Share

6. Hutang Budi

"Jadi ini pedang yang menyakitimu atau milikmu?"

Saking bersemangatnya Nalini melupakan kalau dia sedang sakit dan ada Janu disana.

"Ini satu-satunya harta peninggalan keluargaku."

"Itu artinya kamu berasal dari kelurga pendekar."

Kini giliran Janu yang bersemangat. Matanya berbinar-binar menatap Nalini.

"Kamu tahu sesuatu tentang pendekar?" Nalini bertanya dengan penuh selidik.

"Kakekku pernah bercerita tentang perang dunia persilatan dimasa lalu."

"Katanya ada seorang pendekar sakti yang enggak bisa di kalahkan siapapun."

"Dia memiliki sebuah pedang yang selalu dibawanya, dia juga yang akhirnya mendamaikan peperangan dunia persilatan."

"Jadi aku sangat kagum saat melihat pedang itu. Makannya kusimpan baik-baik."

Nalini jadi penasaran ingin bertemu dengan kakek Janu.

Mungkin dia salah satu pendekar yang mengenali dirinya sebagai keluarga Danadyaksa.

Bisa gawat kalau identitas aslinya terbongkar bersama pedang legendaris.

"Oh iya, keliatannya kamu sudah sehat. Besok aku ajak pergi berburu."

Janu pergi ke teras depan, karena matahari sudah terbenam.

Dia pun mulai beberes menutup jendela yang berada di pondok.

Menyalakan lilin-lilin di setiap penjuru ruangan.

Selesai, dirinya bergegas membawa satu bundel kain.

"Kamu mau kemana? Mencuci di malam hari?" Tanya Nalini heran.

Janu tertawa atas pertanyaan yang dilontarkan Nalini.

"Serajinya aku, hal itu enggak pernah akan aku lakukan di malam hari. Bisa-bisa aku diterkam hewan buas disana."

Kemudian Janu menggelar kain panjang tersebut.

Bentuknya seperti selimut, tapi dijahit dari beberapa gabungan kain.

"Maaf, kamu jadi tidur tidak nyaman."

Nalini makin tidak enak saja, dia sudah di tolong menumpang pula.

Tapi masih selalu memiliki prasangka buruk pada Janu.

"Sebentar lagi kita akan berganti posisi, tenang saja."

Ish, Nalini jadi memyesal sudah mengatakan itu pada Janu.

Dia langsung memunggungi Janu yang tidur dibawah ranjangnya.

Malam belum larut, tapi mengapa Janu sudah bersiap tidur.

Dengkurannya pun bisa terdengar beberapa saat yang lalu.

Sementara Nalini masih belum mengantuk, dan bingung mau melakukan apa.

Kembali badannya dihadapkan pada Janu.

Nalini mencoba melihat Janu secara keseluruhan.

Janu tidak seburuk yang dibayangkan saat bilang bahwa dirinya liar.

Hanya penampilan luarnya saja yang tidak terurus dengan benar.

Jika dia berpakaian rapih, ketampanannya akan melebihi putra mahkota Arnawarman.

Eh, kenapa Nalini membandingkannya dengan putra mahkota.

Nalini jadi mengingat ucapannya di taman.

Tentang putra mahkota yang akan melindungi Nalini.

Apakah sekarang putra mahkota juga sedang mencarinya.

"Ah, sebenarnya apa yang terjadi padaku?"

Karena suasana yang hening dan syahdu membuat kelopak mata Nalini turun dengan perlahan.

Dirinya tidur dengan diiringi suara dari alam.

Tiba-tiba Nalini mereasa kedinginan dan mulai menarik selimut untuk menutup seluruh badan.

Sepertinya selimut itu tersangkut sesuatu, sehingga susah diatarik.

Nalini terkejut saat membuka matan dan melihat Janu sedang menahan selimut di ujung lainnya.

"Sudah pagi, ayo kita pergi berburu makanan."

Pantas saja Nalini merasa dingin. Semua jendela dibukan dan lilin sudah dimatikan.

Semburat jingga memang ada di pelupuk timur, tapi bagi Nalini ini masih terlalu pagi.

"Apa kebiasaanmu tidur saat matahari terbenam dan bangun ketika matahari baru terbit."

"Kita bergerak sekarang, saat hewan-hewan masih beristirahat. Ayo cepat."

Daripada menjawab pertanyaan Nalini yang kehidupannya berbeda jauh.

Janu lebih memilih bergegas berburu makanan.

Mereka meninggalkan pondok kecil itu, Janu juga memberikan Nalini sebuah kantung dan juga belati kecil.

Setelah berjalan beberapa jauh, ternyata ada sebuah pagar yang dibuat Janu mengelilingi pondok.

Kemarin Nalini tidak bisa melihat pagar tersebut karena berada di bawah bukit dan tertutupi panjangnya rerumputan sekitar pondok.

Pagar tersebut dibuat sebagai perlindungan serangan binatang hutan.

Janu mungkin terbiasa dengan pandangan hutan yang gelap.

Tidak dengan Nalini, beberapa kali kakinya tersangkut akar-akar pohon yang mencuat ke permukaan tanah.

Lalu suara gaduh akibat ranting yang terinjak membuat kehadiran mereka terditeksi oleh hewan.

"Aduh... bisa enggak jalan yang benar?" Janu jadi gemas sendiri melihat Nalini.

"Ini masih gelap. Aku tidak bisa melihat pijakan kakiku."

Kalau begini terus hari ini mereka tidak akan makan daging enak.

Janu merubah tujuan awalnya. Dia membawa Nalini pergi ke sungai.

"Katanya kita akan berburu, kenapa ke sungai? Bukannya kemarin kita sudah makan ikan."

"Gara-gara kamu berisik, hewan juga akan lari mendengarnya." Terlihat sekali Janu kesal.

"Tunggu disini, aku akan mencari cacing tanah dulu."

Ditinggal Janu, Nalini langsung melepas sepatu yang dikenakan.

Arinya masih sangat dingin, tadinya Nalini ingin mandi.

Dia jadi berpikir ulang dan hanya membasuh bagian tubuh yang terlihat saja.

Mungkin setelah matahari naik lebih tinggi dan air sungai sudah lebih hangat dia akan kembali untuk mandi.

Janu kembali dengan dua rantingndan satu gengam cacing tanah menggeliat diatas daun yang dijadikan sebagai wadahnya.

Dia juga terampil membuat ranting menjadi alat pancing.

Dengan menggunakan akar gantung sebagai tali yang diikat pada ranting kayu.

Kail pancing dibuat dengan potongan ranting berukuran kecil kemudian diruncingkan menggunakan bebatuan.

Jadi, alat pancing yang siap digunakan. Tak lupa dia mengkaitkan cacing tangah sebegai umpan ikan.

"Nih, kamu juga pegang agar hasilnya banyak. Kita pesta ikan bakar."

Mereka berdua jadi saling menunggu dalam diam. Hanya suara gemericik air dan hembusan napas masing-masing.

"Aku tidak terbiasa memiliki hutang budi. Aku akan mengajari apapun yang kamu mau."

Tiba-tiba Nalini membuka pembicaraan setelah memikirkan semua pertolongan yang diberikan oleh Janu.

"Benarkah, apapun? Kalau begitu aku ingin diajari ilmu pedang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status