Share

BAB 10 Belum Usai

last update Last Updated: 2025-10-03 00:14:58

Pertanyaan si ibu menggantung di udara, penuh dengan kekaguman dan sedikit rasa takut. "Siapa kamu sebenarnya, Nak?"

Joko mengalihkan pandangannya, sedikit salah tingkah di bawah tatapan intens wanita itu. Semua aura heroik dan mistis yang tadi menyelimutinya seolah lenyap, kembali menjadi pemuda canggung dari desa.

"Saya... saya bukan siapa-siapa, Bu," jawabnya pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cuma pemuda biasa dari desa. Datang ke Jakarta ini niatnya mau cari pekerjaan."

Si ibu terdiam, menatap lekat wajah Joko. Ia melihat kejujuran di sana. Anak ini tidak berbohong. Ia memang hanya pemuda biasa, namun entah bagaimana, ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Si ibu tidak mengerti, tapi satu hal yang ia tahu pasti pemuda ini telah diutus Tuhan untuk menolongnya.

Air mata haru akhirnya menetes di pipinya. "Nak... Ibu tidak tahu harus bilang apa untuk berterima kasih. Kamu sudah... menyelamatkan usaha Ibu satu-satunya. Nyawa keluarga Ibu."

Ia menyeka air matanya, lalu sebuah ide cemerlang terlintas di benaknya. Wajahnya yang tadi sendu kini bersinar dengan harapan baru.

"Nak ," panggilnya dengan nada yang lebih mantap. "Kalau kamu memang sedang mencari pekerjaan, bagaimana kalau kamu kerja di sini saja? Bantu-bantu Ibu."

Joko sedikit terkejut.

"Memang," lanjut si ibu cepat, "Ibu belum bisa kasih gaji yang layak. Warung saja baru mau mulai dari nol lagi. Tapi kalau untuk makan tiga kali sehari dan tempat tinggal, Ibu jamin kamu tidak akan kekurangan. Anggap saja ini rumahmu sendiri sambil kamu cari-cari kesempatan yang lebih baik ke depannya."

Tawaran itu sangat menggiurkan bagi seseorang yang tidak punya tujuan seperti Joko. Namun, harga dirinya menolak. Ia baru saja menolak uang ratusan ribu dari Pak Suhendar, ia tidak ingin menerima belas kasihan lagi.

"Tidak usah, Bu. Terima kasih banyak tawarannya," tolak Joko halus. "Saya tidak mau merepotkan. Saya bisa cari kerja di tempat lain."

"Merepotkan bagaimana?!" sergah si ibu, kali ini suaranya sedikit memaksa. "Kamu ini bukan merepotkan, kamu ini penolong Ibu! Sudah, jangan menolak lagi! Ibu akan merasa sangat bersalah kalau membiarkan kamu pergi dan terlunta-lunta di jalanan setelah apa yang kamu lakukan. Anggap saja ini takdir, Tuhan yang mengirim kamu ke sini. Ibu mohon, terimalah."

Joko terpojok oleh kebaikan dan paksaan lembut wanita itu. Ia menghela napas panjang, merasa tidak enak untuk terus menolak. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Baiklah, Bu. Kalau Ibu memaksa."

Wajah si ibu langsung berseri-seri. "Alhamdulillah! Syukurlah!" serunya penuh kelegaan. "Ayo, ayo, Ibu tunjukkan kamarmu."

Ia mengajak Joko masuk lebih dalam ke warungnya. Ternyata di bagian belakang ada sebuah pintu yang terhubung ke sebuah kamar kecil yang sederhana, lengkap dengan sebuah kamar mandi.

"Ini kamarnya, Nak. Memang tidak besar, tapi cukuplah untuk istirahat. Nanti kita rapikan sama-sama," kata si ibu. "Warung ini biasanya tutup paling cepat jam 5 sore, paling malam jam 7. Nanti kalau sudah tutup, kamu bisa kunci dari dalam. Ibu biasanya sudah ke sini lagi jam 3 pagi untuk belanja ke pasar dan mulai masak."

Joko hanya bisa mengangguk, merasa semakin tidak enak karena semua kebaikan ini. Ia sadar, sejak tadi mereka berbicara panjang lebar, tapi ia bahkan belum memperkenalkan diri dengan benar.

"Maaf, Bu," sela Joko. "Dari tadi kita ngobrol, saya belum kenalan. Nama saya Joko."

Si ibu tersenyum hangat, senyum keibuan yang tulus. "Saya Wati, Nak. Panggil saja Ibu Wati."

Sementara Joko memulai lembaran baru hidupnya di dalam ketenangan "Warteg Sedap Rasa", di tempat lain, amarah sedang menempuh perjalanan jauh.

Sore itu, setelah membelah lalu lintas Jakarta dengan brutal, motor bebek milik si pria gempal akhirnya tiba di sebuah pedalaman kampung yang sunyi. Jalanan aspal telah berganti menjadi tanah berbatu. Di sini, rumah-rumah penduduk jarang, dipisahkan oleh kebun-kebun singkong dan rumpun bambu yang lebat. Motor itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah panggung dari kayu jati tua, yang berdiri sendirian, terisolasi dari tetangga lainnya seolah memiliki dunianya sendiri.

Pria gempal itu sebut saja namanya Tarno turun dari motor dengan kasar. Wajahnya masih merah padam menahan amarah, mulutnya tak henti-hentinya menggerutu.

"Sialan... sialan... Bisa-bisanya gagal! Dukun abal-abal!" umpatnya sambil berjalan menuju rumah itu.

Semakin dekat ia melangkah, semakin pekat pula aroma khas yang menguar dari dalam rumah, menusuk hidungnya. Aroma kemenyan yang dibakar, bercampur dengan bau bunga-bunga sesajen yang mulai layu.

Tanpa ragu, ia menaiki beberapa anak tangga kayu dan berdiri di depan sebuah pintu kuno dengan ukiran yang sudah aus. Tidak ada salam, tidak ada basa-basi. Tangan kekarnya langsung menggedor pintu itu dengan tidak sabar.

GDUK! GDUK! GDUK!

"Mbah! Buka, Mbah! Ini saya, Tarno!" teriaknya.

Hening sejenak. Tidak ada jawaban. Hanya suara angin yang mendesau di antara dedaunan pohon beringin besar yang menaungi rumah itu. Tarno hendak menggedor lagi, lebih keras, saat tiba-tiba terdengar suara selot kayu yang digeser dari dalam.

Krieeettt...

Pintu kuno itu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok seorang kakek tua yang membungkuk. Kulitnya keriput seperti kertas, matanya cekung namun tatapannya tajam luar biasa. Ia mengenakan sarung batik lusuh dan kaus oblong putih yang sudah menguning. Dari sudut bibirnya, mengalir sedikit cairan merah ia sedang mengunyah sirih.

Itulah Mbah Karyo, sang dukun.

"Ada apa, Tarno? Datang-datang kok seperti dikejar setan," sapanya, suaranya serak dan berat.

Tarno langsung masuk tanpa dipersilakan, amarahnya meledak. "Setan?! Justru setan dari Mbah yang sudah tidak berfungsi lagi!" semprotnya. "Hancur, Mbah! Warung saya hancur! Semua pelanggan kabur! Pesugihan dari Mbah sudah tidak manjur!"

Mbah Karyo tidak terkejut. Ia hanya menatap Tarno dengan matanya yang dingin, lalu perlahan menutup pintu di belakangnya, menjerumuskan ruangan itu ke dalam cahaya yang remang-remang.

"Bukan tidak manjur," desis Mbah Karyo pelan. "Tapi... ada yang menghancurkannya."

Mbah Karyo tidak menghiraukan amarah kliennya. Dengan gerakan yang lambat dan mantap, ia berjalan menuju sudut ruangan yang paling gelap, lalu duduk bersila di atas sebuah tikar pandan yang sudah tua. Di hadapannya, tertata rapi peralatan kerjanya sebuah pedupaan dari kuningan yang terus mengepulkan asap kemenyan wangi, beberapa mangkuk kecil berisi kembang tujuh rupa yang mulai layu, sebotol minyak kelapa berwarna keruh, dan sebuah keris kecil yang terbungkus kain mori putih.

Tarno mengikuti dan duduk di hadapannya, namun dengan gelisah. Ia tidak bisa diam, kakinya terus bergerak-gerak, menunjukkan betapa kacau pikirannya.

"Dihancurkan bagaimana, Mbah?! Siapa yang bisa?!" semprot Tarno, tidak sabar. "Aku sudah ikuti semua perintah Mbah! Sesajen rutin setiap malam minggu, kopi pahit dan kembang tidak pernah absen! Kurang apa lagi pengabdianku, Mbah?!"

Mendengar keluhan itu, Mbah Karyo justru tersenyum. Senyum tipis yang tidak mencapai matanya, membuat kulitnya yang keriput semakin tertarik. Itu adalah senyum yang dingin dan penuh rahasia.

"Tarno, Tarno," desisnya pelan, suaranya serak. "Kau pikir urusan gaib itu sesederhana jual beli di pasar? Kau bayar, kau dapat untung? Tidak, tidak sesederhana itu."

Mbah Karyo mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, asap kemenyan menari-nari di sekitar wajahnya. "Kau pikir yang kena batunya cuma kau?"

Tarno mengerutkan kening, tidak mengerti. "Maksud Mbah?"

"Jimat yang kuberikan padamu itu ada 'isinya', ada khodamnya," lanjut Mbah Karyo, matanya yang cekung menatap tajam. "Saat sumber kekuatan mereka dihancurkan, mereka tidak diam saja. Mereka kembali padaku, Tarno."

Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap.

"Kau pikir mereka kembali untuk melapor dengan sopan?" Mbah Karyo tertawa parau. "Tidak. Para makhluk itu juga mengamuk padaku! Menjerit-jerit di telingaku, menyalahkanku karena mengirim mereka ke tempat pembantaian!"

Ia menunjuk ke sebuah guci tanah liat di sudut ruangan yang retak menjadi dua. "Lihat itu. Mereka yang melemparnya sebelum akhirnya lenyap terbakar. Mereka bilang... mereka dihancurkan oleh cahaya keemasan yang menyilaukan."

Wajah Tarno yang tadinya penuh amarah kini berubah menjadi pucat pasi. Amarahnya pada sang dukun seketika sirna, digantikan oleh rasa takut yang jauh lebih besar. Jika dukun sekuat Mbah Karyo saja terkena imbasnya, sekuat apa sebenarnya orang atau kekuatan yang telah menghancurkan usahanya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 10 Belum Usai

    Pertanyaan si ibu menggantung di udara, penuh dengan kekaguman dan sedikit rasa takut. "Siapa kamu sebenarnya, Nak?"Joko mengalihkan pandangannya, sedikit salah tingkah di bawah tatapan intens wanita itu. Semua aura heroik dan mistis yang tadi menyelimutinya seolah lenyap, kembali menjadi pemuda canggung dari desa."Saya... saya bukan siapa-siapa, Bu," jawabnya pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cuma pemuda biasa dari desa. Datang ke Jakarta ini niatnya mau cari pekerjaan."Si ibu terdiam, menatap lekat wajah Joko. Ia melihat kejujuran di sana. Anak ini tidak berbohong. Ia memang hanya pemuda biasa, namun entah bagaimana, ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Si ibu tidak mengerti, tapi satu hal yang ia tahu pasti pemuda ini telah diutus Tuhan untuk menolongnya.Air mata haru akhirnya menetes di pipinya. "Nak... Ibu tidak tahu harus bilang apa untuk berterima kasih. Kamu sudah... menyelamatkan usaha Ibu satu-satunya. Nyawa keluarga Ibu."Ia menyeka air matanya, lalu sebua

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 9 Balasan

    Baru saja keheningan yang damai itu menyelimuti mereka, sebuah jeritan melengking yang bukan seperti suara manusia tiba-tiba merobek udara dari warteg sebelah. Jeritan itu penuh dengan rasa sakit dan kengerian murni.Prangg… Brakkk…!Suara piring pecah dan meja yang digulingkan menyusul, diikuti oleh raungan-raungan putus asa. Kekacauan total meledak dalam sekejap.Joko dan si ibu saling berpandangan dengan ngeri. "Ya Allah, ada apa lagi itu?!" bisik si ibu. Mereka bergegas ke depan pintu, dan apa yang mereka lihat adalah pemandangan langsung dari neraka.Para pelanggan tidak hanya berlarian keluar, mereka melarikan diri seolah dikejar oleh iblis. Seorang bapak-bapak tersungkur di depan pintu, tidak muntah biasa, tapi memuntahkan cairan hitam pekat yang berbau busuk sambil meracau tidak jelas. Seorang wanita muda berguling-guling di tanah, kedua tangannya mencakar-cakar lehernya sendiri sambil menjerit."Tolong! Ada yang merayap di dalam tenggorokanku! Panas! Panas!" raungnya, suarany

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 8 Akan Saya Usahakan

    Amarah karena melihat ketidakadilan itu membuat rasa penasaran di dalam diri Joko melonjak tinggi. Tangannya tanpa sadar meremas saku jaketnya, menggenggam erat keris pusaka yang kini terasa semakin hangat, seolah ikut bergejolak dengan emosinya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa berani dan anehnya, berkuasa.Ia menatap wajah sedih si ibu yang pasrah, lalu melirik lagi ke warteg sebelah yang riuh. Tanpa ia sadari, didorong oleh simpati yang tulus dan energi misterius dari sang pusaka, sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibirnya."Kasihan sekali Ibu ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Andai saja... andai saja aku bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini."Kata-kata itu adalah sebuah keinginan. Dan sang pusaka di sakunya seolah mendengarnya sebagai sebuah perintah.BLESHH!Seketika, keris itu memancarkan hawa panas yang menusuk, hanya sesaat. Dunia di depan mata Joko seolah bergetar. Kepalanya terasa pening luar biasa seakan baru

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 7 Pertolongan Itu Datang

    Api amarah dan ambisi yang membara di dada Joko ternyata membutuhkan banyak energi. Setelah berjalan beberapa blok menjauhi proyek konstruksi, perutnya yang tadi bungkam kini berbunyi keroncongan dengan hebatnya. Rasa lapar kembali menyerang, lebih kuat dari sebelumnya. Tangannya meraba saku celana, merasakan lipatan uang dari Pak Rahmat. Syukurlah, ia tidak perlu kelaparan hari ini.Matanya langsung awas mencari penyelamat perut kaum pekerja warteg.Tak butuh waktu lama, di sebuah gang yang sedikit lebih kumuh, ia menemukannya. Bukan hanya satu, tapi dua warteg berdiri berdampingan, seolah bersaing secara langsung. Pemandangannya sangat kontras. Warteg di sebelah kiri, dengan spanduk "Warteg Barokah", penuh sesak dengan para kuli, sopir, dan pekerja kantoran kelas bawah. Orang-orang berdesakan, suara sendok beradu dengan piring terdengar riuh.Sementara itu, warteg di sebelah kanan, dengan spanduk "Warteg Sedap Rasa", justru melompong. Tak ada satu pun pelanggan di dalamnya. Hanya s

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 6 Penghinaan

    Motor Mang Jaka berhenti tepat di seberang sebuah proyek pembangunan yang ramai. "Sudah sampai, Mas," katanya, suaranya terdengar sedikit lega.Joko turun dari motor, matanya memindai sekitar. Ia mengerutkan keningnya. Perjalanan ini terasa sangat cepat. Rasanya tidak lebih dari sepuluh menit.'Dasar tukang ojek licik, dibilang jauh dan macet ternyata cuma selemparan batu,' umpat Joko dalam hati. Ia merasakan sedikit amarah, namun segera ia redam. Berdebat sekarang tidak ada gunanya. Ia sudah sampai, itu yang terpenting."Ini, Pak," kata Joko sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. "Terima kasih.""Oh, iya, iya. Sama-sama, Mas." Mang Jaka menerima uang itu dan langsung tancap gas, menghilang di antara lalu lintas seolah takut Joko akan berubah pikiran.Kini Joko berdiri sendirian di trotoar yang bising. Di sebelah kanannya, gedung-gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja menjulang angkuh, memantulkan langit Jakarta yang keabu-abuan. Mewah, bersih, dan terasa b

  • Pusaka Wasiat: Lahirnya Penguasa Baru!   BAB 5 Cahaya Kilat

    Si jambret tertawa sinis. "Hak? Nggak usah sok jadi pahlawan lu di sini! Ini Jakarta, bukan desa lu! Nggak usah ikut campur urusan orang lain kalau masih mau lihat matahari besok!""Kalau urusannya maling, itu jadi urusan semua orang," balas Joko, tatapannya dingin.Kerumunan orang mulai terbentuk, menjaga jarak, hanya menonton. Tak ada yang berani mendekat.Melihat Joko tidak gentar, si jambret menyeringai licik. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel butut. "Oke, oke... Lu yang minta, ya. Lu jagoan, kan?" katanya sambil menekan-nekan nomor. "Lu tunggu di sini lima menit. Gue panggil abang-abang gue biar kenalan sama jagoan baru terminal."Ancaman itu nyata, namun tidak menimbulkan rasa takut di hati Joko, melainkan sebuah ketenangan yang dingin. Tanpa disadari oleh Joko sendiri, di dalam saku jaketnya, keris pusaka itu bereaksi. Sebuah pendar keemasan yang sangat redup mulai memancar dari logam tuanya. Cahaya itu tidak keluar, melainkan merembes pelan menembus kain saku, lalu me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status