar telah mencemaskan istrinya. Secuil rasa cinta itu masih ada."Ayo cepat bawa Yunita ke puskesmas, Fajar!" seru Bu Sumi, tak kalah cemas. Namun ada yang lebih ia khawatirkan kalau ini adalah puncak permasalahan bagi anak menantunya. Sebagai seorang ibu, ia merasa kalau ada sesuatu yang tak beres.Fajar berlari ke rumah tetangga untuk meminjam mobil. Mereka juga ikutan panik melihat raut wajah lelaki yang baru pulang merantau itu."Semoga tak terjadi apa-apaan, ya. Cepatlah bawa, minyaknya masih banyak.""Makasih, Pak. Saya pinjam dulu mobilnya.""Iya, sama-sama. Hati-hati dan jangan panik.""Iya, Pak. Maksih banyak." Ternyata tetangganya masih baik, sama seperti dulu."Jangan-jangan dia keguguran," celetuk seorang wanita seumuran Yunita yang tak sengaja mendengar penjelasan Fajar.Dulunya dia adalah teman akrab Yunita, tapi semenjak Fajar merantau dan dapat kiriman uang yang lumayan, perlahan hubungan mereka merenggang. Yunita sudah memi
"Mau kemana kamu, Fajar?" Bu Sumi keheranan melihat wajah putranya yang tegang."Aku tak ingin kalau Yunita datang lagi ke rumah ini, Bu. Biar aku sendiri yang mengantar barang-barangnya ini."Perempuan tua yang hanya punya satu orang putra itu menghembuskan napas dengan kasar. Tidak tahu mau memberikan saran apa lagi."Hati-hati." Hanya sepatah kata itu yang keluar dari bibir Bu Sumi. Setelah anaknya pergi menggunakan mobil tetangga yang belum dikembalikan, wanita tua itu hanya bisa pasrah dan banyak berdoa agar Fajar tidak melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya maupun orang lain. Dia tak ingin kalau harta satu-satunya harus mendekam di balik jeruji besi.Fajar adalah tipe suami yang penurut dan sangat mencintai pasangannya. Namun, jika sudah fatal bisa kalap."Maaf, dia sudah pulang, Pak. Tadi dijemput seorang temannya.""Baik, makasih."Fajar meninggalkan puskesmas dan segera mencari keberadaan Yunita. Dia belum menemukan petunjuk dimana ibu dari mendiang putrinya sekarang. Ta
Mama tidak bisa tinggal diam melihat anak mama babak belur begini. Katakan siapa yang melakukan ini, David! Mama akan penjarakan dia," seru perempuan berpenampilan modis yang tetap cantik di usia yang tak muda lagi. Bu Harum namanya. Begitu panik setelah seseorang mengabari kalau putranya masuk rumah sakit akibat berkelahi dengan seseorang. "Dia pasti tak sayang dengan hidupnya sampai-sampai ingin berurusan dengan keluarga Prayoga.""Sudahlah, Ma. Mama tidak usah cemas, aku baik-baik saja kok," balas David. Wajahnya sedikit meringis. Meskipun berusaha terlihat kuat, tapi kenyataan kalau seluruh badan terasa remuk. "Coba ceritakan, kenapa kamu bisa dihajar seperti ini?""Gak perlu dibahas lagi, Ma. Mana Yunita, Ma?""Yunita siapa? Mama tidak melihat siapa-siapa di sini," balas Bu Harum bingung. "Coba lihat di luar, Ma."Bu Harum menurut saja. Dia melihat seorang perempuan dengan penampilan semrawut sedang duduk di kursi tunggu.Terlihat cantik sih. Mungkin dia begini karena mengkh
"Silakan ambil saja yang kalian suka. Bebas," ujar Yunita ketika memasuki sebuah butik branded yang terkenal dengan harga-harganya yang mahal. Dulu dia harus mikir-mikir untuk beli satu stel baju mahal, bahkan harus mengabaikan pakaian putrinya yang kebanyakan sudah sempit demi pakaian incaran. Malu kalau tidak mengikuti trend teman-temannya.Sekarang dia bahkan bisa memborong sepuasnya."Jeng, boleh aku ambil dua?" tanya Heni."Khusus untuk kamu, ambil tiga juga boleh, Beb," balas Yunita santai."Ih, pilih kasih. Kami juga mau dong." Yang lainnya menimpali."Ya sudah, ambil saja. Aku keluar dulu, ya. Mas David ngajak ketemu sebentar di luar, kebetulan lagi ada urusan di daerah sini," ujar perempuan yang sudah naik kelas secara sosial itu.Senyumnya terkembang membaca pesan dari calon suaminya. David memang sangat mencintainya dan katanya sengaja menjumpai karena rindu.Yunita celingukan melihat sekeliling, tapi tidak ada mobil suaminya."Hai, Mbak," sapa seorang perempuan yang Yunita
"Pedas atau sedang?""Eeh, se-sedang saja," balas Raya gelagapan. Tanpa sadar semua pembeli yang mengantri telah bubar. Penjualnya sangat cekatan rupanya. Tak menunggu lama, nasi goreng pinggir jalan itu sudah tersaji di depan Raya, lengkap dengan segelas air putih. Jiwa ala premannya ciut entah kemana saat si penjual duduk tepat di depannya. Menundukkan kepala sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang masih mengepulkan asap.Seumur-umur, baru kali ini dia makan di tempat seperti ini. Jika makan di luar, selalu di restoran atau kafe yang terjamin kebersihan dan cara pengolahannya. Makanya saat mau bersedekah pun, dia tak segan merogoh uang untuk membeli makanan dari tempat yang mahal. Padahal kalau dipikir-pikir, lebih berguna memberikannya dalam bentuk uang seharga makanan itu. Akan cukup untuk beberapa kali makan. "Kenapa cuma dilihatin terus, Mbak? Kok gak dimakan? Keburu dingin gak enak loh," celetuk lelaki tadi yang terus mengajaknya bicara. Tinggal mereka bertiga di sana. "Eh, a
"Maaf, harga nasi gorengnya cuma dua belas ribu. Ambil saja uangmu itu, saya kasih gratis karna tidak kamu habiskan. Jangan pernah datang kembali! Saya tak ingin berurusan dengan perempuan yang mulutnya tak ada rem," tegas Fajar dengan ekspresi datar. Pedas bercampur pahit rasanya tenggorokan. Sejujurnya Raya suka dengan nasi gorengnya, tapi dengan menghabiskannya sama saja artinya mengakui kalau makanan pinggir jalan yang dimasak dengan raut muka masam rasanya enak. Namun, dia sedikit lega karena dua orang itu tak memaki dengan kata-kata kasar atau menyakitinya. "Ambil saja ini untuk masnya. Anggap sebagai ganti rugi karena sudah memelintir tangan Mas ini," ujar Raya, menggeser lembaran uang merah itu ke dekat Hardi. "Bawa saja uangmu itu! Dia bukan orang miskin. Saya tak mau kalau istrinya salah paham karena menerima uang dari seorang wanita," tegas Fajar. Meskipun tidak keras suaranya, tapi intonasinya penuh penekanan. Raya mengambil cepat uang dan kunci mobilnya, lalu segera
"Mama? A-aku cuma ...."Suara Yunita menggantung di udara, menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Setahunya Bu Harum sudah tidur, tapi sekarang berdiri tak jauh dari mereka. Habislah aku. "Mama senang mendengar ide cemerlang kamu. Mama sudah pusing melihat tingkah anak itu, kerjanya keluyuran terus. Sikapnya juga tak bisa kayak perempuan. Mama malu sering diledekin punya dua anak laki-laki," ujar perempuan yang mengenakan piyama itu. Menarik kursi dan duduk di dekat calon menantunya. "Dia pasti tak bisa nolak lagi. Soal cinta, bisalah itu tumbuh belakangan. Mama sama Papa dulu menikah tanpa cinta kok," imbuh Bu Harum. Dia sudah pusing dengan tingkah kedua anaknya yang sudah diatur. David sering kali bikin ulah dengan memacari istri atau tunangan orang lain. Tak jarang datang ke rumah memaki-maki mereka sekeluarga. Bikin malu memang. Kayak tak ada perempuan lain saja. Perempuan berambut pendek yang sebagian dicat dengan warna pirang itu sedikit lega karena David akhirnya menemu