Mag-log in"Akhirnya, aku bisa tinggal di rumah mewah seperti ini. Dulu aku hanya bisa nginap sekali-kali saja," gumam Karin menatap kondisi kamar ruang tamu.
Karin duduk di atas kasur setelah selesai memeriksa kondisi kamar. Kamar yang tidak kalah jauh dari kamar Liana. Dulu saat dia menginap di rumah itu, dia tidur satu kamar dengan Liana. Itu sebelum Evan dan Liana menikah. Sejak mereka menikah sudah jarang dia bertamu. Menghindari Liana yang bermesraan dengan Evan. "Sayang, rumah kita kan hampir selesai. Nanti kita juga punya rumah yang mewah," kata Evan ikut duduk di sebelah Karin. "Itu beda. Rumah ini jauh lebih besar dan mewah daripada rumah yang kita bangun itu." "Apa kamu mau mengambil rumah ini juga? Kalau kamu mau, aku akan mencobanya." "Tidak perlu, terlalu beresiko kalau kita mengambil rumah ini. Yah, kecuali kalau Liana mau menyerahkan rumah ini kepada kamu secara sukarela." "Sukarela ya," pikir Evan mencari jawaban dari perkataan Karin. "Ah, bagaimana kalau kita suruh Liana buat surat wasiat. Jadi, jika terjadi sesuatu sama Liana, maka seluruh isi rumah ini akan menjadi milik aku. Otomatis akan menjadi milik kamu juga," usul Evan setelah mendapatkan ide. "Terus, kita harus menunggu berapa lama agar Liana itu bisa mati. Kamu mau menunggu sampai tua sama dia. Kamu tidak mau tinggal sama aku," balas Karin tidak mau jika Evan terusan hidup bersama Liana. "Itu masalah mudah, kematian Liana bisa kita percepat kan?" tanya Evan menaik turunkan alis memberikan kode. "Kamu jahat banget." "Siapa yang lebih jahat, kamu atau aku. Kamu kan sahabat Liana, kamu sendiri yang menyuruh pacar kamu ini menikah sama sahabat kamu. Kamu yang mempunyai ide untuk mengambil harta Liana, kan," ujar Evan. Karin diam saja dengan pertanyaan Evan. Memang dia adalah dalang dibalik semua ini. "Ngomong-ngomong, sejak kapan kamu kepikiran untuk merebut milik Liana. Aku penasaran apa yang terjadi di antara kalian sampai kamu punya ide ini?" Karin mengulang kembali masa lalu. Masa saat dia pertama kali bertemu dengan Liana. "Aku dan Liana sudah berteman sejak sekolah menengah, sudah 15 tahun kami berteman. Saat itu aku masih berumur 13 tahun dan duduk di kelas satu," balas Karin mulai bercerita. "Terus." "Liana itu suka pura-pura sok polos dan baik di depanku. Dia mau jadi pahlawan kesiangan dengan menyelamatkan aku yang sedang di bully." "Kamu di-bully?" "Iya, aku korban bully karena aku hanya anak orang biasa dan juga sangat cupu. Jadi, karena aku ingin aman dan tidak mau dibully lagi, maka aku pura-pura mau menjadi teman Liana. Karena tidak ada yang berani sama Liana. Tahun demi tahun aku terus bertahan untuk bisa dekat dengan Liana. Keluarga Liana juga mau membantu keluarga aku dan biaya sekolah aku dari sekolah menengah sampai kuliah." "Kamu tahu, selama sekolah dan kuliah, setiap ada orang yang aku suka, pasti mereka akan berpaling dari aku. Mereka minta putus dengan aku ingin dekat dengan Liana. Bahkan ada juga yang sengaja mendekati aku demi menarik perhatian Liana. Mereka meninggalkan aku karena Liana lebih kaya dan cantik. Dan yang lebih parah lagi, kedua orang tua aku juga lebih menyayangi Liana. Aku selalu dibandingkan dengan dia. Apa-apa selalu Liana. Mentang-mentang keluarga Liana yang membantu keluarga kami," cerita Karin dengan penuh benci terhadap Liana dan kedua orang tuanya. "Lalu, kenapa kamu bisa tinggal di kos-kosan sekarang. Kenapa tidak dengan orang tua kamu?" "Mereka terlalu serakah dan penjilat sampai lupa diri. Saat orang tua Liana berhenti membantu mereka, mereka langsung jatuh miskin lagi. Aku tidak mau tinggal dengan mereka lagi, makanya aku memilih tinggal di kos-kosan." "Jadi itu yang membuat kamu sangat membencinya." "Iya. Aku tidak akan memaafkan Liana yang sudah menghancurkan hidupku, keluargaku. Seandainya dia tidak datang ke dalam kehidupanku, mungkin keluarga aku masih menyayangi aku seperti dulu. Aku juga tidak perlu dibanding bandingkan." Evan terdiam mendengar cerita Karin. Cerita yang selama ini tersimpan di lubuk hati Karin. Tidak ada orang yang suka dibanding-bandingkan di dunia ini. Rasanya kita seperti tidak ada harganya. Apalagi oleh orang yang kita sayangi. 'Namun apapun yang terjadi aku tetap memilih Karin. ' "Jadi, apa kamu suatu saat juga akan menyukai Liana dan meninggalkan aku?" tuntut Karin salah menilai Evan yang sedang melamun. "Aku tidak mungkin menghianati Kamu. Di hatiku cuma ada kamu," sahut Evan cepat. "Kamu janji?" "Iya, aku janji." "Kamu tahu, aku merasa sangat beruntung saat bertemu kamu tiga tahun yang lalu. Setelah kita pacaran, kedua orang tua Liana mengalami kecelakaan dan meninggal. Di saat itu aku punya pemikiran untuk membuat kamu dekat dengan Liana. Aku akan mengambil seluruh harta dia. Biar dia tahu bagaimana rasanya dikasihani dan kehilangan orang yang dicintai. Aku ingin melihat dia memohon-mohon di kaki aku sambil bersujud," sambung Karin dengan seringai. "Aku akan membuat dia memohon-mohon sama kamu. Setelah itu kita bisa hidup berdua dengan harta miliknya." *** Liana menutup mulutnya. Dari tadi mendengar semua obrolan mereka. Dia tidak tahu jika niatnya menolong Karin malah menjadi bumerang baginya. Dia dengan tulus memperlakukan Karin sebagai sahabat. Begitu juga dengan keluarganya, orang tuanya tidak pernah membedakan dia dan Karin. Karin sudah di anggap anak sendiri oleh orang tuanya. Liana juga tidak tahu jika Karin diperlakukan tidak adil oleh orang tua kandungnya sendiri. Pantesan Karin sering tidak suka jika berkunjung ke rumah. Orang tua Karin begitu semangat menyambutnya. Ternyata itu yang terjadi selama itu. Apalagi membayangkan orang-orang yang ingin dekat dengannya memanfaatkan Karin. 'Karin, kenapa kamu tidak jujur saja sama aku. Kalau kamu jujur, aku tidak akan merebut kasih sayang orang tua kamu dan juga orang yang kamu sukai. Bagiku kamu adalah saudara aku. Aku minta maaf Karin, aku yang membuat kamu seperti ini. Tapi aku juga minta maaf, aku tidak akan membiarkan kalian bersikap seenaknya lagi. Mulai sekarang hubungan persahabatan kita berakhir. Aku akan kembali mengambil semua milik aku." 'Jika kamu menyesal dan meminta maaf, maka aku akan membiarkan kamu pergi dengan Evan dengan tenang. Anggap saja ini sebagai ucapan perpisahan dan maaf dari aku. Tapi, kalau kamu tidak mau mengakui kesalahan kamu dan masih nekat ingin menyingkirkan aku, aku tidak akan berbelas kasihan memberi perhitungan sama kamu.' batin Liana dengan tekad yang kuat. Liana kembali lagi ke kamar ketika tidak lagi mendengar suara obrolan dari Evan dan Karin. Dia berjalan dengan lemas ke dalam kamarnya. Melemparkan tubuhnya ke atas kasur lalu menangisi nasib yang begitu menyedihkan. Dikhianati dan dihancurkan oleh sahabat sendiri karena rasa cemburu. Bersambung ….Pada sore hari, barang-barang Karin sudah tiba di depan rumah Liana. Liana menatap barang Karin dengan muka datar dari balik jendela. Di sana juga ada Evan yang menyuruh para pembantu untuk mengangkut barang-barang milik Karin ke dalam kamar tamu. Barang milik Karin tidak bisa dibilang sedikit. Persis seperti orang pindah rumah saja.Dengan langkah pelan perempuan itu berjalan ke arah Karin dan Evan yang tidak menyadari kehadirannya. Dia dengan sengaja berdiri sejajar dengan mereka. Biar mereka menyadari kehadiran dia. Hanya beberapa detik Evan dan Karin menyadari ada Liana di samping mereka."Liana," ujar mereka berbarengan."Karin, kenapa barang kamu cepat sekali sampai. Apa kamu memang sudah bersiap-siap sebelumnya, sebelum mau menginap di sini?" pancing Liana."Sayang, kenapa kamu berkata seperti itu. Apa ada yang aneh," ujar Evan mendekat ke arah Liana. "Evan, apa kamu lupa kalau aku tidak bisa dengar?" tanya Liana menatap Evan. "Dasar, sangat menyusahkan saja," gumam Karin yan
"Akhirnya, aku bisa tinggal di rumah mewah seperti ini. Dulu aku hanya bisa nginap sekali-kali saja," gumam Karin menatap kondisi kamar ruang tamu.Karin duduk di atas kasur setelah selesai memeriksa kondisi kamar. Kamar yang tidak kalah jauh dari kamar Liana. Dulu saat dia menginap di rumah itu, dia tidur satu kamar dengan Liana. Itu sebelum Evan dan Liana menikah. Sejak mereka menikah sudah jarang dia bertamu. Menghindari Liana yang bermesraan dengan Evan."Sayang, rumah kita kan hampir selesai. Nanti kita juga punya rumah yang mewah," kata Evan ikut duduk di sebelah Karin."Itu beda. Rumah ini jauh lebih besar dan mewah daripada rumah yang kita bangun itu." "Apa kamu mau mengambil rumah ini juga? Kalau kamu mau, aku akan mencobanya." "Tidak perlu, terlalu beresiko kalau kita mengambil rumah ini. Yah, kecuali kalau Liana mau menyerahkan rumah ini kepada kamu secara sukarela.""Sukarela ya," pikir Evan mencari jawaban dari perkataan Karin."Ah, bagaimana kalau kita suruh Liana buat
Mereka bertiga keluar dari mobil dan berjalan ke arah rumah Liana. Liana dengan sengaja menggandeng tangan Evan untuk membuat Karin cemburu. Mungkin ini juga yang dirasakan Karim selama dia bersama dengan Evan."Kenapa pake gandeng-gandeng segala sih," cibir Karin yang berjalan di belakang Liana dan Evan.Karin tidak takut berbicara dengan suara keras. Baginya Liana tidak bisa dengar. Jadi bisa mencela Liana tanpa khawatir ketahuan.Liana yang mendengar cibiran Karin semakin menjadi. Menyandarkan kepala di bahu Evan dengan mesra. Dia sendiri tidak suka melakukan itu, namun sengaja ingin membuat hubungan Evan dan Karin renggang. Setidaknya mereka ada bahan pertengkaran."Evan, kamu jangan mau Liana manja seperti itu," protes Karin menatap Liana yang bersandar dengan tajam."Karin, kamu yang sabar," sahut Evan tanpa melihat ke arah Liana atau Karin. Pandangan lurus ke depan."Sabar apaan. Kamu jangan cari kesempatan.""Karin ….""Evan, apa kamu bicara sesuatu sama aku. Atau kamu sedang
Evan dan Karin kembali masuk ke ruangan Liana setelah dipanggil oleh suster. Mereka melihat Liana yang sudah tenang di atas tempat tidur."Dokter, apa yang terjadi sama istri saya?""Pak, istri Bapak secara keseluruhan baik-baik saja.""Baik-baik saja?" tanya Karin tidak suka. Bukankah Liana sudah tuli."Maksudnya untuk luka yang dialami Bu Liana. Tapi tidak dengan pendengarannya.""Maksudnya, Dokter?" tanya Evan melirik ke Karin."Istri Bapak mengalami masalah dengan pendengaran.""Apa itu akan permanen Dokter?" "Bapak tenang saja, gangguan pendengaran Ibu Liana hanya sementara. Jika Ibu Liana rajin pemeriksaan dan terapi, maka Ibu Liana bisa sembuh."'Kenapa nggak sekalian tuli permanen saja sih. Dengan begitu aku ada alasan untuk meninggalkan dia setelah aku berhasil mengambil seluruh hartanya. Aku tidak mau hidup dengan perempuan bodoh seperti dia terus,' batin Evan kecewa dengan pernyataan dokter."Pak, apa Bapak tidak apa-apa," tegur dokter ketika Evan melamun.Karin menyenggol
Beberapa saat kemudian, dokter masuk bersama suster dan juga Karin. Karin cemburu begitu melihat Evan yang memeluk Liana dengan erat di depan matanya. Baginya, dialah orang yang pantas dipeluk oleh Evan. Karena Evan adalah pacarnya."Pak, bisa tolong keluar sebentar. Kami akan memeriksa kondisi pasien," ujar sang dokter."Baik Dok," sahut Evan melepaskan pelukan mereka."Evan, kamu mau kemana. Jangan tinggalin aku, Evan. Kamu tetap di sini saja ya," pinta Liana seakan tidak mau ditinggal oleh Evan."Kamu harus diperiksa dulu. Setelah selesai diperiksa, aku akan masuk lagi. Aku tunggu di luar ya," bujuk Evan melepaskan tangan Liana."Evan, Evan," tolak Liana."Ayo Karin," ajak Evan.Karin mengikuti Evan dari belakang. Sebelum keluar dia sempat melirik ke arah Liana. Tersenyum puas melihat Liana yang sangat terpukul ditinggal Evan."Evan! Evan!" teriak Liana.Setelah Karin dan Evan keluar dari ruangan, Liana berhenti berteriak. Ruangan yang ditempati merupakan ruangan yang kedap suara.
"Apa yang terjadi sama Liana?""Aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Tapi kata suster, Liana mengalami kecelakaan. Dia ditabrak mobil.""Terus, sekarang kita harus apa. Bagaimana kalau terjadi sesuatu sama Liana? Kita tidak bisa memanfaatkan dia lagi. Aku tidak mau hidup miskin.""Karin, kamu harus tenang. Kalau terjadi sesuatu sama Liana, aku yang akan mengurus semua hartanya. Harta dia akan menjadi milik kita semua.""Kamu kan tahu, Liana masih memiliki wali, pamannya. Pamannya tidak akan membiarkan kita memiliki semua harta itu. Apalagi kalian tidak mempunyai anak. Kita akan ditendang keluar.""Masalah paman Liana biar aku urus juga, ya.""Baiklah. Apa kata dokter tentang Liana.""Kata dokter, kepala Liana mengalami benturan yang cukup keras. Kita harus menunggu dia sadar dulu untuk mengetahui perkembangannya.""Aku pikir dia beneran akan mati.""Dia tidak boleh mati dulu sebelum kita mengambil alih semua hartanya. Kamu sabar ya. Aku pasti akan usahakan semua hartanya menjadi mili







