"Ingatanku belum pulih jadi--"
"Kamu mungkin salah satu pendekar diluar sana." Janu memotong perkataan Nalini. "Walau kamu seorang wanita, tapi aku bisa merasakan tangan yang sering menggunakan pedang. Sama seperti tangan Kakek." Saat sulit memikirkan jawaban yang harus diberikan pada Janu. Ranting yang berada ditangan Nalini bergerak. Membuat tubuhnya tertarik kearah sungai karena lengah. Jika tidak ditahan oleh Janu, mungkin Nalini akan jatuh kedalam sungai yang dingin. Takut terjatuh, Nalini juga membalas mengenggam tangan Janu agar tidak melepaskan dirinya. Dengan menggenggam tangan Janu, Nalini bisa merasakan denyut nadi Janu. Tenaga dalam yang sangat hebat mengalir disana. Bahkan melebihi dari kakak tertua perguruan Danadyaksa. Tubuh Janu akan sangat mudah untuk dilatih jurus apapun. "Dalam hitungan ketiga, kita tarik bersama-sama." Ucapan Janu, mengembalikan Nalini dari pikirannya sendiri. "Satu.. dua.. tiga!" Janu menarik tangan Nalini kearahnya. Begitu pula Nalini menggunakan tangan yang satunya lagi untuk menarik ranting menjauh dari aliran sungai. Ikan berukuran besar terkapar diatas bebatuan. "Woah... aku bisa menangkap ikan." Seketika Nalini melupakan apa yang baru dipikirkannya tentang tenaga dalam Janu. Di dunia baru ini, Nalini banyak menemukan kesenangan dari hal yang sederhana. Melupakan status, tatakrama memuakkan, serta politik kerajaan yang selalu menjadi makanan sehari-harinya. "Ayo kita pulang saja, ikannya kita bagi dua." Usul Janu. "Tidak mau! Ini hasil tangkapanku. Kamu tunggulah kail mu bergerak." "Ada sesuatu yang penting ingin aku tunjukkan padamu." Janu langsung menggenggam tangan Nalini untuk mengikutinya, daripada dia kesulitan dengan Nalini yang tersesat di hutan. Mereka berjalan cepat tapi lama kelamaan Janu akhirnya mengajak Nalini berlari. Melewati setiap pepohonan dan padang rumput yang luas sebelum tiba di pondok Janu yang sederhana. Nalini langsung duduk di bangku panjang sambil mengatur napasnya. Janu masuk dan kembali dengan satu gelas air beserta satu buku di masing-masing tangannya. Pertama dia menyodorkan gelas berisi air untuk Nalini. Janu menunggu dengan sabar sampai air dalam gelas itu tandas diminum Nalini. Setelahnya Janu menyodorkan buku yang sudah sangat lusuh. "Aku menemukannya, tapi enggak mengerti isinya." Jelas Janu. Nalini menelisik pada wajah Janu. "Iya! Aku enggak bisa membaca. Jangan bilang gara-gara hilang ingatan, kamu jadi enggak bisa baca tulisan di buku itu?" Nalini hanya tersenyum singkat lalu kembali pada buku tersebut. Selain lembab buku ini juga sangat terlihat rapuh. Nalini dengan perlahan membuka setiap lembarannya. "Jadi apa isinya? Apa sesuatu yang menarik. Aku hanya memperhatikan gambarnya saja." Terjawab sudah tenaga dalam hebat itu berasal. Walau pun Janu masih tidak tahu cara melakukannya dengan benar dan hanya dengan berlatih setiap hari saja menggunakan gerakan yang tertera dibuku. Janun sudah bisa melatih tenaga dalam sampai sehebat itu. "Bertemu denganmu suatu keberuntungan buatku. Ayo kita berlatih bersama?" Janu tersenyum lebar memandang Nalini. "Kamu dapatkan buku ini dari mana? Kakek?" Selain dari kondisi buku, jurus seperti ini juga asing dimata Naliani. Banyak pendekar yang datang ke perguruan untuk melakukan duel dengan guru besar setelah dunia persilatan damai. Tapi jurus yang di dalam buku ini belum pernah Nalini lihat ada pendekar yang menggunakannya. "Beritahu terlebih dahulu apa isinya. Nanti aku katakan darimana." Janu juga tidak mau mengalah. "Tulisannya, hanya menunjukan bagaimana cara bernafas dalam setiap gerakannya. Coba tunjukan hasil belajarmu." Janu bersiap dengan memasang posisi kuda-kuda. Tanganya mulai bergerak sesuai gambar dibuku. Benar dugaan Nalini, napasnya berantakan dan gerakannya tidak lues. "Saat tanganmu turun, napas juga harus dihembuskan dengan perlahan lewat hidung." Janu mengulang sesuai arahan Nalini. Reaksi tubuhnya menjadi lebih ringan dan lebih bertenaga setelahnya. "Sekarang, beritahu dari mana buku ini?" Nalini menghentikan latihan mereka. "Ah, kamu mempermainkanku. Ini belum selesai sampai akhir kan?" Nalini seperti enggan memberitahu kelanjutannya. Dia menutup buku sambil memberikannya kembali pada Janu. "Mau kemana?" Janu menahan tangan Nalini. "Ikut aku." Tidak mau kehilangan pembelajaran dari Nalini akhirnya Janu yang mengalah. Mereka kembali kedalam pondok dan Janu berhenti di depan sebuah peti kayu. Peti kayu yang sepertinya dijadikan tempat menyimpan barang-barang berharga milik Janu. Jika jawaban Janu buku itu berasal dari peti kayu, Nalini akan mengamuk. Janu berjongkok dan mulai menggeser peti kayu yang terlihat berat. Bergeser dan Janu menarik tali yang jika sekilas tidak akan terlihat. Pintu menuju ruang bawah tanah, sedikit mengingatkan Nalini pada pintu rahasia di ruangan kakeknya. "Bawa lilin, kamu enggak terbiasa dengan gelap bukan?" Janu turun terlebih dahulu tanpa kendala sedikit pun. Pandangan Nalini langsung tertuju pada lilin dan juga dua batu kecil disampingnya. Beberapa kali Nalini menggesekkan dua batu tersebut agar memercikkan panas dan membakar sumbu lilin. "Hey, lama sekali? Aku tinggal." Semakin panik Nalini, akhirnya menyerah dan turun saja mengikuti Janu. "Mana lilin nya? Aku enggak akan tanggungjawb kalau--" Nalini langsung memeluk lengan Janu yang membuatnya terkejut. "Begini saja, ayo jalan." Ucap Nalini.Jahan langsung mengunjungi kamar Nalini ketika mendaat kabar kalau jasad pelayan yang pernah di sekap oleh Nalini ditemukan menumpuk dihalaman belakang. Dilihatnya Nalini masih tertidur lelap. Jahan sudah menduga bahwa ini adalah perbuatan putra mahkota.Lantara terlalu ketakutan keberadaan Nalini diketahui oleh pihak istana dan Nalini harus dibawa kepengadilan kerajaan yang pasti akan dijatuhi hukuman mati.“Apa yang kamu lakukan?” Jahan yang sedari tadi sudah merasa tidak beres, langsung menahan tangan Nalini yang terlur padanya sambil menggenggam sebuah belati.“Dari mana kamu bisa mendapatkan belati itu?” Pertanyaan Jahan tidak ada yang dijawab oleh Nalini. Jahan baru menyadari tatapan Nalini yang terlihat kosong.“Keterlaluan.” Jahan sedikit kesulitan mengahadapi Nalini, bahkan ilmu bela diri yang digunakan Nalini tidak bisa tertebak oleh Jahan. Dia pun baru melihat jurus-jurus yang hanya diceritakan lewat buku-buku kuno. Ternyata itu bukan hal mustahil untuk dipelajari dan dari
Janu turun dari geting rumah dan sudah ada Nira yang menunggunya. Dia tahu Janu tidak akan tinggal diam saja. Apa lagi ditinggal seorang diri. Wali kota yang mendengar keributan di pintu gerbang segera datang membawa serta pasukannya kesana. Nira sudah menduga kalau itu perbuatan Janu, tapi karena ayahnya tidak mengizinkan Nira pergi keluar dari rumah wali kota yang bisa Nira lakukan adalah menunggu dan berharap Janu kembali pulang. “Lupa kalau nama baik dan keselamatan rombongan dagang kami bergantung padamu?” Nira lagi-lagi memperingati Janu akan hal itu.“Baiklah kalau begitu, kita akhiri semuanya sampai disini saja.” Tegas Janu.Nira salah langkah untuk menahan Janu agar tetap bersama dirinya. Sekarang alasan itu rupanya tidak mempan pada Janu. Tapi bukan Nira namanya jika tidak mempersiapkan renacana cadangan. Mengingat Jahan juga sudah jatuh ke tangan perempuan itu, tidak akan dibiarkan untuk kedua kalinya laki-laki yang dicintai Nira pergi begitu saja. Ditambah mereka mengejar
"Tuan Muda, Nona Nalini membuat masalah lagi. Kali ini Nona menyekap pelayan yang mengantarkan makanan ke dalam kamarnya." Lapor salah satu pelayan. Jahan hanya tersenyum menanggapi. Namun raut wajah penuh kehawatiran pelayan itu tidak kunjung sirna. "Dia bukan orang jahat, temanmu akan aman disana. Biarkan saja." Jahan seperti harus memberi penjelasan agar para pelayannya tidak khawatir berlebihan. Satu hari berlalu, sekarang sudah tiga orang pelayan yang berada di dalam kamar Nalini. Suasananya canggung sekali. Mereka diam dimeja tamu, sementara Nalini berbaring seharian diatas tempat tidur. Tiga pelayan itu juga manusia, suara perut yang kelaparan sampai terdengar oleh Nalini. "Makan saja hidangan yang kalian bawa. Aku tidak lapar." "Tidak Nona, ini untuk mu. Kami tidak berhak memakan milik tamu Tuan Muda." "Disini hanya ada kita saja dan aku tidak akan mengadukan hal ini pada Tuan Muda mu." Dari mereka bertiga, tidak ada yang berani bergerak sedikitpun. Nalini mulai frustasi
"Tuan, selama kota dibawah pengawasan anda. Baru kali ini begitu kacau dan ricuh." Ayah Nira bertanya di sela-sela makan malam mereka. Wali kota tersebut menghela napas dengan panjang sambil mengeluarkan selembar kertas keatas meja makan. Sebuah pencarian orang, buronan. Tidak seperti kebanyakan yang berparas seram dan bermasalah. "Karena ada berita yang mengabarkan kalau buronan ini masuk ke kota, kebetulan karena pertandingan besar sedang berlangsung." "Putra Mahkota yang berada disini, langsung menurunkan perintah. Kalau sudah begitu, mana bisa saya melawan perintah mutlak tersebut." Untungnya dimeja itu, hanya terdapat Janu, Nira dan saudagar dagang. Anggota lainnya duduk di meja yang terpisah. Kalau tidak mereka bisa heboh melihat lukisan wajah yang terpampang disana. Perempuan itulah yang sempat menolong dan memberikan obat pada rombongan dagang. Serta perempuan itu adalah orang yang sedang Janu cari selama ini. Entah reaksi apa yang akan mereka berikan tentang Nalini. "Se
"Nalini, deng--" "Nanda! Namaku, tolong panggil dengan itu. Nalini sudah mati di hari saat orang-orang menjebaknya." Putra mahkota dan Jahan terdiam dan saling padang untuk sesaat. "Dengar, saat ini dirimu sedang menjadi buronan di semua kerajaan. Tempat yang paling aman adalah bersembunyi di sini." "Oh ya? Aku rasa tidak begitu. Dari pada dipenjarakan seumur hidup aku memilih dibunuh saja sekalian!" Nalini maju ke hadapan putra mahkota sambil memasang wajah yang menantang. Tidak ada raut ketakutan sama sekali. Sekilas Nalini memandang pada tempat penyimpanan pedang di dekat pintu masuk. Nalini jadi memikirkan sebuah rencana. Dia terus mendesak putra mahkota hingga Nalini bisa menjangkau tempat pedang tersebut. Selajutnya, gerakan tangan Nalini sangat cepat, dia mencabut pedang dari sarungnya dan hendak menebaskan pada batang leher dirinya. Namun gerakan tangan Jahan tidak kalah cepat untuk menghentikan aksi bunuh diri yang akan Nalini lalukan. Jaha cekatan melemparkan jarum-jaru
Putra mahkota kerajaan timur memang benar memilki cinta yang besar pada Nalini. Namun Jahan tidak merasakan cinta itu akan kuat untuk beberapa tahun kedepan. Akan terlalu banyak hal yang direlakan putra mahkota untuk bisa bersama Nalini. "Sebenarnya aku kurang nyaman dengan situasi ini. Aku tidak suka kamu terus memandangi Nalini." Putra mahkota menutup tirai untuk memisahkan Nalini dengan mereka. "Aku hanya sedang menebak kelanjutan apa yang terjadi setelah Nalini terbangun di kerjaan timur." "Aku sudah mengatur semuanya dengan baik. Walau tidak suka, kamu diam saja. Karena amarahku belum cukup reda untuk menganggapmu sebagai sahabatku lagi." "Kalau aku bilang untuk kebaikan Nalini, apa Yang Mulia Putra Mahkota bisa memahami itu?" Hening sesaat dianatara mereka, putra mahkota juga enggan menanggapi pertanyaan terkahir Jahan. Kereta kuda berhenti, Jahan harus kembali berpura-pura terbaring. Artinya dia akan tidur di samping Nalini. Suka tidak suka, putra mahkota harus merelaka