LOGINPada sore hari, barang-barang Karin sudah tiba di depan rumah Liana. Liana menatap barang Karin dengan muka datar dari balik jendela. Di sana juga ada Evan yang menyuruh para pembantu untuk mengangkut barang-barang milik Karin ke dalam kamar tamu. Barang milik Karin tidak bisa dibilang sedikit. Persis seperti orang pindah rumah saja.
Dengan langkah pelan perempuan itu berjalan ke arah Karin dan Evan yang tidak menyadari kehadirannya. Dia dengan sengaja berdiri sejajar dengan mereka. Biar mereka menyadari kehadiran dia. Hanya beberapa detik Evan dan Karin menyadari ada Liana di samping mereka. "Liana," ujar mereka berbarengan. "Karin, kenapa barang kamu cepat sekali sampai. Apa kamu memang sudah bersiap-siap sebelumnya, sebelum mau menginap di sini?" pancing Liana. "Sayang, kenapa kamu berkata seperti itu. Apa ada yang aneh," ujar Evan mendekat ke arah Liana. "Evan, apa kamu lupa kalau aku tidak bisa dengar?" tanya Liana menatap Evan. "Dasar, sangat menyusahkan saja," gumam Karin yang berada di belakang tubuh Evan. Seandainya Liana tidak berpura-pura tuli, maka dia akan melabrak dan mengusir Karin dari rumahnya. Apa Karin memang tidak mau mengulang semuanya dari awal. [Sayang, apa ada masalah kalau barang Karin cepat sampai?] Tanya Evan yang mengetik di handphone dan menyerahkan kepada Liana. "Tidak ada masalah, aku hanya heran saja. Seolah-olah Karin sudah bersiap-siap ingin pindah," sindir Liana dengan tersenyum agar tidak terlihat sedang menyindir. Evan dan Karin gugup mendengar pernyataan Liana. [Aku memang sudah menyiapkan semua barangku lebih dulu, Liana. Sebenarnya aku telah diusir dari tempat tinggal aku sekarang. Makanya, saat kamu dan suami kamu membolehkan aku tinggal di sini, aku tinggal memindahkan barang saja] Ketik Karin dengan susah payah. "Sayang sekali, sahabat baikku tidak ada tempat tinggal. Kamu boleh tinggal di sini sepuas kamu," sahut Liana prihatin. [Terima kasih kamu mau menerima aku, Liana] [Kamu memang istri yang pengertian] "Mbak, antar barang Karin lagi ke kamar," suruh Evan kepada pembantu yang tadi sempat berhenti bekerja. Handphone Evan masih ada di tangan Liana. Evan terlalu sibuk mengurus barang milik Karin. Hingga tiba-tiba ada sebuah notif pesan yang masuk. Liana bisa membaca pesan itu melalui notif pesan. [Maaf Tuan, semua barang pesanan Tuan sudah kami antar ke alamat … dengan selamat. Tuan bisa mengecek sendiri.] Setelah itu Liana buru-buru menghapus notifikasi tersebut dan menyerahkan handphone Evan kembali. "Evan, kamu bantu Karin ya. Aku mau ke kamar sebentar," pamit Liana tanpa menunggu jawaban Evan. 'Besok aku harus ke alamat itu. Itu pasti rumah yang dibeli oleh Evan dari uangku.' *** Setelah makan malam selesai, mereka bertiga duduk di ruang keluarga. Liana yang masih berpura-pura tuli memilih untuk membaca majalah daripada menonton televisi. Matanya memang berfokus pada majalah, tapi telinga dari tadi mencuri dengar obrolan Karin dan Evan yang saling mendorong agar meminta uang kepada dirinya. "Coba kamu minta uang lagi sama Liana. Aku mau rumah kita cepat selesai," suruh Karin mencuri pandang agar Liana tidak melihat gerak gerik mereka. "Apa tidak bisa kita tunggu besok saja. Minggu ini kita sudah beli banyak hiasan rumah," bisik Evan. "Aku mau sekarang. Semakin cepat rumah itu selesai, maka aku semakin cepat bisa pindah," tolak Karin. "Ya sudah, aku akan coba ya. Kamu jangan berisik lagi. Nanti Liana bisa melihat kita." Evan mengambil papan tulis, lalu menyerahkan kepada Liana setelah selesai menulis. "Ada apa Evan," kata Liana pura-pura terganggu dengan Evan yang menyodorkan papan tersebut. [Liana, bolehkah aku minta uang. Aku butuh uang untuk dana perusahaan aku lagi] "Evan, apa dana yang aku berikan kemarin belum cukup?" [Uang yang kamu berikan kemarin sudah habis. Pengeluaran perusahaan aku sangat besar belakangan ini] "Apa kamu menyerah saja sama perusahaan yang kamu urus itu? Aku lihat tidak ada perkembangan sama sekali," sahut Liana. [Tidak Liana, aku tidak mau perusahaan yang telah aku rintis hilang begitu saja. Apakah kamu juga ikhlas jika perusahaan yang telah dirintis oleh orang tua kamu hilang] Tulis Evan untuk menyakinkan Liana. "Baiklah aku akan memberikan kamu uangnya. Berapa jumlah yang kamu inginkan?" Karin tersenyum senang dengan Liana yang berhasil dibodohi oleh Evan lagi. Kalau terus seperti itu dia bisa segera pindah. [Aku butuh sekitar 500 juta] "Itu jumlah uang yang cukup banyak. Perusahaan aku belakangan ini juga lagi mengalami masalah yang sangat serius. Bagaimana kalau aku kasih 100 juta dulu. Hanya itu yang bisa aku berikan," tawar Liana. Liana tidak mau menyerahkan uang terlalu banyak. Namun tidak mungkin juga kalau harus menghentikan uang untuk mereka secara mendadak. Evan dan Karin bisa mencium kebohongan mereka terbongkar. [Apa tidak bisa lebih?] "Aku tidak ada uang Evan." [Baiklah, aku terima] "Kamu tunggu di sini ya. Aku akan ambil uangnya. Kebetulan aku ada uang cash di ruang kerja," kata Liana. Liana bangun dan segera pergi menuju ke ruang kerja. Lagi-lagi dia tidak langsung pergi, dia ingin mendengar respon Karin terlebih dahulu. "Evan, kenapa hanya 100 juta saja. Itu jumlahnya sangat sedikit. Seharusnya kamu minta satu milyar. Uang segitu tidak ada artinya bagi Liana," protes Karin tidak rela hanya dapat 100 juta. "Karin, kamu dengar sendiri kata Liana. Perusahaan dia juga ada masalah." "Itu pasti hanya akal-akalan Liana. Dia tidak mau memberikan uang untuk kamu." "Karin, Liana tidak pernah berbohong sama kita. Dia selalu memberikan uang berapa banyak yang aku mau. Mungkin saja dia benar-benar tidak ada uang." "Iya sih, dia selalu memberikan uang sama kita," ujar Karin masih sebel. "Sudah, kamu terima seberapa adanya saja." "Uang segitu mana cukup." "Kamu sabar saja, kalau perusahaan Liana kembali stabil, kita akan minta lebih banyak lagi," bujuk Evan. "Evan, bagaimana kalau kamu saja yang memegang perusahaan Liana," usul Karin yang menemukan solusi agar bisa mengambil harta Liana lebih banyak. "Maksud kamu?" tanya Evan tidak paham dengan perkataan Karin. "Sekarang Liana itu jadi tuli, dia akan kesulitan dalam mengurus perusahaannya. Kamu bisa berpura-pura untuk membantu perusahaan dia. Minta dia menyetujui kamu sebagai bos di perusahaan dia. Setelah itu kamu bisa mengambil uang dana perusahaan secara diam," terang Karin bangga dengan idenya. "Ide kamu bagus juga," gumam Evan yang tidak kepikiran mengambil alih perusahaan. "Sana, kamu langsung minta sama Liana," suruh Karin bagaikan menyuruh meminta permen saja. "Nanti saja ya, takutnya Liana tidak setuju atau curiga. Kita tadi sudah meminta uang padanya." "Ya udah deh. Tapi kamu harus janji agar minta sama Liana untuk mengurus perusahaan dia." "Iya, aku janji." Bersambung ….Pada sore hari, barang-barang Karin sudah tiba di depan rumah Liana. Liana menatap barang Karin dengan muka datar dari balik jendela. Di sana juga ada Evan yang menyuruh para pembantu untuk mengangkut barang-barang milik Karin ke dalam kamar tamu. Barang milik Karin tidak bisa dibilang sedikit. Persis seperti orang pindah rumah saja.Dengan langkah pelan perempuan itu berjalan ke arah Karin dan Evan yang tidak menyadari kehadirannya. Dia dengan sengaja berdiri sejajar dengan mereka. Biar mereka menyadari kehadiran dia. Hanya beberapa detik Evan dan Karin menyadari ada Liana di samping mereka."Liana," ujar mereka berbarengan."Karin, kenapa barang kamu cepat sekali sampai. Apa kamu memang sudah bersiap-siap sebelumnya, sebelum mau menginap di sini?" pancing Liana."Sayang, kenapa kamu berkata seperti itu. Apa ada yang aneh," ujar Evan mendekat ke arah Liana. "Evan, apa kamu lupa kalau aku tidak bisa dengar?" tanya Liana menatap Evan. "Dasar, sangat menyusahkan saja," gumam Karin yan
"Akhirnya, aku bisa tinggal di rumah mewah seperti ini. Dulu aku hanya bisa nginap sekali-kali saja," gumam Karin menatap kondisi kamar ruang tamu.Karin duduk di atas kasur setelah selesai memeriksa kondisi kamar. Kamar yang tidak kalah jauh dari kamar Liana. Dulu saat dia menginap di rumah itu, dia tidur satu kamar dengan Liana. Itu sebelum Evan dan Liana menikah. Sejak mereka menikah sudah jarang dia bertamu. Menghindari Liana yang bermesraan dengan Evan."Sayang, rumah kita kan hampir selesai. Nanti kita juga punya rumah yang mewah," kata Evan ikut duduk di sebelah Karin."Itu beda. Rumah ini jauh lebih besar dan mewah daripada rumah yang kita bangun itu." "Apa kamu mau mengambil rumah ini juga? Kalau kamu mau, aku akan mencobanya." "Tidak perlu, terlalu beresiko kalau kita mengambil rumah ini. Yah, kecuali kalau Liana mau menyerahkan rumah ini kepada kamu secara sukarela.""Sukarela ya," pikir Evan mencari jawaban dari perkataan Karin."Ah, bagaimana kalau kita suruh Liana buat
Mereka bertiga keluar dari mobil dan berjalan ke arah rumah Liana. Liana dengan sengaja menggandeng tangan Evan untuk membuat Karin cemburu. Mungkin ini juga yang dirasakan Karim selama dia bersama dengan Evan."Kenapa pake gandeng-gandeng segala sih," cibir Karin yang berjalan di belakang Liana dan Evan.Karin tidak takut berbicara dengan suara keras. Baginya Liana tidak bisa dengar. Jadi bisa mencela Liana tanpa khawatir ketahuan.Liana yang mendengar cibiran Karin semakin menjadi. Menyandarkan kepala di bahu Evan dengan mesra. Dia sendiri tidak suka melakukan itu, namun sengaja ingin membuat hubungan Evan dan Karin renggang. Setidaknya mereka ada bahan pertengkaran."Evan, kamu jangan mau Liana manja seperti itu," protes Karin menatap Liana yang bersandar dengan tajam."Karin, kamu yang sabar," sahut Evan tanpa melihat ke arah Liana atau Karin. Pandangan lurus ke depan."Sabar apaan. Kamu jangan cari kesempatan.""Karin ….""Evan, apa kamu bicara sesuatu sama aku. Atau kamu sedang
Evan dan Karin kembali masuk ke ruangan Liana setelah dipanggil oleh suster. Mereka melihat Liana yang sudah tenang di atas tempat tidur."Dokter, apa yang terjadi sama istri saya?""Pak, istri Bapak secara keseluruhan baik-baik saja.""Baik-baik saja?" tanya Karin tidak suka. Bukankah Liana sudah tuli."Maksudnya untuk luka yang dialami Bu Liana. Tapi tidak dengan pendengarannya.""Maksudnya, Dokter?" tanya Evan melirik ke Karin."Istri Bapak mengalami masalah dengan pendengaran.""Apa itu akan permanen Dokter?" "Bapak tenang saja, gangguan pendengaran Ibu Liana hanya sementara. Jika Ibu Liana rajin pemeriksaan dan terapi, maka Ibu Liana bisa sembuh."'Kenapa nggak sekalian tuli permanen saja sih. Dengan begitu aku ada alasan untuk meninggalkan dia setelah aku berhasil mengambil seluruh hartanya. Aku tidak mau hidup dengan perempuan bodoh seperti dia terus,' batin Evan kecewa dengan pernyataan dokter."Pak, apa Bapak tidak apa-apa," tegur dokter ketika Evan melamun.Karin menyenggol
Beberapa saat kemudian, dokter masuk bersama suster dan juga Karin. Karin cemburu begitu melihat Evan yang memeluk Liana dengan erat di depan matanya. Baginya, dialah orang yang pantas dipeluk oleh Evan. Karena Evan adalah pacarnya."Pak, bisa tolong keluar sebentar. Kami akan memeriksa kondisi pasien," ujar sang dokter."Baik Dok," sahut Evan melepaskan pelukan mereka."Evan, kamu mau kemana. Jangan tinggalin aku, Evan. Kamu tetap di sini saja ya," pinta Liana seakan tidak mau ditinggal oleh Evan."Kamu harus diperiksa dulu. Setelah selesai diperiksa, aku akan masuk lagi. Aku tunggu di luar ya," bujuk Evan melepaskan tangan Liana."Evan, Evan," tolak Liana."Ayo Karin," ajak Evan.Karin mengikuti Evan dari belakang. Sebelum keluar dia sempat melirik ke arah Liana. Tersenyum puas melihat Liana yang sangat terpukul ditinggal Evan."Evan! Evan!" teriak Liana.Setelah Karin dan Evan keluar dari ruangan, Liana berhenti berteriak. Ruangan yang ditempati merupakan ruangan yang kedap suara.
"Apa yang terjadi sama Liana?""Aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Tapi kata suster, Liana mengalami kecelakaan. Dia ditabrak mobil.""Terus, sekarang kita harus apa. Bagaimana kalau terjadi sesuatu sama Liana? Kita tidak bisa memanfaatkan dia lagi. Aku tidak mau hidup miskin.""Karin, kamu harus tenang. Kalau terjadi sesuatu sama Liana, aku yang akan mengurus semua hartanya. Harta dia akan menjadi milik kita semua.""Kamu kan tahu, Liana masih memiliki wali, pamannya. Pamannya tidak akan membiarkan kita memiliki semua harta itu. Apalagi kalian tidak mempunyai anak. Kita akan ditendang keluar.""Masalah paman Liana biar aku urus juga, ya.""Baiklah. Apa kata dokter tentang Liana.""Kata dokter, kepala Liana mengalami benturan yang cukup keras. Kita harus menunggu dia sadar dulu untuk mengetahui perkembangannya.""Aku pikir dia beneran akan mati.""Dia tidak boleh mati dulu sebelum kita mengambil alih semua hartanya. Kamu sabar ya. Aku pasti akan usahakan semua hartanya menjadi mili







