Share

6. Hutang Budi

Author: D'Rose
last update Huling Na-update: 2024-02-22 07:28:57

"Jadi ini pedang yang menyakitimu atau milikmu?" Saking bersemangatnya Nalini melupakan kalau dia sedang sakit dan ada Janu disana.

"Ini satu-satunya harta peninggalan keluargaku."

"Itu artinya kamu berasal dari kelurga pendekar." Kini giliran Janu yang bersemangat. Matanya berbinar-binar menatap Nalini.

"Kamu tahu sesuatu tentang pendekar?" Nalini bertanya dengan penuh selidik.

"Kakekku pernah bercerita tentang perang dunia persilatan dimasa lalu." Semangat berapi-api Janu keluar untuk menceritakan kisah itu. "Katanya ada seorang pendekar sakti yang enggak bisa di kalahkan siapapun."

"Dia memiliki sebuah pedang yang selalu dibawanya, dia juga yang akhirnya mendamaikan peperangan dunia persilatan." Pandangan Janu tertuju pada pedang legendaris. "Jadi aku sangat kagum saat melihat pedang asli. Makannya kusimpan baik-baik."

Nalini jadi penasaran ingin bertemu dengan kakek Janu. Mungkin dia salah satu pendekar yang mengenali dirinya sebagai keluarga Danadyaksa.

Bisa gawat kalau identitas aslinya terbongkar bersama pedang legendaris. Nalini harus memikirkan cara untuk pergi dari sini secepatnya.

"Oh iya, keliatannya kamu sudah sehat. Besok aku ajak pergi berburu." Janu pergi ke teras depan, karena matahari sudah terbenam. Dia pun mulai beberes menutup jendela yang berada di pondok. Menyalakan lilin-lilin di setiap penjuru ruangan.

Selesai, dirinya bergegas membawa satu bundel kain. "Kamu mau kemana? Mencuci di malam hari?" Tanya Nalini heran. Janu tertawa atas pertanyaan yang dilontarkan Nalini.

"Serajinya aku, hal itu enggak pernah akan aku lakukan di malam hari. Bisa-bisa aku diterkam hewan buas disana." Kemudian Janu menggelar kain panjang tersebut. Bentuknya seperti selimut, tapi dijahit dari beberapa gabungan kain.

"Maaf, kamu jadi tidur tidak nyaman." Nalini makin tidak enak saja, dia sudah ditolong menumpang pula. Tapi masih selalu memiliki prasangka buruk pada Janu.

"Sebentar lagi kita akan berganti posisi, tenang saja." Ish, Nalini jadi menyesal karena beberapa waktu merasa tidak enak pada Janu. Dia langsung memunggungi Janu yang tidur dibawah ranjangnya.

Malam belum larut, tapi mengapa Janu sudah bersiap tidur. Dengkurannya pun bisa terdengar beberapa saat yang lalu. Sementara Nalini masih belum mengantuk, dan bingung mau melakukan apa. Kembali badannya dihadapkan pada Janu.

Nalini mencoba melihat Janu secara keseluruhan. Janu tidak seburuk yang dibayangkan saat bilang bahwa dirinya liar. Hanya penampilan luarnya saja yang tidak terurus dengan benar. Jika dia berpakaian rapih, ketampanannya akan melebihi putra mahkota Arnawarman.

Eh, kenapa Nalini membandingkannya dengan putra mahkota. Nalini jadi mengingat ucapannya di taman. Tentang putra mahkota yang akan melindungi Nalini. Apakah sekarang putra mahkota juga sedang mencarinya.

"Ah, sebenarnya apa yang terjadi padaku?" Karena suasana yang hening dan syahdu membuat kelopak mata Nalini turun dengan perlahan. Dirinya tidur dengan diiringi suara dari alam.

Tiba-tiba Nalini mereasa kedinginan dan mulai menarik selimut untuk menutup seluruh badan. Sepertinya selimut itu tersangkut sesuatu, sehingga susah diatarik. Nalini terkejut saat membuka matan dan melihat Janu sedang menahan selimut di ujung lainnya.

"Sudah pagi, ayo kita pergi berburu makanan." Pantas saja Nalini merasa dingin. Semua jendela sudah dibukakan dan lilin sudah dimatikan. Semburat jingga memang ada di pelupuk timur, tapi bagi Nalini ini masih terlalu pagi.

"Apa kebiasaanmu tidur saat matahari terbenam dan bangun ketika matahari baru terbit adalah untuk berburu?"

"Kita bergerak sekarang, saat hewan-hewan masih beristirahat. Ayo cepat." Daripada menjawab pertanyaan Nalini yang kehidupannya berbeda jauh. Janu lebih memilih bergegas berburu makanan.

Mereka meninggalkan pondok kecil itu, Janu juga memberikan Nalini sebuah kantung dan juga belati kecil. Setelah berjalan beberapa jauh, ternyata ada sebuah pagar yang dibuat Janu mengelilingi pondok. Kemarin Nalini tidak bisa melihat pagar tersebut karena berada di bawah bukit dan tertutupi panjangnya rerumputan sekitar pondok. Pagar tersebut dibuat sebagai perlindungan serangan binatang hutan.

Janu mungkin terbiasa dengan pandangan hutan yang gelap. Tidak dengan Nalini, beberapa kali kakinya tersangkut akar-akar pohon yang mencuat ke permukaan tanah. Lalu suara gaduh akibat ranting yang terinjak membuat kehadiran mereka terditeksi oleh hewan.

"Aduh... bisa enggak jalan yang benar?" Janu jadi gemas sendiri melihat Nalini.

"Ini masih gelap. Aku tidak bisa melihat pijakan kakiku." Kalau begini terus hari ini mereka tidak akan makan daging enak.

Janu merubah tujuan awalnya. Dia membawa Nalini pergi ke sungai.

"Katanya kita akan berburu, kenapa ke sungai? Bukannya kemarin kita sudah makan ikan."

"Gara-gara kamu berisik, hewan juga akan lari mendengarnya." Terlihat sekali Janu kesal.

"Tunggu disini, aku akan mencari cacing tanah dulu." Ditinggal Janu, Nalini langsung melepas sepatu yang dikenakan. Arinya masih sangat dingin, tadinya Nalini ingin mandi. Dia jadi berpikir ulang dan hanya membasuh bagian tubuh yang terlihat saja. Mungkin setelah matahari naik lebih tinggi dan air sungai sudah lebih hangat dia akan kembali untuk mandi.

Janu kembali dengan dua ranting dan satu gengam cacing tanah menggeliat diatas daun yang dijadikan sebagai wadahnya. Dia juga terampil membuat ranting menjadi alat pancing. Dengan menggunakan akar gantung sebagai tali yang diikat pada ujung ranting kayu. Kail pancing dibuat dengan potongan ranting berukuran kecil kemudian diruncingkan menggunakan belati.

Jadi, alat pancing yang siap digunakan. Tak lupa dia mengkaitkan cacing tanah sebegai umpan ikan.

"Nih, kamu juga pegang agar hasilnya banyak. Kita akan pesta ikan bakar." Mereka berdua jadi saling menunggu dalam diam. Hanya suara gemericik air dan hembusan napas masing-masing.

"Aku tidak terbiasa memiliki hutang budi. Aku akan mengajari apa yang aku bisa tapi kamu tidak bisa, seperti tatakrama--" Tiba-tiba Nalini membuka pembicaraan setelah memikirkan semua pertolongan yang diberikan oleh Janu.

"Benarkah, apapun? Kalau begitu aku ingin diajari ilmu pedang." potong Janu semangat.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   45. Obesis Putra Mahkota Kerajaan Timur

    Putra mahkota menggeraka kepala untuk menyuruh kedua pelayan itu meninggalkan dirinya dan Nanda. Setelah hanya berdua, putra mahkota berjalan perlahan menuju Nanda.“Sudah larut malam, pria dan wanita tidak seharusnya bersama. Ini akan mencoreng nama baik anda Yang Mulia.” Ucap Nanda, terlihat dari gesture badannya akan meninggalkan putra mahkota sendirian. Namun tangannya ditarik begitu saja, tubuhnya sedikit limbung dan untuk menahannya agar tidak terjatuh putra mahkota segera menangkap tubuh Nanda.“Aku tidak peduli dengan semuanya, bukankah kamu sudah tahu akan hal itu?” Nanda berusah melepaskan diri dari pelukan putra mahkota namun kekuatannya sangat tidak seimbang, putra mahkota semakin mendekap Nanda dengan posesif. “Seminggu lagi kita akan menikah, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nona Nanda.”Putra mahkkota lalu melepaskan Nanda dan dengan menadapatkan kesempatan itu, Nanda segera berlari menuju kamarnya. Bahkan dia masih merasa meriding tawa menggelegar dari putra mah

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   44. Istana Kerajaan Utara

    Jika di kereta kuda Janu sudah kagum dengan segalam ornament mewahnya. Maka ketika dia memasuki lingkungan kerajaan Utara Janu sampai ternganga, jangan ditanya dengan bagunannya. Kerajaan utara terkenal dengan kontruksinya yang sangat kokoh dan mewah. Hamparan taman bunga yang berisikan bunga-bungan langka belum pernah Janu lihat sebelumnya. Kepala dan badan Janu jadi tidak selaras, melihat keseluruh penjuru area.Banyaknya pelayan menyapa dan berlalu lalang mengerjakan tugas mereka masing-masing disetiap lorong yang dilewati. Reaksi Janu tidak terlepas dari pengamatan dua saudara ini. Dalam pikiran Kaila menganggap Janu adalah orang yang lucu, sepertinya tamu sang guru ini bukan berasal dari keluarga bangsawan seperti kebanyakan kenalan beliau.“Janu, apa ini pertama kalinya masuk ke lingkungan istana?” Janu mengangguk menjawab pertanyaan Kaila tanpa mempedulikannya. Mata Janu masih tertuju ke tempat lain seolah tidak mau kehilangan pemandangan indah yang terhampar dihadapannnya.Bed

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   43. Ketakutan Masa Lalu

    Semua menikmati anggur dan makan yang disediakan oleh kediaman keluarga Altarik. Hampir dipastikan semua tamu yang hadir sudah mabuk akibat putra mahkota yang terus-terusan mengajak bersulang dan itu tidak bisa ditolak oleh mereka.Pelayan pribadi satu per satu berpamitan untuk membawa tuannya untuk pulang pada Jahan sang tuan rumah. Itu pula yang membuat Nanda tidak memiliki alasan untuk tetap diam di tempatnya, dia juga meminta izin pada kakaknya untuk kembali kedalam kamar.Nanda mempercepat langkahnya, dia sudah tidak suka dengan acara yang seperti ini ditambah dia takut ketahuan oleh kakak seperguruan yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangan darinya. Benar saja dipersimpangan jalan, kakak seperguruannya mencegat langkah Nanda.Rona merah di pipinya menandakan kalau dia juga sudah dalam keadaan mabuk berat. “Orang mabuk akan dua kali lebih berbahaya karena akal sehatnya tidak berfungsi.” Ucap Nanda dalam hati. “Selamat malam tuan muda, mungkin anda tersesat, perjamuan makan mal

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   42. Keturunan Kerajaan Utara

    Janu sedikit menjaga jaraknya dari wanita bangsawan itu. Anehnya lagi wanita bangsawan itu malah lebih mendekatkan diri pada Janu. Keningnya berkerut melihat tingkah Janu yang seperti menghindari dirinya, padahal dia tidak akan berbuat jahat pada Janu, dia lalu menunjuk papan pengenal yang tersampir di pinggang Janu.“Jadi kamu adalah cucu Guru yang hilang itu?” Janu meraba kemudian mengambil papan identitas yang tersampir di pinggangnya. Janu harus segera menjelaskan semua agar tidak ada kejadian salah paham seperti yang dirinya lakukan dengan Nira.“Ah, aku hanya—““Yang Mulia Putra Mahkota…” Teriak salah satu pelayan di ujung jalan. Orang-orang yang sedang memadati jalanan langsung menghindar, lenggang seketika dan begitu kereta kuda lewat, semua membungkukkan badan menyambutnya. Jendela kereta kuda putra mahkota terbuka, dia bisa dengan leluasa melihat lingkungan sekitar.Walau ragu Janu juga ikutan membungkuk karena semua orang sedang membungkuk akan terlihat aneh kalau dia tetap

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   41. Acara Makan Malam

    Belum menjelang malam tapi para bangsawan yang berada di ibu kota dan sudah mendapatan undangan Jahan, sejak pagi mulai berdatangan. Bahkan bangsawan dari luar kerajaan timur pun turut hadir. Siapa yang tidak tahu tentang keluarga bangsawan Altarik yang terkenal dengan kerendahan hatinya walau memiliki harta yang sangat melimpah. “Nona, apa ada sudah memilih pakaian dan riasan seperti apa yang akan anda kenakan saat makan malam.” Pelayan ini memang terlalu patuh pada peraturan, untungnya ada dua pelayan yang Jahan tempatkan untuk melayani Nanda agar dia lebih leluasa. “Aku rasa Nona akan memilihya nanti. Sekarang bagaiman kalau kita bantu bagian yang lain untuk menyiapkan acara makan malam. Pasti mereka kewalahan.” Sekarang Nanda kembali sendiri. Pikirannya masih berkenalan tentang percakapan tadi siang dengan Jahan. Memang lebih baik dia mengaikut arahan Jahan. Lagi pula dengan begitu Nanda tidak perlu merasa bersalah dengan menolak perasaan putra mahkota padanya. Satu jam kemudi

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   40. Ibu Kota Negara Utara

    Kakek itu mengehela napas dan menepuk pundak Janu. “Aku tidak yakin untuk memberitahumu saat ini. Tapi, apa kamu sudah menemukan kunci peti yang lainnya?” Janu menggeleng lemah. Selama ini dia sudah mencari ke seluruh penjuru pondok. Bahkan sampai ke ujung hutan sekali pun tetap saja sisa kuncinya tidak ditemukan.“Apa harus sampai semua peti itu terbuka?”“Kamu pernah mencoba buka paksa peti-peti tersebut, misalnya dengan cara apapun namun masih tidak berhasil bukan?” Kakek itu kembali menyeruput teh nya.“Itu artinya kunci-kunci tersebut enggak berada di pondok atau hutan terlarang sekalipun. Mereka ada di luar dan aku harus mencarinya agar bisa bertemu dengan kakekku?”“Apakah gadis yang kamu sebutkan kemarin sebagai teman adalah orang yang membantumu mempelajari tingkat dasar ilmu bela diri yang ada dalam buku panduan?” Bukannya menjawab pertanyaan sebelumnya, kakek itu malah melemparkan topik lain pada Janu sehingga membuatnya termenung sesaat. Semua hal tidak mungkin hanya kebet

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status