"Jadi ini pedang yang menyakitimu atau milikmu?" Saking bersemangatnya Nalini melupakan kalau dia sedang sakit dan ada Janu disana.
"Ini satu-satunya harta peninggalan keluargaku." "Itu artinya kamu berasal dari kelurga pendekar." Kini giliran Janu yang bersemangat. Matanya berbinar-binar menatap Nalini. "Kamu tahu sesuatu tentang pendekar?" Nalini bertanya dengan penuh selidik. "Kakekku pernah bercerita tentang perang dunia persilatan dimasa lalu." Semangat berapi-api Janu keluar untuk menceritakan kisah itu. "Katanya ada seorang pendekar sakti yang enggak bisa di kalahkan siapapun." "Dia memiliki sebuah pedang yang selalu dibawanya, dia juga yang akhirnya mendamaikan peperangan dunia persilatan." Pandangan Janu tertuju pada pedang legendaris. "Jadi aku sangat kagum saat melihat pedang asli. Makannya kusimpan baik-baik." Nalini jadi penasaran ingin bertemu dengan kakek Janu. Mungkin dia salah satu pendekar yang mengenali dirinya sebagai keluarga Danadyaksa. Bisa gawat kalau identitas aslinya terbongkar bersama pedang legendaris. Nalini harus memikirkan cara untuk pergi dari sini secepatnya. "Oh iya, keliatannya kamu sudah sehat. Besok aku ajak pergi berburu." Janu pergi ke teras depan, karena matahari sudah terbenam. Dia pun mulai beberes menutup jendela yang berada di pondok. Menyalakan lilin-lilin di setiap penjuru ruangan. Selesai, dirinya bergegas membawa satu bundel kain. "Kamu mau kemana? Mencuci di malam hari?" Tanya Nalini heran. Janu tertawa atas pertanyaan yang dilontarkan Nalini. "Serajinya aku, hal itu enggak pernah akan aku lakukan di malam hari. Bisa-bisa aku diterkam hewan buas disana." Kemudian Janu menggelar kain panjang tersebut. Bentuknya seperti selimut, tapi dijahit dari beberapa gabungan kain. "Maaf, kamu jadi tidur tidak nyaman." Nalini makin tidak enak saja, dia sudah ditolong menumpang pula. Tapi masih selalu memiliki prasangka buruk pada Janu. "Sebentar lagi kita akan berganti posisi, tenang saja." Ish, Nalini jadi menyesal karena beberapa waktu merasa tidak enak pada Janu. Dia langsung memunggungi Janu yang tidur dibawah ranjangnya. Malam belum larut, tapi mengapa Janu sudah bersiap tidur. Dengkurannya pun bisa terdengar beberapa saat yang lalu. Sementara Nalini masih belum mengantuk, dan bingung mau melakukan apa. Kembali badannya dihadapkan pada Janu. Nalini mencoba melihat Janu secara keseluruhan. Janu tidak seburuk yang dibayangkan saat bilang bahwa dirinya liar. Hanya penampilan luarnya saja yang tidak terurus dengan benar. Jika dia berpakaian rapih, ketampanannya akan melebihi putra mahkota Arnawarman. Eh, kenapa Nalini membandingkannya dengan putra mahkota. Nalini jadi mengingat ucapannya di taman. Tentang putra mahkota yang akan melindungi Nalini. Apakah sekarang putra mahkota juga sedang mencarinya. "Ah, sebenarnya apa yang terjadi padaku?" Karena suasana yang hening dan syahdu membuat kelopak mata Nalini turun dengan perlahan. Dirinya tidur dengan diiringi suara dari alam. Tiba-tiba Nalini mereasa kedinginan dan mulai menarik selimut untuk menutup seluruh badan. Sepertinya selimut itu tersangkut sesuatu, sehingga susah diatarik. Nalini terkejut saat membuka matan dan melihat Janu sedang menahan selimut di ujung lainnya. "Sudah pagi, ayo kita pergi berburu makanan." Pantas saja Nalini merasa dingin. Semua jendela sudah dibukakan dan lilin sudah dimatikan. Semburat jingga memang ada di pelupuk timur, tapi bagi Nalini ini masih terlalu pagi. "Apa kebiasaanmu tidur saat matahari terbenam dan bangun ketika matahari baru terbit adalah untuk berburu?" "Kita bergerak sekarang, saat hewan-hewan masih beristirahat. Ayo cepat." Daripada menjawab pertanyaan Nalini yang kehidupannya berbeda jauh. Janu lebih memilih bergegas berburu makanan. Mereka meninggalkan pondok kecil itu, Janu juga memberikan Nalini sebuah kantung dan juga belati kecil. Setelah berjalan beberapa jauh, ternyata ada sebuah pagar yang dibuat Janu mengelilingi pondok. Kemarin Nalini tidak bisa melihat pagar tersebut karena berada di bawah bukit dan tertutupi panjangnya rerumputan sekitar pondok. Pagar tersebut dibuat sebagai perlindungan serangan binatang hutan. Janu mungkin terbiasa dengan pandangan hutan yang gelap. Tidak dengan Nalini, beberapa kali kakinya tersangkut akar-akar pohon yang mencuat ke permukaan tanah. Lalu suara gaduh akibat ranting yang terinjak membuat kehadiran mereka terditeksi oleh hewan. "Aduh... bisa enggak jalan yang benar?" Janu jadi gemas sendiri melihat Nalini. "Ini masih gelap. Aku tidak bisa melihat pijakan kakiku." Kalau begini terus hari ini mereka tidak akan makan daging enak. Janu merubah tujuan awalnya. Dia membawa Nalini pergi ke sungai. "Katanya kita akan berburu, kenapa ke sungai? Bukannya kemarin kita sudah makan ikan." "Gara-gara kamu berisik, hewan juga akan lari mendengarnya." Terlihat sekali Janu kesal. "Tunggu disini, aku akan mencari cacing tanah dulu." Ditinggal Janu, Nalini langsung melepas sepatu yang dikenakan. Arinya masih sangat dingin, tadinya Nalini ingin mandi. Dia jadi berpikir ulang dan hanya membasuh bagian tubuh yang terlihat saja. Mungkin setelah matahari naik lebih tinggi dan air sungai sudah lebih hangat dia akan kembali untuk mandi. Janu kembali dengan dua ranting dan satu gengam cacing tanah menggeliat diatas daun yang dijadikan sebagai wadahnya. Dia juga terampil membuat ranting menjadi alat pancing. Dengan menggunakan akar gantung sebagai tali yang diikat pada ujung ranting kayu. Kail pancing dibuat dengan potongan ranting berukuran kecil kemudian diruncingkan menggunakan belati. Jadi, alat pancing yang siap digunakan. Tak lupa dia mengkaitkan cacing tanah sebegai umpan ikan. "Nih, kamu juga pegang agar hasilnya banyak. Kita akan pesta ikan bakar." Mereka berdua jadi saling menunggu dalam diam. Hanya suara gemericik air dan hembusan napas masing-masing. "Aku tidak terbiasa memiliki hutang budi. Aku akan mengajari apa yang aku bisa tapi kamu tidak bisa, seperti tatakrama--" Tiba-tiba Nalini membuka pembicaraan setelah memikirkan semua pertolongan yang diberikan oleh Janu. "Benarkah, apapun? Kalau begitu aku ingin diajari ilmu pedang." potong Janu semangat.Belum menjelang malam tapi para bangsawan yang berada di ibu kota dan sudah mendapatan undangan Jahan, sejak pagi mulai berdatangan. Bahkan bangsawan dari luar kerajaan timur pun turut hadir. Siapa yang tidak tahu tentang keluarga bangsawan Altarik yang terkenal dengan kerendahan hatinya walau memiliki harta yang sangat melimpah. “Nona, apa ada sudah memilih pakaian dan riasan seperti apa yang akan anda kenakan saat makan malam.” Pelayan ini memang terlalu patuh pada peraturan, untungnya ada dua pelayan yang Jahan tempatkan untuk melayani Nanda agar dia lebih leluasa. “Aku rasa Nona akan memilihya nanti. Sekarang bagaiman kalau kita bantu bagian yang lain untuk menyiapkan acara makan malam. Pasti mereka kewalahan.” Sekarang Nanda kembali sendiri. Pikirannya masih berkenalan tentang percakapan tadi siang dengan Jahan. Memang lebih baik dia mengaikut arahan Jahan. Lagi pula dengan begitu Nanda tidak perlu merasa bersalah dengan menolak perasaan putra mahkota padanya. Satu jam kemudi
Kakek itu mengehela napas dan menepuk pundak Janu. “Aku tidak yakin untuk memberitahumu saat ini. Tapi, apa kamu sudah menemukan kunci peti yang lainnya?” Janu menggeleng lemah. Selama ini dia sudah mencari ke seluruh penjuru pondok. Bahkan sampai ke ujung hutan sekali pun tetap saja sisa kuncinya tidak ditemukan.“Apa harus sampai semua peti itu terbuka?”“Kamu pernah mencoba buka paksa peti-peti tersebut, misalnya dengan cara apapun namun masih tidak berhasil bukan?” Kakek itu kembali menyeruput teh nya.“Itu artinya kunci-kunci tersebut enggak berada di pondok atau hutan terlarang sekalipun. Mereka ada di luar dan aku harus mencarinya agar bisa bertemu dengan kakekku?”“Apakah gadis yang kamu sebutkan kemarin sebagai teman adalah orang yang membantumu mempelajari tingkat dasar ilmu bela diri yang ada dalam buku panduan?” Bukannya menjawab pertanyaan sebelumnya, kakek itu malah melemparkan topik lain pada Janu sehingga membuatnya termenung sesaat. Semua hal tidak mungkin hanya kebet
Nanda berjalan dengan sangat tergesa-gesa. Beberapa pelayan mengekor dibelakangnya dan begitu sampai depan ruang pribadi Jahan, penjaga pintu mencoba untuk menghentikan Nanda, itu juga tidak berhasil. Nanda masuk begitu saja kedalam ruangan.“Jahan! Apa yang kamu lakukan--” Tanpa tahu siapa yang sedang bersama dengan Jahan. Nanda terdiam ketika tahu tidak hanya Jahan yang berada di ruangan itu. Nanda kemudian berbalik melihat penjaga pintu yang mengekor padanya. “Kenapa kamu tidak mengatakan kalau didalam sedang ada tamu?” Langsung saja penjaga pintu mendapat tatapan tajam dari Nanda. Jahan membebaskan penjaga itu dari amukan adiknya, dia langsung memberi isyarat untuk meninggalkan mereka bertiga dalam ruangan.“Selamat siang Nanda, bagaimana istirahatmu setelah melakukan perjalanan panjang?” Nanda cukup terkejut dengan reaksi putra mahkota yang seperti baru saja melakukan pertemuan pertama mereka. Namun itu tidak bukan masalah, yang penting saat ini adalah rencana Jahan yang dirasa
Janu masih menatap kakek itu dengan tatapan tidak percaya. Antara dia salah dengar atau dia benar mendengar semua itu. Untu memastikan semuanya, Janu mencoba mengambil posisi kuda-kuda yang benar dan mengambil napas yang sudah dilatihnya selama ini dengan Nanda. Melakukan ancang-ancang dan menghitung dalam hati, hingga hitungan ketiga. Kapak itu berhasil dicabut dari alas potong kayu.“Kakek! Ini berhasil lihat—“ Antusias Janu tertahan begitu dia mengingat kalimat yang sebelumnya kakek itu ucapkan. “Bagaimana Kakek tahu hal seperti tadi.”“Itu bukan sembarangan kapak. Itu adalah senjata pribadi miliku. Pasti ada banyak pertanyaan dalam kepalamu saat ini. Duduklah temani aku minum teh, kalau tidak keberatan aku ingin menceritakan kisah lama.” Janu tergugu dan dengan patuh melakukan semua perkataan kakek itu, tanpa membantah satu pun.Dua cangkir teh sudah tersaji diatas meja, mereka menikmatinya dengan bermain catur kuno yang diperkenalkan oleh para pedagang yang singgah. Janu awalnya
Sejenak Jahan mengerutkan kening melihat reaksi Nalini yang tidak memperhatikan percakapan mereka sebelumunya. Bahkan Nalini mulai turun dari ranjang, bergerak dengan gusar keseluruh ruangan membuka apapun yang menutupi pandangan. Nalini menyingkap kain pentup meja, membuka seluruh pintu disana, membongkar laci-laci dan pintu lemari.“Dimana barang-barangku, kamu simpan?” “Harusnya semua yang ada di kamar ini adalah barang milikmu. Aku hanya memindahkan dari buntalan kain yang kamu bawa.”“Pedang, Seingatku aku selalu membawanya dan baru sadar sejak tinggal disini hanya pedang peninggalan Kakek yang belum aku lihat.”“Maksudmu ini.” Jahan menekan bagian bawah ranjang yang tidak terlihat secara kasat mata dan sebuah mekanis sederhana membuat laci rahasia muncul dibawahnya. Pedang tersebut tersimpan dengan aman bersama dengan Nalini di kamar ini. Segera Nalini menghampiri dan mengambil pedang tersebut. Membuka dari sarungnya, mengamati setiap lekukan pada pedang. “Oh, sungguh ke
Seorang pria tua tertegun melihat kemampuan Janu yang bisa mengalahkan lima pemuda dalah waktu yang sangat singkat. Bahkan penilaian Janu terhadap pedang legendaris juga membuatnya kagum. Janu sangat mengenali pedang tersebut dan dapat membedakan dengan yang palsu.“Anak muda, kamu tahu pedang apa yang barusan dibuang itu?”Janu menoleh melihat sosok kakek tua yang rentan dengan sebuah tongkat kayu menopang tubuhnya saat berajalan. Janu melihat kesana kemari untuk memastikan ada orang lain yang datang bersama kakek tersebut. “Apa Kakek terbiasa berjalan sendirian, ditengah hutan dan malam-malam seperti ini.”“Tenanglah aku tinggal tidak jauh dari sini. Hanya keluar sebentar untuk melihat ada keributan apa.”“Ah, maaf membuat Kakek khawatir.” Pandangan pria paruh baya itu tertuju pada pemuda yang berjatuhan dibelakang Janu. “Kakek tenang saja, mereka masih hidup dan cuman kehilangan kesadaran sejenak.” Lanjut Janu, tidak mau disalah pahami sebagai kasus pembunuhan.“Dari tampang mereka